Share

CEK KOSONG

Desah ringan meluncur dari mulut Leon ketika dia menjelajahi seluruh tubuh Jecy dengan tatapannya, dan membuat wanita itu merasa malu.

Jecy dapat melihat ekspresi wajah Leon yang penuh hasrat dan kekaguman. Pria itu merengkuhnya ke dalam pelukan dan terus menciumnya. Hingga akhirnya, dia kini terbaring pasrah di atas kasur empuk yang akan menjadi saksi akan kencan semalam mereka.

Jari-jari solid membelai ke rambut cokelat muda yang benar-benar terasa lembut. Dengan posisi Jecy yang berada di bawah kungkungan pria bermata hazel, kini Leon telah siap untuk menikmati tubuh wanita itu. Mencari kenikmatan dan mematahkan rasa penasaran.

Mulanya, Leon menghirup dalam leher jenjang berkulit pucat itu karena dia benar-benar menyukai wanginya, sambil sesekali menghembuskan nafas beratnya yang membuat Jecy mendesah tanpa disadari. Rasa hangat yang menjalar di salah satu titik sensitifnya itu membuat tubuhnya menegang, apalagi saat lidah nakal itu mulai mengecap rasa kulit mulusnya.

"Tuan!"

Pekikan kecil terdengar kala lidah nakal itu tergantikan oleh gigi Leon yang mulai mengigit pelan dan menghisap kulit leher Jecy yang terasa sedikit manis di mulutnya, hingga tanda merah keunguan mulai muncul di sana.

"Panggil aku Leon!" perintah Leon dengan suara berat yang menuntut.

"Le... Leon..."

Walaupun tangan Jecy berusaha menolak dengan mendorong dada bidang Leon yang seakan terus menekannya, tapi sepertinya semua itu sia-sia. Dia begitu panik, benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Dia merasa dirinya terjebak dalam genggaman seorang monster.

Di sisi lain, Leon justru suka sekali melihat ketidakberdayaan Jecy. Menghadirkan rasa debar tidak ada henti.

Dibelainya pipi wanita itu, memandangi wajah cantiknya dengan tatapan yang terlihat sayu. Senyum tipis tercetak tatkala dia melihat reaksi Jecy yang dianggapnya malu-malu kucing.

Kenapa semua yang dimiliki wanita penghibur itu terlihat sungguh menawan? Padahal, dia sama saja dengan puluhan wanita teman tidurnya sebelum ini. Lantas apa yang berbeda? Kenapa Leon berdebar?

Perasaan ini begitu asing untuknya, dan dia benci mendapati sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, bahkan oleh dirinya sendiri.

Tidak menyangka rasa penasaran yang awalnya bergelayut di batinnya justru menjadi bumerang. Malam ini, Leon ingin semua yang ada pada gadis di bawahnya menjadi miliknya seutuhnya.

"Aku tidak menyangka kau akan seindah ini."

Leon berdiri, dia melepas dasinya, dan satu-persatu kancing kemejanya dia lepaskan. Bunyi berdering membuat Jecy melirik, ternyata bunyi sabuk yang telah dilepas.

Melihat itu, Jecy menahan napas dalam-dalam. Inilah saatnya, dia merelakan kesucian yang selama ini dijaga.

Jecy sudah tidak perduli. Dia terus meyakinkan dirinya jika ini tidak apa-apa. Tidak apa...

"Ya, tidak apa-apa. Gadis pintar."

Jecy tertegun. Mata bulatnya menatap wajah sempurna dan tampan di atas tubuhnya. Pria itu berkata seolah tahu apa yang menganggu pikirannya.

Dua netra beradu pandang.

Leon menggenggam erat kedua tangan kurus Jecy naik ke atas kepala. Karena ini saat dia melakukan aksi sesungguhnya.

Air mata nampak sambil menoleh ke arah samping, Jecy tidak ingin melihat Leon yang tersenyum puas padanya. Tiba-tiba dia merasakan sebuah usapan lembut di ujung matanya, dan mendapati pria itu yang melakukannya.

"Stt," Leon berbisik pelan dengan wajah yang memerah, "Jecy? Bagaimana kau menangis seperti ini? Kita bahkan baru saja memulainya."

Jecy berharap malam ini cepat berlalu.

**

Jecy terbangun ketika hari menjelang pagi, dan begitu terjaga, dia langsung teringat di mana dirinya berada. Dia ada di tempat tidur besar bersama seorang pria. Paha Leon menindih pahanya, bunyi nafas pria itu terdengar berirama di telinganya.

Wanita bermata amber itu berbaring diam sambil menahan nafas, takut kalau-kalau Leon merasa bahwa dia sudah bangun. Dia teringat kembali pada kejadian malam sebelumnya. Jecy ingat betul kelembutan pria itu ketika mencumbunya. Dia bersyukur tidak diperlakukan kasar.

Jecy melirik Leon yang masih terlelap diam-diam. Kepedihan mencabik-cabik hatinya, membuat seluruh tubuhnya terasa nyeri.

Mengigit bibir keras-keras. Merasa muak pada dirinya sendiri yang tidak dapat mempertahankan harga diri dan kehormatannya. Dia tidak mempunyai pilihan lain... dia harus menanggungnya.

Sebaiknya dia pergi segera dengan diam-diam sekarang. Dengannya gerakan hati-hati Jecy perlahan menarik kakinya dari bawah paha Leon dan menggulingkan tubuhnya kesamping ranjang. Sambil menahan nafas diliriknya pria itu. Syukurlah dia tidak terbangun.

Jecy menyipitkan mata dalam keremangan kamar itu, mencari pakaiannya yang berserakan di mana-mana. Tanpa menimbulkan suara dikenakannya pakaian dalamnya serta gaun merahnya, kemudian sepatunya.

"Tulis saja nominal yang kau mau," suara yang datar dan malas itu mengejutkan Jecy.

Dia menoleh ke ranjang dan melihat Leon sedang mengawasinya dengan sorot mata dingin.

"Nominal? Nominal apa?" tanyanya tidak paham.

Tiba-tiba sebuah kertas melayang ke arahnya, yang berasal dari pria itu. Dia memandangi kertas yang ternyata cek kosong.

"Tuliskan nominal yang kau mau, setelah itu keluar," sahut Leon dengan tak acuh. Suaranya terdengar begitu dingin, menunjukkan sikap yang berbeda dari saat keduanya bercinta tadi malam.

Ucapan itu begitu menyakitkan dan semakin membuat Jecy rendah diri. Bukankah memang ini yang dia inginkan?

Kedua tangan Jecy mengepal kuat, bahkan hampir gemetar. Nyatanya bukan manusia yang memainkan peran paling penting di dunia ini, tapi uang.

"Terima kasih," Jecy tersenyum getir dan berucap dingin. Merasa dirinya seakan sangat rendah dan murahan, dia berbalik. Rasa sakit menghujamnya sampai ke ulu hati.

"Oh, tunggu."

Jecy berhenti, tapi tidak menoleh ke belakang, "Apa?"

"Aku khawatir wanita sepertimu akan menggunakan hal itu untuk meminta pertanggung jawaban," kata Leon ringan, "Aku rasa kau sudah membereskan urusan kontrasepsi?"

Tubuh Jecy mengejang. Tangisnya hampir meledak, jeritannya nyaris tak mampu dia redam. Dia bahkan berkeinginan untuk mati pada saat itu juga.

"Tentu saja," sahutnya tenang, meninggalkan kamar itu tanpa menoleh lagi.

Ketika Jecy menutup pintu, dia mengedarkan pandangan ke segala arah, untuk memastikan tidak ada orang di sekitar.

Kemudian tubuhnya merosot hingga terduduk di lantai yang dingin. Tatapannya terlihat kosong. Seketika air mata jauh karena tidak bisa lagi dia tahan.

Jecy menunduk, dan menatap ke arah pangkal pahanya. Rasa nyeri sangat terasa. Diremasnya cek kosong yang digenggamnya. Entahlah, dia sendiri tidak paham kenapa hatinya terasa remuk sekarang.

Setelah ini, bagaimana dia bisa melihat wajah sang nenek lagi?

Bagaimana jika neneknya tahu apa yang telah dia lakukan? Apa dia akan dibenci? Apa neneknya akan kecewakan padanya?

Jecy semakin terisak, menyeka air mata yang terus mengalir. Karena apa yang telah terjadi, benar-benar kesalahan.

Tanpa disadari pintu di belakangnya tidak tertutup dengan sempurna, yang membuat Leon mendengar suara tangisannya.

"Dia... menangis untuk apa?" gumam pria itu bertanya-tanya.

_To Be Continued_

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tukang Copy
agak muter-muter ceritanya Bosque ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status