Aku menganggukan kepala.
"Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.Sarah tersenyum."Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur.Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.-Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja."Kemana si Sarah? Katanya mau ke sini lagi." Aku keluar sebentar hendak menengok ke arah rumahnya, masalahnya aku sedikit kerepotan kalau anak itu tidak ada.Apalagi tahlil akan segera selesai sementara jamuannya belum selesai kupersiapkan."Ah kayaknya si Sarah masih sibuk di rumahnya, makanya gak nyamper lagi ke sini." Terpaksa aku pun kembali lagi ke dapur.Tapi ketika aku sampai, lagi-lagi aku terkejut bukan main saat melihat Sarah ternyata sudah ada di dekat meja makan.Ia tengah sibuk menata makanan dan kue-kue basah di dalam piring dengan kepala menunduk."Eh kamu udah balik lagi ternyata Sar."Aku pun mendekat sambil ikut membantunya menyiapkan kue-kue ke dalam piring."Udah, Bi," jawabnya pendek.Aku mengernyit, tumben ini anak enggak tebar senyuman seperti biasanya, kenapa wajahnya juga dingin banget sekarang? Apa si Sarah lagi ada masalah?Ah udah lah biarin aja, nanti juga normal lagi, namanya juga anak muda, suka labil.Tahlilan pun terdengar selesai, waktunya aku membawa kue-kue itu ke depan."Sar, tolong nanti kamu bawain nampan yang isinya kue itu ya," ucapku sebelum aku beranjak membawa nampan besar berisi berapa piring kue kering.Sarah mengangguk tanpa bicara.Tetapi sampai aku selesai menyodorkan beberapa piring itu di depan, Sarah tak kunjung datang menyusul."Mana si Sarah? Belum ke sini juga," gumamku.Akupun bergegas kembali ke dapur."Sar, kamu ngapain sih? Kok masih di sini? Bibi kan bilang tolong bawain nampannya ke depan."Sarah diam, ia tak bicara apalagi menoleh, anak itu sejak tadi hanya menunduk di dekat meja makan sambil terus memegangi kue-kue yang masih berjejer di hadapannya."Sar, Sarah kamu dengar Bibi enggak sih?"Perlahan Sarah mengangkat wajahnya yang ternyata sudah pucat seperti mayat."Astagfirullah." Aku melonjak ke belakang.Mendadak wajahku juga seperti diterjang badai besar. Shock bukan main saat melihat wajah Sarah yang kini tengah menangis sambil melambai ke arahku."To-loong, to-loong," katanya pelan nyaris tak terdengar.Aku menganga tak karuan, ingin berteriak namun rasanya sulit, ingin berlari tapi tulangku terasa lemas.Dan makin terasa lemas saat kulihat wajah pucatnya Sarah berubah menjadi wajahnya Nila anakku."Ni-Nila?" Aku tergagap lalu ambruk di bawah meja makan."Astagfirullah Astagfirullah Astagfirullah." Aku menutup wajah dan terus beristighfar, berharap semua ini hanyalah mimpi dan cepat berakhir."Bu, tolong Nila, jaga Nila," katanya lagi, terdengar jelas sekali suara anakku di telinga.Tapi aku masih belum sanggup membuka tangan dari wajahku."Enggaaak pergiii, pergiii pergii kamu pergiii, kamu bukan anakku, aku tidak akan percaya padamu, kamu hanya jin, aku yakin kamu hanya jin yang sedang menggangguku." Aku berteriak sampai tak sadar seseorang sudah mengguncang kedua bahuku."Bu, Ibuu sadar Bu, sadaar."Suara suamiku terdengar jelas, segera aku membuka mata dan melepaskan kedua telapak tangan ini dari wajah."Pak, Pak, tadi itu, Pak." Aku segera berhambur dalam dada suamiku dan membenamkan wajahku hebat-hebat di sana."Ada apa, Bu? Ada apa? Kenapa?""T-tadi ada ... ada-Nil-a, Pak," jawabku tergagap-gagap."Istighfar Bu, ayo bangun."Suami membawaku ke dalam kamar, tampaknya semua orang yang tahlil juga sudah pulang."Ibu ini kenapa? Kenapa suka teriak-teriak begini?""Pak, tadi Nila datang Pak, dia minta tolong.""Istighfar, Bu, orang yang udah gak ada gak mungkin bisa kembali." Suamiku bicara agak kencang."Tapi tadi apa, Pak? Jelas-jelas Nila minta dijaga, Pak.""Ibu itu hanya trauma, makanya jangan terlalu dipikirin, biarlah Nila berisirahat dengan tenang."Aku pun diam dan berusaha sekuat tenaga menenangkan diri."Bapak gak pergi ke makam Nila, Pak?" Aku bertanya lagi saat suami akan membaringkan tubuhnya di sisi ranjang sebelah."Enggak, Bu, hujan turun deras banget, kata pak ustaz gak apa-apa malam ini gak ke sana, menunggu makam itu tidak wajib, yang penting kita terus kirim do'a untuk Nila."Aku manggut-manggut, meski sebetulnya aku merasa khawatir karena tidak ada yang menjaga makam Nila malam ini. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang diucapkan pak ustaz memang ada benarnya juga.***Esok hari aku sangat bersemangat menyambut Mila datang, kali ini aku yakin sekali Mila jadi pulang karena dia sendiri yang sudah mengatakannya padaku kemarin.Aku memasak berbagai macam makanan kesukaannya, kue-kue basah dan kering juga sudah kupersiapkan di meja depan, aku sangat bahagia anakku akan datang setelah 2 tahun Mila juga Merantau dan tak kunjung pulang seperti adiknya.Aku berharap kedatangan Mila juga akan mengobati rasa sedihku karena kepulangan Nila yang amat membuatku shock dan trauma.Sedang sibuk aku berkutat di dapur tiba-tiba Sarah masuk lewat pintu belakang."Bi.""Eh, Sarah ke mana aja baru ke sini? Kemarin katanya kamu mau ke sini lagi, tapi ditunggu-tunggu sampai malam malah gak ada," ujarku bersemangat sambil terus mengaduk masakan yang ada di dalam kwali."Hehe iya Bi, maafin Sarah ya semalam Sarah malah ketiduran dari sore," jawabnya cengengesan."Iya gak apa-apa kok, Bibi cuma kerepotan aja akhirnya gara-gara kamu gak bantuin," senyumku padanya."Eh tapi ...."Melihat wajah Sarah, tiba-tiba aku kembali teringat kejadian semalam."Tapi apa, Bi?" Sarah tak sabar.Aku mendekat dan berbisik di telinganya."Tapi semalam Bibi melihat Nila lagi."Sarah melotot."Bibi, jangan bercanda ah," desahnya."Bibi serius Sar, tapi yang membuat Bibi kepikiran kenapa Nila selalu datang dengan rupa kamu ya?""Hah? Apa iya, Bi?" tanya Sarah tak percaya."Iya bener enggak tahu kenapa, apa mungkin karena kamu sahabatnya? kamu yang selalu bersamanya dan kamu yang selalu membantu kami selama ini? Jadi lah ia datang dengan rupa kamu."Sarah menelan salivanya."Tapi untuk apa Nila datang, Bi?" Dia bertanya lagi.Aku menggeleng kepala."Itulah Bibi juga enggak tahu, tapi kata paman mungkin Bibi hanya trauma jadi pikiran-pikiran itu memunculkan ketakutan dalam diri Bibi sendiri.""Iya bener, Bi, makanya Bibi harus ikhlaskan Nila, jangan sampai Nila gak tenang karena pikiran Bibi yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku tertunduk lesu, mendadak aku tak berselera menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Mila."Ya udahlah Bi, mendingan kita lanjutin aja persiapkan makanan buat Mbak Mila nya, yuk," ajak Sarah mencoba menghilangkan kesedihanku.Aku mengangguk dan kembali memegang sutil yang tadi kulepaskan itu.Selesai kami memasak Sarah juga sibuk membantuku menghidangkan
"Mbak Mila? Ya Allah Mbak apa kabar? Kapan datang?" Ia berbasa-basi."Baik, ini baru aja datang Sar." Mereka pun cipika-cipiki seperti biasanya."Ya ampun, Mbak Mila makin putih aja, makin cantik pula, hebatlah pokoknya Mbak Mila ini," kata si Sarah terkagum-kagum seraya meneliti diri Mila."Kamu ini bisa aja, padahal lebih cantikan kamu kemana-mana," balas Mila seraya mengibaskan tangannya.Kalau soal wajah aku setuju Sarah memang jauh lebih cantik, mirip bule tapi kalau soal penampian dan kebersihannya, sekarang anakku yang menang, ya maklum sih mungkin karena si Mila itu sering perawatan di sana."Mbak yang bisa aja, mana ada gadis kampung kayak Sarah ini cantik, jauh lah Mbak."Sarah dan Mila pun lanjut mengobrol, layaknya dua orang sahabat yang saling merindukan setelah sekian lama mereka bicara heboh sekali entah membicarakan apa, tapi kemudian ada juga saat mereka terisak-isak ketika membicarakan Nila."Dulu ... Nila suka menimbrung kalau kita lagi mengobrol begini ya, Mbak."
"Enggak ada gimana maksud kamu?" tanyaku setengah menaikan oktaf."Coba Bibi dan Paman ke sini, lihat sendiri saja," balas si Parman.Aku pun segera mendekat dan melihat sendiri lubang makam itu."Astaghfirullah al'adzim." Aku kembali ambruk di dekat gundukan tanah bekas kuburan Nila yang sudah dibongkar habis itu."Apa yang terjadi sama kamu, Nak?" jeritku lagi."Parman apa kamu yakin jenazah Nila gak ada?" tanya suamiku."Lihat sendiri saja, Paman."Dengan kaki bergetar suami melangkah ke dekatku."Gustiii bagaimana bisa jenazah anakku hilang? Kemana dia sekarang?" Suami ikut ambruk di sampingku, dengan wajah frustasi dan kacau ia memegangi kepalanya."Apa mungkin jenazah Nila dibawa binatang buas?" tanya seorang warga yang ikut menggali."Gak mungkin, gak mungkin binatang buas membawanya atau kalaupun dirusak pasti ada bekasnya." Suamiku menyahut dengan terus menggelengkan kepala. Ia tampaknya terpukul sekali melihat kondisi makam Nila."Bang, Parman coba periksa sekali lagi, mungk
Aku paham maksud suamiku, mungkin dia tidak ingin merepotkan Mila soal biaya yang akan Mila keluarkan jika melaporkan kasus ini ke polisi, aku juga paham suamiku tidak ingin kabar menghilangnya jenazah anakku sampai tersebar luas dan menjadi bahan tontonan masyarakat luas.Aku paham betul suamiku adalah orang yang tertutup, dia sangat menjaga nama baik keluarga kami."Bapak tenang aja, enggak usah khawatir, berita menghilangnya jenazah anak kita Ibu pastikan gak akan sampai bocor ke media, apalagi sampai tersebar luas, Ibu juga tahu bagaimana rasanya malu, Pak, kasihan juga anak kita. Karena itu Ibu pastikan hanya orang-orang tertentu saja yang akan mengetahui hal ini," ujarku panjang lebar.Akhirnya suamiku pun mulai mereda dan kembali menimbang-nimbang ucapanku."Ya sudah kalau begitu Bapak dukung kalian, semoga jenazah anak kita cepat ditemukan," ucapnya. Aku mengangguk pelan.Saat sedang mengobrol tiba-tiba terdengar bunyi sirine mobil ambulans di pekarangan rumah.Bergegas aku
Tanpa menunggu lagi aku bergegas melangkahkan kaki menghampiri mereka. Tapi sekitar 5 langkah sebelum sampai mendadak langkahku mati saat kulihat Sarah bertelunjuk jari sambil berteriak tepat di depan wajah suamiku."Urus dulu wanita tua itu! Baru kau meminta bagianmu, aku sudah bilang bermainlah yang pintar, buatlah pikirannya terpecah belah tapi tidak dengan membahayakan namaku!" Teg. Jantungku langsung melonjak hebat sejurus dengan rasa shock yang lagi-lagi menyerang benakku.Aku benar-benar seperti diterjang badai yang tak berkesudahan.Sarah? Kenapa Sarah begitu pada suamiku? Ada apa ini? Apa yang sedang mereka permasalahkan sampai Sarah berani kurang ajar pada suamiku?Bagian? Bagian apa? Dan wanita tua itu siapa?"Tap-" Ucapan suamiku mendadak terhenti, saat bola mata Sarah berputar liar ke arahku."Tapi Paman paham perasaanmu sekarang Sar, semoga ibumu cepet sembuh," lanjut suami.Karena Sarah tampak sudah menyadari keberadaanku akhirnya kulanjutkan langkah menghampiri merek
Aku menoleh, seorang pria berkemeja rapi ada di sana, tampaknya dia seorang dokter karena dilihat dari penampialnnya, ia sungguh berbeda dan terlihat bersih sekali."Ah saya ... emm ... tadi habis menengok pasien yang ada di dalam, saya permisi, Dok." Aku buru-buru pergi sebelum dokter itu mengira aku sedang merencanakan sebuah kejahatan.Meski sejujurnya aku masih penasaran, ada apa antara suamiku dan Sarah? Kenapa mereka seperti sedang terlibat pertengkaran hebat hari ini? Dan apa tadi katanya? Suamiku ceroboh? Mereka juga membicarakan masalah kepulangan Mila, ada apa ini? Apa mungkin mereka menyembunyikan sesuatu dariku?"Ah sudahlah." Aku mengibaskan tangan.Ada urusan yang jauh lebih penting sekarang, aku harus buru-buru pergi ke kantor bale desa, sudah tak sabar rasanya aku ingin mengumumkan soal rencana sayembara pencarian jenazah Nila.Aku berharap dengan cara ini Nila akan segera ditemukan, karena entah kenapa polisi sulit sekali menanggapi laporan orang-orang desa seperti
"Heii."Dua orang petugas ikut berlari. Anjing pun berhenti dan terus menggonggong di sekitar pintu dapur rumah Sarah. Dengan perasaan yang sudah berubah tak karuan akhirnya aku juga mengekor mereka.Tetangga juga mulai berdatangan, mereka tampak penasaran ingin melihat apa yang sedang terjadi di sini."Ada apa, Pak?" tanyaku cepat."Maaf yang ini rumah siapa? Bisa kami periksa ke dalam?""Ini? Rumah tetangga saya, tapi mereka sedang tidak ada di rumah, mereka di rumah sakit." Aku menjawab apa adanya.Petugas itu diam, sementara anjing terus saja menggonggong tak mau berhenti."Bagaimana, Komandan?" tanya seorang polisi pada polisi yang satunya."Bu, ada sesuatu yang mencurigakan di rumah ini, kami harus periksa," ucap Komandan polisi padaku.Aku bergeming, sementara tubuhku mulai meremang.Sesuatu yang mencurigakan? Di rumah Sarah? Apa maksudnya?"Bu!" Aku mengerjap."Eh iya, Pak, tapi anu itu loh, orangnya gak ada, lagipula ... apa hubungannya kasus ini dengan tetangga saya?""Kam
"Astagfirullah ya Allah ya gustiii, itu apa yang dikubur di sana?."Mae-tetangga sebelah rumah Sarah histeris."Iya apa jangan-jangan itu bener jenazah si Nila," balas orang di sebelahnya seraya bergidig.Dadaku langsung berdebar, tubuhku mendadak meremang. Kulihat tiga orang petugas itu masih dengan susah payah mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam gundukan tanah itu."Apa itu, Bu?" tanya suami, aku tak menjawab, perasaanku sedang tak karuan sekarang. Rasanya aku tak berselera walau hanya untuk menjawab pertanyaan seseorang."Bi, kalau benar itu jenazah Nila gimana?" Parman berbisik di telingaku.Aku tetap bergeming. Bayangan wajah anakku tiba-tiba muncul dan membuat mili ku kembali merembes."Kalau itu bener jenazah si Nila, apa motifnya si Sarah melakukan ini.""Heh belum tentu pelakunya Sarah, bisa aja orang lain."Lagi, kudengar mereka saling bersahutan di belakangku."Bu, Masitah, kemari." Aku mengerjap saat seorang petugas polisi memanggil namaku.Bergegas aku dan suami masuk