Share

6. Pengakuan Sabrina

Saya ini terlahir di sebuah panti Pak. Lalu seseorang mengambil saya untuk diasuh, tapi tidak diasuhnya sendiri, melainkan dititip ke ibu yang saya ceritakan itu, Pak."

***

Siska masuk dengan wajah yang terlihat begitu lelah. Aku segera bangkit untuk menyapanya.

"Mama sudah pulang?"

"Iya Pa."

Dia menyalami tanganku lalu menarik diri ini ke kamar.

"Mama mandi dulu ya, Pa. Gerah banget ini."

Kuanggukan kepala sambil mencoba bersandar pada kepala ranjang. Kuhidupkan televisi dan memilih acara berita. Entah kenapa rasa penasaran menghujam dada. Tatkala terdengar dering ponsel di dalam tas milik Siska. 

Kuangkat tubuh untuk kemudian membuka tas itu. Hingga mata berhasil menangkap benda pipih yang kini masih menyala dengan sebuah nama tertera di layarnya.

Sabiq.

Siapa Sabiq? Kenapa aku tidak pernah mendengar nama itu selama ini?

Kucoba mengangkat.

[Hallo.]

Tak terdengar suara jawaban dari seberang hingga tak lama telpon itu justru ditutup. 

Karena penasaran, aku coba kembali menelpon ke nomor tersebut. Tapi sialnya, lelaki itu sudah menonaktifkan handphonenya.

Entah kenapa ada yang tiba-tiba membuat dada ini terbakar. Rasa cemburu dengan seketika merambati hati. Benarkah Siska berselingkuh? Kenapa dia tidak pernah cerita tentang Sabiq padaku?

Rasanya sudah tak sabar menanyakan hal itu. Tapi kucoba untuk menarik napas, serta mengatur degup di dada yang sudah sedemikian berdegup kencang.

Kucoba menyelidiki lebih jauh isi ponsel Siska, sangat terkejut saat menemukan ada dua panggilan dari nama yang sama. Tercatat, pagi pukul sembilan panggilan pertama. Lalu jam setengah satu panggilan kedua.

Kucoba mengecek pesan, masih normal. Lalu lanjut mengecek akun sosial medianya, mulai dari F*, I*, Twitter hingga telegram. Tidak ada yang aneh.

Kuhela napas, dan bersamaan dengan itu, Siska tampak keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit terhenyak mendapatiku memegangi ponsel miliknya.

"Papa lagi ngapain?"

"Papa lagi membongkar semua akun sosial Mama. Bisa Mama jelaskan siapa Sabiq? Kenapa panggilannya bertebaran di dalam ponsel Mama?"

Siska berjalan mendekatiku.

"Oh Sabiq itu Pa, Adik sepupunya Fina. Yang arisan tadi. Jadi kami bertiga itu sedang membangun sebuah usaha jual beli tas, sepatu dan perhiasan Pa. Tadi Mama sekalian transfer uang saham ke rekening Fina sejumlah seratus juta."

"Hah, seratus juta? Ma, Ma, apa kurang jatah yang Papa kasih ke Mama setiap bulan? Kenapa harus buka usaha lagi, sih? Usaha restaurant kita 'kan cukup maju? Gimana kalau usaha yang Mama bangun itu bangkrut atau jika partner Mama itu berniat menipu? Jangankan balik modal, uang Papa yang udah Mama transfer itu malah raib. Papa nggak setuju! Papa minta Mama tarik balik uang Papa!"

"Yah, Papa. Mana mungkin ditarik Pa. Udah dicairkan jadi barang-barang juga. Pokoknya Papa tenang aja, uangnya bakalan balik. Ya Pa? Kasih kesempatan buat Mama buka usaha, Pa. Mama bosan urusi restaurant Papa itu. Bukan jiwa Mama disitu. Papa alihkan saja ke adik sepupu Papa. Biar dia yang pegang kendali keuangan restaurant. Mama mau sukses dengan usaha Mama sendiri. Boleh ya, Pa?"

Dahiku terlipat seketika. Percuma berdebat dengan Siska, adanya kita yang  harus mengalah.

"Papa bilang nggak boleh juga uangnya udah Mama transfer 'kan? Kembalikan kartu kredit Papa? Bisa jadi gelandangan kita kalau Mama yang pegang kartu itu."

Dengan wajah cemberut Siska mengembalikan kartu kreditku. Bisa kupastikan malam ini dia akan memilih tidur dengan menghadap tembok. Biarlah, wanita memang suka seenaknya tanpa berpikir panjang. Semoga usahanya tidak membuat dia terkena sakit jantung. 

*

Sudah waktunya istirahat dari jam bekerja, aku bergegas pulang ke rumah untuk menjemput Sabrina. Urusan administrasi kuliahnya telah kubereskan, tinggal membawanya untuk mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi. 

Tawaran dari salah satu sahabatku yang tak lain adalah rektor di Universitas Muhammadiyah Magelang, mengurungkan niatku untuk memasukkan Sabrina ke UGM.

Sambil menunggu waktunya seleksi, kini aku akan menemaninya untuk membeli semua perlengkapan kuliah. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, terutama buku untuk ikut tes ujian seleksi mahasiswa baru. Dia harus memilikinya agar bisa lulus pada tes nanti. 

Tapi entah kenapa keyakinan bahwa dia akan lulus begitu besar, terlebih jika melihat nilai yang tertera pada ijazahnya. Semoga Allah mudahkan.

Sabrina tampak terhenyak saat kuajak ke mall untuk membeli semua kebutuhannya. Tapi, tak urung langkah kecil gadis itu terikut jua.

"Kapan ujian seleksinya, Pak?" tanya gadis itu dengan binar bahagia.

"Minggu depan. Makanya hari ini kamu belanja semua kebutuhan untuk kuliahmu nanti ya, dan yang paling penting kamu harus memiliki buku untuk pedoman belajar."

Dia tampak mengangguk. Beberapa kali mata ini terus saja diminta menatap wajahnya melalui kaca depan. Teduh wajah Sabrina melempar anganku pada Dina. Bagaimana kabar wanitaku pagi ini, aku bahkan belum sempat mengunjunginya.

Kami sampai di parkiran sebuah mall. Dia tampak terkesima. Menatap bangunan itu dengan wajah berbinar.

"Sudah pernah ke mall?"

Dia mengulum senyuman lalu menggeleng.

"Sudah segini dewasa belum sekalipun ke mall?"

Dia kembali menggeleng.

"Yasudah kalau begitu hari ini kamu boleh nikmati apapun yang ada di dalam sana."

Dia menunduk sembari mengikuti langkahku. Saat tiba-tiba langkah ini terhenti karena seseorang memotong perjalanan. Dia sampai menabrak punggungku.

"Eh, maaf Pak," ucapnya sedikit ketakutan.

"Tidak apa-apa, tapi kamu kalau jalan jangan lihat ke bawah terus. Pandangan itu harus lurus ke depan."

Dia mengangguk paham. Polos sekali anak ini. 

Kini kami sudah sampai di depan hamparan pakaian. Kupersilahkan gadis itu untuk memilih pakaian yang ia suka. Dengan wajah kebingungan ia mulai menilik-nilik yang ia butuhkan. 

Tidak seperti Mira yang jika diajak ke mall dengan segera menyambar pakaian khususnya di gerai pakaian branded. Sabrina tampak lugu dan malah memilih pakaian sembari terlebih dahulu mengecek harga. Apa mungkin ia takut kemahalan? Ah kubiarkan saja dulu sambil melihat seperti apa kepribadiannya.

Hanya lima belas menit, dia kembali padaku sesuai dengan instruksi tadi. Tiga pasang pakaian. 

"Sudah kamu coba pakaiannya?"

Dia menggeleng.

"Oh coba saya lihat."

Kubentang satu persatu pakaian tersebut. 

Tiga buah kemeja, tiga buah rok berbahan katun dan tiga pasang Khimar. Cukup sederhana, tapi pilihan warna dan model cukup elegan. Sangat bertolak belakang dengan Mira yang jika memilih baju sampai berjam-jam. Itupun masih pakai acara tukar beberapa kali setelah dicoba di tubuh. Gadis ini sangat luwes.

"Yaudah coba dites, takutnya malah kebesaran atau kekecilan."

"Sudah pas itu Pak, tidak usah dites lagi. Nanti Bapak kelamaan nunggu."

Aku melirik jam di tangan. Benar juga, jam istirahat sudah hampir habis. Dan aku masih ingin mengajaknya makan.

"Yasudah kita ke gerai sepatu dan tas ya."

Dia mengangguk cepat. Sepertinya amat takut jika waktuku habis. Segera diri ini memproses pembayaran. Setelahnya kami menuju gerai sepatu juga tas. Semua telah selesai dibeli. Kini saatnya mengajak gadis itu untuk mengisi perut.

"Kamu lapar?"

Dia menggeleng. Pasti karena takut aku terlambat balik ke kantor.

"Tapi saya lapar. Mau menemani saya makan?"

Dia menatapku sungkan.

"Apa tidak terlambat balik ke rumah sakit nanti, Pak?"

"Nggak, udah disetel. Tenang aja, ya."

Akhirnya disinilah kami, di depan sebuah meja yang sudah di penuhi oleh berbagai pesanan pengganjal perut.

"Dimakan yang habis makanannya, jangan mubazir."

Aku yang pesan,  malah dia yang kusuruh habiskan. Tapi dia diam saja dan mengangguk.

Pantesan pernah mau diperkosa sama majikannya. Cantik, penurut, dan polos.

Kuperhatikan terus tingkahnya. Diawal dia makan dengan malu-malu, tapi lama kelamaan, mulai menikmati. 

Entah kenapa saat melihat gadis itu, aku merasa separuh yang hilang dari hidupku selama ini seolah kembali. Aku seperti menemukan sosok bayiku yang puluhan tahun tak pernah kulihat wajahnya.

Ya Allah, kemana aku harus mencarinya?

"Kamu bilang ibumu sakit jantung?"

Dia berhenti mengunyah, lalu menatapku.

"Iya Pak."

"Lalu siapa yang menjaga beliau?"

"Saya minta tolong tetangga, Pak. Saya menggajinya lima ratus ribu perbulan. Masih dari uang gaji saya Pak. Sisanya saya transfer untuk beli biaya keperluan ibu sehari-hari sambil ngumpulin untuk biaya operasi pemasangan ring jantung, Pak."

Gigih sekali dia. Aku semakin kagum pada gadis ini.

"Apa kamu yakin dengan uang tabungan itu kamu bisa membiayai operasi ibumu?"

Pertanyaan itu seperti membuatnya terhenyak.

"Tidak Pak. Tapi saya berprasangka baik sama Allah."

"Prasangka baik?"

"Saya yakin pasti ada cara Allah agar ibu saya bisa operasi, Pak. Dan bukankah rejeki dari Allah tidak bisa kita sangka-sangka? Seperti hari ini, saya bermimpi kuliah sudah sedari dulu, Pak. Ternyata melalui tangan Bapaklah Allah mengabulkan doa saya. Dan mimpi saya yang lain, Ibu bisa dioperasi. Saya yakin Allah pun akan menolong saya."

Aku menarik napas mendengar penuturan gadis itu. Seperti mengajarkanku untuk yakin pada Allah, bahwa harap dan doaku pasti akan Allah kabulkan suatu saat nanti.

"Apa saya boleh tau alamat rumahmu?"

Dua bola matanya kini manatapku dalam.

"Untuk apa Pak?"

"Mau bersilaturrahmi saja. Saya ingin tahu siapa yang sudah melahirkan anak seperti kamu ke dunia ini."

Dia kini tersenyum sembari menutup mulutnya.

"Itu bukan ibu kandung saya Pak."

Hah? Aku terperangah.

"Bukan ibu kandung, maksudnya?"

"Saya ini anak titipan, Pak."

"Titipan?"

Kenapa aku jadi semakin bingung.

"Saya ini terlahir di sebuah panti Pak. Lalu seseorang mengambil saya untuk diasuh, tapi tidak diasuhnya sendiri, melainkan dititip ke ibu yang saya ceritakan itu, Pak."

Ya Allah, kenapa dadaku seperti tersentak begini?

"Siapa yang sudah menitipkanmu di rumah itu?"

"Saya nggak tahu Pak. Sampai usia sebegini, saya belum pernah bertemu dengan orang itu. Ibu cuma bilang beliau orang Magelang. Beliau kasihan sama saya makanya beliau minta Ibu merawat. Tapi anehnya, jika kasihan, saya malah dibiarin begitu aja, Pak. Dibiayai cuma sampai berusia lima tahun, setelahnya Ibu Asti yang mencari rejeki untuk menghidupkan dan menyekolahkan saya. Saya malah nanya ke Ibu, jangan-jangan yang sudah membuang saya itu adalah ibu kandung saya. Tapi Ibu bilang bukan. Beliau hanya saudara dekat dari Ibu kandung saya. Saat saya tanya siapa ibu kandung saya. Ibu Asti bilang, ibu saya gila, Pak."

"Hah, gila?"

***

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status