Share

Bab 7

Mungkin saja apa yang diucapkan suamiku itu benar tapi entah kenapa lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.

Tapi apa? Ah sudahlah, kenapa juga aku harus memikirkan masalah Sarah? Sekarang aku harus fokus pada masalah kepergian Nila yang masih banyak kejanggalan itu.

Setelah Mila benar-benar datang, aku pasti akan menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat.

"Siapa yang berbohong, Paman?"

Kaget bukan main saat kami lihat tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakang kami.

Secepat kilat suamiku memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar.

"Eh Sar, kamu kirain siapa."

Sarah mendekat lalu duduk di atas dipan bersamaku.

"Lagi pada ngomongin apa sih, Bi? Kok serius banget."

Aku mengibaskan tangan.

"Ah bukan apa-apa, cuma ngomongin masalah buat tahlilan nanti malam aja, Bibi bingung masih belum punya apa-apa buat jamuan yang tahlil," jawabku sekenanya.

"Gak usahlah dipaksain kalau gak ada Bi, mereka ikhlas mendoakan Nila."

Aku tersenyum tipis, anak ini sangat manis dan baik sekali, omongannya juga bikin adem di hati, tapi kenapa selama ini ia harus bohong padaku soal ponsel itu? Dan soal Mila kemarin ... ah kalau sudah begini rasanya aku sulit untuk percaya lagi padanya.

"Emang Bibi mau bikin apa, Bi? Sini biar Sarah yang bantuin." Anak itu bicara lagi seraya bangkit melihat bahan-bahan makanan yang sudah kupersiapkan di atas meja.

"Gak usahlah Sar, masa kamu bantuin di dapur, kamu 'kan anak muda, sana pergi aja gih, pasti kamu juga lagi sibuk ngurusin proposal acara."

Sarah tertawa kecil.

"Proposal udah beres semalem Bi, sekarang Sarah gak ada kegiatan, daripada bengong mening bantuin Bibi di sini." Ia bersikeras dengan wajahnya yang sangat ramah.

Sarah ini bukan hanya gadis yang cantik, tapi ia juga ramah, baik dan aktif pula di setiap kegiatan desa.

Dulu Nila anakku juga begitu, mereka sering terlibat dalam acara desa bersama-sama, Nila dan Sarah ini adalah dua sahabat yang tak bisa dipisahkan sejak dulu, kemana-mana mereka selalu bersama.

Sayangnya sejak Nila menikah, Sarah mau tak mau harus rela berpisah dari sahabatnya itu karena mau bagaimana lagi? Jodoh Nila datang lebih dulu dan jauh pula.

Kupikir Nila akan bahagia hidup bersama suaminya di jauh sana, tapi ternyata kenyataan yang kuterima sekarang justru membuatku amat sesak dan trauma.

Andai aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini, aku tidak akan pernah membiarkan Nila dibawa jauh oleh suaminya yang pengecut itu.

"Oh ya Sar, semalem ibumu datang ke sini nyariin kamu, emangnya kamu kemana?"

Sarah mendadak mematung di depan lemari piring.

"Ah emm ... Sarah ke bale desa Bi, ada kumpulan anak-anak muda di sana," jawabnya dengan senyuman sekenanya.

Aku membalas sekenanya juga. Jujur saja, saat tadi aku tahu soal kebohongan Sarah, aku rasanya jadi canggung sekali padanya.

"Oh ya, Bi, soal Mbak Mila, maaf ya sebetulnya ...." Ia bicara lagi.

Aku menoleh ke arahnya saat anak itu diam sebentar. Entah apa yang akan dikatakan Sarah soal Mila kali ini. Apa jangan-jangan ia akan berbohong lagi?

"Sebetulnya Sarah bohong sama, Bibi."

Teg teg teg. Jantungku langsung tak karuan. Tapi aku tak bicara sedikitpun, kubiarkan saja anak itu akan bicara apa setelah ini.

"Bi, sebetulnya Mbak Mila enggak sedang di perjalanan pulang, malahan ... Sarah kemarin gak hubungi Mbak Mila soal kepergian Nila," lanjutnya.

Keningku mengerut tepat di hadapannya. Sarah memang sengaja berbohong dan sekarang ia mengakuinya? Apa yang sebetulnya anak ini mau? Duh aku hampir saja curiga yang tidak-tidak padanya karena ia berbohong tapi syukurlah dia sekarang mengakuinya meski jujur aku kesal mendengarnya.

"Maaf ya Bi, Sarah terpaksa bohong karena kemarin itu Sarah bener-bener bingung. Bibi lagi emosi berat, gak mungkin Sarah ngabarin berita duka ini juga ke Mbak Mila dalam keadaan Bibi belum stabil," katanya lagi.

Aku tetap diam. Tapi kenapa alesannya gak masuk akal?

"Bi." Sarah mengejutkanku.

"Eh ya Sar, ya udahlah Sar, mau gimana lagi? Jujur Bibi kecewa mendengar ini, kamu harusnya tetap kabari Mila soal kabar kepergian Nila kemarin, apalagi kemarin kamu lihat sendiri 'kan Bibi sangat terpuruk? Bibi sangat butuh Mila."

Sarah menunduk lesu di hadapanku, ia juga tak henti meremas jari-jemarinya.

"Maaf ya, Bi."

"Heh udah gak apa-apa, gak usah teralalu dipikirin, Bibi tahu niatmu baik, tapi Bibi jadinya hampir berpikir yang enggak-enggak sama kamu Sar."

"Kalau gitu sekarang Sarah mau telepon Mbak Mila dulu ya, Bi, biar Mbak Mila cepet pulang," katanya lagi.

Ia pun beranjak, tetapi sebelum ia keluar dari pintu dapur aku segera menghentikannya.

"Gak usah Sar, Bibi udah hubungi Mbak Mila, dia akan segera pulang kok hari ini."

Sarah kembali menoleh dengan wajah yang sudah berkeringat.

"Udah dihubungi, Bi?"

"Udah," pungkasku seraya pergi ke belakang rumah.

Aku tidak ingin sarah bertanya lebih jauh, lewat siapa aku menghubungi Mila.

Tapi yang kutakutkan justru benar terjadi, Sarah menyusul ke belakang dan duduk di atas dipan kayu bersamaku.

"Bi, memang kapan Bibi hubungi Mbak Mila? Terus Bibi pakai ponsel siapa?" cecarnya.

Aku menarik napas berat. Biarlah karena sudah terlanjur Sarah bertanya kujawab sejujurnya saja.

"Pakai ponsel yang dulu kamu bilang Rusak," jawabku tanpa ragu.

Sarah mendadak pucat sambil menelan salivanya.

"Tapi ponsel itu 'kan rusak, Bi dan-"

"Saat dibawa ke bale desa ternyata ponselnya hanya perlu dicas dan enggak rusak sedikitpun," potongku.

"Oh jadi ponselnya enggak rusak, Bi? Maaf ya Sarah pikir dulu itu ponselnya rusak karena gak nyala-nyala saat udah dicas," balasnya sambil menepuk kening.

Aku membalas dengan senyuman seadanya.

"Bi, ya udah ya Sarah pulang dulu, Sarah lupa ada sesuatu yang harus Sarah kerjakan," katanya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status