Share

5. Meninggalnya Pendiri Panti Asuhan

"Sepuluh tahun yang lalu, panti itu sempat kebakaran. Dan tidak ada satupun yang bersisa melainkan debu. Kini berita kematian pendiri panti akan menjadi berita terlengkap yang akan membumihanguskan harapan unt bertemu anakku."

-dr.Fadly.-

***

Mataku terperangah.

"Ini rumahnya, Buk?"

"Eh iya, Pak. Abah Kasim orangnya memang sederhana. Tidak ada sepeserpun dana yang dihadiahkan oleh pemerintah setempat yang tidak ia gunakan untuk keperluan panti. Alhasil, rumahnya dari dulu sampai ia tua ya segini-gini aja," ucap wanita paruh baya yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.

Kami berhenti tepat di depan pintu, namun dari dalam seperti terdengar suara tangis diiringi lafal syahadat.

Wanita bernama Fatimah itu langsung mengetuk pintu. Dan tak lama, pintu rumah tersebut terbuka.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

"Ngopo dengan Abah, Teteh?"

"Abah sedang sakaratul maut."

Ibuk Fatimah berhamburan ke dalam. Dan di sini hatiku hancur. Jika satu-satunya lelaki yang kemungkinan masih mengetahui perihal anakku telah tiada, pada siapa lagi aku bertanya.

Dengan lemah kulangkahkan kaki memasuki rumah gubuk itu. Lalu diri ikut berbaur bersama beberapa orang yang tampak duduk lesehan sembari berzikir.

Selang beberapa menit, terdengarlah ucapan itu.

"Innalilahi wainnailaihi rajiun. Abah sudah tiada."

Isak tangis terdengar pilu, terutama dari sanak keluarga yang ditinggalkan. Sedang di sini, walau tak mengenal lelaki itu, akupun menangis. Menangisi nasib ini yang tak tahu lagi kemana harus bertanya.

Pemakaman selesai, aku turut mengikuti. Hari ini terlalui hanya untuk ikut berbaur bersama orang panti yang baru pertama kukenal langsung sudah seperti saudara.

"Pasti ada jalan yang akan Allah beri. Saya yakin, Pak Dokter."

Salah satu wanita yang tak lain adalah adik kandung Abah berucap siang itu. Selain Abah memang tidak ada satu orangpun yang tahu persis peristiwa-peristiwa masa lampau yang terjadi di panti. Dengan kata lain, hari ini semua sia-sia. Tak ada informasi yang kuperoleh.

Ya Allah ...

Jam kini sudah menunjukkan pukul dua siang hari, aku memutuskan sebelum kembali ke Magelang untuk bertemu sejenak dengan Rizky. Kuputar setir untuk kemudian menuju Rumah Sakit. Saat mobil baru memasuki halaman, kedua netra ini seperti menangkap satu sosok yang tak asing lagi. 

Siska?

Dengan cepat aku mencari kemana arah ia berjalan. 

Sebuah mobil.

Plat mobil itu?

Itu benar mobil istriku. Kenapa Siska di sini? Bukankah dia sedang mengikuti arisan?

Siska masuk ke dalam mobilnya, tapi tidak duduk di kursi mengemudi, melainkan di kursi samping pengemudi. Lalu, siapa yang menjalankan mobil Siska?

Dengan cepat aku membalikkan setir mobil, mengejar mobil Siska yang sudah lebih dulu keluar dari pagar. 

Tet ...!

Aku mengklakson sebuah mobil yang tiba-tiba mundur dan hampir mengenai mobilku. 

Pemilik kendaraan tersebut menurunkan kaca lalu meminta maaf.

Ck!

Gara-gara hal ini, aku kehilangan jejak Siska. Kemana mobilnya? 

Meski sudah tak kelihatan aku tetap mencoba mencari. Jalanan seputaran rumah sakit sudah habis kulalui, tapi jejak Siska tak kudapati dimanapun.

Tidak mungkin aku salah melihat? Benar itu Siska? Lebih baik aku coba menelpon saja.

[Hallo, Ma.]

[Iya, Papa.]

[Mama dimana?]

[Di tempat arisan, Papa.]

[Lo kok sepi?]

[Iya, ini Mama lagi di mushalla. Shalat ashar.]

[Dhuhur?]

[Eh, iya Dhuhur maksudnya, Pa.]

[Mama daritadi di situ terus? Nggak kemana-mana?]

[Lha, emang kemana, Pa? Acaranya selesai sore. Jadi Mama baru pulang nanti sore.]

[Oh, yasudah. Papa pikir Mama nggak di tempat arisan.]

[Papa dimana ini?]

[Papa lagi di Surakarta.]

[Hah, Surakarta lagi? Ngapain Pa?]

[Ada keperluan sama Risky.]

[Yaudah Papa hati-hati, ya. Assalamualaikum.]

[Waalaikum salam.]

Lega rasanya, tapi kenapa yang kulihat tadi sangat mirip dengan Mira, bahkan mobilnya? Apa mataku yang salah?

Berbagai pertanyaan memenuhi kepala, tapi tak urung kuputar setir kembali menuju rumah sakit. 

Sebelumnya aku sudah memberitahu Rizky tentang kedatangan ini. Dan ternyata, dia sudah menunggu di kantin.

Kami bersalaman sebelum akhirnya sama-sama duduk dengan posisi saling berhadapan. 

"Bagaimana, sudah dapat informasinya, Fad?"

Aku menggeleng. Dengan berat mengatakan,

"Pendiri panti meninggal dunia tadi pagi. Aku termasuk yang mengantarkan jenazah beliau ke tanah pemakaman."

"Innalilahi wainnailaihi rajiun. Tidak ada data sama sekali?"

"Sepuluh tahun yang lalu, panti itu sempat kebakaran. Dan tidak ada satupun yang bersisa melainkan debu."

"Sabar, Fad. Aku yakin, jika kamu terus melangitkan doa dengan sungguh-sungguh, Allah akan memperlihatkannya. Bukankah Allah Maha Tahu?"

Ucapan Rizky cukup membuat jiwa tenang. Meski tetap saja, ada kecewa yang membersamai. Rizky berjanji akan membantuku. Meminta bantuan pada beberapa orang untuk membongkar gudang data. Siapa tahu masih ada status bayi tersebut, sekurang-kurangnya bisa tahu jenis kelamin saja terlebih dahulu.

*

Tepat sebelum magrib aku sampai di Magelang. Suasana rumah sepi. Siska belum sampai. Lekas aku mengeluarkan ponsel untuk mengecek keberadaannya.

[Hallo, Ma]

[Ya Pa. Mama masih di jalan, setengah jam lagi sampai.]

[Setengah jam? Bukankah rumah arisan itu masih di Magelang juga?]

[Iya, Pa. Tadi kami sama-sama ke Purwokerto. Jengukin teman SMA yang sakit.]

[Yasudah hati-hati ya, Ma.]

[Iya, Papa.]

Setelah menutup telpon. Aku mencoba memanggil Mira dan Sabrina. Mira duduk si sisiku, sedang Sabrina duduk dengan melipat kedua kakinya di atas karpet.

Ah, entah kenapa ada rasa sakit di sudut hati, melihatnya seperti pembantu. Padahal memang iya tugasnya di rumah ini hanya sebagai ART.

Aku mulai membuka percakapan.

"Mira, Papa berencana memasukkan Sabrina ke salah satu Fakultas di Universitas Gajah Mada. Mungkin di jurusan akutansi. Jadi Papa harap kamu bisa membawanya di mobilmu setiap pagi. Jam pulang, jika tidak sama, nanti biar Sabrina naik angkutan umum. Bagaimana, apa kamu keberatan?"

Mira menatap Sabrina dengan tatapan yang tak bisa kupastikan, senang atau tidak. Tapi jawaban yang anakku berikan sangat membuat hati ini lega.

"Tentu boleh Pa. Walau fakultasnya tidak sama di Kedokteran, tapi Sabrina boleh kok ikut. Aku juga jadi punya teman bicara di dalam mobil."

Seketika wajah tertunduk Sabrina terangkat, dia tersenyum bahagia. Meski dua matanya seketika basah.

"Alhamdulillah, Papa senang mendengarnya. Papa coba mengecek besok ke Fakultas, apa masih bisa didaftarkan dan ikut kelas."

"Iya Pa."

"Yasudah beristirahatlah. Sambil nunggu Mama pulang biar kita makan malam bersama."

Mira terlihat bangkit dari duduknya. Sedang Sabrina masih di tempat.

"Terima kasih, Pak ...."

Dia memanggilku sembari terisak. Wajah masih tertunduk. Sepertinya menangis.

"Terima kasih banyak Bapak, sudah dua tahun saya menjadi ART di dua buah rumah, belum pernah saya temukan majikan yang seperti Bapak. Mereka malah berlaku semena-mena kepada saya. Rumah yang terakhir bahkan majikan lelakinya sempat berusaha merenggut kegadisan saya, Pak. Makanya saya memutuskan untuk berhenti. Tapi saya tidak bisa tidak bekerja, karena ibu yang sudah merawat saya semenjak kecil, sekarang menderita penyakit jantung. Saya harus bekerja demi membiayai pengobatan beliau. Sekali lagi, terima kasih banyak, Pak."

Aku terhenyak mendengar penuturannya. Tentang ibu yang merawatnya, memang ia bukan anak kandung? Kenapa caranya mengatakan seolah ia diangkat dan diasuh oleh seseorang.

Hendak kumenanyakan hal itu, tapi suara klakson di luar rumah membuat Sabrina segera beranjak. Dia berlari kencang ke depan untuk membuka pintu masuk. Beberapa kali Siska memarahinya saat gadis itu terlambat membuka pintu.

Kasihan. Tapi, siapa dia? Kenapa tiap kali melihatnya, aku seperti melihat Dina?

***

Bersambung.

Entah kenapa, melihat sikap Sabrina saya jadi pengen 🥺🥺

Siapa sih dia, benar dia anaknya Dina? Tungguin lanjutannya ya.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si fadly terlalu lemot dan kebanyakan bacot. playing victim. sok2an terluka tapi cuman menye2 aja. gampang dikibuli krn yolol. percuma jafi dokter klu dungunya g ketulungan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status