Share

Bab 4

Author: Anna Smith
Sepertinya Dario takut dia berubah pikiran dan pergi. Tanpa menunggu lama, dia langsung memerintahkan staf untuk memindahkan koper Arisa ke kamar tamu terbesar.

Serina bahkan tak berusaha menyembunyikan kepuasannya.

"Lalu apa lagi yang kamu tunggu? Makan malam tidak akan masak sendiri. Dan jangan lupa, Arisa tidak bisa makan pedas. Buat masakan biasa saja."

Kata-kata itu terdengar begitu biasa. Karena memang akulah yang selalu berada di dapur. Bukan karena dipaksa, tetapi karena aku ingin rumah ini terasa seperti rumah sungguhan. Dulu aku percaya, kalau aku bisa mengisinya dengan kehangatan, aroma roti baru, semangkuk sop panas, mungkin bisa melunakkan sikap dingin Dario, mungkin bisa menjembatani jarak di antara kami.

Namun, entah sejak kapan, cintaku berubah jadi kebiasaan mereka. Dario makan tanpa komentar, Serina mengkritik tanpa ragu, dan para staf selalu pulang lebih awal, yakin aku yang akan menyelesaikan semuanya. Pengabdian yang dulu kulakukan dengan cinta, kini tak lagi terlihat.

Dan malam ini, untuk pertama kalinya, aku menggeleng.

"Aku tidak bisa."

Suasana ruangan mendadak hening. Dahi Dario berkerut, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dari bibirku. Dalam ingatannya, aku tak pernah berkata tidak.

Sebelum dia sempat bicara, Arisa menatapku dengan mata yang berkilat lembap.

"Ini salahku. Aku tidak seharusnya datang. Aku tidak bisa berharap Nona Viona yang mengurus semuanya."

Dia hendak berbalik menuju tangga, tetapi tangan Dario cepat menahan pergelangan tangannya.

"Ini bukan karena kamu."

Tatapannya lalu beralih padaku, menuntut jawaban.

"Kamu bilang tidak marah. Lalu ini apa?"

Aku hanya mengangkat tanganku pelan. Dua jariku terbalut perban putih bersih.

"Aku terluka. Tanganku terbakar. Jadi… aku tidak bisa masak untuk sementara."

Kebohongan kecil. Namun, keputusan di baliknya jauh lebih besar. Aku tidak terbakar, aku lelah.

Kontrakku dengan rumah ini, dengan hidup seperti ini, hampir berakhir. Aku sudah muak mencoba mendapatkan penghargaan lewat hidangan yang bahkan tak lagi mereka rasakan.

Keheningan menebal. Serina mengerutkan kening.

"Kamu bisa bilang lebih awal. Apa kamu mau kami kelaparan sekarang?"

Nada suaranya menusuk, tetapi Arisa cepat menenangkan dengan sentuhan lembut di lengannya.

"Jangan begitu, Serina. Dario…" Suaranya melunak, sarat nostalgia, "Kamu masih ingat bistro kecil di Swess, dekat kampus dulu? Yang punya sop krim enak itu. Kita sering sembunyi ke sana setelah kelas, ingat? Kamu selalu pesan roti tambahan."

Dia tertawa kecil, menundukkan kepala seolah larut dalam kenangan.

Dan wajah Dario langsung melunak. Senyum yang jarang muncul, kini kembali terlihat.

"Tentu saja. Aku akan membawamu ke sana."

Waktunya sempurna. Aku pun hilang dari pandangan mereka, seperti bayangan yang tak lagi penting.

Dalam perjalanan, mobil penuh dengan tawa dan kenangan yang tak bisa kumiliki. Arisa duduk di depan, memperbaiki lipatan lengan jas Dario dengan gerakan akrab yang terlalu alami. Serina ikut tertawa, menambah keceriaan yang asing di telingaku.

Aku duduk di samping jendela, menatap kota yang berlari di luar kaca. Dunia mereka terasa hangat… tetapi tertutup rapat.

Di tengah perjalanan, Arisa menoleh padaku, tersenyum manis tetapi canggung.

"Maaf, Nona Viona. Kami tidak bermaksud mengabaikanmu. Hanya saja… kamu tidak ada di masa itu."

Bukan hanya masa lalu. Aku tahu aku juga tidak akan ada di masa depan mereka.

Aku hanya mengangguk pelan dan menyandarkan kepala. Dari kaca spion, mata Dario sempat menangkap pantulan wajahku. Ada seberkas kebingungan di sana. Mungkin untuk pertama kalinya, dia sadar aku agak tidak peduli.

Di restoran, aku pamit ke kamar mandi. Air dingin memercik di kulitku, menenangkan panas yang menekan di balik mataku.

Lima tahun pernikahan. Lima tahun memasak, merawat, mencintai. Aku telah menuangkan seluruh diriku untuk rumah ini, sampai tak tersisa apa pun. Arisa memancarkan vitalitas, Serina penuh percaya diri. Sedangkan aku? Aku hanya tampak seperti arwah. Ada, tetapi tak terlihat.

Saat kembali ke meja, hidangan sudah tersaji. Dario sedang berbicara pada pelayan. "Tolong tanpa bawang putih. Arisa tidak suka."

Dia masih mengingat semua tentangnya. Bahkan sekarang.

Lalu, seolah baru teringat akan keberadaanku, dia menoleh sekilas.

"Dan kamu? Ada yang tidak bisa kamu makan?"

Lima tahun dan ini pertama kalinya dia bertanya.

"Makanan laut," jawabku datar.

Makan malam pun dimulai. Dario nyaris tak menyentuh piringnya. Dia sibuk mencelupkan roti ke dalam sop krim, lalu meletakkannya di depan Arisa dengan hati-hati. Tangan mereka bersentuhan. Arisa tertawa lembut dan tatapan mata Dario lembut.

Sementara aku hanya makan diam-diam, setiap suapan terasa hambar seperti menelan abu.

Lalu tiba-tiba, kekacauan terjadi. Dari meja sebelah terdengar suara bentakan. Kursi bergeser, seseorang berteriak. Seseorang meraih panci baja berisi sop panas.

Dalam sekejap panci itu terbalik dan sop isinya yang mendidih menyembur ke depan.

Dario langsung bergerak melindungi Arisa di dalam pelukannya.

Dan aku?

Aku bahkan tidak sempat bereaksi.

Panas itu datang bagai gelombang, menyapu tubuhku dan membakar.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 15

    Kehamilan membawa iramanya sendiri. Mual di pagi hari, mengidam di jam-jam tak masuk akal, dan tekad Dario yang tak pernah surut untuk selalu hadir di setiap momennya. Dia tak pernah mengeluh. Jika aku ingin pasta saat fajar, dia belajar membuatnya. Jika aku terbangun di tengah malam, gelisah dan merasa berat, dia akan mengusap punggungku perlahan hingga aku kembali tertidur.Putri kami begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia menempelkan kedua tangannya yang mungil di perutku, seolah bisa merasakan detak jantung adiknya. "Bayi," bisiknya pelan, lalu menatap Dario dengan wajah serius. "Ayah, jaga Ibu, ya."Dan dia melakukannya. Setiap hari.Ada kalanya aku tanpa sadar mengujinya. Menunggu untuk melihat apakah dia akan lelah, apakah pria yang dulu kukenal akan muncul kembali dengan jarak dan dinginnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dia mengecat dinding kamar bayi sendiri, memadukan warna biru muda dan krem hangat, bersenandung sumbang sementara putri kami ikut membantu dengan ku

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 14

    Setengah tahun berlalu dalam irama yang aneh. Dario dan aku seperti dua planet yang saling mengitari, tak pernah benar-benar bertabrakan, tetapi juga tak pernah benar-benar melepaskan.Dia tak pernah memaksa, tak pernah menuntut. Sebaliknya, dia hanya tetap ada, muncul di saat yang tepat, mempelajari diamku, mengenal tawa putriku.Menjelang Desember, hubungan rapuh kami perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih. Natal tahun itu, hujan menyelimuti kota. Aku mendapati diriku menyiapkan makan malam kecil, menata tiga piring di meja.Ketika Dario tiba di depan pintu dengan membawa pohon di satu tangan dan senyum miring di wajahnya, aku tidak mengusirnya."Tinggallah," kataku, bahkan aku sendiri terkejut mendengarnya.Cahaya di matanya seolah menandakan bahwa aku baru saja memberinya seluruh dunia. Dia menggantung hiasan pohon bersama putriku, membiarkan gadis kecil itu duduk di bahunya untuk menaruh bintang kertas di puncak pohon.Tawa putriku memenuhi ruangan, dan ketika dia memanggilnya

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 13

    Di dalamnya, semuanya terasa… terlihat.Ruang tamu itu sederhana dan lembut, sinar matahari menumpuk di atas karpet wol berwarna hijau muda seperti buih laut. Warna yang pernah kukatakan padanya bisa membuatku merasa tenang.Di atas meja dapur, ada tumpukan rapi buku sketsa kesukaanku dan batang-batang arang gambar. Di dalam kulkas, kaldu, roti segar, buah yang sudah dicuci, serta sebotol zaitun dari toko kecil di Saslia yang dulu sering kudatangi menjelang senja. Tidak ada makanan laut. Tidak ada bawang putih.Kamar putrikulah yang membuat pertahananku runtuh.Rak-rak buku rendah agar dia bisa menjangkaunya sendiri. Sebuah karpet bergambar rasi bintang, lampu malam berbentuk bintang yang memantulkan galaksi di langit-langit, seprai berwarna merah muda pucat dan salem tanpa satu pun sentuhan warna merah menyala.Di atas meja rias, ada boneka kelinci putih berbulu lembut. Kembaran dari yang pernah dia peluk erat di rumah sakit.Di meja makan, selembar catatan tunggal tertulis dengan tul

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 12

    Aku terbangun oleh bunyi klik lembut dari monitor dan keheningan antiseptik khas ruang rumah sakit. Tenggorokanku terasa perih, paru-paruku nyeri setiap kali bernapas. Asap memang punya cara untuk tetap tinggal di dalam tubuh, bahkan setelah apinya padam.Ada sesuatu yang hangat dan ringan di sisiku. Putriku bulu matanya masih basah karena air mata, pipinya kemerahan karena tertidur bersandar pada gaunku.Dario ada di sana.Bukan di pintu, bukan berdiri jauh seperti orang asing, tetapi di sisiku, menemani dengan kesabaran yang tak bisa dipalsukan. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku.Di meja, segelas air hangat menunggu, dengan seiris lemon tipis mengapung seperti koin pucat tanpa madu, karena dia ingat aku tidak suka rasa manis di pagi hari.Dia menaikkan sandaran tempat tidur perlahan sedikit demi sedikit, sampai rasa nyeri di dadaku mereda."Pelan-pelan," katanya dengan suara serak. "Sedikit saja."Dia tidak terburu-buru. Tidak berusaha menambal kehe

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 11

    Setelah pameran itu, Dario tidak berhenti.Setiap hari, selalu ada sesuatu yang dikirim ke vila. Bunga, buku, mainan untuk putri kecilku. Kadang-kadang dia berdiri di seberang pagar besi, menunggu sampai anakku melihatnya.Begitu dia berlari menghampiri, tawanya memenuhi udara. Dario akan berjongkok, meniru setiap gerakannya, tangannya mengikuti permainan si kecil melalui sela-sela besi yang dingin.Aku berusaha mengabaikannya, mengingatkan diriku pada tahun-tahun penuh ketidakpedulian dan pengkhianatan itu. Namun, setiap kali melihat wajah putriku bersinar bahagia saat melihat ayahnya… ada sesuatu di dalam diriku yang perlahan melunak. Sesuatu yang selama ini kupaksa untuk tetap tertutup rapat.Saat putriku tidak ada di rumah, Dario tidak lagi bersembunyi di balik hadiah atau permainan. Dia akan mengetuk gerbang, suaranya rendah dan terdengar rapuh tidak seperti biasanya."Viona, aku minta maaf."Aku menolak membukakan pintu, tetapi entah bagaimana dia selalu menemukan cara untuk berb

  • Anak Rahasia Sang Kepala Mafia   Bab 10

    Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, setelah lulus nanti, aku akan menggelar pameran tunggal pertamaku. Dan kini, saat itu akhirnya tiba. Setiap kanvas telah digantung, setiap lampu sorot disesuaikan, setiap undangan telah dikirim.Ketika temanku menyerahkan daftar tamu terakhir, mataku tertumbuk pada satu nama. Dario.Sesaat, dadaku terasa sesak. Kupikir aku akan panik, ingin bersembunyi dan lari dari semua ini.Namun, ternyata tidak. Tidak ada rasa sakit yang tajam, hanya ketenangan yang sunyi.Aku sendiri terkejut. Bertahun-tahun lalu, membayangkan bertemu dia saja sudah cukup untuk membuatku hancur. Sekarang, aku tahu… aku benar-benar telah melepaskannya.Galeri mulai ramai, udara dipenuhi percakapan dan denting gelas sampanye. Aku berkeliling di antara para tamu sambil tersenyum, memperkenalkan setiap lukisanku.Dan kemudian aku merasakan kehadirannya sebelum aku melihatnya. Aura yang dulu begitu kukenal, menekan halus di kulitku."Viona."Suara itu membuatku membeku sejenak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status