Share

Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan
Anak Sang Mafia yang Dirahasiakan
Author: Lysa_Yovita22

Salah Masuk Kamar?

Ivy merasa seluruh tubuhnya terbakar. Sesuatu yang tak dimengerti olehnya sedang terjadi. "Lu-lucy, kenapa badanku mendadak panas?"

Adik tirinya itu hanya tersenyum tipis. "Itu karena kau belum pernah minum alkohol. Ini reaksi wajar, Ivy. Ayolah, kau memang lugu dan ... bodoh!" 

"Tap-tapi, rasanya semakin panas dan aneh," keluh Ivy, lagi.

"Diamlah! Kau terlalu berisik. Ayo, kita sembunyi di kamar hotel yang disediakan Mike saja." Lucy merasa tak sabar langsung menarik tangan Ivy dengan keras. 

Ivy yang tidak bisa membantah, terpaksa mengikuti semua keinginan Lucy. Ivy, si gadis bermata kehijauan itu, membantu di acara ulang tahun salah satu teman kampus. Menjadi pekerja katering panggilan dari pihak hotel tempat diselenggarakannya pesta. 

Ternyata, Lucy datang sebagai tamu undangan. Ya, kenyataan hidup yang miris. Jika Lucy tampil memukau dengan gaun pesta berharga mahal, Ivy malah mengenakan seragam khas pekerja. 

Kedatangan Lucy ke acara pesta itu punya dua tujuan berbeda. Karena itulah, gadis berambut tembaga itu harus bergerak cepat. Setengah gelas wine yang menjadi media pemulus tujuan, sudah berpindah ke lambung Ivy dan sedang bereaksi saat ini. 

Lucy memastikan berkali-kali nomor kamar yang harus dituju. Tak lucu jika mereka salah kamar dan diusir begitu saja, kan? 

"Lu-lucy, tolonglah. Tubuhku butuh air. Ya, ya, aku harus mandi di bawah shower atau berendam di bathtub." Ivy sampai harus memeluk tubuhnya dengan tangan yang bebas.

"Iya, Cerewet! Sebentar lagi kau akan mendapatkannya. Di kamar pinjaman itu, kau bebas melakukan apa saja." Lucy mendengkus keras.

"Tapi, pekerjaanku belum selesai. Aku tak mau dipotong gaji." 

'Dasar bodoh! Sudah dalam kondisi seperti ini pun, masih sok profesional berkerja!' Lucy sengaja mencengkram erat telapak tangan Ivy.

"Awh, sakit, Lucy!" 

"Makanya kau jangan bawel. Kau mau kita ketahuan dan diusir paksa, hah? Aku tak mau jadi bahan gosip di kampus." Lucy membentak kakak tirinya itu.

Ivy diam. Tak berani lagi melawan. Sampai akhirnya, langkah keduanya berhenti di sebuah kamar yang berada di posisi ujung. "Nah, ini dia. Kau ... masuklah. Mandi atau apalah."

"Lalu kau bagaimana?" Ivy masih sempat mencemaskan keadaan adik tirinya itu.

"Aku akan kembali ke pesta. Nanti setelah kau merasa nyaman, lanjutkan pekerjaanmu. Paham?" Lucy memasang wajah datar.

"Oke. To-tolong mintakan izin atas namaku." Ivy menjilati bibirnya berkali-kali. Ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat gelisah.

"Ya ya. Masuklah." Lucy mendorong tubuh Ivy setelah menekan passcode sesuai pesan masuk yang dikirimkan Payton.

Setelah Ivy masuk, Lucy merapikan rambut berwarna tembaga yang menjuntai lurus hingga sepunggung. Karena Lucy masih harus kembali ke acara pesta dengan penampilan terbaiknya.

Seiring langkah kaki Lucy yang menjauh, Ivy malah berdiri bingung di area foyer. 'Apa aku benar-benar boleh masuk ke ruangan milik orang lain? Bagaimana kalau aku dituduh sebagai pencuri?' 

Ivy bimbang. Namun, rasa gelisah yang terus menyiksa itu membuatnya harus segera mandi untuk membersihkan diri. Maka, dengan agak mengendap-endap, Ivy menjelajahi kamar president suite itu.

Ditelannya ludah ketika melihat ranjang berukuran sangat besar dengan kelambu yang indah. Tak hanya itu, ada sofa bench dengan kain beludru berwarna emas yang sangat mewah. 

"Astaga, aku tak datang ke tempat ini untuk mengagumi semua interiornya." Ivy menepuk kepalanya sendiri. 

Dengan cepat, dia mencari keberadaan kamar mandi. Dan alangkah terkejutnya ketika melihat bilik kamar mandinya. Ruangan itu tidak menyisakan privasi sama sekali.

Seperti kotak kaca yang bisa dilihat dari penjuru mana pun dalam kamar ini. Ivy menelan ludah. "Aku harus bergerak cepat. Agar si pemilik kamar tidak sempat kembali ketika aku menggunakan fasilitas kamar ini."

Ivy pun bergegas menuju kamar mandi itu. Di depan pintu, Ivy menanggalkan semua pakaian yang melekat, lalu berdiri di bawah guyuran air dingin. 

Tanpa disadarinya, ada laki-laki bertubuh besar yang masuk. Seringai nakal muncul ketika melihat sosok berlekuk indah itu sedang sibuk dengan air, dengan posisi tubuh menghadap ke dinding.

Laki-laki itu memposisikan diri tepat di belakang. Tanpa ingin mengulur waktu, direngkuhnya tubuh basah itu dalam dekapan. 

Bagai tersengat listrik tegangan tinggi, Ivy langsung menjerit. Dicobanya untuk melepaskan diri dari lengan kokoh yang melingkar hingga ke perut. "Si-siapa kau? Lepaskan aku!"

Tawa mengejek langsung keluar dari mulut laki-laki yang sudah tak sanggup lagi menahan diri itu. "Kenapa? Bukannya kau sendiri yang datang dan masuk tanpa izin, hm?" 

Ivy menangis. "Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin menumpang mandi saja." 

Ivy tak menyangka kalau keinginannya untuk meredam gejolak membakar di sekujur tubuhnya itu, harus dibayar dengan sangat mahal. Lagipula suara laki-laki di belakangnya itu terdengar asing. Tidak seperti Mike, teman kuliahnya. 

'Lucy pasti salah memilih kamar. Seharusnya, semua orang masih berpesta bersama, kan?' Ivy membatin panik dalam hati. 

"Dalam kamusku, kesalahan harus dibayar dengan hukuman." Sayangnya, lelaki itu malah melakukan hal yang tak pernah dibayangkan Ivy sebelumnya. Jemari tangan itu malah mengelusi titik-titik sensitif yang membuat Ivy linglung.

Ivy sampai harus mengigit lidahnya agar tidak mendesah, ketika jemari lelaki asing itu menyentuh sesuatu di bawah sana. Dengan air mata yang masih terus mengalir, Ivy merasakan sensasi mengerikan. 

"To-tolong, hentikan! Ak-aku hanya salah memasuki kamar, Tuan," pinta Ivy dengan suara memilukan.

Namun, sensasi yang tidak bisa hilang sedari tadi malah semakin menggila. Sekeras apa pun Ivy berusaha menolak, tubuhnya bereaksi berlawanan. 

"Kau akan berterima kasih setelah ini, Cantik," bisik laki-laki bermata biru itu, parau.

Ivy tak tahu harus berbuat apa. Menangis keras pun tak ada artinya. Di satu sisi, dia tak terima dengan pelecehan yang sedang terjadi. Namun, di sisi lain, tubuhnya meminta lebih. 

'Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada tubuhku? Kenapa aku bisa sampai merasakan sensasi aneh seperti ini?' Ivy seperti tak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak. 

Apalagi ketika laki-laki itu dengan lihai memainkan peran, Ivy merasa penuh. Erangan yang sedari tadi ditahan, seakan-akan berlomba untuk dikeluarkan.

"Kau sudah cukup bersih." Laki-laki bertubuh besar itu dengan mudah menggendong Ivy tanpa melepaskan pelukan.

Keduanya saling mengunci tatapan. Ivy seperti terhipnotis. Dia malah terbius dengan mata sebiru lautan itu. Rahang kokoh yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Bibir merah agak tebal dan hidung dengan tulang pipi tinggi. Tampan.

Di atas kasur yang tadi sempat dikagumi Ivy, tubuhnya dibaringkan penuh perasaan. Sesuatu yang mustahil dilakukan oleh laki-laki itu sebelumnya.

 

Kegiatan panas itu berlanjut. Ivy sudah kehilangan kontrol atas diri. Tiba-tiba, laki-laki itu mengernyit heran. Ada sesuatu yang terasa mengganjal.

"Tu-tuan, ke-kenapa berhenti?" Ivy menatap heran. Tubuhnya terasa kehilangan sesuatu yang menipiskan nalar itu.

"Kau ... masih perawan?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status