Share

Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar
Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar
Penulis: Widanish

Ramadhan Tahun Lalu-Ramadhan Tahun Ini

"Tidurlah, nanti laparmu akan hilang."

Kuusap kelopak mata anak tiriku, dengan tangan gemetar. Betapa tidak, hati ini pilu karena hampir setiap hari perutnya tidak terisi banyak nasi.

"Aku masih lapar, Bu," begitulah lirihnya setiap menjelang tidur.

Anak itu selalu menurut. Setelah ia tertidur, aku selalu memasak secangkir beras hingga pada saat Subuh tiba, beras itu berubah menjadi tiga centong nasi.

Waktu itu sahur pertama di bulan Ramadhan 1998, anak tiriku baru berusia tujuh tahun. Ia kubangungkan dengan perasaan was-was di hati, takut kalau-kalau sudah meninggal dalam tidurnya karena kelaparan.

"Faihatun ... bangun, Nak," kucolek tubuhnya menggunakan jari telunjuk, hati ini sungguh khawatir ketakutan itu akan terjadi.

Alhamdulillah akhirnya ia membuka mata, walau dengan pelan dan tampak lemas.

"Ayo sahur," kata itu kubisikkan di telinganya.

Fai mengangguk, kuminumkan segelas air putih untuk menambah tenaganya. Kemudian menuntunnya ke meja makan.

"Duduk yang benar, Ibu akan ambilkan nasi untukmu." 

Kusendok dua centong nasi untuk Fai, dan secentong untukku. 

"Sahur sama apa, Bu?" Ia bertanya dalam keadaan masih mengantuk.

"Goreng tempe," jawabku.

Pekerjaanku hanyalah sebagai buruh cuci dengan gaji tak seberapa. Aku tak bisa memberi banyak fasilitas dan kenyamanan untuk Faihatun. Tetapi anak itu tak pernah sedikit pun mengeluh, walau seringkali ia terlihat ingin seperti teman-temannya yang berkecukupan. Setiap kali dia minta uang jajan dan aku bilang 'tak punya', maka ia akan mengangguk dan kembali bermain. 

"Alhamdulillah." Fai mengucap syukur seraya mengangkat kedua telapak tangannya, sejajar dengan wajah polosnya. 

Beberapa potong tempe cukup untuk membuatnya bersyukur. Anak kecil itu, entah karena dia memang shalehah ... atau karena takut kepadaku, ia tak pernah meneteskan air matanya. Padahal aku yakin, dalam hatinya ia menyimpan banyak kesedihan.

Fai makan sahur dengan lahap, aku melihatnya dengan mata berlinang. Kasihan, harus hidup menderita bersamaku setelah ditinggal ibu dan bapaknya.

"Boleh gak, pulang sekolah nanti aku main ke makam ibuku?" tanyanya di tengah-tengah makan.

"Boleh, tapi pulang dulu ke rumah. Ganti baju, nanti kuantar," jawabku.

Ia kembali menyuap dengan perasaan gembira. 

Kak Lisna—ibu kandung Faihatun—meninggal akibat serangan jantung, saat mendengar kabar pernikahanku dengan suaminya. Orang menyebutku sebagai wanita perebut suami orang. Dulu, aku begitu menggilai Mas Hendra hingga lupa diri dan merebutnya dari Kak Lisna. 

'Maafkan aku, Kak. Sekarang aku telah menyadari kesalahanku yang telah mengganggu rumahtanggamu,' batinku empat tahun lalu, tepat di sahur pertama ramadhan tahun 1994, ketika mendengar kabar Kak Lisna meninggal.

Setelah kematian ibunya, Fai tinggal bersamaku, waktu itu ia masih berumur tiga tahun. Aku merawatnya semampuku. Awalnya, aku tak sayang. Tapi lama-lama, naluri keibuanku muncul dan pelan-pelan tumbuhlah rasa kasih terhadap anak itu.

"Bapak kapan pulang, Bu?" Fai bertanya lagi, kali ini pertanyaannya membuatku kaget sekaligus bingung. Karena aku pun tak tahu jawabannya.

"Berdoa saja, semoga lebaran nanti bapakmu pulang."

"Berarti masih lama, Bu. Lebaran masih dua puluh sembilan hari lagi," ucapnya dengan nada kecewa.

Aku pura-pura tersenyum menanggapinya. "Sudah, Fai ... lanjutkan makan sahurmu, nanti keburu adzan Subuh," kataku, mencoba mengalihkan perhatian. "Hari ini belajar puasa sampai tamat, ya. Ibu dapat pekerjaan di rumah Juragan Guntur, mudah-mudahan pulang bawa banyak uang biar bisa masak yang enak buat buka puasa."

"Baik, Bu," jawabnya patuh, kemudian melanjutkan makannya.

Namanya Faihatun. Dia anak tiriku. Ditinggal wafat ibunya, dan ditinggal kabur bapaknya. Anak kecil yang tak dapat kucukupi kebutuhannya, dan sering tidur dengan perut lapar.

Berkali-kali aku pernah menyerah, tapi entah mengapa ... di bulan ramadhan tahun 1998, ada hal istimewa yang membuatku bersemangat untuk membesarkannya.

🍂🍂

Kini aku terkenang kembali memori itu, dan air mataku mulai menggenang. Apalagi, harus menerima kenyataan hidup yang seakan 'bercanda', tak kusangka nasib kami berubah baik. Ini antara perasaan sedih bercampur haru.

Namun diantara kenikmatan yang kini didapat, masih ada satu yang kurang, yaitu Mas Hendra—bapaknya Faihatun—belum juga kembali setelah puluhan tahun. Aku tak tahu di mana rimbanya sekarang.

Anaknya—Faihatun—pun kini sudah besar, tumbuh menjadi seorang gadis berusia 30 tahun, dengan karir yang cemerlang. Dua tahun lalu ia diangkat menjadi PNS, dan bekerja di Dinas Kesehatan.

Aku hanya bisa memandangi Faihatun yang tengah mempersiapkan sahur pertama di ramadhan tahun 2021 ini. Dia memaksaku untuk tetap duduk di kursi roda, padahal aku ingin sekali membantunya memasak.

"Sebentar ya, Bu. Itu tempenya tinggal nunggu matang, masih di wajan," katanya seraya menata menu sahur di atas meja, ia tampak ceria dan bersemangat menyambut hari pertama puasa. Paras cantiknya mengingatkanku pada Kak Lisna, Fai mirip dengan ibu kandungnya.

Daging ayam, sayur sop, sambal, tahu dan tempe goreng. Lengkap dengan buah-buahan dan susu kurma. Berbanding terbalik dengan yang kusuguhkan padanya dua puluh tiga tahun yang lalu, saat sahur pertama di bulan Ramadhan tahun 1998.

"Ayo dimakan, Bu, nanti keburu adzan Subuh," katanya. 

Namun aku tak sanggup membuka mulut untuk menyuap makanan, air mataku tak sanggup kubendung lagi.

"Kenapa, Bu? Apa kaki Ibu terasa sakit?" tanyanya khawatir. 

Aku menggelengkan kepala sambil mengusap air mata dengan tisu.

Kaki kiriku memang tak bisa dipakai berjalan, karena mengalami patah tulang akibat terpeleset ketika masih menjadi buruh cuci. Waktu itu aku bekerja lembur di sebuah laundry untuk kejar setoran uang kuliah Fai, rasa kantuk membuatku lalai dan akhirnya menginjak sabun yang tumpah, hingga terpeleset.

"Ibu terharu, teringat puluhan tahun yang lalu saat kita sering kelaparan. Bahkan kau pun sering tidur dengan perut lapar. Karena ketidakberdayaanku mencari uang, kau pun tak mendapat cukup makanan. Sekarang, kau melayani Ibu dengan begitu mulia. Ibu tak pernah sekalipun merasakan lapar selama tinggal denganmu," ucapku tersedu-sedu.

"Jangan bicara seperti itu, Bu. Semua adalah takdir Alloh, Dia telah menggariskan perjalanan hidup kita. Kesusahan yang dulu, tak perlu dikenang lagi. Lebih baik kita bersyukur karena kehidupan kita sekarang berkecukupan," katanya dengan lemah lembut, secercah senyuman merekah di bibir manisnya. Meskipun Fai bukan anak kandungku, tapi dia begitu memuliakanku. 

"Alhamdulillah," ucapku lirih, menahan sedih dan haru.

Fai menghampiri dan berdiri di belakangku, kemudian melanjutkan bicara, "Ibu pun dengan sabar telah merawatku, dari aku kecil hingga saat ini. Meski aku bukan anak kandungmu, tapi kasih sayangmu benar-benar tulus," balasnya seraya mengusap-usap pundaku. "Aku menyayangimu, Bu."

Semakin mengungkapkan kasih sayangnya, semakin keras aku menangis. Andai dia tahu apa saja yang pernah kulakukan padanya, apakah ia masih akan tetap menyayangiku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status