"Sepuluh tahun yang lalu, panti itu sempat kebakaran. Dan tidak ada satupun yang bersisa melainkan debu. Kini berita kematian pendiri panti akan menjadi berita terlengkap yang akan membumihanguskan harapan unt bertemu anakku."
-dr.Fadly.-
***
Mataku terperangah.
"Ini rumahnya, Buk?"
"Eh iya, Pak. Abah Kasim orangnya memang sederhana. Tidak ada sepeserpun dana yang dihadiahkan oleh pemerintah setempat yang tidak ia gunakan untuk keperluan panti. Alhasil, rumahnya dari dulu sampai ia tua ya segini-gini aja," ucap wanita paruh baya yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.
Kami berhenti tepat di depan pintu, namun dari dalam seperti terdengar suara tangis diiringi lafal syahadat.
Wanita bernama Fatimah itu langsung mengetuk pintu. Dan tak lama, pintu rumah tersebut terbuka.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
"Ngopo dengan Abah, Teteh?"
"Abah sedang sakaratul maut."
Ibuk Fatimah berhamburan ke dalam. Dan di sini hatiku hancur. Jika satu-satunya lelaki yang kemungkinan masih mengetahui perihal anakku telah tiada, pada siapa lagi aku bertanya.
Dengan lemah kulangkahkan kaki memasuki rumah gubuk itu. Lalu diri ikut berbaur bersama beberapa orang yang tampak duduk lesehan sembari berzikir.
Selang beberapa menit, terdengarlah ucapan itu.
"Innalilahi wainnailaihi rajiun. Abah sudah tiada."
Isak tangis terdengar pilu, terutama dari sanak keluarga yang ditinggalkan. Sedang di sini, walau tak mengenal lelaki itu, akupun menangis. Menangisi nasib ini yang tak tahu lagi kemana harus bertanya.
Pemakaman selesai, aku turut mengikuti. Hari ini terlalui hanya untuk ikut berbaur bersama orang panti yang baru pertama kukenal langsung sudah seperti saudara.
"Pasti ada jalan yang akan Allah beri. Saya yakin, Pak Dokter."
Salah satu wanita yang tak lain adalah adik kandung Abah berucap siang itu. Selain Abah memang tidak ada satu orangpun yang tahu persis peristiwa-peristiwa masa lampau yang terjadi di panti. Dengan kata lain, hari ini semua sia-sia. Tak ada informasi yang kuperoleh.
Ya Allah ...
Jam kini sudah menunjukkan pukul dua siang hari, aku memutuskan sebelum kembali ke Magelang untuk bertemu sejenak dengan Rizky. Kuputar setir untuk kemudian menuju Rumah Sakit. Saat mobil baru memasuki halaman, kedua netra ini seperti menangkap satu sosok yang tak asing lagi.
Siska?
Dengan cepat aku mencari kemana arah ia berjalan.
Sebuah mobil.
Plat mobil itu?
Itu benar mobil istriku. Kenapa Siska di sini? Bukankah dia sedang mengikuti arisan?
Siska masuk ke dalam mobilnya, tapi tidak duduk di kursi mengemudi, melainkan di kursi samping pengemudi. Lalu, siapa yang menjalankan mobil Siska?
Dengan cepat aku membalikkan setir mobil, mengejar mobil Siska yang sudah lebih dulu keluar dari pagar.
Tet ...!
Aku mengklakson sebuah mobil yang tiba-tiba mundur dan hampir mengenai mobilku.
Pemilik kendaraan tersebut menurunkan kaca lalu meminta maaf.
Ck!
Gara-gara hal ini, aku kehilangan jejak Siska. Kemana mobilnya?
Meski sudah tak kelihatan aku tetap mencoba mencari. Jalanan seputaran rumah sakit sudah habis kulalui, tapi jejak Siska tak kudapati dimanapun.
Tidak mungkin aku salah melihat? Benar itu Siska? Lebih baik aku coba menelpon saja.
[Hallo, Ma.]
[Iya, Papa.]
[Mama dimana?]
[Di tempat arisan, Papa.]
[Lo kok sepi?]
[Iya, ini Mama lagi di mushalla. Shalat ashar.]
[Dhuhur?]
[Eh, iya Dhuhur maksudnya, Pa.]
[Mama daritadi di situ terus? Nggak kemana-mana?]
[Lha, emang kemana, Pa? Acaranya selesai sore. Jadi Mama baru pulang nanti sore.]
[Oh, yasudah. Papa pikir Mama nggak di tempat arisan.]
[Papa dimana ini?]
[Papa lagi di Surakarta.]
[Hah, Surakarta lagi? Ngapain Pa?]
[Ada keperluan sama Risky.]
[Yaudah Papa hati-hati, ya. Assalamualaikum.]
[Waalaikum salam.]
Lega rasanya, tapi kenapa yang kulihat tadi sangat mirip dengan Mira, bahkan mobilnya? Apa mataku yang salah?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepala, tapi tak urung kuputar setir kembali menuju rumah sakit.
Sebelumnya aku sudah memberitahu Rizky tentang kedatangan ini. Dan ternyata, dia sudah menunggu di kantin.
Kami bersalaman sebelum akhirnya sama-sama duduk dengan posisi saling berhadapan.
"Bagaimana, sudah dapat informasinya, Fad?"
Aku menggeleng. Dengan berat mengatakan,
"Pendiri panti meninggal dunia tadi pagi. Aku termasuk yang mengantarkan jenazah beliau ke tanah pemakaman."
"Innalilahi wainnailaihi rajiun. Tidak ada data sama sekali?"
"Sepuluh tahun yang lalu, panti itu sempat kebakaran. Dan tidak ada satupun yang bersisa melainkan debu."
"Sabar, Fad. Aku yakin, jika kamu terus melangitkan doa dengan sungguh-sungguh, Allah akan memperlihatkannya. Bukankah Allah Maha Tahu?"
Ucapan Rizky cukup membuat jiwa tenang. Meski tetap saja, ada kecewa yang membersamai. Rizky berjanji akan membantuku. Meminta bantuan pada beberapa orang untuk membongkar gudang data. Siapa tahu masih ada status bayi tersebut, sekurang-kurangnya bisa tahu jenis kelamin saja terlebih dahulu.
*
Tepat sebelum magrib aku sampai di Magelang. Suasana rumah sepi. Siska belum sampai. Lekas aku mengeluarkan ponsel untuk mengecek keberadaannya.
[Hallo, Ma]
[Ya Pa. Mama masih di jalan, setengah jam lagi sampai.]
[Setengah jam? Bukankah rumah arisan itu masih di Magelang juga?]
[Iya, Pa. Tadi kami sama-sama ke Purwokerto. Jengukin teman SMA yang sakit.]
[Yasudah hati-hati ya, Ma.]
[Iya, Papa.]
Setelah menutup telpon. Aku mencoba memanggil Mira dan Sabrina. Mira duduk si sisiku, sedang Sabrina duduk dengan melipat kedua kakinya di atas karpet.
Ah, entah kenapa ada rasa sakit di sudut hati, melihatnya seperti pembantu. Padahal memang iya tugasnya di rumah ini hanya sebagai ART.
Aku mulai membuka percakapan.
"Mira, Papa berencana memasukkan Sabrina ke salah satu Fakultas di Universitas Gajah Mada. Mungkin di jurusan akutansi. Jadi Papa harap kamu bisa membawanya di mobilmu setiap pagi. Jam pulang, jika tidak sama, nanti biar Sabrina naik angkutan umum. Bagaimana, apa kamu keberatan?"
Mira menatap Sabrina dengan tatapan yang tak bisa kupastikan, senang atau tidak. Tapi jawaban yang anakku berikan sangat membuat hati ini lega.
"Tentu boleh Pa. Walau fakultasnya tidak sama di Kedokteran, tapi Sabrina boleh kok ikut. Aku juga jadi punya teman bicara di dalam mobil."
Seketika wajah tertunduk Sabrina terangkat, dia tersenyum bahagia. Meski dua matanya seketika basah.
"Alhamdulillah, Papa senang mendengarnya. Papa coba mengecek besok ke Fakultas, apa masih bisa didaftarkan dan ikut kelas."
"Iya Pa."
"Yasudah beristirahatlah. Sambil nunggu Mama pulang biar kita makan malam bersama."
Mira terlihat bangkit dari duduknya. Sedang Sabrina masih di tempat.
"Terima kasih, Pak ...."
Dia memanggilku sembari terisak. Wajah masih tertunduk. Sepertinya menangis.
"Terima kasih banyak Bapak, sudah dua tahun saya menjadi ART di dua buah rumah, belum pernah saya temukan majikan yang seperti Bapak. Mereka malah berlaku semena-mena kepada saya. Rumah yang terakhir bahkan majikan lelakinya sempat berusaha merenggut kegadisan saya, Pak. Makanya saya memutuskan untuk berhenti. Tapi saya tidak bisa tidak bekerja, karena ibu yang sudah merawat saya semenjak kecil, sekarang menderita penyakit jantung. Saya harus bekerja demi membiayai pengobatan beliau. Sekali lagi, terima kasih banyak, Pak."
Aku terhenyak mendengar penuturannya. Tentang ibu yang merawatnya, memang ia bukan anak kandung? Kenapa caranya mengatakan seolah ia diangkat dan diasuh oleh seseorang.
Hendak kumenanyakan hal itu, tapi suara klakson di luar rumah membuat Sabrina segera beranjak. Dia berlari kencang ke depan untuk membuka pintu masuk. Beberapa kali Siska memarahinya saat gadis itu terlambat membuka pintu.
Kasihan. Tapi, siapa dia? Kenapa tiap kali melihatnya, aku seperti melihat Dina?
***
Bersambung.
Entah kenapa, melihat sikap Sabrina saya jadi pengen 🥺🥺
Siapa sih dia, benar dia anaknya Dina? Tungguin lanjutannya ya.
Utamakan baca Al-Quran.
Aku memandangi jas putih yang biasa digunakan suamiku saat bertugas. Dia sangat tampan ketika memakai jas ini. Menjadi istri dari seorang dokter, sungguh tak pernah ada dalam khayalan. Terlahir di panti asuhan, dirawat oleh wanita buta. Memiliki kedua orang tua utuh saja aku tak pernah mau membayangkan. Tapi ternyata, rahmat Allah itu pasti. Kebahagiaan buah kesabaran selama ini sempurna kurasakan sekarang.Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Mas Fandy, tak satu kalipun dia membuat perasaan ini terluka. Dia benar-benar suami idaman. Lembut perangainya, santun suaranya bahkan setiap perlakuannya membuatku selalu merindui dan berharap ia cepat-cepat sampai ke rumah. Meski pada kenyataannya semua itu tak mungkin terjadi. Sebab sebagai seorang dokter, dia cukup sibuk dengan segala kerjaannya.Lebih sering sampai di rumah saat matahari sudah hampir tenggelam. Belum lagi kalau kena dinas malam, aku terpaksa tidur bertemankan bantal. Tapi yah sudah resiko menjadi istri seorang dokter. Mau t
Jika aku tahu, pertemuan itu adalah untuk kesempatan terakhir kita bertemu. Aku berjanji tidak akan beranjak, sekalipun di sana, pengantin lelakiku sudah menunggu. Maafkan anakmu, Mama.***Mas Sabri keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengenakan kemeja lengan panjang. Dengan wajah yang tampak basah, lelaki itu berhasil membuat degup jantung ini berpacu kencang. Dia berjalan mendekatiku yang hendak membuka berbagai aksesoris di kepala.Mas Sabri menatap wajahku dari pantulan kaca cermin. Kedua tangannya diletakkan pada pundak. Sungguh, sesuatu semakin bergelenyar aneh di dalam dada."Biar Mas bantu."Cekatan tangan Mas Sabri memindahkan mahkota yang ada di puncak kepala. Sambil terus menatap di cermin.Lalu dia sedikit menekuk dan membalikkan posisi dudukku. Mas Sabri mengajak berdiri.Tatapan kami bertemu. Mas Sabri meminta ijin membuka khimar yang kugunakan. Dia menghela napas sesaat setelah penutup jilbab itu berhasil lepas dari kepala ini."Pertama kali lihat bidadari sedeka
"Kita jalan-jalannya naik motor aja mau nggak?"Mas Fandy bertanya setelah kami kembali ke kamar. Sehabis menikmati makan malam bersama. Kami juga baru selesai melaksanakan shalat isya berjamaah."Em, boleh juga Mas.""Asyik. Yuk ah pergi."Seketika Mas Fandy menggandeng tanganku. Membuat diri ini terhenyak dan menatapnya sejenak."Lo kenapa, 'kan udah halal. Seperti ini pun boleh."Tangan Mas Fandy yang tadinya memegang lenganku kini berpindah ke pundak. Aku hanya tersenyum, aneh jika menolak. Sebab benar kata Mas Fandy, kami sekarang sudah halal. Apapun itu boleh, kecuali yang satu itu. Belum siappp ...Kami melangkahkan kaki bersamaan, menuruni tangga namun terhalangi oleh papa dan mama."Lo pengantin baru mau kemana malam-malam?"Aku meremas jemari, ini semua ide konyol Mas Fandy. Harusnya kami di kamar saja, nonton mungkin atau tidur barangkali. Ck! Mbak Mira sama Mas Sabri aja stay di kamar."Kami mau cari angin segar, Pa. Em, pengen jalan-jalan keliling Magelang sama Sabrina.
"Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan
"Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole