Share

Bab 8

Aku menganggukan kepala.

"Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.

Sarah tersenyum.

"Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.

Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur.

Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.

Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.

-

Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.

Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.

Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja.

"Kemana si Sarah? Katanya mau ke sini lagi." Aku keluar sebentar hendak menengok ke arah rumahnya, masalahnya aku sedikit kerepotan kalau anak itu tidak ada.

Apalagi tahlil akan segera selesai sementara jamuannya belum selesai kupersiapkan.

"Ah kayaknya si Sarah masih sibuk di rumahnya, makanya gak nyamper lagi ke sini." Terpaksa aku pun kembali lagi ke dapur.

Tapi ketika aku sampai, lagi-lagi aku terkejut bukan main saat melihat Sarah ternyata sudah ada di dekat meja makan.

Ia tengah sibuk menata makanan dan kue-kue basah di dalam piring dengan kepala menunduk.

"Eh kamu udah balik lagi ternyata Sar."

Aku pun mendekat sambil ikut membantunya menyiapkan kue-kue ke dalam piring.

"Udah, Bi," jawabnya pendek.

Aku mengernyit, tumben ini anak enggak tebar senyuman seperti biasanya, kenapa wajahnya juga dingin banget sekarang? Apa si Sarah lagi ada masalah?

Ah udah lah biarin aja, nanti juga normal lagi, namanya juga anak muda, suka labil.

Tahlilan pun terdengar selesai, waktunya aku membawa kue-kue itu ke depan.

"Sar, tolong nanti kamu bawain nampan yang isinya kue itu ya," ucapku sebelum aku beranjak membawa nampan besar berisi berapa piring kue kering.

Sarah mengangguk tanpa bicara.

Tetapi sampai aku selesai menyodorkan beberapa piring itu di depan, Sarah tak kunjung datang menyusul.

"Mana si Sarah? Belum ke sini juga," gumamku.

Akupun bergegas kembali ke dapur.

"Sar, kamu ngapain sih? Kok masih di sini? Bibi kan bilang tolong bawain nampannya ke depan."

Sarah diam, ia tak bicara apalagi menoleh, anak itu sejak tadi hanya menunduk di dekat meja makan sambil terus memegangi kue-kue yang masih berjejer di hadapannya.

"Sar, Sarah kamu dengar Bibi enggak sih?"

Perlahan Sarah mengangkat wajahnya yang ternyata sudah pucat seperti mayat.

"Astagfirullah." Aku melonjak ke belakang.

Mendadak wajahku juga seperti diterjang badai besar. Shock bukan main saat melihat wajah Sarah yang kini tengah menangis sambil melambai ke arahku.

"To-loong, to-loong," katanya pelan nyaris tak terdengar.

Aku menganga tak karuan, ingin berteriak namun rasanya sulit, ingin berlari tapi tulangku terasa lemas.

Dan makin terasa lemas saat kulihat wajah pucatnya Sarah berubah menjadi wajahnya Nila anakku.

"Ni-Nila?" Aku tergagap lalu ambruk di bawah meja makan.

"Astagfirullah Astagfirullah Astagfirullah." Aku menutup wajah dan terus beristighfar, berharap semua ini hanyalah mimpi dan cepat berakhir.

"Bu, tolong Nila, jaga Nila," katanya lagi, terdengar jelas sekali suara anakku di telinga.

Tapi aku masih belum sanggup membuka tangan dari wajahku.

"Enggaaak pergiii, pergiii pergii kamu pergiii, kamu bukan anakku, aku tidak akan percaya padamu, kamu hanya jin, aku yakin kamu hanya jin yang sedang menggangguku." Aku berteriak sampai tak sadar seseorang sudah mengguncang kedua bahuku.

"Bu, Ibuu sadar Bu, sadaar."

Suara suamiku terdengar jelas, segera aku membuka mata dan melepaskan kedua telapak tangan ini dari wajah.

"Pak, Pak, tadi itu, Pak." Aku segera berhambur dalam dada suamiku dan membenamkan wajahku hebat-hebat di sana.

"Ada apa, Bu? Ada apa? Kenapa?"

"T-tadi ada ... ada-Nil-a, Pak," jawabku tergagap-gagap.

"Istighfar Bu, ayo bangun."

Suami membawaku ke dalam kamar, tampaknya semua orang yang tahlil juga sudah pulang.

"Ibu ini kenapa? Kenapa suka teriak-teriak begini?"

"Pak, tadi Nila datang Pak, dia minta tolong."

"Istighfar, Bu, orang yang udah gak ada gak mungkin bisa kembali." Suamiku bicara agak kencang.

"Tapi tadi apa, Pak? Jelas-jelas Nila minta dijaga, Pak."

"Ibu itu hanya trauma, makanya jangan terlalu dipikirin, biarlah Nila berisirahat dengan tenang."

Aku pun diam dan berusaha sekuat tenaga menenangkan diri.

"Bapak gak pergi ke makam Nila, Pak?" Aku bertanya lagi saat suami akan membaringkan tubuhnya di sisi ranjang sebelah.

"Enggak, Bu, hujan turun deras banget, kata pak ustaz gak apa-apa malam ini gak ke sana, menunggu makam itu tidak wajib, yang penting kita terus kirim do'a untuk Nila."

Aku manggut-manggut, meski sebetulnya aku merasa khawatir karena tidak ada yang menjaga makam Nila malam ini. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang diucapkan pak ustaz memang ada benarnya juga.

***

Esok hari aku sangat bersemangat menyambut Mila datang, kali ini aku yakin sekali Mila jadi pulang karena dia sendiri yang sudah mengatakannya padaku kemarin.

Aku memasak berbagai macam makanan kesukaannya, kue-kue basah dan kering juga sudah kupersiapkan di meja depan, aku sangat bahagia anakku akan datang setelah 2 tahun Mila juga Merantau dan tak kunjung pulang seperti adiknya.

Aku berharap kedatangan Mila juga akan mengobati rasa sedihku karena kepulangan Nila yang amat membuatku shock dan trauma.

Sedang sibuk aku berkutat di dapur tiba-tiba Sarah masuk lewat pintu belakang.

"Bi."

"Eh, Sarah ke mana aja baru ke sini? Kemarin katanya kamu mau ke sini lagi, tapi ditunggu-tunggu sampai malam malah gak ada," ujarku bersemangat sambil terus mengaduk masakan yang ada di dalam kwali.

"Hehe iya Bi, maafin Sarah ya semalam Sarah malah ketiduran dari sore," jawabnya cengengesan.

"Iya gak apa-apa kok, Bibi cuma kerepotan aja akhirnya gara-gara kamu gak bantuin," senyumku padanya.

"Eh tapi ...."

Melihat wajah Sarah, tiba-tiba aku kembali teringat kejadian semalam.

"Tapi apa, Bi?" Sarah tak sabar.

Aku mendekat dan berbisik di telinganya.

"Tapi semalam Bibi melihat Nila lagi."

Sarah melotot.

"Bibi, jangan bercanda ah," desahnya.

"Bibi serius Sar, tapi yang membuat Bibi kepikiran kenapa Nila selalu datang dengan rupa kamu ya?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muhammad yusuf Musthafa
seru ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status