Jam pertama hari itu diisi oleh pelajaran olahraga. Udara pagi masih lembap, bekas hujan semalam yang belum sepenuhnya menguap dari tanah. Aku membuka kancing seragamku yang sudah kusam dan kotor, lalu menaruhnya di atas bangku panjang di sudut kelas. Suara riuh anak-anak terdengar dari arah lapangan, bercampur dengan tiupan peluit nyaring yang sudah tidak asing lagi.Aku buru-buru mengenakan baju olahraga yang lusuh dan sudah mulai melar di bagian leher. Warnanya pun memudar. Tapi aku tetap memakainya, karena aku tak punya pilihan lain. Ibu jelas tidak akan mau membelikanku seragam olahraga yang baru. Pak Ketut, guru olahraga kami yang terkenal tegas tapi penyayang, berdiri di tengah lapangan dengan peluit tergantung di lehernya. Ia meniupnya beberapa kali—tanda semua murid harus segera berkumpul dan berbaris rapi.“Cepat, cepat! Jangan lambat. Baris berdasarkan absen!” serunya lantang.Kami semua segera mengambil tempat. Anak-anak mulai merapikan posisi, sebagian masih tertawa-tawa
Meski ibu berulang kali memupus semangatku menuntut ilmu dengan dalih menghemat pengeluaran, aku tetap semangat untuk sekolah. Katanya, perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya hanya akan ke dapur juga. Tapi aku tidak peduli. Dalam hatiku, aku ingin membuktikan bahwa aku bisa punya masa depan cerah. Aku ingin mengubah nasibku, agar tidak selamanya hidup dalam kemiskinan dan tekanan.Meski hanya punya dua stel seragam lusuh dan sepatu yang bagian depannya sudah menganga, aku tetap berangkat ke sekolah dengan kepala tegak. Yang penting pihak sekolah tak pernah menolak kehadiranku. Itu saja sudah cukup untuk menyulut semangatku setiap pagi."Aku berangkat sekolah dulu, Bu," pamitku suatu pagi.Dua adikku belum selesai mandi, masih bermain air di kamar mandi sambil tertawa-tawa. Aku sudah lebih dulu bangun dan selesai sarapan karena sekolahku lebih jauh daripada sekolah mereka."Iya," jawab ibu singkat, tanpa menoleh. Ia masih sibuk mencuci piring di dapur. Namun, seperti
"Bu, sepatuku kekecilan. Sudah nggak muat. Jariku sampai sakit karena terpaksa harus kutekuk," keluhku waktu itu.Aku masih ingat betul suasana sore itu. Udara panas masuk dari jendela yang terbuka setengah. Suara jangkrik mulai terdengar bersahutan dari kebun samping rumah. Di ruang tengah, aku duduk bersila di atas sofa tua warisan nenek. Kulitnya sudah terkelupas di banyak bagian. Jika aku duduk terlalu lama, potongan sponsnya bisa menempel di seragamku. Tapi tak ada tempat lain yang lebih nyaman di rumah kami, kecuali kamar tidurku yang sempit.Ibu hanya menoleh sesaat dari depan radio tua. Ia duduk di karpet sambil memutar-mutar kenop radio, berusaha menemukan gelombang yang tidak menimbulkan suara kresek-kresek. Dia lebih memilih fokus pada lagu-lagu nostalgia daripada mendengarkan keluhanku."Gimana, Bu? Apa ibu mau membelikanku sepatu baru?" aku kembali memohon. Suaraku perlahan mengecil karena rasa takut. Tapi aku tetap berusaha berharap, barangkali hatinya terketuk. Barangka
Dua jam setengah berlalu. Bel tanda istirahat berbunyi nyaring, memecah kesunyian ruang kelas di mana anak-anak sibuk mengerjakan tugas dariku. Aku bergegas meninggalkan kelas tempatku mengajar dan melangkah menuju kelas Sekar. Anak itu duduk di bangku paling belakang, wajahnya tampak lesu meski ia berusaha tersenyum ketika melihatku datang."Ada perlu apa Bu Wulan ke sini?" tanya “Saya ingin mengajak Sekar keluar sebentar. Ada keperluan penting, saya mau membelikan dia sepatu baru. Saya akan pastikan dia kembali sebelum bel masuk berbunyi.”Ekspresi guru muda itu berubah. Alisnya sedikit bertaut, ragu. Ia menoleh pada Sekar, lalu kembali menatapku.“Membelikan sepatu untuk dia?” tanyanya, nada suaranya sarat keheranan.Aku tetap tersenyum ramah, berusaha menahan diri untuk tidak tersinggung. “Iya,” jawabku singkat.“Dia… dapat beasiswa? Tapi rasanya nggak mung—”Aku segera memotong kalimatnya sebelum ia sempat menyelesaikannya. Nada suaraku tetap tenang, tapi tegas. “Nggak harus nun
“Kenapa kamu nggak makan nasi? Orang tuamu nggak masak?” tanyaku penasaran, mencoba terdengar santai. Tapi sebenarnya, hatiku sudah curiga sejak tadi. Anak itu duduk di pojok kantin dengan wajah lesu dan perut yang beberapa kali terdengar keroncongan.Sekar menunduk. Lama ia terdiam sebelum akhirnya membuka mulut. Suaranya pelan, hampir tak terdengar.“Motor ayah sudah beberapa hari rusak. Ayah nggak punya uang buat bawa ke bengkel. Ibu juga nggak ada uang buat beli beras. Jadi… ibu cuma ngerebus singkong beberapa hari ini untuk kita makan. Itu pun saya harus berbagi dengan adik-adik saya.”Aku menelan ludah, berusaha menahan gelombang perasaan yang tiba-tiba menyerbu. Sekar mulai menitikkan air mata, tapi ia buru-buru menunduk lebih dalam, mencoba menyembunyikannya dariku. Aku pura-pura tidak melihat, memberinya ruang untuk menjaga harga dirinya.“Kadang ibu sering menahan lapar demi anak-anaknya, Bu… karena pohon singkong di sekitar rumah sudah habis dicabut buat dimasak…” lanjutnya
Entah sudah berapa kali secuil kisah pahit masa kecil itu terulang dalam ingatan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, aku belum juga melupakan setiap detail rasa sakitnya. Semua bagai kepingan film yang terpatri kuat dalam ingatanku. Bayangan-bayangan itu kerap muncul di waktu-waktu yang tak terduga, seperti pagi ini. Aku terisak lirih dalam perjalanan menuju sekolah. Air mata tak bisa kutahan saat berbagai hal menyakitkan itu kembali berputar ulang di dalam kepala. Sekolah tempatku mengajar mulai tampak di depan mata. Aku menarik napas panjang, menepikan kenangan ke balik relung hati yang paling sunyi. Setelah memarkir motor, aku mengeluarkan bedak dari tas kecilku dan membubuhkannya dengan cepat di wajah yang masih sedikit basah. Harus tampak segar, setidaknya tak terlihat seperti habis menangis.Aku melangkah menuju ruang guru, meletakkan tas dan map pelajaran yang sudah kubawa dari rumah. Setelah itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin untuk sarapan. Udara pagi cukup sej