"Lho, kok malah nanya ... ya suruh masuk, atuh. Kan kasihan," jawabku.
"Hihi, Fai gugup, Bu ...," kata Fai.
"Bersikap sewajarnya saja." Aku menasihati Fai
Selama ini, Fai tak pernah berpacaran atau sekedar memiliki teman lelaki. Aku cukup mengkhawatirkan hal itu karena usia Fai sudah tiga puluh tahun, usia yang cukup untuk berumahtangga. Sementara aku pun mulai lemah dimakan usia yang menginjak lima puluh delapan tahun. Aku ingin, Fai segera bertemu jodohnya.
Tak lama kemudian, Fai mengajak Dian masuk ke rumah dan duduk di sampingku. Mereka tampak serasi walaupun masih malu-malu, karena lama tak bertemu. Seandainya mereka berjodoh, aku sangat senang. Insyaalloh, mereka sama-sama shaleh. Dulu, keduanya tumbuh bersama dan harus terpisah saat menginjak remaja.
"Bu, apa kabar?" sapa Dian seraya memberikanku beberapa bingkisan buah tangan yang dibungkus hiasan indah.
"Alhamdulillah," jawabku. "Kudengar, keluargamu kembali pindah ke sini. Saya senang tetanggaan dengan kalian lagi."
"Iya, Bu. Saya sangat bekerja keras untuk bisa tetanggaan dengan Fai. Ada sesuatu yang belum sempat saya sampaikan padanya, waktu itu saya keburu pindah ke desa," ungkap Dian.
"Apa itu? Katakan saja sekarang, selagi ada waktu. Mumpung kalian bertemu," bujukku.
Dian mengalihkan pandangan ke arah Fai, menatap Fai sekilas lalu menundukkan kepalanya, tak berani menatap Fai. "Aku menyukaimu, Fai. Bahkan sejak SMP dulu, ketika kita masih berangkat dan pulang sekolah bareng. Aku bersyukur bisa bertemu lagi dan mengungkapkan perasaanku padamu."
Fai agak terkejut mendengar pengakuan Dian yang to the point di malam pertama pertemuan mereka kembali. Namun, Fai juga terlihat senang mendengarnya.
Aku merasa bangga pada Dian, dia tak banyak basa-basi dan langsung menyatakannya di hadapanku. Sikap yang gentleman.
"Gimana, Fai? Kau sudah dewasa, tak usah ragu atau malu," bujukku.
Akhirnya, Fai mengangguk setuju. "Insyaalloh, aku pun punya perasaan yang sama terhadapmu, Dian," jawabnya.
Aku mengucap syukur. Akhirnya, Fai mau membuka hatinya setelah selama ini dia selalu menolak setiap cinta yang datang, dengan alasan takut jadi mengabaikanku jika perhatiannya harus terbagi dengan pasangan.
"Alhamdulillah kau berkenan membalas perasaanku, Fai," ucap Dian pada Fai. Kemudian ia beralih padaku, "Bu, insyaalloh seminggu lagi saya akan melamar Fai. Saya tidak ingin menunda hal baik," katanya.
Fai menyetujuinya, dan aku merestui mereka.
🍂🍂🍂
Di luar, hujan sangat deras. Aku tengah melipat baju di kamar, pada malam Ramadhan ke lima tahun 1998. Beruntung Fai sudah berangkat shalat tarawih sebelum hujan, sendirian, karena aku sedang haid kala itu.
Baju-baju Fai sudah kekecilan. Sudah dua tahun ia tak membeli baju baru, karena aku tak punya cukup uang, sementara bapaknya pun malah kabur dua tahun lalu ... hingga kini belum kembali.
Saat Mas Hendra masih tinggal bersamaku, hampir sebulan sekali ia selalu membelikan baju baru untukku dan Fai. Suamiku itu, dulu terbilang pedagang sukses dengan memiliki tiga toko di pasar. Sejak ia meninggalkanku, aku dan Fai mulai merasakan kemiskinan.
Ketika melipat baju Fai, kenangan-kenangan muncul dalam otakku ... ke masa Fai berusia empat tahunan. Mas Hendra sangat menyayangi anaknya, dan itu membuatku cemburu. Fai selalu menjadi yang terdepan menerima perhatian Mas Hendra. Aku sangat tak menyukai Fai waktu itu. Saat Mas Hendra tak ada di rumah, aku selalu memarahi Fai tanpa sebab. Ketika Fai menumpahkan gelas susu, aku menjewer telinganya sambil mengumpati bocah yang tak tahu apa-apa itu. "Anak tiri menyusahkan saja! Harusnya kau ikut sama ibumu ke liang lahat!" hardikku waktu itu. Dan Fai selalu menangis setiap kuperlakukan demikian. Setelah menjewer telinga, setiap kali Fai melakukan kesalahan kecil, aku mulai berani mencubit, memukul, menjambak, dan tak memberinya makanan. Dan aku selalu mengancam Fai agar tak menceritakan kelakuanku pada bapaknya. Dan Fai akan patuh padaku. Ah, betapa kejamnya aku!
Tepat jam setengah sembilan malam, Fai pulang tarawih diantarkan Dian dengan payungnya. Kedua anak kecil itu terlihat saling menjaga satu sama lain.
"Bu, ini kuantarkan Fai pulang ke rumah. Dan ini ada yang ngasih infak untuk Fai dan Ibu. Aku membantu Fai membawakan keresek ini karena sangat berat, Fai tidak akan kuat menjinjingnya," kata Dian yang pada waktu itu berumur tujuh tahun, sambil menyerahkan satu keresek besar yang berat, dengan kedua tangannya. Dian memang baik akhlaknya sedari kecil. "Aku pamit dulu ya, Bu. Assalamualaikum," lanjutnya seraya mencium tanganku dan pulang ke rumahnya, tanpa sempat aku bertanya dari siapa keresek itu.
Aku pun menyimpan keresek itu ke dapur, dan setelah kubuka, ternyata isinya adalah lima kilogram beras yang masih terbungkus dalam kemasan plastik. Pantas saja berat, batinku.
Alhamdulillah, aku punya stok beras yang lumayan banyak, tinggal memikirkan untuk lauk pauknya. Telur dan persediaan makanan pemberian Juragan dan Nyonya Guntur sudah habis, Fai sangat lahap memakannya dua hari itu.
"Dari siapa ini Fai?" tanyaku padanya yang mengekorku di belakang.
"Dari Pak RT. Katanya infaq untuk kita," jawabnya.
"Alhamdulillah, Fai. Alloh memberi kita beras lewat Pak RT," kataku, mengajak Fai mengucap syukur. Anak itu mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah polosnya.
"Bu, infak itu apa?" Fai ikut jongkok denganku yang tengah memindahkan beras itu ke ember kecil. Fai begitu polos melontarkan pertanyaan itu.
"Infak itu sedekah, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan," jawabku.
"Yang bisa infak itu orang kaya, kan, Bu? Mereka punya banyak makanan untuk diberikan pada kita yang tak punya?" lanjutnya lagi bertanya.
"Iya, Fai," jawabku sambil mengusap kepalanya.
Faihatun tampak termenung. "Bu, kita bisa berinfak gak? Fai ingin infak, Bu!" celetuknya dengan begitu semangat.
"Insyaalloh bisa, Fai. Makanya, Fai harus belajar yang rajin, yang pintar ... sekolah yang tekun. Karena dengan bersekolah, Fai akan punya keahlian yang bisa bermanfaat ketika Fai dewasa, nanti" jelasku.
Walaupun tampak tak mengerti, tapi Fai menganggukkan kepalanya.
"Bu," panggilnya lagi. Kalau sudah begitu, tanda-tandanya Fai akan kembali bertanya. "Orang kaya berinfaq dapat pahala. Orang kaya itu orang berguna, ya ... sementara kita yang miskin ...?" Fai menundukkan kepalanya dan tak melanjutkan pertanyaan.
Aku tahu arah pembicaraan Fai. Entah mengapa dia bisa punya pikiran seperti itu.
"Fai, siapa bilang orang miskin tidak berguna? Orang kaya berinfak untuk dapat membantu urusan dunia kita, dan insyaalloh mereka dapat pahala untuk bekal di akhirat. Sementara, kita dapat membantu urusan akhirat mereka, dengan menerima infak dari mereka. Semua orang hidup di dunia ini saling bergantung satu sama lain, Fai. Kamu masih kecil, mungkin belum mengerti. Nanti setelah dewasa ... kamu akan paham apa yang Ibu katakan sekarang," jelasku sambil memeluk tubuh mungilnya yang kurus, dan mengusap rambutnya yang panjang sepunggung.
Getir hatiku setiap Fai bertanya tentang kaya dan miskin
"Fai mau berinfak, Bu," katanya sambil meneteskan air mata.
"Kalau kamu mau berinfak, tak harus menunggu kaya. Doakan semoga besok ada yang nyuruh Ibu nyuci lagi. Biar kamu punya uang jajan, nanti berbagilah dengan teman-temanmu yang tak bisa jajan," lanjutku.
Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. “Itu Dian, Fai,” ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. “Aku tahu,” jawabku. “Kalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,” lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. “Dari mana aku harus mulai bicara?” tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. “Ayo kutemani,” bisiknya. “Kau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.” Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. “Kau yakin, Mel?” tanyaku. “Soal apa?” “Kau sudah mengikhla
“Pelankan suaramu, Fai!” titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. “Fai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak
Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i
“Siapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, “ jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. “Kalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. “ Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. “Gak suka, ah. Geli, “ balas Meli. “Ayo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.” Ayah membujuk
“Ya, itu buktinya,” ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya ‘simeut’. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. “Dari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?” tanyaku. “Tadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!” jawab Meli dengan raut wajah gembira. “Katanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.” Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. “Oh ya, aku sama sekal
“Sudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,” jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, “kenapa, Di?” “Benar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,” jawab Bu Mardiyah. “Setelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.” “Bu—“ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. “Benarkah itu, Di?” tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. “Ah, jangan