Share

Bab 8

Author: Ricny
last update Last Updated: 2022-11-11 05:55:28

Aku menganggukan kepala.

"Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.

Sarah tersenyum.

"Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.

Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur.

Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.

Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.

-

Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.

Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.

Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja.

"Kemana si Sarah? Katanya mau ke sini lagi." Aku keluar sebentar hendak menengok ke arah rumahnya, masalahnya aku sedikit kerepotan kalau anak itu tidak ada.

Apalagi tahlil akan segera selesai sementara jamuannya belum selesai kupersiapkan.

"Ah kayaknya si Sarah masih sibuk di rumahnya, makanya gak nyamper lagi ke sini." Terpaksa aku pun kembali lagi ke dapur.

Tapi ketika aku sampai, lagi-lagi aku terkejut bukan main saat melihat Sarah ternyata sudah ada di dekat meja makan.

Ia tengah sibuk menata makanan dan kue-kue basah di dalam piring dengan kepala menunduk.

"Eh kamu udah balik lagi ternyata Sar."

Aku pun mendekat sambil ikut membantunya menyiapkan kue-kue ke dalam piring.

"Udah, Bi," jawabnya pendek.

Aku mengernyit, tumben ini anak enggak tebar senyuman seperti biasanya, kenapa wajahnya juga dingin banget sekarang? Apa si Sarah lagi ada masalah?

Ah udah lah biarin aja, nanti juga normal lagi, namanya juga anak muda, suka labil.

Tahlilan pun terdengar selesai, waktunya aku membawa kue-kue itu ke depan.

"Sar, tolong nanti kamu bawain nampan yang isinya kue itu ya," ucapku sebelum aku beranjak membawa nampan besar berisi berapa piring kue kering.

Sarah mengangguk tanpa bicara.

Tetapi sampai aku selesai menyodorkan beberapa piring itu di depan, Sarah tak kunjung datang menyusul.

"Mana si Sarah? Belum ke sini juga," gumamku.

Akupun bergegas kembali ke dapur.

"Sar, kamu ngapain sih? Kok masih di sini? Bibi kan bilang tolong bawain nampannya ke depan."

Sarah diam, ia tak bicara apalagi menoleh, anak itu sejak tadi hanya menunduk di dekat meja makan sambil terus memegangi kue-kue yang masih berjejer di hadapannya.

"Sar, Sarah kamu dengar Bibi enggak sih?"

Perlahan Sarah mengangkat wajahnya yang ternyata sudah pucat seperti mayat.

"Astagfirullah." Aku melonjak ke belakang.

Mendadak wajahku juga seperti diterjang badai besar. Shock bukan main saat melihat wajah Sarah yang kini tengah menangis sambil melambai ke arahku.

"To-loong, to-loong," katanya pelan nyaris tak terdengar.

Aku menganga tak karuan, ingin berteriak namun rasanya sulit, ingin berlari tapi tulangku terasa lemas.

Dan makin terasa lemas saat kulihat wajah pucatnya Sarah berubah menjadi wajahnya Nila anakku.

"Ni-Nila?" Aku tergagap lalu ambruk di bawah meja makan.

"Astagfirullah Astagfirullah Astagfirullah." Aku menutup wajah dan terus beristighfar, berharap semua ini hanyalah mimpi dan cepat berakhir.

"Bu, tolong Nila, jaga Nila," katanya lagi, terdengar jelas sekali suara anakku di telinga.

Tapi aku masih belum sanggup membuka tangan dari wajahku.

"Enggaaak pergiii, pergiii pergii kamu pergiii, kamu bukan anakku, aku tidak akan percaya padamu, kamu hanya jin, aku yakin kamu hanya jin yang sedang menggangguku." Aku berteriak sampai tak sadar seseorang sudah mengguncang kedua bahuku.

"Bu, Ibuu sadar Bu, sadaar."

Suara suamiku terdengar jelas, segera aku membuka mata dan melepaskan kedua telapak tangan ini dari wajah.

"Pak, Pak, tadi itu, Pak." Aku segera berhambur dalam dada suamiku dan membenamkan wajahku hebat-hebat di sana.

"Ada apa, Bu? Ada apa? Kenapa?"

"T-tadi ada ... ada-Nil-a, Pak," jawabku tergagap-gagap.

"Istighfar Bu, ayo bangun."

Suami membawaku ke dalam kamar, tampaknya semua orang yang tahlil juga sudah pulang.

"Ibu ini kenapa? Kenapa suka teriak-teriak begini?"

"Pak, tadi Nila datang Pak, dia minta tolong."

"Istighfar, Bu, orang yang udah gak ada gak mungkin bisa kembali." Suamiku bicara agak kencang.

"Tapi tadi apa, Pak? Jelas-jelas Nila minta dijaga, Pak."

"Ibu itu hanya trauma, makanya jangan terlalu dipikirin, biarlah Nila berisirahat dengan tenang."

Aku pun diam dan berusaha sekuat tenaga menenangkan diri.

"Bapak gak pergi ke makam Nila, Pak?" Aku bertanya lagi saat suami akan membaringkan tubuhnya di sisi ranjang sebelah.

"Enggak, Bu, hujan turun deras banget, kata pak ustaz gak apa-apa malam ini gak ke sana, menunggu makam itu tidak wajib, yang penting kita terus kirim do'a untuk Nila."

Aku manggut-manggut, meski sebetulnya aku merasa khawatir karena tidak ada yang menjaga makam Nila malam ini. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang diucapkan pak ustaz memang ada benarnya juga.

***

Esok hari aku sangat bersemangat menyambut Mila datang, kali ini aku yakin sekali Mila jadi pulang karena dia sendiri yang sudah mengatakannya padaku kemarin.

Aku memasak berbagai macam makanan kesukaannya, kue-kue basah dan kering juga sudah kupersiapkan di meja depan, aku sangat bahagia anakku akan datang setelah 2 tahun Mila juga Merantau dan tak kunjung pulang seperti adiknya.

Aku berharap kedatangan Mila juga akan mengobati rasa sedihku karena kepulangan Nila yang amat membuatku shock dan trauma.

Sedang sibuk aku berkutat di dapur tiba-tiba Sarah masuk lewat pintu belakang.

"Bi."

"Eh, Sarah ke mana aja baru ke sini? Kemarin katanya kamu mau ke sini lagi, tapi ditunggu-tunggu sampai malam malah gak ada," ujarku bersemangat sambil terus mengaduk masakan yang ada di dalam kwali.

"Hehe iya Bi, maafin Sarah ya semalam Sarah malah ketiduran dari sore," jawabnya cengengesan.

"Iya gak apa-apa kok, Bibi cuma kerepotan aja akhirnya gara-gara kamu gak bantuin," senyumku padanya.

"Eh tapi ...."

Melihat wajah Sarah, tiba-tiba aku kembali teringat kejadian semalam.

"Tapi apa, Bi?" Sarah tak sabar.

Aku mendekat dan berbisik di telinganya.

"Tapi semalam Bibi melihat Nila lagi."

Sarah melotot.

"Bibi, jangan bercanda ah," desahnya.

"Bibi serius Sar, tapi yang membuat Bibi kepikiran kenapa Nila selalu datang dengan rupa kamu ya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muhammad yusuf Musthafa
seru ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Anakku Pulang Tanpa Nyawa   Bab 50 B

    Aku sama ngilunya juga, tak tega melihat jenazah Mila yang sangat mengkhawatirkan.Kedua matanya melotot, tubuhnya membiru dan lidahnya terjulur keluar. Tapi yang membuat kami makin ngilu adalah saat bagian dadanya sudah hilang sebagian."Kami perkirakan jenazah diserang binatang buas Bu, Pak," tutur seorang tim sar.Tubuhku meremang, bulu kuduk mendadak berdiri tak karuan.Segera seoranh petugas kembali menutup kantung itu.Setelah jenazah Mila ditemukan semua wargapun bubar. Tadinya petugas akan membawa jenazah Mila ke rumah sakit, tapi atas bantuan perangkat desa Sultan bisa meyakinkan mereka untuk langsung menyerahkan jenazah pada kami saja."Biar langsung kami makamkan di sini saja Pak, gak usah dibawa lagi ke rumah sakit dulu karena perjalanan cukup jauh."Dibantu orang yang sudah berpengalaman di desa ini, bu besan akhirnya mengurus jenazah Mila bersama mereka di rumahnya."Sabar Bu, sabar."Aku mengelus-ngelus pundaknya. Besan yang sedang memandikan jenazah Mila makin tertund

  • Anakku Pulang Tanpa Nyawa   Bab 50 A

    Mila melotot, wajahnya yang sedang marah tersorot cahaya bulan. "Ibu!" sentaknya tak suka."Kenapa? Kalau kau mau loncat, loncat saja! Hidupmu memang sudah tak ada gunanya!" besan kembali menantang.Segera kuelus pundak besan."Istighfar Bu besan, walau bagaimanapun dia anak Ibu," bisikku."Dia bukan anak saya lagi, Bu.""Ayo loncat Mila!" teriak besan lagi menatap tajam anak perempuannya itu."Tapi, Bu ... aaaaaa!" Suara Mila memekik langit dan malam yang hening."Milaaa!" Spontan mulutku berteriak saat melihat wanita itu terpeleset lalu jatuh ke sungai."Saudari Mila!" Bergegas para petugas juga maju ke sisi jembatan."Bu besan Mila jatuh Bu, Mila jatuh." Aku mengguncang kedua bahu besan.Bukannya beranjak ke tepi jembatan, besan malah ambruk di tempatnya dengan isak tangis yang mendadak pecah.Aku jadi bingung sendiri, tapi cepat kutinggalkan besan dan bergegas melihat ke tepi jembatan."Gimana Sultan?""Mila bener-bener jatuh, Bu.""Ya Allah ... nasibmu Mila." Aku menutup mulut.

  • Anakku Pulang Tanpa Nyawa   Bab 49 B

    "Ya tap-" Ucapanku terhenti saat kulihat Mila sudah mengeluarkan pisau cutternya.Aku bergegas bangkit dan menjauh darinya meski mendadak kedua kakiku terasa lemas dan bergetar.Wajah Mila tampak tengah dibakar api amarah, rupanya ia tersinggung karena tadi aku sempat menyebut dan membandingkan dia dengan Nila menantuku."Kamu ini apa-apaan Mila? Jangan main-main, itu benda tajam," ujarku memasang wajah waspada."Memang, memang ini benda tajam dan aku sengaja ingin memberimu kenang-kenangan," ucapnya diiringi gelak tawa.Dadaku bergemuruh hebat, napasku mendadak tercekat. Kulambaikan tangan ini untuk mencoba membuatnya tenang."Tenang Mila, kamu jangan begini, ingat aku adalah calon mertuamu."Mila mendecih dan terus maju ke arahku dengan tatapan tajam."Cih dasar pembohong, kalau kau adalah calon mertuaku kenapa kau sebut-sebut nama orang lain hah?"Sethh. Cutter itu menggores tepat di bagian atas lengan kananku.Aku menjerit, sejurus kemudian ibu besan datang membuka pintu kamar."Ya

  • Anakku Pulang Tanpa Nyawa   Bab 49 A

    PoV Ibu Ambarwati.Sultan menutup pintu kamar dengan kencang, lalu menguncinya agar Mila tak kabur sebelum polisi datang.Sementara di dalam Mila terus-terusan berteriak seperti orang kesetanan. "Biarkan dia teriak sendiri sampe capek sekalian," ujar Sultan penuh amarah.Aku bergidik ngeri sambil memegangi luka bekas sabetan pisau Mila. Wanita itu emang udah gak waras, hanya karena aku gak bisa membujuk anakku untuk menikahinya dia kalap dan gelap mata lalu tanpa ragu menyerangku dengan pisau cutter.Padahal aku sudah dengan besar hati tengah mencoba menerimanya karena ia sekarang sedang mengandung cucuku. Tapi rupanya aku salah, wanita seperti Mila itu memang pantasnya hidup di dalam penjara."Bu, Mila akan berikan bayi ini setelah ia lahir tapi Mila punya dua permintaan," ucapnya kemarin lusa, ketika aku dan Sultan menengoknya ke rumah sakit.Keningku mengerut, "permintaan apa?""Bebaskan Mila dari tuntutan Bani Azhar dan buatlah agar dia mau menikahi Mila," tegasnya menatapku seri

  • Anakku Pulang Tanpa Nyawa   Bab 48 B

    Dan ucapannya itu benar-benar jadi kenyataan. Ya Allah ... aku gak pernah membayangkan istriku akan benar-benar terbang dan gak pernah kembali lagi. Tapi keinginannya jadi orang yang berguna juga sudah tercapai.Sampai saat ini ginjal Nila masih berguna dan jadi wasilah kesehatan Bi Aminah. Semoga dengan hal ini Nila akan tenang dan bahagia di alam sana."Sudah sampai, Pak." Suara Pak Anwar menarikku dalam kesadaran."Eh kok cepet?"Tak terasa sepanjang jalan melamun, tahu-tahu mobil yang membawa kami sudah sampai saja di rumah sakit."Bapak ngelamun aja sih," balas Pak Anwar lagi.Ibu mertua dan Bi Aminah bergegas langsung masuk bahkan sebelum aku turun dari mobil.Sampai di ruangannya Sarah, kami tak diizinkan masuk bersamaan, karena Sarah masih dalam proses pengobatan setelah racunnya berhasil dikeluarkan."Masuk satu-satu ya Pak, agar tidak mengganggu kenyamanan pasien juga." Seorang perawat memperingatkan kami."Baik, Sus."Bi Aminah masuk lebih dulu, sekitar 20 menit beliau kemb

  • Anakku Pulang Tanpa Nyawa   Bab 48 A

    Aku menoleh. Mila sedang menyilangkan kedua tangannya di dada sambil tersenyum jahat."Dasar wanita gak punya rasa malu!"Ia malah tertawa puas."Aku hanya mengikuti skenario Tuhan Bani Azhar, awalnya aku gak pernah menduga dengan kehamilan ini ibumu akan membelaku tapi karena Tuhan sudah takdirkan ya sudah, mau bagaimana? Itu artinya kau memang ditakdirkan untukku 'kan?"Kedua tanganku mengepal hebat. Baru saja akan kutampar wanita itu ibuku sudah lebih dulu datang menampik tanganku."Apa ini Sultan? Jangan kasar sama wanita hamil, dia bisa stres dan jatuh lagi!" sentak beliau dengan mata melotot."Gak apa-apa kalau kamu gak mau terima aku Azhar, tapi bayi ini, tetap anakmu." Mila mulai berakting di depan ibuku, seolah-olah ia adalah orang yang paling tersakiti."Sudah Mila jangan nangis nanti bayimu stres, makanya saya 'kan udah bilang kamu di kamar aja, jangan deket-deket sama Sultan," ujar Ibuku lagi seraya meraih bobot Mila untuk setengah memeluknya.Geram, aku berteriak. "Bu, di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status