Share

Anak Rahasia Sang Kepala Mafia
Anak Rahasia Sang Kepala Mafia
Author: Anna Smith

Bab 1

Author: Anna Smith
Dario berbisik menyebut nama Arisa 999 kali dalam tidurnya.

Namun, tak pernah menyebut namaku.

Angka-angka itu terukir dalam diriku, tajam seperti pecahan kaca. Mereka adalah bukti dari semua yang selama ini kuberitahukan pada diriku sendiri bahwa seberapa besar pun aku memberi, itu tak akan pernah cukup. Arisa bukanlah bayangan yang bisa kuhapus. Dia adalah awal dan akhir baginya.

Namun, aku tidak menemukan kebenaran itu dalam satu malam. Kebenaran itu datang perlahan, diam-diam, menumpuk di setiap malam yang kuhabiskan dalam kesunyian di dalam Kediaman Mahardika.

Setiap malam terasa sama. Aku menata hidangan favorit Dario di meja. Dibumbui persis seperti yang dia suka, panas sempurna saat dihidangkan.

Aku menyiapkan bak mandi dengan kelopak mawar dan menyalakan lilin yang dulu dia bilang dia sukai.

Aku pun memoles sepatunya hingga berkilau di dekat pintu.

Lalu, tepat pukul sembilan, pintu depan terbuka. Dario Mahardika, ahli waris salah satu dinasti mafia paling berkuasa di Aropa melangkah masuk. Kehadirannya memenuhi ruangan, tetapi matanya sama sekali tidak menatapku.

Aku menyingkap jaketnya dari bahu, menata sepatunya di dekat kaki, lalu bertanya pelan, "Makan malam dulu atau mandi dulu?"

"Mandi dulu." Dario berkata, tetapi matanya masih fokus pada ponselnya.

Saat Dario muncul dengan mengenakan jubah mandi, aku memberikan pakaiannya, menata meja lagi, dan mengantarkan makanan keluar sekali lagi. Dia menggulir layar ponselnya dengan tampak terganggu, cahaya layar memantul di mata gelapnya. Lalu aku melihatnya walau hanya sesaat. Nama itu muncul di bagian atas layar, berkelip sekejap.

Arisa.

Aku berpaling, pura-pura tidak melihat. Tepat pada saat itu ponselku bergetar. Nama yang muncul membuat napasku terhenti, yaitu Nyonya Tiana.

"Viona." Suaranya terdengar pelan dan letih. "Apa kamu benar-benar akan meninggalkan Dario?"

Pandanganku tertuju ke arah taman, di mana bunga lili putih mekar di bawah langit malam. Suaraku bergetar, tetapi aku memaksa kata-kata itu keluar.

"Kamu tahu kebenarannya, Ibu. Aku mencintainya sejak awal. Itu sebabnya aku menikah dengannya. Tapi cinta saja tidak cukup. Apalagi ketika hatinya selalu milik orang lain."

Nyonya Tiana menghela napas, suaranya berat oleh rasa bersalah.

"Aku tahu betapa sakit hatimu. Aku pernah berharap pengorbananmu bisa menggerakkan hatinya, tapi… hatinya tak pernah goyah. Jika kamu masih ingin melanjutkan studi ke luar negeri, atau memulai hidup baru di tempat lain, aku akan mengaturnya. Kamu sudah terlalu banyak membuang waktu untuknya."

Lima tahun. Lima tahun penuh pengorbanan, menumpahkan seluruh diriku ke dalam sebuah pernikahan yang dibangun di atas bayang-bayang. Aku menutup mata dan berbisik, "Ya. Tolong, bantu aku pergi. Aku ingin semua ini berakhir."

Saat panggilan itu berakhir, bunga lili di luar jendela sudah mulai layu, merunduk dalam gelap malam. Persis seperti janji-janji yang dulu kupertahankan dengan susah payah, tetapi kini perlahan pudar.

Aku tak pernah ditakdirkan untuk Dario. Aku hanyalah gadis miskin yang beasiswanya ditanggung Keluarga Mahardika, diambil dari kehampaan hidup sebagai sebuah kebaikan. Dulu aku datang untuk mengucapkan terima kasih. Aku begitu lugu dan tulus.

Namun, aku malah jatuh cinta ketika pertama kali melihat Dario Mahardika yang memesona, tak tersentuh, dikagumi.

Ketika Arisa meninggalkannya, akulah yang tetap di sisinya. Aku berpikir, jika aku memberinya cukup cinta, aku bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan Arisa.

Jadi aku memasak, membersihkan, mengingat setiap detail kecil yang terlupakan. Suatu kali, dia bilang padaku bahwa dia belum pernah melihat bintang jatuh. Aku pun mencari gunung tertinggi, tempat sempurna untuk menatap meteor melintas di langit. Aku menunggunya di bawah langit yang dingin.

Namun, dia tak pernah datang.

Dia malah bersama Arisa.

Dan kemudian, ketika pernikahan Arisa hancur, dia terbang melintasi lautan untuk memberinya hadiah secara diam-diam. Bunga, pernak-pernik, hadiah kecil yang bisa membuatnya tersenyum. Aku tahu. Aku selalu tahu.

Ketika Dario menabrakkan mobilnya karena tergesa-gesa ingin menemui Arisa, aku duduk di samping ranjang rumah sakitnya selama tiga malam tanpa tidur. Dan ketika akhirnya dia bergerak, bibirnya bergerak, berbisik menyebut nama Arisa terus-menerus.

Sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali.

Tak sekalipun Dario menyebut namaku.

Sekarang, Arisa telah kembali. Dario pun utuh lagi.

Sementara aku?

Akhirnya aku bebas untuk pergi.

Akan tetapi, setelah lima tahun penuh pengorbanan dan kesunyian...

Bisakah aku benar-benar meninggalkan pria yang dulu kucintai lebih dari impianku sendiri?

Dan takkan pernah menoleh ke belakang lagi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 15

    Kehamilan membawa iramanya sendiri. Mual di pagi hari, mengidam di jam-jam tak masuk akal, dan tekad Dario yang tak pernah surut untuk selalu hadir di setiap momennya. Dia tak pernah mengeluh. Jika aku ingin pasta saat fajar, dia belajar membuatnya. Jika aku terbangun di tengah malam, gelisah dan merasa berat, dia akan mengusap punggungku perlahan hingga aku kembali tertidur.Putri kami begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia menempelkan kedua tangannya yang mungil di perutku, seolah bisa merasakan detak jantung adiknya. "Bayi," bisiknya pelan, lalu menatap Dario dengan wajah serius. "Ayah, jaga Ibu, ya."Dan dia melakukannya. Setiap hari.Ada kalanya aku tanpa sadar mengujinya. Menunggu untuk melihat apakah dia akan lelah, apakah pria yang dulu kukenal akan muncul kembali dengan jarak dan dinginnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dia mengecat dinding kamar bayi sendiri, memadukan warna biru muda dan krem hangat, bersenandung sumbang sementara putri kami ikut membantu dengan ku

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 14

    Setengah tahun berlalu dalam irama yang aneh. Dario dan aku seperti dua planet yang saling mengitari, tak pernah benar-benar bertabrakan, tetapi juga tak pernah benar-benar melepaskan.Dia tak pernah memaksa, tak pernah menuntut. Sebaliknya, dia hanya tetap ada, muncul di saat yang tepat, mempelajari diamku, mengenal tawa putriku.Menjelang Desember, hubungan rapuh kami perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Natal tahun itu, hujan menyelimuti kota. Aku mendapati diriku menyiapkan makan malam kecil, menata tiga piring di meja.Ketika Dario tiba di depan pintu dengan membawa pohon di satu tangan dan senyum miring di wajahnya, aku tidak mengusirnya."Tinggallah," kataku, bahkan aku sendiri terkejut mendengarnya.Cahaya di matanya seolah menandakan bahwa aku baru saja memberinya seluruh dunia. Dia menggantung hiasan pohon bersama putriku, membiarkan gadis kecil itu duduk di bahunya untuk menaruh bintang kertas di puncak pohon.Tawa putriku memenuhi ruangan, dan ketika dia memanggilnya

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 13

    Di dalamnya, semuanya terasa… terlihat.Ruang tamu itu sederhana dan lembut, sinar matahari menumpuk di atas karpet wol berwarna hijau muda seperti buih laut. Warna yang pernah kukatakan padanya bisa membuatku merasa tenang.Di atas meja dapur, ada tumpukan rapi buku sketsa kesukaanku dan batang-batang arang gambar. Di dalam kulkas, kaldu, roti segar, buah yang sudah dicuci, serta sebotol zaitun dari toko kecil di Saslia yang dulu sering kudatangi menjelang senja. Tidak ada makanan laut. Tidak ada bawang putih.Kamar putrikulah yang membuat pertahananku runtuh.Rak-rak buku rendah agar dia bisa menjangkaunya sendiri. Sebuah karpet bergambar rasi bintang, lampu malam berbentuk bintang yang memantulkan galaksi di langit-langit, seprai berwarna merah muda pucat dan salem tanpa satu pun sentuhan warna merah menyala.Di atas meja rias, ada boneka kelinci putih berbulu lembut. Kembaran dari yang pernah dia peluk erat di rumah sakit.Di meja makan, selembar catatan tunggal tertulis dengan tul

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 12

    Aku terbangun oleh bunyi klik lembut dari monitor dan keheningan antiseptik khas ruang rumah sakit. Tenggorokanku terasa perih, paru-paruku nyeri setiap kali bernapas. Asap memang punya cara untuk tetap tinggal di dalam tubuh, bahkan setelah apinya padam.Ada sesuatu yang hangat dan ringan di sisiku. Putriku bulu matanya masih basah karena air mata, pipinya kemerahan karena tertidur bersandar pada gaunku.Dario ada di sana.Bukan di pintu, bukan berdiri jauh seperti orang asing, tetapi di sisiku, menemani dengan kesabaran yang tak bisa dipalsukan. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku.Di meja, segelas air hangat menunggu, dengan seiris lemon tipis mengapung seperti koin pucat tanpa madu, karena dia ingat aku tidak suka rasa manis di pagi hari.Dia menaikkan sandaran tempat tidur perlahan sedikit demi sedikit, sampai rasa nyeri di dadaku mereda."Pelan-pelan," katanya dengan suara serak. "Sedikit saja."Dia tidak terburu-buru. Tidak berusaha menambal kehe

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 11

    Setelah pameran itu, Dario tidak berhenti.Setiap hari, selalu ada sesuatu yang dikirim ke vila. Bunga, buku, mainan untuk putri kecilku. Kadang-kadang dia berdiri di seberang pagar besi, menunggu sampai anakku melihatnya.Begitu dia berlari menghampiri, tawanya memenuhi udara. Dario akan berjongkok, meniru setiap gerakannya, tangannya mengikuti permainan si kecil melalui sela-sela besi yang dingin.Aku berusaha mengabaikannya, mengingatkan diriku pada tahun-tahun penuh ketidakpedulian dan pengkhianatan itu. Namun, setiap kali melihat wajah putriku bersinar bahagia saat melihat ayahnya… ada sesuatu di dalam diriku yang perlahan melunak. Sesuatu yang selama ini kupaksa untuk tetap tertutup rapat.Saat putriku tidak ada di rumah, Dario tidak lagi bersembunyi di balik hadiah atau permainan. Dia akan mengetuk gerbang, suaranya rendah dan terdengar rapuh tidak seperti biasanya."Viona, aku minta maaf."Aku menolak membukakan pintu, tetapi entah bagaimana dia selalu menemukan cara untuk berb

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 10

    Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, setelah lulus nanti, aku akan menggelar pameran tunggal pertamaku. Dan kini, saat itu akhirnya tiba. Setiap kanvas telah digantung, setiap lampu sorot disesuaikan, setiap undangan telah dikirim.Ketika temanku menyerahkan daftar tamu terakhir, mataku tertumbuk pada satu nama. Dario.Sesaat, dadaku terasa sesak. Kupikir aku akan panik, ingin bersembunyi dan lari dari semua ini.Namun, ternyata tidak. Tidak ada rasa sakit yang tajam, hanya ketenangan yang sunyi.Aku sendiri terkejut. Bertahun-tahun lalu, membayangkan bertemu dia saja sudah cukup untuk membuatku hancur. Sekarang, aku tahu… aku benar-benar telah melepaskannya.Galeri mulai ramai, udara dipenuhi percakapan dan denting gelas sampanye. Aku berkeliling di antara para tamu sambil tersenyum, memperkenalkan setiap lukisanku.Dan kemudian aku merasakan kehadirannya sebelum aku melihatnya. Aura yang dulu begitu kukenal, menekan halus di kulitku."Viona."Suara itu membuatku membeku sejenak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status