"Aku nggak mau kalau Ibu tinggal di rumah kita, Mas. Ngerawat orang tua itu susah. Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kan Mbak Wulan itu saudara tertua. Jadi dia paham lah gimana caranya merawat orang yang sudah tua," tolak Rani sambil melipat tangannya di depan dada.
Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sudah kuduga Rani akan berkata demikian. Sejak awal, aku tahu rencana membawa Ibu tinggal bersama mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran baru.
"Tapi kan kamu enak. Ada yang bantu jagain Dara di rumah," bujuk Arya lagi. Suaminya itu belum menyerah. Wajahnya terlihat sabar, tapi ada nada putus asa di ujung suaranya.
Rani mendengus kesal. "Dara sudah besar, Mas. Aku merawatnya sendirian juga sanggup. Memangnya selama ini aku pernah ngeluh ke kamu soal ngurus Dara? Nggak, kan. Tapi untuk merawat Ibu, maaf Mas, aku nggak sanggup," tegasnya sekali lagi. Wajahnya ditekuk. Bola matanya beralih menatap tembok.
Aku memperhatikan mereka dari ujung ruang tengah, pura-pura membaca majalah bekas, tapi telingaku tajam menangkap setiap nada ketegangan itu. Rumah ini memang sudah tak lagi tenang sejak Arya mulai membicarakan keinginannya membawa Ibu tinggal bersama mereka.
"Kenapa nggak dicoba dulu? Satu minggu saja. Nanti kalau kamu nggak nyaman, kita bawa Ibu pulang ke sini lagi," Arya masih mencoba membujuk. Matanya memohon pengertian, tapi Rani tak bergeming. Ia malah membentak Arya balik.
"Kamu pikir Ibu itu barang yang main dilempar-lempar saja, Mas?" Rani mendongak tajam. "Kamu bawa pulang, terus kalau nggak cocok dibawa balik? Kayak boneka aja!"
Aku nyaris tertawa mendengarnya. Wajah Rani yang merengut dan nada bicaranya yang setengah marah itu justru membuatku geli. Aku tidak heran. Bukan satu dua kali mereka berselisih paham soal ini. Arya terlalu naif jika mengira Rani akan dengan senang hati menerima kehadiran Ibu. Sejak awal, semua tahu itu hal mustahil.
"Paksa saja terus sampai dia mau," sindirku saat melewati mereka. Bahkan aku sengaja menertawakan sikap Arya. Seakan-akan aku sedang menonton sinetron dengan jalan cerita yang sudah kutebak dari awal.
Arya melirikku tajam, tapi tak berkata apa-apa. Ia tidak membalas sindiranku. Tidak akan pernah berani. Apalagi ini rumahku. Mana berani dia membuat masalah di rumah orang.
"Sudah, sudah. Kalian jangan bertengkar! Ibu di sini saja. Ibu nggak akan ikut kalian. Ibu nggak tiap hari kok makan tempe dan nasi sisa. Kemarin itu daripada mubazir, jadi Ibu yang habiskan. Kadang Mbak-mu juga kasih lauk ayam goreng dan daging. Ini kan mendekati akhir bulan, jadi Mbak-mu harus berhemat," Ibu membelaku. Suaranya pelan, diikuti linangan air mata di kedua pipinya. Dan itu cukup untuk membuat suasana ruangan mengendur sedikit.
Aku hanya tersenyum simpul. Aku tidak butuh dibela. Ibu selalu mencoba menjadi penengah, walau seringkali dengan cara yang salah. Ia mencoba menunjukkan bahwa ia tidak keberatan tinggal bersamaku, meski kenyataannya ia sering menahan sakit dan kecewa akibat ulahku. Tentu saja. Lagian mana siap dia tinggal dengan menantu.
"Apaan sih, Bu. Aku nggak butuh Ibu bela seperti itu. Kalau memang mereka mau bawa Ibu, kan bagus. Biar Ibu nggak terus-terusan tinggal sama anak durhaka sepertiku," ucapku sambil tersenyum sinis.
Ryan, si anak bungsu, tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menghampiri Ibu. Dipeluknya tubuh renta itu dari belakang. Ibu langsung mengusap air matanya.
"Yakin Ibu nggak apa-apa tinggal di sini?" tanyanya sedikit berbisik di telinga Ibu. Tangannya belum melepaskan pelukan itu.
Ibu menggeleng pelan. "Beneran kok. Ibu nggak apa-apa. Ibu senang tinggal di sini."
Aku tertawa dalam hati. Mana mungkin dia senang tinggal di sini. Yang ada dia terpaksa, karena menantu-menantunya selalu menolak Ibu tinggal di rumah mereka.
"Kalau ada yang perlu Ibu katakan, katakan saja pada kami. Kami juga anak-anak Ibu."
Aku tertawa kecil. "Kami juga anak-anak Ibu," ledekku dalam hati, mengulang apa yang Ryan katakan. Mereka mengaku anak ibu juga, tapi tidak berani mengajak Ibu untuk tinggal di rumahnya.
Ibu tersenyum simpul, matanya mengerjap, berusaha menahan air mata. Aku merasa geli sekaligus muak melihatnya. Mereka terlalu melodramatis. Seakan-akan aku menelantarkan Ibu dan memperlakukannya seperti pembantu.
"Masih mending aku memberinya makan dan tempat tinggal gratis. Nggak membiarkan Ibu kelaparan atau tidur di kolong jembatan. Sedurhaka-durhakanya aku seperti kata mereka, setidaknya aku nggak buang Ibu ke panti jompo." Aku mendumel dalam hati.
Dulu waktu masih muda, ibu tidak pernah menggunakan hati nuraninya kepadaku. Sekarang ketika beliau sudah tua dan mulai rapuh, tiba-tiba kami semua harus berlomba menunjukkan siapa yang paling peduli. Tapi kenyataannya, tak ada yang benar-benar siap. Ujungnya, hanya rumahku yang dijadikan penampungan.
"Katakan saja, Bu! Katakan semua apa yang Ibu alami di rumah ini seperti bagaimana Ibu ngadu ke tetangga," ucapku santai sambil mengunyah kacang oven.
"Mbak!" Arya memperingatkan aku lagi.
"Kenapa?" Aku menantangnya. Sambil berkacak pinggang, aku memberikan tatapan nyalang pada Arya.
"Berhenti membuat Ibu tertekan seperti itu!" gertaknya. Tapi aku malah membalasnya dengan senyuman sinis.
"Mas, sudah." Ryan menengahi. Si bungsu itu memang selalu menjadi penengah saat kita berseteru.
Rani hanya melirikku sekilas, lalu berdiri dan pamit ke dapur. Arya menyusul, meninggalkan ruang tamu yang hening kembali.
Begitulah kami, anak-anak ibu. Berebut tidak mau mengurus ibu. Tak ada rumah yang benar-benar bisa menerimanya dengan tangan terbuka.
Dan aku? Aku mau menerima dia di rumahku karena terpaksa. Dan tentu tinggal di sini tidaklah gratis. Ibu harus membayarnya dengan mental, sesuai dengan apa yang sering dia lakukan kepadaku dulu.
Karena suasana semakin menegang, satu per satu kenangan pahit itu kembali muncul dalam ingatanku. Saat Ibu sering memperlakukanku tidak adil. Seperti saat Ibu membelikan ayam goreng untuk Ryan dan Arya. Sedangkan aku menangis di dalam kamar sambil menahan rasa lapar.
***Entah sudah berapa kali secuil kisah pahit masa kecil itu terulang dalam ingatan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, aku belum juga melupakan setiap detail rasa sakitnya. Semua bagai kepingan film yang terpatri kuat dalam ingatanku. Bayangan-bayangan itu kerap muncul di waktu-waktu yang tak terduga, seperti pagi ini. Aku terisak lirih dalam perjalanan menuju sekolah. Air mata tak bisa kutahan saat berbagai hal menyakitkan itu kembali berputar ulang di dalam kepala. Sekolah tempatku mengajar mulai tampak di depan mata. Aku menarik napas panjang, menepikan kenangan ke balik relung hati yang paling sunyi. Setelah memarkir motor, aku mengeluarkan bedak dari tas kecilku dan membubuhkannya dengan cepat di wajah yang masih sedikit basah. Harus tampak segar, setidaknya tak terlihat seperti habis menangis.Aku melangkah menuju ruang guru, meletakkan tas dan map pelajaran yang sudah kubawa dari rumah. Setelah itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin untuk sarapan. Udara pagi cukup sej
Aku berhenti mengunyah. Ayam goreng yang biasanya terasa lezat kini seperti potongan karton keras di dalam mulutku. Sulit sekali aku telan. Seolah ada benjolan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sementara itu, nasi dalam piring mulai bercampur dengan tetesan air mata. Hangat dan asin. Rasanya menyayat. Bagaimana bisa Ibu menyebut Ayah pilih kasih, sedangkan dia sendiri sudah lebih dulu dan lebih sering melakukannya? Tanpa pernah merasa bersalah."Uangku hanya cukup buat beli satu. Lain kali akan aku belikan lagi kalau sudah gajian," ujar Ayah pelan, dengan suara tenang seperti biasa. Tak ada nada tinggi, tak ada bantahan keras. Dia hanya menjawab dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.Itulah hal yang membuatku tak pernah berhenti mengaguminya. Ayah, laki-laki sederhana itu, selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi Ibu yang hampir setiap hari selalu marah-marah. Siap meledak untuk hal-hal remeh sekalipun. Kadang aku merasa dunia ini terlalu kejam. Mengapa Ayah yang begitu
Aku mendengkus kesal sambil mengendalikan kemudi. Jalanan masih lengang, namun pikiranku terlalu riuh oleh ingatan masa lalu. Tumpukan rasa sakit itu tak pernah luntur sedikit pun meski tahun demi tahun berlalu. Pagi ini, pikiranku kembali melayang ke masa kecilku, masa yang ingin kulupakan namun selalu datang menghantui di saat-saat paling rapuh seperti sekarang. Masa kecil yang tak seperti anak-anak lain. Masa kecil yang penuh luka karena cinta yang tidak dibagi rata."Andai hari itu, Ibu mau membagi ayam goreng yang sama pada anak-anaknya," gumamku sendiri. Lalu kepalaku memutar memori ingatan tentang satu kejadian menyakitkan di masa itu. Di balik pintu kamar kecil rumah kami yang sempit dan pengap, aku dulu sering bersembunyi. Hari itu, aku menahan napas, berjongkok di balik pintu agar tak terlihat. Aku ingin mendengar, ingin memastikan bahwa kecurigaanku benar. "Ibu darimana? Apa yang dia bawa dalam genggamannya?" pikirku sambil bersembunyi di balik pintu. Ibu baru saja pula
"Aku nggak mau kalau Ibu tinggal di rumah kita, Mas. Ngerawat orang tua itu susah. Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kan Mbak Wulan itu saudara tertua. Jadi dia paham lah gimana caranya merawat orang yang sudah tua," tolak Rani sambil melipat tangannya di depan dada.Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sudah kuduga Rani akan berkata demikian. Sejak awal, aku tahu rencana membawa Ibu tinggal bersama mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran baru."Tapi kan kamu enak. Ada yang bantu jagain Dara di rumah," bujuk Arya lagi. Suaminya itu belum menyerah. Wajahnya terlihat sabar, tapi ada nada putus asa di ujung suaranya.Rani mendengus kesal. "Dara sudah besar, Mas. Aku merawatnya sendirian juga sanggup. Memangnya selama ini aku pernah ngeluh ke kamu soal ngurus Dara? Nggak, kan. Tapi untuk merawat Ibu, maaf Mas, aku nggak sanggup," tegasnya sekali lagi. Wajahnya ditekuk. Bola matanya beralih menatap tembok. Aku memperhatikan mereka dari ujung ruang tengah, pura-pura membaca
Aku baru sampai di depan rumah. Motor baru saja kumatikan, dan rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangan setelah menenteng dua kresek besar dari minimarket. Semuanya berisi kebutuhanku dan anak-anak. Suara tawa dari dalam rumah menyambutku begitu aku sampai di depan pintu. Gelak tawa yang terdengar akrab dan hangat. Terdengar seperti keluarga yang harmonis. Tapi tidak buatku."Ternyata mereka sudah di dalam," pikirku sambil melangkah masuk. Aku menatap pintu rumah sejenak sebelum mendorongnya pelan. Aku melangkah tanpa menyapa mereka semua. Berjalan melewati mereka begitu saja menuju ruang tengah. Lalu kuletakkan semua belanjaanku ke atas meja. Dari ruang tengah, aku bisa melihat ibu duduk di antara Arya dan Ryan, anak-anak kesayangannya. Kedua istrinya ikut tertawa, sesekali menyela obrolan. Wajah ibu sumringah. Matanya berbinar, pipinya sedikit merah karena terlalu banyak tersenyum. Aku tahu, momen seperti ini yang selalu ia rindukan. Momen ketika anak-anak yang dulu ia ra
“Tidak, Lan. Biarkan ibu di sini. Adik-adikmu nggak ada yang mau menerima ibu. Ibu janji nggak akan cerita apa-apa lagi ke tetangga,” rajuknya sambil memegangi tanganku. Ibu bahkan hampir bersimpuh di kakiku, tapi tubuhnya segera kutarik lagi ke atas. Aku tidak butuh dia bersujud di kakiku. Yang aku mau hanya dia tidak membuat masalah denganku. Buliran air mata jatuh satu-satu, mengalir di pipi keriputnya. Suaranya bergetar, matanya penuh harap, memohon belas kasihan dariku agar aku tak mengusirnya dari rumah ini.Aku mendesah kasar, menepis tangannya. “Ya kan. Akhirnya ngaku kalau sering ngadu ke orang-orang. Denger ya, Bu! Meskipun mereka kasihan, belum tentu mereka mau nampung ibu di rumahnya. Ujung-ujungnya siapa? Tetap aku yang harus ngerawat ibu. Maka dari itu, ibu pilih, nurut sama aku atau angkat kaki dari rumah ini. Jangan hanya menyusahkanku saja!”Tanganku mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang sejak tadi nyaris meledak. Aku berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Di d