Dalam keadaan menangis pilu, ribuan pertanyaan dan rasa sesal bergelayut dalam hatiku, mengapa dulu aku begitu yakin dan percaya pada suamiku. Ketika menelpon, dan menanyakan tentang anak, kanga Gus selalu mengatakan semuanya baik baik saja, anak sedang sibuk sekolah, main, mengaji, dan lain sebagainya. Jika aku ingin bicara sesekali, dengan desakan kuat dan perdebatan panjang Kang Agus mengizinkan, namun aku tak pernah mendengar curahan hati atau cerita buruk tentang ayah mereka dan penyiksaan apa yang dialami anak anakku.
Mungkin Dimas dan Tari ingin cerita, tapi takut dan tertekan, sementara itu polosnya aku, mengapa aku tak bertanya pada orang lain. Ah, benar, akses nomor keluarga lain yang tak kumiliki, tidak pernah menelusuri kabar, tidak mengerti bersosial media, dan terlampau sibuk mencari uang menjadi kesalahanku. Ah, sungguh sesak dada ini. Ketika ingin bicara pada orang tua, pun reaksi suami tetap sama, alasan terlaku dibuk, di sawah, pergi ke tetangga desa dan lain sebagainya menjadi alasan yang ia suguhkan agar segala dalihnya terdengar masuk akal. Suasana mulai gaduh, keluargaku emosi dan langsung mendekat lalu memukul Kang Agus bergantian, ditinju dan ditendang. "Kurang ajar, penipu, biadab!" Gerombolan keluargaku menyerang, ketua RT dan polisi kelimpungan. Bugh! Bugh! "Ah, tolong ... to-tolong, dengar dulu!" Seketika wajah Kang Agus berubah lebam, bibir dan hidungnya berdarah, berikut juga pelipisnya. "Apa lagi yang didengarkan!" Anggota keluargaku meradang tidak terkira hingga tak mau mendengarkan penjelasan Kang Agus Bugh! Bugh! Situasi makin tegang, anakku syok dan takut, dia menangis sambil mencengkram bajuku, tubuhnya bergetar hebat, dan nampak makin lemas, situasi memanas, hingga Polisi Keamanan Masyarakat langsung datang dan menarik baju Kang Agus menjauh. "Ini betul anak kandung kamu? Kenapa bisa begini kamu perlakukan!" tanya polisi itu keras. "Iya, pak. Sa-saya terpaksa, se-sengaja bawa ke sini untuk mengasingkan dia karena bau badannya," ucapnya. "Astaghfirullah hallazim, Aguuuus ... kenapa gak dibawa ke rumah sakit, enam bulan kami pikir dia baik baik aja, ternyata kamu jadikan dia penunggu kebun ini, Allahu Akbar, ya Allah hu Robbi, pengen saya cekik kamu!" ungkap seorang sepupuku yang turut geram bukan main namun masih menahan diri. "Pak Polisi ini tidak adil buat suami saya, kami difitnah ini Pak, kami sudah baik kok sama anaknya si Ratna," ucap wanita itu berdusta untuk membela Kang Agus. "Anda diam dulu, biar kami tanya suami Anda!" bentak polisi itu. "Coba, coba, lihatkan, apa yang ada di atas sana!" perintah Pak RT kampung mekar sari yang kebetulan juga ikut dengan kami. Seorang sepupuku berinisiatif naik dan membawa senter, menuju rumah reot yang terbuat dari papan ukuran 1×1,5 meter itu. Bahkan rumah pohon itu terlihat miring dan nyaris jatuh, sementara di bawahnya batu batu alam bertumpuk banyak sekali. "Ya Allah, andai rumah itu jatuh, tentu putraku akan meregang nyawa seketika." Membayangkan saja membuat hatiku ngilu. "Ya ampun ...." Sepupuku bergumam dan langsung mengambil semua barang yang ada di dalam gubuk itu dan dibawanya turun Ada sebuah mangkuk aluminium bengkok yang masih ada sisa nasi yang telah kering berkerak lengkap dengan sepotong tempe, nampaknya Dimas tak memakannya, Ada botol air yang terlihat kotor dan tak berisi apapun, serta sebuah kain sarung usang yang telah banyak tambalan dan robek. "Ya Allah, beginilah tingkah pola kalian selama ini, beginilah kamu terhadap anak kandungmu Kang!" Air mataku kembali jatuh, tergugu diri ini menyentuh kain sarung masing tersisa hangat tubuh anakku, baunya sangat menyengat, tapi bagi seorang ibu, sebusuk apapun anak tetaplah harta paling berharga. "Kang Agus ya Allah hu Robbi, Akang, teganya kamu, anak kita lapar, sakit dan kedinginan sementara kamu asyik bermesraan dengan wanita ini di dalam rumah yang nyaman, ya Allah, aku gak akan ampuni kami Kang!" "Iya, bawa aja Pak polisi, kurang ajar manusia ini?" ujar keluargaku menanggapi. Sementara Kang Agus dan gundiknya gemetar saling memeluk. "Eh, gak bisa gitu, kami juga bisa bela diri, Anak ini teh, sudah gak diterima sama keluarga dia di Sukamaju sana, untung saya yang pungut!" ucap Ibunya Rina membela diri. "Jangan bohong kamu, ingat umur sudah tua! Keterlaluan sekali ini, tidak manusiawi, biar kamu panggil Bupati buat bela kamu, kalo buktinya begini kamu juga tetap masuk penjara," jawab salah seorang sepupuku. Aku yang sudah kosong pikiran, tak tahu harus apa apa lagi, selain hanya bisa menangis dan mendekatkan wajah ke tubuh anakku. Geram, dendam, sesal, murka, dan ingin melenyapkan Kang Agus dari muka bumi ini seakan menggumpal dalam dada. Tapi saat ini bukan waktunya, karena menyaksikan buah hatiku dalam penderitaan yang begitu menyakitkan ini, badanku langsung lemas seakan tulang tak mampu menopang bobot tubuh ini. "Maafin Ibu, ya, maaf," bisikku dan air mata ini meleleh ke wajah anakku yang malang. "Bu, ha-haaus," bisiknya. "Ya Allah, iya. Bentar ya," jawabku sembari meminta segelas air. Keluarga yang turut serta tadi ternyata membawa air, dan mereka menyodorkan botol yang kebetulan mereka bawa. Kuarahkan botol ke mulut putraku, perlahan dia meneguknya namun tak lama kemudian bocahku muntah muntah, aku panik dan segera meminta keluarga untuk mengantarku ke rumah sakit. "Ayo antar saya dulu, ini sudah parah," ucapku berurai air mata. "Ayo ayo, Teh." "Kamu jangan senang dulu, Agus, aku akan cari kamu dan membuat kami membayar semua ini," ujarku geram. "Hei, aku kan enggak ngapa-ngapain," ujarnya santai. "Dengan senangnya kamu saling memeluk dan main bersama anak tirimu sedangkan anak kandung kau buat seperti ini, jangan khawatir, kini polisi akan membuatmu bertukar posisi dengan Dimas," ujarku sambil membawa putraku ke atas motor. "Ayo pulang," ujarnya pada istrinya. "Hei, tidak bisa, kalian harus ikut kami ke kantor!" cegah pak polisi. Rasakan kau binatang! Aku akan membuatmu membayar semua ini.Tahun demi tahun bergulir, anak anak sudah makin besar, keadaan kami membaik dan makin makmur. Usaha sudah cukup berkembang pesat, malah aku sudah pindahkan lokasi tokonya ke depan jalan agar mudah diakses semua orang. Pembeli makin berdatangan, membuat pundi rupiah mengalir deras, kedua orang tuaku juga makin nyaman karena hidup mereka sedikit kutanggung menanggung dan rumah bilik mereka sudah kuubah menjadi rumah petak berdinding tembok yang lebih aman.Semuanya berjalan lancar hingga satu pagi yang mengejutkan. Kang Agus datang!Aku yang sedang sibuk menyapu toko tiba-tiba dikejutkan oleh panggilannya dari belakangku,Entah dia telah bebas lebih cepat karena sikap baiknya selama di penjara atau dia telah menjamin dirinya sendiri, aku tak paham. Yang pasti dia berdiri di depanku sementara diri ini terpana."Ka-kamu?"Hampir saja jantungku terlepas dari rongga dada menatapnya yang tersenyum, mengenakan topi dan jaket hitam yang tebal.Kami saling menatap untuk beberapa saat dia t
Salah seorang warga desaku yang adiknya tertahan di penjara karena kasus pencurian datang, dia berkunjung dan mengutarakan niat untuk bertemu. Saat itu aku sedang di toko mengurusi pembeli dan memasang label harga pada barang."Permisi punten, apa boleh saya ketemu Teh Ratna," sapa wanita itu dengan sopan."Ya, ini saya," balasku."Boleh kita bicara sebentar?""Oh, baik, mari masuk, silakan duduk," ajakku masuk ke dalam toko. Wanita itu tersenyum menanggapi, dia memperkenalkan diri sambil berbasa-basi tentang harga bibit sayur."Jadi gimana Teh, ada apa?""Begini? Saya kemarin dari lapas menjenguk adik saya, kebetulan saya melihat Kang Agus," ujarnya dengan mimik serius."Terus kenapa, Teh?""Dia berantem, Teh, melawan empat orang bertato yang mirip preman, Kang Agus babak belur dan dibawah ke kantor lapas, mungkin mau dikasih obat atau dihukum gak tahu juga," imbuhnya."Mungkin sebaiknya Teteh beritahu masalah ini ke Rina, istri barunya di Mekarsari, kalo sama saya gak ada hubung
Tahukah, bahwa perkara cerai adalah hal yang dibenci Allah meski diperbolehkan, dalam beberapa kajian Islam, kita yang sudah menikah disarankan untuk selalu berpikir dua kali, menimbang bahwa setiap orang pasti punya sisi baik meski sisi buruk lebih menonjol. Memang kita tak direkomendasikan untuk selalu membawa masalah rumah tangga ke jalur perceraian, tapi jika kebersamaan lebih banyak membawa mudharat, maka hidup ini terlalu singkat demi hanya dibawa makan hati dan menderita. Aku menghargai setiap pendapat dan prinsip yang coba dipaparkan oleh sebagian orang, mereka menasehatiku agar tak bercerai demi anak, agar aku tak sendirian, tapi mayoritas dari mereka yang memberi wejangan adalah mereka yang rumah tangganya dari dulu hingga sekarang bahagia, tak pernah dibohongi, dipukuli, bahkan dikhianati. Timbul pertanyaan dalam hatiku, jika salah satu masalah di atas menimpa mereka, atau serupa dengan yang kualami, sungguh sanggupkah mereka menahan dan bersabar? Kurasa ... tidak.Namun
Aku kembali dengan hatiKali ini aku dipertemukan lagi dengan Kang Agus di pengadilan, dia duduk di sampingku, tapi dalam keadaan diborgol, dia mengenakan kemeja putih dengan peci, nampak diam tanpa mengatakan apapun yang duduk berjarak dua meter darinya. Keluargaku dan keluarga istrinya duduk di kursi pengunjung dan menyimak, begitu juga Ratna yang nampak diam di sudut depan, mengenakan dress panjang dan cardigan, menutup perutnya yang mulai membuncit.Tak banyak aku menyimak karena sibuk dalam pikiran sendiri. Sibuk membayangkan episode baru dalam hidupku, lebih berharap aku akan menjalani hidup tentram tanpa gangguan siapa pun, hingga menit demi menit berlalu.Putusannya sama, sama seperti cerita cerita perceraian lain, palu diketuk dan selesai, aku bangun, membungkuk terima kasih pada orang orang di sekitar, menyalami hakim dan bergegas pergi. Kang Agus nampak ingin bicara, tapi tak berkesempatan karena aku sudah pergi meninggalkannya. Hanya wajah bingung dan kecewa yang terl
Assalamualaikum, maaf sebelumnya.Mungkin ini pesan terakhir, aku menjamin tak akan ada lagi gangguan atau hal yang membuat kita tak nyaman. Aku akan bercerai dengan Kang Agus, semoga kabar ini melegakan hatimu.Kalimat yang kutulis dengan format pesan singkat itu, terkirim ke nomor Rina. Aku berharap semoga wanita itu membuka dan membacanya sehingga dia tak lagi menjadikan aku atau anak-anakku sebagai penghalang kebahagiaannya. Dia tak perlu mengkhawatirkan hal tak penting, membesarkan kecemasan sehingga selalu berpikir untuk memusuhi kami.Mengapa bercerai? Aku tak menuntut perceraian kalian, aku hanya minta Kang Agus dibebaskan agar dia bisa mendampingi kehamilanku. Tentang berbagi suami dan waktu itu tak masalah untukku.Itu balasan yang masuk lima menit berikutnya.Aku tak tahu jalan pikiran wanita itu, mengapa dia bisa memiliki gagasan untuk mempertahankan cinta segitiga yang tidak akan nyaman untuk kami semua? Tak mengapa bagimu, tapi masalah bagiku, aku tak mau makan hati.
"Mengapa kau terlihat sebal sekali dari tadi anakku?""Aku dapat telepon dari petugas kepolisian bahwa, Agus ingin bertemu," jawabku."Apa yang dia inginkan?" tenya Emak mendekatiku, lalu diduk di sebelahku."Tidak tahu.""Mungkinkah, dia ingin minta maaf?""Tidak tahu, juga, Mak.""Jadi, Apa kau mau menemuinya?""Tidak akan?""Biasanya seseorang yang sudah dipenjara mulai merasakan sedih dan penyesalan. Mungkin suamimu juga sedang merasakan hal yang sama, jadi dia ingin mengaku, dan minta pengampuan.""Buat apa? Pengampunan tidak akan mengubah segalanya. Aku sudah rugi dan anak-anakku ... mereka harus mendapatkan bimbingan konseling untuk mengobati mental mereka yang terluka," jawabku."Sebelum menggugat perceraian sebaiknya kau bertemu dengannya," saran Emak dengan belaian lembut di bahuku."Kalau begitu aku akan pergi besok, Mak.""Jaraknya tidak terlalu jauh dan Eman akan menemanimu.""Iya, benar."Ke rumah kan diri lalu menarik selimut dan tidur berharap bahwa besok pagi adalah h