"Fai suapi Ibu, ya," ucapnya, menyendok nasi dengan sesuwir daging ayam. "Kalau lauknya mau ganti, bilang aja ya, Bu," lanjutnya.
Buka puasa di hari ke dua Ramadhan 2021. Aku disuapi Faihatun karena anak itu yang meminta. Di matanya, aku ini sudah renta ... padahal sebenarnya untuk sekedar menyuap nasi aku masih mampu.
"Alhamdulillah tadi Fai dapat uang insentif dari kantor, jadi pulangnya bisa beli lauk yang banyak untuk menu buka puasa. Ini semua kesukaan Ibu, Fai sengaja belikan. Maaf ya, Fai gak masak karena lelah habis bekerja," katanya, sambil menyuap sendokan kedua.
"Sudah cukup menyuapiku. Sekarang giliranmu yang buka puasa. Ibu bisa makan sendiri," balasku seraya mengambil sendok dari tangan Fai. "Makanan ini sangat banyak. Bagaimana kalau tidak habis? Lain kali kalau masak atau beli, secukupnya saja," lanjutku.
Meja makan penuh dengan hidangan. Terlalu banyak untuk ukuran berdua. Mubazir kalau tidak habis, kami tak mungkin memakan semuanya.
"Kan bisa dikasihkan, Bu," jawab Fai.
"Iya, betul. Tapi ngasih makanan sisa itu rasanya ... Ibu tak tega, ah. Kalau mau ngasih, niatkan dari awal, beli untuk memberi orang lain. Jangan berpikir kalau ada sisa baru dikasihkan."
Fai tersenyum, ia paham akan nasihatku. "Jadi ingat waktu kita masih miskin ya, Bu. Waktu itu pas buka puasa juga, di hari ke dua Ramadhan 1998. Tetangga memberi kita makanan untuk berbuka puasa, tapi makanan itu sisa sahur mereka. Rasanya sudah masam dan kecut, basi. Akhirnya kita malah membuangnya," kenang Fai. "Ibu ingat, tidak ... siapa tetangga yang selalu memberi kita makanan sisa?" lanjutnya bertanya.
Aku tahu siapa yang dimaksud Fai. Sampai saat ini, nama itu masih terkenang.
"Sudahlah, Fai. Tak perlu diingat siapa orang yang telah menghinakan kita," jawabku.
"Orang itu tidak niat memberi, Bu. Dia niat mengejek dan menghina dengan memberi makanan sisa yang sudah basi. Masa makanan sudah tercium busuk begitu, masih saja diberikan ke kita, di mana otaknya?"
"Huss. Sudah, gak usah dibahas lagi. Lupakan saja. Itu sebabnya mengapa Ibu selalu menasihatimu agar memberi hanya yang bagus-bagus saja untuk orang lain." Aku menasihatinya.
"Iya, Bu. Maaf. Fai hanya masih teringat dengan hal yang memilukan itu."
Seandainya Kak Lisna masih hidup, tentu ia akan bangga melihat anaknya tumbuh menjadi seperti sekarang.
"Nanti pulang tarawih kita ke toko busana muslim yang di perempatan itu yuk, Bu! Fai ingin membelikan Ibu mukena baru," ajaknya, sembari perhatiannya tertuju pada acara tausiyah di televisi.
"Sudah ah. Kamu ngeluarin uang terus buat beliin Ibu ini-itu. Nanti uangmu habis, lho!" jawabku.
"Kata siapa, Bu? Sedekah kepada orang tua itu tidak akan membuat kita miskin," jawabnya sambil tersenyum. "Tuh dengar, Bu. Tausiyah Ustad di TV," lanjutnya.
Aku hanya bisa tersenyum sambil mengucap syukur ke hadirat Illahi Robbi, anak yang kubesarkan dengan susah payah ini telah tumbuh menjadi anak yang berbakti.
Dan aku juga bersyukur, bahwasanya Alloh telah melindungiku dari perbuatan keji yang dulu hampir kulakukan pada anak itu.
🍂🍂🍂
Hari itu hujan deras, pagi hari di Ramadhan kedua tahun 1998. Fai berangkat sekolah nebeng payung tetangga. Kebetulan tetanggaku punya anak laki-laki seusia Fai.
"Assalamualaikum," ucapku di depan pintu rumah Bu Mardiyah.
Tak lama, wanita muda itu datang. "Ada apa hujan-hujanan datang ke rumahku?" tanyanya.
"Dian mau berangkat sekolah, Bu?" tanyaku lagi.
"Iya, kenapa memangnya?" Bu Mardiyah balik bertanya.
"Bolehkah Fai bareng dengan Dian, Bu? Nebeng payungnya. Fai belum punya payung," kataku, meminta izin.
Bu Mardiyah mengizinkan. Dian pun datang menjemput Fai sekolah. Mereka berangkat sepayung berdua. Jarak rumah dengan sekolah cukup dekat, tapi jika hujan deras seperti hari itu ... mana mungkin Fai bisa berangkat sekolah hujan-hujanan.
Tak mampu aku membeli sebuah payung, padahal waktu itu musim hujan. Uang yang kudapat selalu habis dipakai membeli kebutuhan perut. Itu pun terkadang ngutang. Mana bisa terbeli payung ....
Kulihat jam di bilik kamar. Jam dinding satu-satunya yang sangat berharga, karena kalau jam itu rusak ... entahlah harus dengan apa lagi aku melihat waktu, tak mungkin bisa membeli yang baru.
Jam delapan pagi. Teringat kemarin Juragan Guntur mengundangku lagi untuk mencuci baju di rumahnya. Setiap bulan Ramadhan, keluarga istrinya dari kota selalu berkunjung. Juragan Guntur membutuhkan buruh cuci untuk mencucikan gorden, taplak meja, sprei, dan lain-lainnya. Mertuanya orang kaya, harus disambut dengan keadaan rumah yang bersih dan wangi.
Aku pun berangkat, berharap hari ini mendapat rezeki setelah kemarin bayaranku ditunda. Katanya, uangnya masih di bank, belum sempat diambil.
"Semua cuciannya sudah di ember besar ya, Nis! Kamu rendam dulu pakai detergent lima belas menit, baru setelah itu dicuci. Yang bersih!" Nyonya Guntur memberikan arahan padaku.
"Baik, Nya," jawabku, mengangguk patuh.
Jaman dulu, yang punya mesin cuci baru seorang-dua orang. Dan kebetulan Juragan Guntur belum memilikinya, ia lebih suka meyuruhku untuk mencucikan pakaiannya. Rumah Juragan Guntur sangat besar dan bertingkat, bayangkan saja lebar gordennya seberapa ... dan bukan satu-dua saja, melainkan banyak. Aku harus mencuci semuanya menggunakan tangan. Belum lagi, seprei, baju, taplak meja dan lain-lainnya. Membuatku harus bekerja dari mulai pagi sampai menjelang Maghrib. Kadang jika tak selesai, kulanjutkan esok hari.
"Anisa!" Nyonya Guntur memanggil namaku. "Sudah direndam semuanya? Dapat berapa ember besar?" tanya Nyonya Guntur ketika aku menuangkan deterjen ke dalam air rendaman.
Deterjen itu adalah sabun cuci baju yang hanya bisa kutemui di rumah Juragan Guntur. Jika mencuci di rumah yang lain, aku selalu menggunakan sabun colek karena hanya itulah yang mereka sediakan.
"Sudah, Nya. Ada tujuh ember," jawabku.
"Sambil nunggu direndam, cepat pasangkan gorden, taplak meja, dan sprei yang baru di seluruh ruangan dan kamar, ya. Nanti siang ibu saya datang. Keadaan rumah harus sudah nyaman!" Nyonya Guntur menambahkan perintahnya. Aku pun mengangguk dan langsung melaksanakannya.
Berpuasa dengan berbekal makan sahur nasi dengan kuah sayur sop saja, alhamdulillah membuat tenagaku kuat bekerja dari pagi hingga menjelang Maghrib. Semua kuasa Alloh, karena jika dipikir dengan logika seorang manusia ... harusnya aku sudah pingsan karena kehabisan tenaga.
Hingga menjelang Maghrib, Juragan dan Nyonya Guntur belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal pekerjaanku sudah selesai dan aku sudah lama menunggu di belakang untuk mendapat upah. Tapi mereka rupanya masih asyik menyambut kedatangan keluarganya yang dari kota.
Akhirnya kuberanikan diri menghampiri mereka di ruang tamu, lalu duduk bersimpuh. Dengan menundukkan kepala, aku memanggil Nyonya Guntur dengan sopan.
"Maafkan kelancangan saya, Nyonya. Saya ingin bicara dengan Anda," kataku.
Nyonya Guntur yang mengerti arah pembicaraanku langsung mengajakku ke belakang.
"Nis, maafkan saya juga. Hari ini tak bisa membayarmu lagi. Uangnya masih di bank, suami saya tak sempat mengambil karena tadi keluarga saya keburu datang," katanya.
"Ta—tapi, Bu. Saya sudah tak punya uang. Dengan apa saya harus memberi makan anak saya?" lirihku.
"Kamu pulang saja dulu, saya lagi repot ngurusin tamu," paksa Nyonya Guntur ketika aku kukuh ingin mendapatkan upah sore itu juga. Akhirnya aku pun pulang, karena Nyonya Guntur sudah mulai terlihat jengkel. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berputar-putar mengakali harus masak apa untuk buka hari itu. Di rumah tinggal segenggam beras dan sebuah wortel yang kupunya. Terdengar suara azan maghrib, sekaligus pertanda waktu buka puasa. Aku berjalan sangat lambat hingga tidak bisa mengejar waktu untuk sampai di rumah sebelum magrib. Teringat Faihatun yang seharian kutinggalkan bekerja, sedang apakah dia di rumah sendirian? Perasaanku khawatir, takut terjadi apa-apa dengan anak itu. Apalagi di rumah tidak ada makanan, dengan apa dia akan berbuka?Teganya Juragan dan Nyonya Guntur kepadaku. Sudah dua hari bekerja hingga lelah, namun tak sepeser pun uang yang dibayarkan mereka. Padahal, makanan begitu banyak tergeletak di meja makannya. Tak bisakah mereka memberiku sedikit untuk k
Fai menganggukkan kepala pada Bu Mardiyah sebagai salam hormat. "Itu Fai, ya? Wah ... Fai tumbuh jadi gadis yang cantik," ujar Bu Mardiyah."Iya, Bu." Faihatun tersipu mendapat pujian dari Bu Mardiyah.Aku mendengarkan percakapan mereka berdua yang terlihat sangat asyik. Bu Mardiyah berpindah tempat duduk mendekati Fai."Fai masih ingat sama Dian?" tanya Bu Mardiyah."Iya, Bu. Dian teman Fai waktu masih kecil," jawab Fai."Sekarang Dian sudah jadi PNS. Berkat kamu, Fai ....""Lho? Kok berkat saya, Bu?" Fai terlihat heran. Aku menepuk pundaknya."Di desa, kami hidup sulit. Selepas diwisuda, Dian selalu termenung di teras rumah. Kupikir karena ia frustasi belum mendapatkan pekerjaan. Setelah kutanya ... rupanya ia sedang mengingatmu. Sebagai seorang ibu, tentu saya tahu apa yang sedang dialaminya. Akhirnya saya jadikan kerinduannya padamu sebagai motivasi untuk membuatnya bangkit," jelas Bu Mardiyah.Fai masih tampak kebingungan, atau pura-pura bingung? Entahlah, yang pasti ia sangat t
"Lho, kok malah nanya ... ya suruh masuk, atuh. Kan kasihan," jawabku."Hihi, Fai gugup, Bu ...," kata Fai."Bersikap sewajarnya saja." Aku menasihati FaiSelama ini, Fai tak pernah berpacaran atau sekedar memiliki teman lelaki. Aku cukup mengkhawatirkan hal itu karena usia Fai sudah tiga puluh tahun, usia yang cukup untuk berumahtangga. Sementara aku pun mulai lemah dimakan usia yang menginjak lima puluh delapan tahun. Aku ingin, Fai segera bertemu jodohnya.Tak lama kemudian, Fai mengajak Dian masuk ke rumah dan duduk di sampingku. Mereka tampak serasi walaupun masih malu-malu, karena lama tak bertemu. Seandainya mereka berjodoh, aku sangat senang. Insyaalloh, mereka sama-sama shaleh. Dulu, keduanya tumbuh bersama dan harus terpisah saat menginjak remaja."Bu, apa kabar?" sapa Dian seraya memberikanku beberapa bingkisan buah tangan yang dibungkus hiasan indah."Alhamdulillah," jawabku. "Kudengar, keluargamu kembali pindah ke sini. Saya senang tetanggaan dengan kalian lagi.""Iya, Bu
"Ibu mau nyuci lagi? Di mana, Bu?" tanya Fai."Belum tahu, Fai. Belum ada yang nyuruh Ibu," jawabku.Fai mengangguk. Aku mengajaknya tidur agar dia tidak mengantuk ketika bangun sahur nanti. Tempat tidur kami hanyalah selembar kasur lepek yang sudah usang, diletakkan di lantai karena ranjang satu-satunya yang kami punya sudah dijual untuk membeli beras dan membayar kebutuhan.Rumah yang kutinggali bersama Fai waktu itu adalah peninggalan ayahku. Sebelumnya, kami tinggal bersama Mas Hendra di rumah gedong. Namun, dijual beserta isinya karena harus menutupi utang dagang. Ketiga toko yang dimiliki Mas Hendra juga dijual. Kami bangkrut, dan Mas Hendra kabur. Alhasil, aku dan Fai harus kembali ke rumah gubuk peninggalan ayahku."Bu, Fai lapar," katanya ketika mata hendak terlelap."Masih ada nasi dan goreng telur sisa buka puasa tadi maghrib. Sebentar, Ibu ambilkan ya," kataku.Fai menggeleng. "Bukan, Bu. Fai ingin makan cemilan, bukan makan nasi," lirihnya, memelas."Tak ada Fai. Tidurla
"Bu, saya kan mau beli, bukan mau mengemis. Kenapa menyiram saya dengan kopi hitam?" lirihku. "Rasakan itu, perebut suami orang! Dulu kau merebut Hendra dari Lisna, karena kau matre! Sekarang kau jatuh miskin! Rasakanlah! Sana kau pergi, jangan belanja di tokoku! Tak sudi aku menerima uang darimu!" hardik Bu Beni.Aku menahan air mata agar tak mengalir lebih deras. Kekesalannya padaku adalah hal wajar, aku dulu memang orang sombong yang membanggakan kecantikanku. Aku juga telah merebut suami orang, hingga semua orang membenciku. Kini setelah miskin, aku sadari semua kesalahanku dan bertaubat. Namun, rupanya beberapa orang memang belum bisa melupakan masa laluku. Dan masih mencapku sebagai pelakor.Langkah kaki membawaku pulang ke rumah, bajuku kotor terkena siraman air kopi. Sesampai di rumah, Fai berlari ke arahku, ia baru saja pulang sekolah, masih mengenakan seragamnya yang mulai kekecilan."Kenapa baju Ibu kotor?" Fai bertanya."Ibu terjatuh," jawabku singkat lalu bergegas masuk
"Dih, bicaramu udah kayak ustad aja," seloroh Pak Handoko."Aku mengutip kata-kata seorang bijak, Pak," jawab Dian.Kami semua tertawa. Bu Mardiyah menepuk lengan suaminya, "biarkan Dian 'beraksi' di hadapan calon mertuanya, Pak!" katanya sambil mengedipkan mata, membuat suasana semakin hangat karena kami tertawa lagi."Memang bener, kok. Kita juga pernah mengalaminya waktu usaha Bapak bangkrut dan harus pindah ke desa. Segala macam kesulitan datang bertubi-bertubi," lanjut Dian."Iya betul, Bu. Di dunia ini bukan hanya kalian saja yang pernah mengalami kemiskinan dan hinaan, kami juga pernah!" ucap Bu Mardiyah padaku. "Saya juga kaget ketika mendengar toko kain Pak Handoko bangkrut, jadi ikut sedih. Apalagi kalian langsung pindah dari kampung ini, hilang tetangga baik saya satu-satunya," responku. "Bu Mardiyah tahu sendiri kan, waktu itu semua orang menjauhi saya. Hanya kalian yang masih mau kenal dengan saya.""Ternyata, tidak ada yang kekal di dunia ini. Kekayaan kami harus sirna,
"Justru, itu akan membantumu. Setelah Fai pulang sekolah, kamu bisa mengantarnya ke pondok dan menjemputnya kembali saat pulang kerja. Dengan begitu, kamu bisa tenang meninggalkannya mencari nafkah," kata Pak RT."Pekerjaan saya juga gak tetap, Pak," keluhku."Saya dengar, Juragan Guntur membeli dua mesin cuci. Dia hendak membuka usaha cuci baju, dan membutuhkan pegawai. Sepulang dari sini, cepat-cepatlah kamu melamar ke rumahnya. Siapa tahu jadi rezekimu bekerja di tempatnya. Juragan Guntur tak pernah pelit dalam memberi, gajimu nanti pasti lumayan." Pak RT memberiku arahan.Mendengar kabar itu, aku sangat senang. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kini terbuka lebar. Aku pun pulang dengan melangkahkan kaki sedikit berlari, agar sampai di rumah Juragan Guntur dengan segera, untuk meminta pekerjaan padanya.*"Untung kamu datang tepat waktu, Nis. Sudah banyak yang datang minta pekerjaan. Tapi saya hanya butuh tiga orang, yang dua orang sudah saya tetapkan. Tinggal satu orang lagi,
Di malam takbir tahun 1998, Nyonya Guntur mengalami kecelakaan sepulang membagi THR kepada fakir miskin yang hidup di jalanan. Ia ditabrak orang tak dikenal dan langsung meninggal di lokasi kejadian.Empat bulan setelahnya, aku diperistri Juragan Guntur setelah mendapat keputusan perceraian dari pengadilan agama, dan selesai masa iddah.Pernikahan itu bukan tanpa pertimbangan. Dahulu, Nyonya Guntur menerimaku bekerja di rumahnya bukan hanya untuk menjadi buruh cuci saja, melainkan sekaligus untuk mengasuh Meli. Sehingga ketika Nyonya meninggal, Meli sangat terpukul. Ia tak mau jauh dariku. Aku pulang ke rumah pun, ia selalu memaksa ikut. Karena itulah akhirnya Juragan Guntur menikahiku demi Meli, agar aku setiap hari bisa tinggal di rumahnya.Aku pun menikah dengan Juragan demi Fai. Karena Juragan menjanjikan hidup yang layak untuk kami. Namun, pernikahanku bukanlah pernikahan yang indah. Walaupun orang mengenalku sebagai Nyonya Guntur yang baru, kenyataannya aku tetaplah Anisa Si Bur