Share

Bab 5

Author: Anna Smith
Sop panas menyembur ke lenganku sebelum aku sempat menghindar.

Rasa sakit yang membakar menyayat kulitku, seperti ribuan jarum menembus dalam satu waktu. Tenggorokanku terkunci. Aku bahkan tak mampu berteriak.

"Viona!"

Untuk pertama kalinya, suara Dario terdengar panik. Dia mendorong Arisa ke samping dan berlari ke arahku, meraih lenganku dengan wajah tegang.

"Kamu terbakar. Sial, kita harus ke rumah sakit sekarang!"

Aku menatapnya di tengah kabut rasa sakit. Bibirku terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar.

Lalu terdengar jeritan melengking.

"Oh Tuhan, Arisa, kamu juga terluka!"

Dario terdiam. Perhatiannya langsung berpaling.

Beberapa tetes sop krim panas memang mengenai pergelangan tangan Arisa, tetapi hanya meninggalkan sedikit kemerahan di kulitnya yang pucat. Meski begitu, ekspresi Dario tampak seolah seluruh dunia runtuh di depan matanya.

Arisa menggeleng pelan, menahan air mata yang nyaris jatuh.

"Tidak apa-apa. Tolong lihat Viona dulu. Dia yang lebih parah."

Nada suaranya bergetar, penuh kepedulian yang terdengar tulus, tetapi justru kelembutannya membuat Dario makin menggenggam erat tangannya.

"Kamu memang selalu rapuh," katanya, suaranya bergetar. Tanpa menoleh padaku lagi, dia langsung mengangkat Arisa ke dalam pelukannya.

"Kita ke rumah sakit. Sekarang."

Arisa memegang lengannya erat.

"Kak, jangan buang waktu! Arisa sakit… cepatlah."

Dario sempat menatapku sekali, sekejap, penuh bayangan rasa bersalah.

"Viona… naik taksi saja. Klinik dekat dari sini. Kamu akan baik-baik saja."

Dan dia pergi.

Aku berdiri di sana, kulitku terbakar, perutku melilit. Aku hanya bisa menyaksikan bayangan mereka menghilang ke dalam gelap malam.

Para staf restoran berlarian mendekat, meminta maaf dengan wajah panik. Mereka membersihkan luka bakarku, membalutnya, memberiku obat pereda nyeri, bahkan pakaian baru untuk diganti. Namun, entah kenapa, simpati mereka terasa lebih menyakitkan daripada lukanya sendiri.

Di rumah sakit, dokter menangani lepuh di lenganku dengan tenang.

"Oleskan salep ini setiap hari. Jika dirawat dengan baik, tidak akan meninggalkan bekas," katanya lembut.

Di belakangnya, dua perawat lewat sambil berbisik.

"Katanya Dario Mahardika menyewa satu lantai penuh hanya untuk Arisa. Bahkan memanggil tiga dokter kulit, padahal cuma terkena sedikit sop krim di tangan."

"Bayangkan, seberapa cintanya dia. Banyak wanita rela mati demi perlakuan seperti itu."

Mereka terkekeh pelan, lalu berlalu.

'Cinta,' pikirku getir.

Aku hampir tertawa bersama mereka.

Dia meninggalkan istrinya yang kulitnya melepuh… demi menggenggam tangan wanita lain.

Ya, Dario Mahardika memang istimewa, dalam cara yang menyakitkan.

Saat perban terakhir dipasang, aku sudah mati rasa. Di luar dan di dalam.

Begitu keluar dari rumah sakit, ponselku bergetar dan ada satu notifikasi muncul.

[Selamat. Anda diterima di Akademi Seni Florance.]

Aku terpaku. Akademi Florance, salah satu sekolah seni paling bergengsi di Aropa. Aku mendaftar dua bulan lalu, langkah nekat yang bahkan tak kusangka akan berhasil. Terlebih sekarang, saat aku sedang tiga bulan hamil.

Tanganku gemetar saat membaca kelanjutannya:

[Kehamilan bukan penghalang. Kami menghargai bakat Anda. Kami telah menunggu Anda selama bertahun-tahun, Nona Viona.]

Aku memejamkan mata. Bertahun-tahun aku menolak mereka demi Dario. Meyakinkan diriku bahwa cinta lebih berharga daripada seni. Bahwa suatu hari, dia akan melihatku.

Namun, kini… Arisa telah kembali.

Dan Akademi masih menginginkanku.

Malam itu, aku membeli kuas, arang, dan kanvas baru.

Aku menghapus debu dari bagian diriku yang telah lama aku kubur sejak menikah.

Kupikir aku akan merasa bersalah. Namun, yang kurasakan hanya kejelasan.

Keesokan paginya, aku berkata pada pengurus rumah bahwa aku akan pergi beberapa hari. Aku tidak memberi tahu Dario. Dia bahkan tidak menyadarinya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju pada Arisa.

Sementara itu, aku menemukan sebuah teras kecil di tepi laut. Di sanalah aku mulai melukis lagi, menuangkan rasa lapar, duka, dan harapan ke atas kertas.

Setiap garis yang kutarik adalah langkah menjauh darinya.

Setiap sapuan warna adalah bukti bahwa aku masih punya masa depan, bahkan di luar bayang-bayangnya.

Tebing-tebing menjulang di atas air biru toska, bunga liar menunduk ditiup angin. Aku mendirikan kanvasku di atas teras yang sepi, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku menghirup udara yang tak berbau kekuasaan, asap, atau darah.

Kuas bergerak nyaris tanpa kendali.

Tiga hari berlalu seperti mimpi. Aku melukis sampai dunia di sekitarku menghilang. Sampai rasa nyeri di lenganku tak terasa, sampai bayangan rumah Dario tak lagi menghantuiku.

Tak ada yang menegurku. Tak ada yang memerintah.

Hanya aku, udara asin laut, dan kebebasan.

Ketika akhirnya aku menyalakan ponsel, layar dipenuhi panggilan tak terjawab dan pesan. Lebih dari seratus.

Semuanya dari Dario.

Dia belum pernah meneleponku sebelumnya.

Tidak sekali pun, selama lima tahun pernikahan kami.

Dan kini 108 kali.

Aku masih menatap layar ketika nama Serina muncul.

Begitu kuangkat, suaranya langsung melengking dari seberang.

"Viona! Ke mana saja kamu? Tahu tidak, kakakku hampir gila mencarimu! Tapi jangan salah sangka kalau kamu pikir ini akan membuatnya memilihmu, kamu bodoh. Arisa satu-satunya wanita yang pantas jadi nyonya keluarga ini!"

Sambungan terputus.

Aku menurunkan ponsel perlahan, dadaku terasa sesak.

Dario Mahardika… mencariku?

Mengamuk karena aku menghilang?

Harusnya aku tertawa. Namun, jemariku bergetar saat menatap angka di layar, 108 panggilan tak terjawab.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun… dia yang mengejarku.

Dia tidak tahu.

Dia tidak tahu aku telah diterima di Akademi.

Dia tidak tahu aku mulai menyiapkan portofolio.

Dia tidak tahu aku siap pergi.

Mungkin sekarang dia panik, meronta di tengah keheningan yang kutinggalkan. Akan tetapi, itu tidak mengubah apa pun.

Lukaku telah mengeras menjadi perisai.

Hatiku tak lagi condong padanya.

Biarlah dia marah, menyesal, atau terbakar dalam reruntuhan yang dia ciptakan sendiri.

Karena aku tidak akan menoleh lagi.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 15

    Kehamilan membawa iramanya sendiri. Mual di pagi hari, mengidam di jam-jam tak masuk akal, dan tekad Dario yang tak pernah surut untuk selalu hadir di setiap momennya. Dia tak pernah mengeluh. Jika aku ingin pasta saat fajar, dia belajar membuatnya. Jika aku terbangun di tengah malam, gelisah dan merasa berat, dia akan mengusap punggungku perlahan hingga aku kembali tertidur.Putri kami begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia menempelkan kedua tangannya yang mungil di perutku, seolah bisa merasakan detak jantung adiknya. "Bayi," bisiknya pelan, lalu menatap Dario dengan wajah serius. "Ayah, jaga Ibu, ya."Dan dia melakukannya. Setiap hari.Ada kalanya aku tanpa sadar mengujinya. Menunggu untuk melihat apakah dia akan lelah, apakah pria yang dulu kukenal akan muncul kembali dengan jarak dan dinginnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dia mengecat dinding kamar bayi sendiri, memadukan warna biru muda dan krem hangat, bersenandung sumbang sementara putri kami ikut membantu dengan ku

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 14

    Setengah tahun berlalu dalam irama yang aneh. Dario dan aku seperti dua planet yang saling mengitari, tak pernah benar-benar bertabrakan, tetapi juga tak pernah benar-benar melepaskan.Dia tak pernah memaksa, tak pernah menuntut. Sebaliknya, dia hanya tetap ada, muncul di saat yang tepat, mempelajari diamku, mengenal tawa putriku.Menjelang Desember, hubungan rapuh kami perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Natal tahun itu, hujan menyelimuti kota. Aku mendapati diriku menyiapkan makan malam kecil, menata tiga piring di meja.Ketika Dario tiba di depan pintu dengan membawa pohon di satu tangan dan senyum miring di wajahnya, aku tidak mengusirnya."Tinggallah," kataku, bahkan aku sendiri terkejut mendengarnya.Cahaya di matanya seolah menandakan bahwa aku baru saja memberinya seluruh dunia. Dia menggantung hiasan pohon bersama putriku, membiarkan gadis kecil itu duduk di bahunya untuk menaruh bintang kertas di puncak pohon.Tawa putriku memenuhi ruangan, dan ketika dia memanggilnya

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 13

    Di dalamnya, semuanya terasa… terlihat.Ruang tamu itu sederhana dan lembut, sinar matahari menumpuk di atas karpet wol berwarna hijau muda seperti buih laut. Warna yang pernah kukatakan padanya bisa membuatku merasa tenang.Di atas meja dapur, ada tumpukan rapi buku sketsa kesukaanku dan batang-batang arang gambar. Di dalam kulkas, kaldu, roti segar, buah yang sudah dicuci, serta sebotol zaitun dari toko kecil di Saslia yang dulu sering kudatangi menjelang senja. Tidak ada makanan laut. Tidak ada bawang putih.Kamar putrikulah yang membuat pertahananku runtuh.Rak-rak buku rendah agar dia bisa menjangkaunya sendiri. Sebuah karpet bergambar rasi bintang, lampu malam berbentuk bintang yang memantulkan galaksi di langit-langit, seprai berwarna merah muda pucat dan salem tanpa satu pun sentuhan warna merah menyala.Di atas meja rias, ada boneka kelinci putih berbulu lembut. Kembaran dari yang pernah dia peluk erat di rumah sakit.Di meja makan, selembar catatan tunggal tertulis dengan tul

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 12

    Aku terbangun oleh bunyi klik lembut dari monitor dan keheningan antiseptik khas ruang rumah sakit. Tenggorokanku terasa perih, paru-paruku nyeri setiap kali bernapas. Asap memang punya cara untuk tetap tinggal di dalam tubuh, bahkan setelah apinya padam.Ada sesuatu yang hangat dan ringan di sisiku. Putriku bulu matanya masih basah karena air mata, pipinya kemerahan karena tertidur bersandar pada gaunku.Dario ada di sana.Bukan di pintu, bukan berdiri jauh seperti orang asing, tetapi di sisiku, menemani dengan kesabaran yang tak bisa dipalsukan. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku.Di meja, segelas air hangat menunggu, dengan seiris lemon tipis mengapung seperti koin pucat tanpa madu, karena dia ingat aku tidak suka rasa manis di pagi hari.Dia menaikkan sandaran tempat tidur perlahan sedikit demi sedikit, sampai rasa nyeri di dadaku mereda."Pelan-pelan," katanya dengan suara serak. "Sedikit saja."Dia tidak terburu-buru. Tidak berusaha menambal kehe

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 11

    Setelah pameran itu, Dario tidak berhenti.Setiap hari, selalu ada sesuatu yang dikirim ke vila. Bunga, buku, mainan untuk putri kecilku. Kadang-kadang dia berdiri di seberang pagar besi, menunggu sampai anakku melihatnya.Begitu dia berlari menghampiri, tawanya memenuhi udara. Dario akan berjongkok, meniru setiap gerakannya, tangannya mengikuti permainan si kecil melalui sela-sela besi yang dingin.Aku berusaha mengabaikannya, mengingatkan diriku pada tahun-tahun penuh ketidakpedulian dan pengkhianatan itu. Namun, setiap kali melihat wajah putriku bersinar bahagia saat melihat ayahnya… ada sesuatu di dalam diriku yang perlahan melunak. Sesuatu yang selama ini kupaksa untuk tetap tertutup rapat.Saat putriku tidak ada di rumah, Dario tidak lagi bersembunyi di balik hadiah atau permainan. Dia akan mengetuk gerbang, suaranya rendah dan terdengar rapuh tidak seperti biasanya."Viona, aku minta maaf."Aku menolak membukakan pintu, tetapi entah bagaimana dia selalu menemukan cara untuk berb

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 10

    Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, setelah lulus nanti, aku akan menggelar pameran tunggal pertamaku. Dan kini, saat itu akhirnya tiba. Setiap kanvas telah digantung, setiap lampu sorot disesuaikan, setiap undangan telah dikirim.Ketika temanku menyerahkan daftar tamu terakhir, mataku tertumbuk pada satu nama. Dario.Sesaat, dadaku terasa sesak. Kupikir aku akan panik, ingin bersembunyi dan lari dari semua ini.Namun, ternyata tidak. Tidak ada rasa sakit yang tajam, hanya ketenangan yang sunyi.Aku sendiri terkejut. Bertahun-tahun lalu, membayangkan bertemu dia saja sudah cukup untuk membuatku hancur. Sekarang, aku tahu… aku benar-benar telah melepaskannya.Galeri mulai ramai, udara dipenuhi percakapan dan denting gelas sampanye. Aku berkeliling di antara para tamu sambil tersenyum, memperkenalkan setiap lukisanku.Dan kemudian aku merasakan kehadirannya sebelum aku melihatnya. Aura yang dulu begitu kukenal, menekan halus di kulitku."Viona."Suara itu membuatku membeku sejenak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status