Share

SIA-SIA

Leon keluar dengan mengenakan bathrobe. Kini dia sudah nampak segar karena baru saja selesai mandi.

Kemudian mata hazel pria itu menemukan bercak berwarna merah yang melekat pada seprai, sangat mencolok karena menodai seprai yang berwarna putih gading.

"Wow, dia benar-benar masih perawan," desisnya lirih.

Krek! Suara pintu terbuka, tidak mengejutkan Leon yang sedang mengusap rambut basahnya dengan handuk.

Leon terlihat sangat santai. Wajahnya berseri-seri persis diliputi kebahagiaan, membuat Marvin Peterson──sekretarisnya yang baru saja masuk, mendadak kebingungan.

"Apa ada sesuatu yang istimewa, Tuan?" tanya Marvin, yang terus memandangi Leon dengan penuh keheranan.

Sebelumnya, bahkan dia tidak pernah melihat pria itu seperti ini.

"Hmm? Tidak apa-apa!" jawab Leon, lalu melirik arloji mahal miliknya yang tergeletak di atas meja sebelah ranjang yang berantakan, dan dengan santai berucap, "Sudah lewat dua jam."

Mendengar hal itu, Marvin menghela napas pelan. Dia menyodorkan berkas pada Leon. Karena kelakukan bosnya yang casanova, dia harus mengundur jadwal meeting. Sampai mendapat ocehan dari beberapa pihak.

Tapi sialnya, Leon justru bersikap acuh tak acuh. Seolah tidak memikirkan resiko apa yang akan dihadapi.

Leon meraih berkasnya, dan tiba-tiba memberikan perintah pada sang sekretaris, "Carilah informasi dari wanita yang tidur denganku tadi malam."

"Memang ada apa dengan wanita itu, Tuan? Apa dia membuat kesal──"

"Oh, tidak, tidak, aku ingin bermain dengannya lagi," Leon menggeleng kepalanya dan dengan cepat menyela, dia menyeringai lebar.

Biasanya dia tidak pernah bermain dengan wanita yang sama, tapi entah kenapa Leon ingin mencobanya lagi. Dan dia yakin kalau Jecy pasti akan datang lagi padanya. Lalu mengemis seperti wanita-wanita lainnya.

Karena baginya, kebanyakan dari wanita memandang materi, dari seorang pria. Akan ada cinta, jika memiliki uang.

Sementara Jecy, yang baru saja keluar dari gedung hotel. Melangkah dengan sangat cepat, dia ingin segera membersihkan tubuhnya yang terasa sangat kotor.

Sementara dering ponsel membuat langkahnya berhenti, dan buru-buru dia menjawab panggilan itu. Yang ternyata dari rumah sakit, tempat neneknya di rawat.

"Halo? Apa? Baik, saya akan ke sana sekarang!" ucapnya memutus panggilan dengan cepat.

**

Tubuh Jecy gemetar. Terguncang ketika mendapat telepon dari rumah sakit yang memberi kabar kalau kondisi neneknya kembali kritis dan harus segera menjalani operasi.

Dia tidak memperdulikan cemoohan orang-orang yang langsung tahu betapa hina pekerjaannya, karena dia datang ke rumah sakit dengan masih memakai gaun merah ketat yang tidak sempat diganti, terlebih ada banyak tanda merah di lehernya. Bahkan dia juga tidak memperdulikan rasa sakit pada tubuhnya.

Sebab, yang lebih penting dari semua itu adalah sang nenek.

Bagi Jecy yang tidak dapat mengingat wajah kedua orang tua kandungnya karena dia masih terlampau kecil saat ditinggal, sang nenek adalah hidupnya. Orang tua yang membesarkannya. Satu-satunya keluarganya.

Setelah mengurus pembayaran untuk operasi, yang bisa dilakukan Jecy sekarang hanya duduk dan berdoa untuk kesembuhan neneknya. Kekhawatiran terlihat di mata yang memerah dan banjir air mata.

Sang nenek selalu merasa dirinya sehat. Tidak pernah memikirkan pusing atau nyeri di kepala. Dia kira itu hanya faktor umur. Kenyataannya terdapat tumor yang tumbuh besar di kepala bagian belakang, menekan berbagai syaraf karena sudah berkembang sedemikian ganas.

Jecy berhutang pada rentenir demi mendapat biaya terapi radiasi dan kemoterapi, karena tidak bisa mengandalkan gaji dari pekerjaan serabutan yang dilakukannya. Namun, upaya itu tidak berhasil menyembuhkan sang nenek.

Pada akhirnya, jalan satu-satunya adalah melakukan operasi yang sangat beresiko, dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal itulah yang mendorong Jecy menjual tubuhnya.

Jika sesuatu yang buruk terjadi pada neneknya, maka Jecy tidak sanggup bertahan lagi. dia tidak tahu harus menjalani hidup seperti apa lagi jika sang nenek memutuskan meninggalkannya sekarang.

Jam demi jam berlalu, sampai Jecy tidak tidak sadar diri dan tidur dalam duduk. Dia terbangun saat mendengar pintu terbuka, tepat di mana dokter yang menangani neneknya keluar dari sana.

Jecy tahu dari ekspresi dokter tersebut bahwa bukan kabar baik yang akan dia dengar. Dia bisa mengetahuinya.

Dia terdiri dan kembali meneteskan air mata, berharap ada sesuatu keajaiban yang terjadi. Berharap ekspresi dokter hanya karena lelah saja. Dirinya masih berharap bahwa neneknya akan tetap hidup dan menemaninya di dunia ini, karena Jecy tidak punya siapa-siapa lagi.

"Operasi telah selesai, tapi saya selaku dokter pemimpin di sini ingin menyampaikan bahwa Mrs. Dania telah tiada, beliau..." Dokter tidak bisa meneruskan kalimatnya.

"Tidak! Tidak mungkin! Nenek saya masih hidup, Dok!" pekik Jecy histeris saat mendengar hal yang tidak diinginkan.

Sang dokter diam dan menggelengkan kepala. Dia menatap penuh rasa duka pada wanita yang sedang menerima takdir.

Maka semuanya sudah jelas. Neneknya telah tiada. Dia tidak berhasil melewati operasi.

"Dokter bilang kemungkinan hidup nenekku masih ada! Kenapa kau berbohong padaku? Kenapa dia tidak mau membuka mata? Bangunkan dia! Bangunkan nenekku!" jerit Jecy membahana, membuat seisi lorong menoleh kepadanya dan memandang pilu.

Jecy langsung memasuki ruang operasi, dia ingin memastikan keadaan sang nenek dengan mata kepalanya sendiri.

Langkahnya pelan, kaki dirasa lemas. Dia menghampiri jasad neneknya dan menatap matanya yang terpejam rapat. Tidak ada lagi kehangatan pada telapak tangannya yang biasa menyentuh pipi Jecy dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Nenek tidak boleh mati sebelum aku mati! Jangan mati, Nek! Aku cucu kesayanganmu, bukan? Aku tidak ingin nenek mati..."

Nenek Diana hanya bergeming. Wanita tua itu benar-benar sudah tidak bernyawa.

"Kumohon padamu, Tuhan! Kumohon! Kumohon! Jangan ambil nenekku!"

Napas Jecy berat, menahan semua getar kehilangan.

Perpisahan terberat adalah melepas seseorang yang sangat kita cintai. Jecy tahu itu sekarang. Dia tidak tahu lagi apa yang menjadi alasan untuk hidupnya sekarang.

Air mata Jecy mengalir deras ketika mencium kening sang nenek yang dingin.

**

Keesokan harinya, prosesi pemakaman dimulai disebuah gereja dekat kediaman Jecy. Hanya sedikit orang-orang yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir mereka.

Jecy ada di barisan terdepan. Dia tidak menangis, tapi matanya sudah terlalu bengkak akibat menangis semalaman.

"Nenek, maafkan aku. Cucumu ini sudah melakukan sesuatu yang buruk untuk mendapatkan uang. Padahal aku tahu nenek pasti membencinya. Pada akhirnya... apa yang telah kulakukan sia-sia. Apakah karena itu nenek meninggalkan aku? Kumohon jangan membenciku..."

Jecy tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi, dadanya terasa terlalu sesak.

Sekarang dia sendirian. Lalu apa yang bisa dia lakukan?

**

Minggu berikutnya Jecy tidak mendapatkan tamu bulanannya, dan beberapa hari kemudian dia mendapatkan kepastian bahwa dirinya tengah mengandung.

Hamil adalah hal terseram di kondisinya saat ini. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapat nasib seburuk ini, bahkan tidak pernah ada dalam bayangannya.

Haruskah Jecy membenci garis takdirnya? Bisakah dia menghadapi takdir yang seolah mempermainkannya?

_To Be Continued_

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tukang Copy
lumayan membangkitkan imajinasi pria......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status