"Dan satu lagi, kalau Ibu bukan orang lain, mengapa dengan tega kau membuat persekongkolan jahat dengan Aluna?!" Wanita itu makin pucat pasi mendengar kalimatku yang pasti amat memojokkannya. Dia tertunduk, entah karena marah atau malu bahwa kebobrokannya berhasil kukuliti bersih. Hei, apa dia kira aku sudah melupakan segalanya? Dia kira aku sudah memaafkan kejahatannya? "Maaf, Rindu. Ibu terpaksa. Aluna memberi iming-iming uang saat itu." Jawabannya memang sesuai dugaanku. Segala kecurangan wanita bergelar ibu tiriku itu tak jauh-jauh dari persoalan uang. Entah setan apa yang bersemayam di otaknya hingga rasa kemanusiannya terpangkas habis demi lembaran-lembaran rupiah. Sungguh, dadaku hampir meledak saat ini. Apalagi melihatnya yang mulai berkaca-kaca saat menatapku. Aku terenyuh? Jangan harap. Hatiku kebas, tak mampu lagi menerima segala bentuk permintaan maaf bahkan sekadar penyesalan sekalipun! "Kau sungguh berubah, Rindu." "Ibu adalah salah satu orang yang berhasil meng
Sekalian saja kucecar wanita di depanku ini. Tak kupedulikan wajahnya yang mulai merah paham khasnya saat tengah emosi. Kurasa kalimatku cukup memberi pukulan-pukulan telak pada dirinya. "Tentu saja Ibu tak puas jika tak melihat langsung sendiri." Ucapannya membuatku pura-pura mengerti dan percaya dengan apa yang dia katakan. Bukan aku bodoh, aku mampu menebak tujuan apa yang membuat lintah ini mendekat pada daging segar yang kini tersedia begitu mudah di rumahku. Aku tahu kemana pikirannya berlabuh. Aku tersenyum licik. Aku tidak ingin kalah dengan wanita ini. Dia yang dulu memperlakukanku bak binatang tak akan mendapatkan penghormatan apapun di rumahku. Aku tak bodoh, tak mungkin lupa juga dengan tiap detil perlakuannya padaku. "Apakah sang pemberi info tak menjelaskan pekerjaan apa yang kutekuni akhir-akhir ini?" Sengaja kutekan kata sang pemberi info pada kalimatku. Aku hanya mengarah pada dua orang itu yang telah memberi info padanya. "Rindu, kau… kau… tidak melakoni perkerja
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
Perdebatan Rindu dan Satya "Ibu bawa tas?" tanyaku. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Menginap di mana? Apa Ibu ada saudara di sini? Biar kucarikan taksi online untuk mengantar Ibu kesana." Binar mata itu musnah seiring senyumnya yang meredup cepat seusai mendengar kalimatku. Hei, dimana letak salahku? Bukankah aku bertanya baik-baik? Mengapa wajahnya kini terlihat murung? "Bu? Menginap dimana?" ulangku. Terkesan jahat, tapi aku tak peduli. Aku tak terbiasa membawa orang asing menginap di rumahku. Terlebih dia, yang bertahun-tahun mengukir luka dalam kehidupanku. "Rin-ndu, apakah… di rumah ini tak ada kamar kosong?" tanyanya sambil meremas baju yang dia gunakan. Matanya harap-harap cemas melihat ke arahku. "Tentu saja ada," ujarku yang langsung membuat binar di matanya terlihat penuh harap. "Tetapi aku tak terbiasa ada orang asing menginap di rumahku." "Mak-sudmu, Ibu orang asing, Ndu?" tanyanya dengan wajah kecewa yang begitu terlihat. Berkali-kali dia mengusap ujung m
Dengan sangat terpaksa aku mengizinkan wanita ini menginap di rumahku. Hanya satu malam ini saja, besok aku akan mengantarkannya ke terminal untuk pulang kembali ke tempatnya berasal. Bukan tak punya hati, aku hanya tak ingin membuang-buang waktuku mengurusi manusia yang tak punya hati sepertinya. "Bintang lahap sekali makannya?" ucap Ibu pada Bintang yang sesekali mencuri pandang ke arah wanita asing itu. Tak ada tanggapan dari anakku. Kurasa Ibu cukup tersinggung, tetapi saat aku menghujamkan tatapan tajam padanya, wanita itu terlihat salah tingkah. Wanita yang kulihat ini memang kini terlihat kurus, terkesan tak terawat. Beda sekali saat dulu aku masih serumah dengannya. "Berapa kau menggaji pengasuh anakmu?" Pertanyaan lanjutan itu membuatku menghentikan gerakan tanganku menyendok makanan. "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" "Maksud Ibu… apakah tak sebaiknya Ibu yang mengasuh anakmu saja?" Seketika Bintang menatapku. Tentu saja aku tak akan bodoh menyerahkan anakku pada singa
Cerai "Yang tadi malam itu… pacarmu?" tanya Ibu saat aku tengah menyiapkan makanan untuk sarapan yang kupesan lewat jasa antar di warung makan langganan. Bukan aplikasi online, karena pemilik warungnya pun sudah sepuh. Dia tak akan paham dengan kerja sama semacam itu. Aku diam, terlalu asyik bergelut membuka bungkusan-bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma sedap. Makanan khas orangtua, tentu saja dengan aroma-aroma bumbu yang tak pelit jumlahnya. Urap sayuran hijau, sambel kacang ikan teri, orek tempe dan seperti biasa, Mbok Ruminten memberikan bonus telur dadar untuk Bintang. Padahal aku tak memesannya. "Ndu!" panggil Ibu. Aku menoleh, menatapnya dengan wajah biasa seolah tak kudengar apa yang dia katakan tadi. "Apakah pria tadi malam itu calon suamimu? Sepertinya dia sangat peduli dengan Bintang." Aku menyesap kopi sesaat. Kubiarkan rasa penasaran menguasai wanita itu. Kulihat bibirnya mencebik menatapku jengkel. "Apakah aku perlu menjelaskannya?" tantangku. "Tentu saja, Ib
"Aku harap Ibu paham dengan batasan-batasanmu, Bu. Ingatlah di antara kita tidak ada hubungan apa pun. Tidak ada dalam tubuhku mengalir setetes pun darah dari tubuhmu. Bukankah itu yang dulu kau ucapkan padaku? Jangan ikut campur urusan yang tidak kamu ketahui. Ingatlah apa yang menimpaku dengan bintang adalah turut campur tanganmu juga, Bu," ucapku pada wanita itu penuh emosi. "Apakah kau sedang menyesal pergi meninggalkan rumah? Ibu Janji bisa membantumu kembali pada Giandra tapi dengan satu syarat. Biarkan Ibu tinggal di sini bersamamu." Dengan keras aku menggebrak meja. Tak kupedulikan lagi batasan sopan santun terhadap orang tua. Wanita ini benar-benar perlu kuberi perhitungan. "Lekas berkemas aku akan mengantarmu sekarang juga! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni setiap pembicaraanmu!" ucapku yang kuharap mampu membungkam mulut wanita itu. Hari ini migrainku kembali kambuh. Saat di restoran aku hampir menubruk mesin pembuat kopi karena kepalaku yang tiba-tiba sakit t