"Ibu mau nyuci lagi? Di mana, Bu?" tanya Fai.
"Belum tahu, Fai. Belum ada yang nyuruh Ibu," jawabku.
Fai mengangguk. Aku mengajaknya tidur agar dia tidak mengantuk ketika bangun sahur nanti.
Tempat tidur kami hanyalah selembar kasur lepek yang sudah usang, diletakkan di lantai karena ranjang satu-satunya yang kami punya sudah dijual untuk membeli beras dan membayar kebutuhan.
Rumah yang kutinggali bersama Fai waktu itu adalah peninggalan ayahku. Sebelumnya, kami tinggal bersama Mas Hendra di rumah gedong. Namun, dijual beserta isinya karena harus menutupi utang dagang. Ketiga toko yang dimiliki Mas Hendra juga dijual. Kami bangkrut, dan Mas Hendra kabur. Alhasil, aku dan Fai harus kembali ke rumah gubuk peninggalan ayahku.
"Bu, Fai lapar," katanya ketika mata hendak terlelap.
"Masih ada nasi dan goreng telur sisa buka puasa tadi maghrib. Sebentar, Ibu ambilkan ya," kataku.
Fai menggeleng. "Bukan, Bu. Fai ingin makan cemilan, bukan makan nasi," lirihnya, memelas.
"Tak ada Fai. Tidurlah, dan doakan Ibu supaya besok dapat rezeki," bujukku, seraya mengusap kedua kelopak matanya.
"Ya Alloh, berilah kami rezeki untuk esok hari." Fai berdoa.
Aku terharu mendengarnya.
*
Setelah salat subuh, aku pergi ke rumah-rumah tetangga untuk menawarkan jasa cuci baju. Biaya hidup yang mendesak, mendorongku harus menyembunyikan urat malu. Jika menunggu pemberian orang lain, perut kami keburu lapar.
Hari itu seandainya dapat uang, aku berniat membelikan sayuran dan bumbu, juga beberapa biskuit dan 'ciki' untuk cemilan Fai.
"Bu, adakah baju kotor yang bisa saya cucikan?" tanyaku pada Bu Mardiyah. Ia adalah tetangga pertama yang kuketuk rumahnya.
"Gak ada, Nis. Saya punya mesin cuci, jadi tak butuh buruh cuci sepertimu. Maaf, ya," jawabnya.
Aku pun berlalu untuk mengetuk pintu-pintu lainnya. Berbagai macam tolakan kudapatkan. Dengan berbagai cara pula mereka menolakku, dari yang halus sampai kasar.
"Subuh-subuh ngetokin rumah orang, ganggu orang tidur aja!"
"Gak ada, Nis!"
"Haduh, kamu ngeganggu aja! Gak ada!"
"Lagian kamu subuh-subuh gini mau nyuci, apa gak dingin? Gak ada, Nis! Cucianku sudah dicucikan orang lain!"
Hampir semua yang menolakku, berbicara sambil menunjuk-nunjuk batang hidungku. Menyesakkan dada. Padahal, menolak dengan cara halus dan kata-kata yang tidak menyakiti hati pun bisa mereka lakukan, tapi kenapa mereka seakan senang mengasariku.
Pagi itu, hingga pukul tujuh, aku keliling tapi tak dapat satu pun orang yang membutuhkan tenagaku.
Pikiranku melayang ke rumah, di sana hanya ada beras, andai hari itu tak dapat uang untuk membeli lauk pun ... aku masih bisa makan dengan garam saja. Tapi kasihan Fai, meski dia akan menurut, tetap saja aku tak tega.
Karena lelah berkeliling, akhirnya aku berhenti di pos kamling untuk istirahat. Memikirkan bagaimana caranya agar dapat uang. Satu-satunya keahlianku hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Matahari mulai menampakkan teriknya, aku menopang dagu sambil merenung, duduk di sebuah bangku besar berbentuk segi empat. Banyak sampah berserakan bekas bapak-bapak meronda semalam, atau mungkin malam-malam kemarinnya, karena sangat kotor di pos kamling itu. Bungkus kopi, cangkang kacang, plastik-plastik bekas makanan, dan banyak lagi ... semua berserakan di atas bangku hingga ke lantai. Gelas bekas kopi yang hanya sisa ampas nya juga berjajar tak beraturan.
Melihat sapu di pojok kanan, aku mengambilnya untuk membersihkan pos kamling itu. Kusapu bangku dan lantai hingga bersih. Sampahnya kubungkus kantong keresek yang kutemukan di sana, dan membuangnya ke tong sampah.
Gelas-gelas bekas kopi pun kuambil dan kubawa ke belakang pos untuk dicuci. Setelah beres, kujajarkan di rak kecil yang tersedia di sana.
Setelah semua bersih, aku pun berjalan pulang ke rumah. Biarlah tak dapat pekerjaan di rumah orang. Dengan membersihkan pos kamling, kuharap tenagaku bisa bermanfaat untuk kenyamanan orang banyak.
Sebuah mobil berhenti di belakangku, saat aku melewati rumah Juragan Guntur. Aku menoleh, dan yang punya rumah ternyata keluar dari dalam mobil.
"Nisa, saya baru aja mau berangkat ke rumah kamu," kata Juragan Guntur.
"Oh, ada perlu apa, Pak?" tanyaku. Berharap dalam hati, beliau akan memberiku pekerjaan lagi.
"Kamu dari mana?" Juragan Guntur balik bertanya.
"Saya habis keliling menawarkan jasa nyuci, Juragan," jawabku.
"Sudah dapat?"
"Belum."
Juragan Guntur mengeluarkan amplop dari saku celananya, dan memberikannya padaku. "Ini upah mencuci di rumah saya selama dua hari. Maaf baru sempat memberikanmu sekarang. Saya sibuk, jadi baru sempat ngambil di bank."
Aku menerima amplop itu dengan tangan gemetar, "ja—jadi ... makanan yang Juragan kirim hari itu ...?"
"Oh, itu lain lagi. Anggap saja waktu itu saya sedekah, upahmu yang ini," jawab Juragan Guntur.
🍂🍂🍂
Aku tengah menonton tausiyah di televisi ketika Dian menjemput Fai untuk ngabuburit. Sore ini Fai masak lebih awal, aku membantunya sebisa yang kulakukan.
"Bu, ayo ikut dengan kami," ajak Dian, membuyarkan lamunanku tentang kenangan hari ke enam bulan Ramadhan tahun 1998 itu.
"Ah, Ibu tak akan ikut. Kalian berdua saja," jawabku.
"Kita mau ke Pantai Pangandaran, Bu. Saya bawa mobil, kok. Kita bisa berangkat bertiga, dan Ibu tidak akan kena angin sore," kata Dian, berusaha membujukku.
"Bukan itu masalahnya. Kalian pergi saja, Ibu lagi nonton tausiyah," titahku.
Fai menarik tanganku pelan-pelan. "Bu, Fai gak enak ninggalin Ibu sendirian. Selama ini, Fai kerja pun selalu kepikiran Ibu di rumah sendiri," bujuk Fai.
"Sudah, tak usah terlalu mengkhawatirkan Ibu. Dulu juga waktu kamu kecil, Ibu sering ninggalin kamu di rumah," kataku pada Fai, sekilas membangkitkan kenanganmya akan masa-masa itu. "Kalian pergi saja!" lanjutku.
Ini adalah kali pertama Fai pergi jalan-jalan tanpaku. Pasti akan terasa aneh baginya. Biarlah. Fai sudah dewasa, sekarang. Saatnya untuk menikmati dunianya sendiri dan tak usah terlalu repot mengurusku. Aku tak ingin jadi orang yang menghalangi kebahagiaannya.
🍂🍂🍂
Dulu, aku sering meninggalkan Fai di rumah sendirian. Sebenarnya khawatir, tapi aku harus bekerja dan keliling mencari pelanggan. Anak itu sudah terbiasa kutinggalkan sendiri. Ia akan bermain bersama teman-temannya, dan pulang ketika hari menjelang sore.
Hari itu, setelah mendapatkan uang dari Juragan Guntur, aku pergi ke toko makanan untuk membeli cemilannya Fai.
"Nisa, ngapain kamu?" sambut Bu Beni ketika aku tiba di tokonya untuk berbelanja.
"Saya mau beli makanan. Biskuit, kue, cokelat, atau yang lainnya untuk Fai. Kira-kira, ada apa aja di sini, Bu?"
Bu Beni melihatku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku tersinggung, tapi ya itu resiko karena orang sepertiku memang tidak pantas berbelanja di tokonya, karena di sana harganya mahal-mahal. Jajanan orang kaya semua. Aku berani datang ke sini, karena uang yang diberikan Juragan Guntur sangat banyak. Kupikir, sekali-kali aku ingin membelikan makanan mahal untuk Fai.
"Memangnya kamu bawa uang?" tanya Bu Beni.
"Bawa, Bu. Ini," kataku sambil menunjukkan uangnya.
"Halah, baru punya uang segitu udah pamer ke saya! Kamu mau pamer aja kan ke saya, gara-gara tadi Subuh kamu sakit hati saya tolak tawaran cucianmu!" hardiknya, membuatku tersentak.
Byurr!
Tiba-tiba saja Bu Beni menyiramkan kopi hitam ke wajahku.
'Astaghfirullohaladzim ....' batinku menangis.
"Bu, saya kan mau beli, bukan mau mengemis. Kenapa menyiram saya dengan kopi hitam?" lirihku. "Rasakan itu, perebut suami orang! Dulu kau merebut Hendra dari Lisna, karena kau matre! Sekarang kau jatuh miskin! Rasakanlah! Sana kau pergi, jangan belanja di tokoku! Tak sudi aku menerima uang darimu!" hardik Bu Beni.Aku menahan air mata agar tak mengalir lebih deras. Kekesalannya padaku adalah hal wajar, aku dulu memang orang sombong yang membanggakan kecantikanku. Aku juga telah merebut suami orang, hingga semua orang membenciku. Kini setelah miskin, aku sadari semua kesalahanku dan bertaubat. Namun, rupanya beberapa orang memang belum bisa melupakan masa laluku. Dan masih mencapku sebagai pelakor.Langkah kaki membawaku pulang ke rumah, bajuku kotor terkena siraman air kopi. Sesampai di rumah, Fai berlari ke arahku, ia baru saja pulang sekolah, masih mengenakan seragamnya yang mulai kekecilan."Kenapa baju Ibu kotor?" Fai bertanya."Ibu terjatuh," jawabku singkat lalu bergegas masuk
"Dih, bicaramu udah kayak ustad aja," seloroh Pak Handoko."Aku mengutip kata-kata seorang bijak, Pak," jawab Dian.Kami semua tertawa. Bu Mardiyah menepuk lengan suaminya, "biarkan Dian 'beraksi' di hadapan calon mertuanya, Pak!" katanya sambil mengedipkan mata, membuat suasana semakin hangat karena kami tertawa lagi."Memang bener, kok. Kita juga pernah mengalaminya waktu usaha Bapak bangkrut dan harus pindah ke desa. Segala macam kesulitan datang bertubi-bertubi," lanjut Dian."Iya betul, Bu. Di dunia ini bukan hanya kalian saja yang pernah mengalami kemiskinan dan hinaan, kami juga pernah!" ucap Bu Mardiyah padaku. "Saya juga kaget ketika mendengar toko kain Pak Handoko bangkrut, jadi ikut sedih. Apalagi kalian langsung pindah dari kampung ini, hilang tetangga baik saya satu-satunya," responku. "Bu Mardiyah tahu sendiri kan, waktu itu semua orang menjauhi saya. Hanya kalian yang masih mau kenal dengan saya.""Ternyata, tidak ada yang kekal di dunia ini. Kekayaan kami harus sirna,
"Justru, itu akan membantumu. Setelah Fai pulang sekolah, kamu bisa mengantarnya ke pondok dan menjemputnya kembali saat pulang kerja. Dengan begitu, kamu bisa tenang meninggalkannya mencari nafkah," kata Pak RT."Pekerjaan saya juga gak tetap, Pak," keluhku."Saya dengar, Juragan Guntur membeli dua mesin cuci. Dia hendak membuka usaha cuci baju, dan membutuhkan pegawai. Sepulang dari sini, cepat-cepatlah kamu melamar ke rumahnya. Siapa tahu jadi rezekimu bekerja di tempatnya. Juragan Guntur tak pernah pelit dalam memberi, gajimu nanti pasti lumayan." Pak RT memberiku arahan.Mendengar kabar itu, aku sangat senang. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kini terbuka lebar. Aku pun pulang dengan melangkahkan kaki sedikit berlari, agar sampai di rumah Juragan Guntur dengan segera, untuk meminta pekerjaan padanya.*"Untung kamu datang tepat waktu, Nis. Sudah banyak yang datang minta pekerjaan. Tapi saya hanya butuh tiga orang, yang dua orang sudah saya tetapkan. Tinggal satu orang lagi,
Di malam takbir tahun 1998, Nyonya Guntur mengalami kecelakaan sepulang membagi THR kepada fakir miskin yang hidup di jalanan. Ia ditabrak orang tak dikenal dan langsung meninggal di lokasi kejadian.Empat bulan setelahnya, aku diperistri Juragan Guntur setelah mendapat keputusan perceraian dari pengadilan agama, dan selesai masa iddah.Pernikahan itu bukan tanpa pertimbangan. Dahulu, Nyonya Guntur menerimaku bekerja di rumahnya bukan hanya untuk menjadi buruh cuci saja, melainkan sekaligus untuk mengasuh Meli. Sehingga ketika Nyonya meninggal, Meli sangat terpukul. Ia tak mau jauh dariku. Aku pulang ke rumah pun, ia selalu memaksa ikut. Karena itulah akhirnya Juragan Guntur menikahiku demi Meli, agar aku setiap hari bisa tinggal di rumahnya.Aku pun menikah dengan Juragan demi Fai. Karena Juragan menjanjikan hidup yang layak untuk kami. Namun, pernikahanku bukanlah pernikahan yang indah. Walaupun orang mengenalku sebagai Nyonya Guntur yang baru, kenyataannya aku tetaplah Anisa Si Bur
*Pernah ada yang bertanya padaku, kenapa bisa mencintai anak tiri seperti anak sendiri. Jawabanku, mungkin karena aku tak memiliki anak kandung, sehingga tak tahu bedanya menyayangi keduanya.Yang kutahu, manusia dibekali kasih sayang oleh Yang Maha Kuasa. Dan itu tidak dibatasi untuk diberikan kepada orang-orang tertentu saja. Kasih sayang, harus kita berikan pada siapa pun yang membutuhkan.Fai dan Meli sangat butuh kasih sayangku. Maka aku pun harus memberikannya pada mereka. Jika boleh berkata bijak, itulah alasanku yang sesungguhnya.Pagi ini aku duduk di teras rumah, di atas sebuah kursi rotan yang masih kokoh walau sudah berpuluh tahun kududuki. Kursi peninggalan orangtuaku, yang tak pernah bergeser posisinya sejak rumah ini masih berupa gubuk, hingga kini telah direnovasi menjadi rumah kekinian yang sangat layak huni. Di atas kursi inilah aku melihat Meli tengah menyiram bunga di halaman. Sesekali matanya melirik ke rumah Bu Mardiyah, berharap bisa menangkap sosok Dian pujaa
Kedatangan Meli membekukan suasana. Ia bak tamu tak diundang, yang tak diharapkan kehadirannya oleh Fai. Sementara, Meli masih berdiri di sana. Ia menatap lekat pada Dian, tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Cincin emas putih melingkar di jari manis Fai, Meli mengalihkan pandangannya pada itu. Ia pasti sudah mengerti apa yang telah terjadi antara Fai dan Dian.Dari sini aku menyaksikan sendiri perubahan raut wajah Meli. Ia kecewa, marah, dan ingin berontak. Genangan di sudut matanya mulai menetes. Namun, itu bukanlah tangisan kesedihan. Sesuatu pasti pernah terjadi antara Meli dengan Dian. "Inikah jawabanmu?" Meli bersuara, seperti meminta kepastian kepada lelaki yang kini telah resmi menjadi calon suami Fai.Dian tampak menahan kaget melihat kedatangan Meli, apalagi ketika mendapatkan pertanyaan itu, ia sama sekali tak berani mengangkat kepalanya dan terus menunduk. Dan Fai ... tak perlu kuceritakan sehancur apa perasaannya saat Meli merusak momen bahagia yang sudah lama
"Cukup!" Aku menghentikan pertengkaran mereka. "Tidakkah kalian merasa kasihan pada mata tua renta ini, setiap hari harus melihat pertengkaran kalian berdua?"Dua pasang mata yang selalu kutatap penuh kasih itu seketika tertuju ke arahku. Mereka baru menyadari keberadaanku. Seketika keduanya diam membisu. "Apa yang kalian ributkan tengah malam begini? Soal Dian? Dia bahkan mungkin sedang tidur saat ini, dan tak memikirkan satu pun dari kalian." "Maaf, Bu," ucap Fai. Suaranya lemah, ia menunduk dengan perasaan bersalah. Kemudian menghambur kepadaku, memelukku yang mulai merasa tak sanggup mengatur kedua anakku ini. "Padahal Fai sudah berjanji tidak akan ribut lagi dengan Meli, tapi malam ini Fai ingkar. Maafkan Fai yang tak bisa hanya diam saja saat Meli ingin merenggut kebahagiaan Fai," lanjutnya dengan isak tangis."Aku hanya ingin memberitahu Fai satu hal, Bu," kata Meli sambil memandang Fai ragu-ragu. "Tapi ...." Meli tak jadi bicara, ia malah berlari ke kamarnya dengan isak tangi
Kata-kata itulah yang ingin kuucapkan pada Fai. Namun, bibir ini kelu untuk mengungkapkan kebenaran tentang calon suaminya. Air mata masih berjatuhan di pipi Fai, atas kepergian Ibu. Rasanya, aku tak tega memberinya kesedihan yang baru. Jadi, kuurungkan niat ini dan menunggu waktu yang tepat di lain hari."Kenapa kau diam saja, Mel? tanya Fai seraya mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku tersadar dari kegalauan."Kau pulanglah lebih dulu. Aku sedang tak ingin bicara denganmu!" titahku dengan nada ketus. Sengaja kupasang muka jutek, agar dia merasa tak nyaman di dekatku dan cepat-cepat pergi. Aku tak ingin melihat kesedihannya, meski aku pun tengah merasakan kesedihan yang sama."Tapi kenapa? Apa kau merasa tersinggung karena tadi aku bicara tentang membeli rumah baru untukmu?" Fai bertanya sambil menyeka air mata dengan ujung jilbabnya, membuatku ingin memeluk dan menenangkannya. Tapi, ah ... aku terlalu gengsi, karena di matanya aku hanyalah 'orang jahat' yang tak punya perasaan. "