Share

4. anakku

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-07-03 09:42:21

Melihat gesturnya yang sudah ketakutan dan merasa tidak enak seperti itu aku langsung mendekat dan menarik kerah pakaiannya.

"Mana anakku Kang, mana di Dede, mana Kang, mana Dimas!"

Karena tak suka ditarik-tarik dia mendorongku hingga jatuh terjerembab ke lantai, keluargaku emosi melihat sikap kasar Kang Agus dan hendak maju untuk memukul mereka namun ditahan oleh Pak RT. Si wanita yang sok jagoan itu langsung maju dan menghalangi tubuh  Kang Agus dengan badannya.

"Jangan lancang kalian semua, ini rumahku, aku bisa panggil polisi!"

"Rumah yang kau dapatkan dari merampok suami orang, kau sungguh benalu yang sebenarnya, sekarang beritahu mana anakku! Mana dia?!"

"Kamu harusnya terima kasih aku dan ibuku masih mau ngurus anak kamu, bukan kayak orangtuamu yang sudah renta tak bisa berbuat apa apa!" tudingnya dengan mulut pedasnya.

"Jangan bohong, orang tuaku bukannya tidak mau mengurus anakku, tapi kalian yang mencegah mereka! ayo Kang Agus, tunjukkan anakku dan tunjukkan juga mana aset yang sudah kau beli dari hasil kerjaku, aku tak mau tahu, semua itu harus ada sebelum kamu kubawa ke kantor polisi!" teriakku emosi.

Akhirnya atas suruhan Pak RT Kang Agus dan  istri barunya mau mengantar kami ke tempat di mana dimas disembunyikan.

Kami bermotor, beriringan menuju sisi kampung yang sudah jarang dengan penerangan. Kang Agus dan Rina yang selalu menyertai bermotor di depan dan aku bersama sepupuku. Kupandangi siluet suamiku yang yang dipeluk wanita lain, rasanya sakit hati ini dan tak menyangka mengapa akhirnya aku bisa berbagi suami.

Selain itu tak lupa kutelpon polisi untuk segera datang menyaksikan kejadian ini dan berjaga-jaga barangkali ada hal yang tak diinginkan terjadi.

"Aku sudah telpon polisi, jika ada apa apa dengan Dimas, kalian akan langsung ditangkap," ungkapku dengan tatapan dingin ketika motor kami saling sejajar.

"Sok atuh, aku gak takut,  kami udah bagus urus anak kamu," ucapnya.

Semakin lama semakin masuk kami ke dalam hutan, melewati rimbunnya pohon bambu yang menutup cahaya bulan, agak seram dan sepi sekali, jalannya pun bukan jalan aspal melainkan jalan setapak berbatu, sebelah kanan ada hutan dan kirinya bentangan kebun dan sawah penduduk. Aku kemudian berpikir,

"Dari jarak yang cukup jauh ini, apa anakku bisake sekolah dengan berjalan kaki, apakah selama ini dia sungguh sekolah? Jangan jangan dia tidak sekolah, ah ya Allah."

Seingatku saat bertanya kali pergi ke luar negeri umur tari empat tahun dan umur Dimas setahun, kutinggalkan bocah yang belum sempurna menyusu itu demi kehidupan keluarga kami yang lebih baik. Dulu, jangankan beli susu, mencampur air dengan gula ke dalam botolnya saja, aku tak mampu, saling sulitnya perekonomian keluarga kecil kami, makanpun kalau bisa sekali sehari itu sudah amat disyukuri.

"Sekarang umur tari sudah sembilan, dan Dimas enam tahun, jadi  secara teknis putraku sudah sekolah, minimal TK. Jika sesampainya di sana, kutemukan anakku tidak disekolahkan, maka akan kubuat hidup Kang Agus berada dalam kepedihan panjang." Aku membatin, hingga kami sampai di sebuah kebun yang agak luas dan minim penerangan. Motor kami berhenti, Rina memanggil ibunya dan tak lama kemudian, Lamat Lamat di kegelapan seorang wanita paruh baya tertatih-tatih datang dengan lampu petromax di tangannya.

"Siapa yang datang Rin, kok rame?"

"Ini Bu, ibunya Dimas mau ketemu," ucap wanita itu dengan wajah yang sudah tak karuan rupanya.

"Oh, i-itu ya ... anu dimasnya di rumah Kang Sardimu," ucap wanita itu.

"Jadi dia tidak disini?" tanyaku pada wanita yang terlihat mengulur-ngulur waktu itu.

"Enggak ada di sini," jawabnya.

"Lalu siapa Sardi?"

Rina dan ibunya saling pandang dan terlihat gugup sekali tentu saja perasaanku semakin tidak karuan menyaksikan gelagat mereka.

Tak payah lama bicara, aku segera mengedarkan diri ke kebun itu, rimbun pohon mangga dan gelapnya suasana membuat aku nyaris kesulitan melihat keberadaan seseorang.

"Dimas ... Dimas ...."

"Kamu itu nggak percayaan banget sih,"  ucap Rina.

"Aku benar-benar penasaran dengan keadaan anakku. Apakah kamu benar-benar mengurusnya dengan baik? apakah kamu menyekolahkan dia, apakah kamu memberinya makan dengan layak, aku sungguh ingin tahu?" Jawabku berkacak pinggang.

"Begini saja Nyai,  besok aku antarkan Dimas mari kita pulang saja."

"Pulang ke rumah yang mana, Apa kau masih ingat pulang ke sukamaju? Apa kau masih ingat punya anak perempuan? Kuliah Kamu sangat akrab dengan anak tirimu, bahkan dia memanggilmu Bapak, Apa kau memperlakukan aku dengan cara yang sama?" Pria itu tidak menjawab melainkan hanya menunduk saja.

Tidak lama seorang petugas Bhabinkamtibmas datang dan langsung menyambangi kami. Dia bertanya apa gerangan yang tengah terjadi dan sepupuku mulai menceritakan semuanya dari awal sampai akhir, sementara aku terus berusaha memanggil-manggil Dimas.

Lamat-lamat terdengar suara batuk-batuk dari seorang bocah laki-laki, aku terdiam dan mencoba memindai suara tersebut untuk memastikan.

"Di mana anak saya itu suara batuknya?"

"Ah, tidak ada siapa-siapa di kebun ini, ayahnya Rina sudah meninggal dan hanya saya sendiri," jawab ibunya.

"Jangan Bohong!"

"Dimas, ini ibu ...!" Aku memanggilnya dengan hati yang sudah tidak karuan rasanya.

"Ya ... huk ... uhuk ....." Suara itu terdengar samar dan parau.

"Dimas ...."

"Ya ...."

Upin dari tempat itu dan tidak lama kemudian menggunakan senter hp poliponic milikku, call center di tempat itu dan ternyata ada rumah pohon yang terhubung dengan tali tali panjang yang tidak bisa kuketahui ke sampai di mana ujungnya.

Biasanya masyarakat daerah menggunakan tali tali tersebut untuk menggerakkan dahan pohon demi  menghalau monyet-monyet yang datang merusak kebun mereka.

Rumah pohon itu amat tinggi dan tidak punya penerangan.

"Dimas ... Ini ibu, Ibu pulang nak," ucapku dengan dada membuncah, aku menangis mendapati anakku diasingkan dengan cara demikian, ia harus tinggal di sebuah rumah pohon tanpa penerangan seperti seorang penderita kurap yang harus dijauhi.

"Dimas, turun, Nak," ucapku.

Polisi mulai, menyalakan senter begitu pula sepupuku yang meminta kepada ibunya Rina sebuah senter dan petromak, Pak polisi naik menjemput Dimas dan menggendongnya di punggungnya turun dari rumah pohon yang cukup tinggi dan curam dengan tangga yang terbuat dari bambu.

Ketika turun alangkah hancurnya perasaan ini melihat anakku, bajunya sudah lusuh dan kekecilan, kancing-kancingnya juga sudah lepas, tubuhnya bau, dan ketika kuperiksa seluruh tangannya dipenuhi koreng yang sudah bernanah, wajahnya suram, serta  matanya yang cekung dan berkantung hitam bukti bahwa sepanjang malam anakku tidak diperbolehkan tidur. Badan Dimas ringkih, kurus kering, dan ketika kuraba, ternyata Dimas sedang sakit, suhu tubuhnya sangat tinggi.

"Kamu demam?"

"Iya, tapi gak apa-apa, Dimas Tetap jaga kebun Kok, gak ada monyet datang," jawabnya polos, tentu hatiku hancur berkeping-keping mendengarnya. Tidak seharusnya  bocah sekecil itu yang harus menanggung beban yang pilu dan menyakitkan.

"Ya Allah ... Nak,  ya Allah ...." Hanya itu yang bisa aku ungkapkan, aku terjatuh berlutut memeluk anakku,  tubuhku lemas dan  sambil berurai airmata aku tak kuasa menahan perasaan yang sejak tadi menekan batinku.

"Teganya kalian, Ya Allah, Dimas ...." Aku tergugu memeluk anakku yang masih nampak bingung, mungkin dia tidak mengenal wajahku karena aku tinggalkan dia saat masih berumur 1 tahun.

"Ini Ibu, Nak, ibu pulang, ibu akan bawa kamu pulang," ucapku menangis, sementara roman wajah anakku mulai mengerti dan dia pun menangis, seakan meluahkan semua beban dan ketakutannya selama ini. Kami berpelukan di antara sedih yang mendalam.

Dari balik cahaya petromak yang cukup terang, aku menghidu aroma amis di kepala anakku, ketika aku  subak rambutnya, ternyata koreng juga memenuhi kepala dan parahnya lagi kutu-kutu  nyaris penuh menutupi  rambut anakku.

"Allahu Akbar, penderitaan macam apa yang sudah kau berikan pada anakku Kang Agus!" Aku berteriak kencang sekali, hingga  suaraku memenuhi kebun itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   12

    Setelah adzan berkumandang, aku langsung menunaikan salat Subuh dan memeriksa sisa infus anakku. Fajar mulai menyingsing ketika seorang suster datang dan memeriksa Dimas."Suster apa anak saya sudah bisa dikeluarkan hari ini?""Kita tunggu dokternya ya, Bu," jawab suster itu sambil tersenyum."Ok, sus, terima kasih."Akhirnya pukul 9 pagi dokter dokter datang dan langsung memeriksa Dimas. Dia mematikan keadaan anakku sebelum benar-benar dikeluarkan dari Rumah sakit."Nantinya setelah sampai di rumah mohon agar diperhatikan kebersihannya, minum obat yang teratur dan oleskan salep sehabis mandi," uca dokter dengan ramah padaku."Iya, Dok, siap.""Dijaga dengan baik ya Bu anaknya.""Insya Allah, Dok, Terima kasih telah merawat dan membuat keadaan anak saya menjadi lebih baik," balasku."Sama sama, Mbak, kami senang membantu."*Tepat pukul 10 kami menaiki motor dan pulang ke rumah. Tiba-tiba terbersit niat dalam benakku untuk mampir di kantor polisi dan memperlihatkan kepada para petu

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   11

    Setelah kumpulan pria-pria itu pergi dari rumah aku dan pamanku langsung berangkat ke rumah sakit untuk menjaga Dimas.Sepanjang hari ini aku telah begitu sibuk sehingga belum bertemu dengannkua sejak pagi tadi.Ketika sampai di pertigaan dekat rumah sakit, ada sebuah toko kue yang memajang aneka kue tart dan manisan menggiurkan di dalam etalasenya. Kupikir untuk menyenangkan hati Dimas, aku berencana untuk membeli sepotong, dia mungkin akan menyukainya."Mang, ke pinggir bentar, aku mau beli kue untuk Dimas," ungkapku."Oh iya," jawab si Mamang."Tunggu ya, Mang, sebentar."Kususuri trotoar lalu masuk dan membeli kue untuk Dimas dan sepupu yang kebetulan datang juga ke rumah sakit. Usai dari sana kulanjutkan perjalanan masuk ke rumah sakit.Ketika sampai kudapati anak tengah duduk dan bercanda bersama tante dan omnya, terlihat Dimas sudah mulai mau tersenyum dan terbuka."Gimana kabarnya sekarang, Nak?" tanyaku sambil mengecup keningnya."Baik," jawabnya masih menunduk malu.Waj

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   10

    Malam hari aku dan keluargaku berkumpul, menggelar tikar lalu makan bersama habis salat isya. Banyak hal yang menjadi pokok bahasan dan cerita tentang peristiwa yang terjadi selama aku tidak berada di rumah.Cerita tentang Emak yang pernah kepepet meminjam uang Kang Agus untuk membayar obat bapak, atau penuturan bapak yang suatu ketika hampir dibacok menantunya sendiri karena pernah melarang Kang Agus untuk menikah lagi.Bapak menentang dengan keras hubungan suamiku dengan Rina karena beliau tahu bahwa di luar negeri aku bekerja sekuat tenaga demi kehidupan rumah tanggaku yang lebih baik. Bapak mencegah semua itu terjadi karena dia tahu bahwa itu akan melukaiku dan anak-anak."Sebenarnya kami semua ingin menghubungi kamu tapi sudah beberapa kali ditelusuri kami tidak mendapatkan nomor teleponmu," ucap Mamangku."Iya, kami geram sekali dengan tingkah Agus ingin mengadukan hal itu padamu tapi sayang mungkin Tuhan tidak mengizinkannya," timpal si Bibi."Mungkin Tuhan merancang kejadian

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   9

    Di saat yang sama aku melihat polisi menggiring Rina menuju ruang pemeriksaan. Ingin rasanya mengintip atau menguping interogasi polisi namun ruang itu tertutup, pun jendelanya juga diberi gorden yang tak bisa dilihat dari luar."Mungkin wanita itu meminta diperiksa secara pribadi atau entahlah ... aku tak tahu," gumamku sambil berlalu.Kuajak Tari kembali, kugenggam tangannya keluar dari kantor polisi, hati ini berdoa dengan penuh harapan semoga polisi tidak akan melepaskan ketiga manusia laknat itu.Ketika menunggu Eman mengambil motor, aku berpapasan dengan ibunya Rina yang dibawa oleh dua orang polwan menuju ruang pemeriksaan yang berhadapan dengan ruangan Rina tadi."Ini semua gara gara kamu ya, andai kamu bisa mengendalikan mulut dan tingkahmu, keadaan kami tidak akan sesulit ini," desisnya mendelik, langkahnya terpaksa berhenti karena dia sedang bicara padaku."Maaf, Bu, saya bersikap sesuai dengan apa yang saya lihat di kenyataan. Andai ibu telah memperlakukan anak saya deng

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   8

    Kupanggil tari yang sejak tadi bersama Eman, dan menunjukkan pada polisi bekas luka dan cambukan panjang di tangan dan punggung putriku yang serupa bekas luka gosong."Halo Dik, namanya siapa?""T-tari, Om," jawabnya lirih."Kelas berapa Adik?""Mau naik kelas empat, Om," jawab anakku menunduk."Kamu tinggal sama siapa di rumah?""Sama Nenek," balasnya."Ayah kamu gak di rumah?"Kelihatannya anakku ragu menjawab, namun polisi itu tersenyum ramah dan meyakinkan bahwa apapun yang dikatakan Tari tidak akan membahayakannya."Ja-jarang, Om.""Boleh tahu, luka di tangan adik bekas apa?""Anu ... uhm, ja-jatuh, Om."Mendapati bahwa anakku tengah berbohong, aku langsung membisikinya agar dia jujur dan mengatakan yang sebenarnya."Ayo Sayang, katakan pada Om itu siapa pelakunya."Tiba tiba bola mata anakku berkaca-kaca, bibirnya gemetar dan air mata itu meleleh dari mata kecilnya yang penuh derita, dia menggigil, takut dan terlihat ngeri."Apa kamu diancam, agar tak memberi tahu siapa-siapa?"

  • Anakku Disakiti Selama Aku Merantau di Luar Negeri   7

    Aku pulang kerumah dengan berboncengan bersama Eman. Baju yang kukenakan masih baju yang kupakai di bandara kemarin dan sudah berubah aroma, tubuhku juga gerah dan lengket, ditingkahi pula oleh rasa lapar sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi pada anakku yang sulung.Ucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah dan anakku terlihat sedang menyapu,"Assalamualaikum Tari ini Ibu," ucapku ramah.Anakku yang disapa tiba tiba seperti itu terlihat langsung kaget dan terkesiap, dia nyaris terlonjak dan jatuh, pun gagang sapu yang dia pegang langsung terlontar ke lantai."Astaga ada apa Nak?""A-aku gak apa apa," jawabnya gugup."Kok takut?" Kuraih bahu anakku dan kulihat dia menggigil ngeri, kutangkap anakku seakan-akan memiliki trauma berkepanjangan."Saya kaget," jawabnya."Kenapa kamu takut?""Eng-enggak ada," jawabku gugup lantas beranjak ke dalam rumah."Dengar, Nak, ini Ibu, ibu yang sayang sama kamu, kamu bebas utarakan isi hati dan bebanmu selama ini, ada ibu, Insya Allah ibu ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status