Home / Lainnya / Anakku Terlalu Pelit / 6. Tak Ada Ayam Goreng Untukku

Share

6. Tak Ada Ayam Goreng Untukku

Author: Devie Putri
last update Huling Na-update: 2025-05-12 16:06:59

Aku mendengkus kesal sambil mengendalikan kemudi. Jalanan masih lengang, namun pikiranku terlalu riuh oleh ingatan masa lalu. Tumpukan rasa sakit itu tak pernah luntur sedikit pun meski tahun demi tahun berlalu. 

Pagi ini, pikiranku kembali melayang ke masa kecilku, masa yang ingin kulupakan namun selalu datang menghantui di saat-saat paling rapuh seperti sekarang. Masa kecil yang tak seperti anak-anak lain. Masa kecil yang penuh luka karena cinta yang tidak dibagi rata.

"Andai hari itu, Ibu mau membagi ayam goreng yang sama pada anak-anaknya," gumamku sendiri. Lalu kepalaku memutar memori ingatan tentang satu kejadian menyakitkan di masa itu. 

Di balik pintu kamar kecil rumah kami yang sempit dan pengap, aku dulu sering bersembunyi. Hari itu, aku menahan napas, berjongkok di balik pintu agar tak terlihat. Aku ingin mendengar, ingin memastikan bahwa kecurigaanku benar. 

"Ibu darimana? Apa yang dia bawa dalam genggamannya?" pikirku sambil bersembunyi di balik pintu. 

Ibu baru saja pulang entah dari mana, menggenggam erat kantong plastik hitam kecil yang tangannya. Dia tak memanggilku. Langsung menuju kamar adik-adikku, Arya dan Ryan, mengajak mereka lekas ke dapur. 

"Sebenarnya apa yang Ibu bawa untuk Arya dan Ryan?" Aku semakin penasaran.  

Aku mengintip dari sela pintu yang terbuka sedikit, menyaksikan ibu mengeluarkan dua potong ayam goreng dari dalam kantong dan meletakkannya ke atas piring mereka masing-masing. 

Sebenarnya aku menunggu Ibu meneriakkan namaku. Memanggilku agar makan bersama kedua adikku. Namun seperti yang sudah-sudah, aku tidak pernah diberi jatah. 

“Ayo, cepat makan! Habiskan! Sebelum Mbak kalian tahu,” kata ibu setengah berbisik tapi cukup jelas untuk kudengar. Mungkin Ibu pikir aku sedang tidur siang. Padahal diam-diam, aku mengintip mereka. 

"Ibu nggak belikan buat Mbak Wulan?" tanya Arya, adikku yang pertama. 

"Nggak. Uang ibu cuma cukup buat beli dua. Sudah. Makanlah! Jangan banyak tanya! Yang penting kalian bisa makan enak," tukasnya membuat mereka berdua tak lagi berani bertanya banyak atau sekedar menyebut namaku. 

Dadaku sesak. Aku menggigit bibir, menahan isak. Kenapa selalu begitu? Selalu aku tidak diberi jatah makanan yang sama dengan adikku. 

"Padahal perutku juga lapar sekali," rintihku lirih "Tapi Ibu selalu begitu. Dia nggak pernah sayang dengan aku seperti menyayangi mereka."

Perutku yang sudah sejak pagi kosong meronta tak karuan. Namun aku terlalu lelah untuk memprotes. Aku kembali ke atas tempat tidur, menarik selimut dan membenamkan wajah. Aku kencangkan ikat pinggangku untuk menahan lapar. Lalu aku tertidur karena lelah menangis. 

Entah berapa lama aku terlelap, aku terbangun oleh rasa lapar yang kian menjadi. Aku bangkit, menyeret kaki menuju dapur dengan harapan ada sisa makanan. Kubuka tudung saji dan mendapati satu potong tempe goreng yang sudah dingin. Sedangkan di salah satu sudut meja, aku melihat piring bekas makan adik-adikku yang menyisakan tulang belulang di atasnya. 

Dengan air mata kembali mengalir, aku makan dalam diam. Suapan demi suapan terasa seperti duri. Bukan karena rasa tempe yang hambar, tapi karena hati yang remuk.

“Kamu kenapa? Kok makan sambil nangis?” Suara ayah mengagetkanku. Aku lekas menoleh dan air mata turun semakin deras. 

Ayah. Lelaki itu menatapku dengan wajah lelah sepulang kerja, namun ada kelembutan yang tak pernah kutemukan dari ibu. Aku menatapnya dengan mata basah, lalu memeluknya erat. 

“Yah... nanti kalau ayah punya uang, beliin aku ayam goreng ya? Aku pengin sekali saja makan ayam goreng. Satu potong saja. Aku nggak minta banyak,” pintaku lirih, berharap permintaan kecilku bisa ia kabulkan.

Ayah mengusap kepalaku, senyum tipisnya membuatku merasa dilihat dan didengar.

“Iya, nanti ayah belikan. Sekarang makan yang ada dulu ya, Nak.”

Aku mengangguk senang. Tiga hari kemudian, sepulang kerja, ayah menepati janjinya. Dia membelikanku sepotong ayam goreng. 

Aku melompat senang, segera menyiapkan nasi dan menyantapnya dengan lahap. Bumbu ayam yang sebenarnya rasanya biasa saja, entah mengapa terasa begitu lezat hari itu. 

Namun kebahagiaanku tak bertahan lama.

Ibu datang dari belakang, langkahnya tergesa dan wajahnya merah padam. Tiba-tiba tangannya menggebrak meja makan hingga piringku bergetar dan separuh isinya tumpah ke atas meja.  

“Ngapain kamu beliin dia ayam goreng? Cuma satu lagi. Terus mana buat Arya dan Ryan? Mana buat aku juga?” suaranya melengking, menyayat telinga dan hati.

Ayah menatap ibu dengan tenang, berusaha menahan amarah.

“Maaf, uangku hanya cukup buat membeli satu. Lain kali kalau aku ada rejeki lebih lagi akan aku belikan kalian semua ayam goreng.”

“Halah alasan. Kamu memang dari dulu cuma sayang sama Wulan. Jadi sekarang kamu mulai pilih kasih sama anak-anakmu?”

Aku hanya bisa menunduk. Tangan masih memegang sendok, namun ayam goreng di piring kini tak lagi menggugah selera. Ingin rasanya aku berkata bahwa aku tidak pernah minta lebih. Aku hanya ingin diperlakukan sama. Tapi suara itu terlalu berat untuk keluar dari mulut anak kecil sepertiku.

Ayah menghela napas panjang. “Sudahlah, Bu. Aku nggak ada maksud demikian."

"Sudah ... sudah ... Ayo Arya, Ryan, kita makan sama tempe saja. Ayahmu nggak sayang sama kalian berdua," ucap Ibu pada adik-adikku sambil berlalu pergi. 

Aku meletakkan sendok makanku. Mulutku berhenti mengunyah. Aku tak habis pikir dengan sikap ibu. Bagaimana dia tega menuduh ayah pilih kasih, padahal dia yang selalu melakukannya kepadaku? 

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Anakku Terlalu Pelit   8. Sekar dan Sepatunya Yang Koyak

    Entah sudah berapa kali secuil kisah pahit masa kecil itu terulang dalam ingatan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, aku belum juga melupakan setiap detail rasa sakitnya. Semua bagai kepingan film yang terpatri kuat dalam ingatanku. Bayangan-bayangan itu kerap muncul di waktu-waktu yang tak terduga, seperti pagi ini. Aku terisak lirih dalam perjalanan menuju sekolah. Air mata tak bisa kutahan saat berbagai hal menyakitkan itu kembali berputar ulang di dalam kepala. Sekolah tempatku mengajar mulai tampak di depan mata. Aku menarik napas panjang, menepikan kenangan ke balik relung hati yang paling sunyi. Setelah memarkir motor, aku mengeluarkan bedak dari tas kecilku dan membubuhkannya dengan cepat di wajah yang masih sedikit basah. Harus tampak segar, setidaknya tak terlihat seperti habis menangis.Aku melangkah menuju ruang guru, meletakkan tas dan map pelajaran yang sudah kubawa dari rumah. Setelah itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin untuk sarapan. Udara pagi cukup sej

  • Anakku Terlalu Pelit   7. Kasih Sayang dari Ayah

    Aku berhenti mengunyah. Ayam goreng yang biasanya terasa lezat kini seperti potongan karton keras di dalam mulutku. Sulit sekali aku telan. Seolah ada benjolan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sementara itu, nasi dalam piring mulai bercampur dengan tetesan air mata. Hangat dan asin. Rasanya menyayat. Bagaimana bisa Ibu menyebut Ayah pilih kasih, sedangkan dia sendiri sudah lebih dulu dan lebih sering melakukannya? Tanpa pernah merasa bersalah."Uangku hanya cukup buat beli satu. Lain kali akan aku belikan lagi kalau sudah gajian," ujar Ayah pelan, dengan suara tenang seperti biasa. Tak ada nada tinggi, tak ada bantahan keras. Dia hanya menjawab dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.Itulah hal yang membuatku tak pernah berhenti mengaguminya. Ayah, laki-laki sederhana itu, selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi Ibu yang hampir setiap hari selalu marah-marah. Siap meledak untuk hal-hal remeh sekalipun. Kadang aku merasa dunia ini terlalu kejam. Mengapa Ayah yang begitu

  • Anakku Terlalu Pelit   6. Tak Ada Ayam Goreng Untukku

    Aku mendengkus kesal sambil mengendalikan kemudi. Jalanan masih lengang, namun pikiranku terlalu riuh oleh ingatan masa lalu. Tumpukan rasa sakit itu tak pernah luntur sedikit pun meski tahun demi tahun berlalu. Pagi ini, pikiranku kembali melayang ke masa kecilku, masa yang ingin kulupakan namun selalu datang menghantui di saat-saat paling rapuh seperti sekarang. Masa kecil yang tak seperti anak-anak lain. Masa kecil yang penuh luka karena cinta yang tidak dibagi rata."Andai hari itu, Ibu mau membagi ayam goreng yang sama pada anak-anaknya," gumamku sendiri. Lalu kepalaku memutar memori ingatan tentang satu kejadian menyakitkan di masa itu. Di balik pintu kamar kecil rumah kami yang sempit dan pengap, aku dulu sering bersembunyi. Hari itu, aku menahan napas, berjongkok di balik pintu agar tak terlihat. Aku ingin mendengar, ingin memastikan bahwa kecurigaanku benar. "Ibu darimana? Apa yang dia bawa dalam genggamannya?" pikirku sambil bersembunyi di balik pintu. Ibu baru saja pula

  • Anakku Terlalu Pelit   5. Dibayar dengan Mental

    "Aku nggak mau kalau Ibu tinggal di rumah kita, Mas. Ngerawat orang tua itu susah. Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kan Mbak Wulan itu saudara tertua. Jadi dia paham lah gimana caranya merawat orang yang sudah tua," tolak Rani sambil melipat tangannya di depan dada.Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sudah kuduga Rani akan berkata demikian. Sejak awal, aku tahu rencana membawa Ibu tinggal bersama mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran baru."Tapi kan kamu enak. Ada yang bantu jagain Dara di rumah," bujuk Arya lagi. Suaminya itu belum menyerah. Wajahnya terlihat sabar, tapi ada nada putus asa di ujung suaranya.Rani mendengus kesal. "Dara sudah besar, Mas. Aku merawatnya sendirian juga sanggup. Memangnya selama ini aku pernah ngeluh ke kamu soal ngurus Dara? Nggak, kan. Tapi untuk merawat Ibu, maaf Mas, aku nggak sanggup," tegasnya sekali lagi. Wajahnya ditekuk. Bola matanya beralih menatap tembok. Aku memperhatikan mereka dari ujung ruang tengah, pura-pura membaca

  • Anakku Terlalu Pelit   4. Silakan Bawa Ibu Jika Kamu Mau!

    Aku baru sampai di depan rumah. Motor baru saja kumatikan, dan rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangan setelah menenteng dua kresek besar dari minimarket. Semuanya berisi kebutuhanku dan anak-anak. Suara tawa dari dalam rumah menyambutku begitu aku sampai di depan pintu. Gelak tawa yang terdengar akrab dan hangat. Terdengar seperti keluarga yang harmonis. Tapi tidak buatku."Ternyata mereka sudah di dalam," pikirku sambil melangkah masuk. Aku menatap pintu rumah sejenak sebelum mendorongnya pelan. Aku melangkah tanpa menyapa mereka semua. Berjalan melewati mereka begitu saja menuju ruang tengah. Lalu kuletakkan semua belanjaanku ke atas meja. Dari ruang tengah, aku bisa melihat ibu duduk di antara Arya dan Ryan, anak-anak kesayangannya. Kedua istrinya ikut tertawa, sesekali menyela obrolan. Wajah ibu sumringah. Matanya berbinar, pipinya sedikit merah karena terlalu banyak tersenyum. Aku tahu, momen seperti ini yang selalu ia rindukan. Momen ketika anak-anak yang dulu ia ra

  • Anakku Terlalu Pelit   3. Adakah Pintu Maaf Untuknya?

    “Tidak, Lan. Biarkan ibu di sini. Adik-adikmu nggak ada yang mau menerima ibu. Ibu janji nggak akan cerita apa-apa lagi ke tetangga,” rajuknya sambil memegangi tanganku. Ibu bahkan hampir bersimpuh di kakiku, tapi tubuhnya segera kutarik lagi ke atas. Aku tidak butuh dia bersujud di kakiku. Yang aku mau hanya dia tidak membuat masalah denganku. Buliran air mata jatuh satu-satu, mengalir di pipi keriputnya. Suaranya bergetar, matanya penuh harap, memohon belas kasihan dariku agar aku tak mengusirnya dari rumah ini.Aku mendesah kasar, menepis tangannya. “Ya kan. Akhirnya ngaku kalau sering ngadu ke orang-orang. Denger ya, Bu! Meskipun mereka kasihan, belum tentu mereka mau nampung ibu di rumahnya. Ujung-ujungnya siapa? Tetap aku yang harus ngerawat ibu. Maka dari itu, ibu pilih, nurut sama aku atau angkat kaki dari rumah ini. Jangan hanya menyusahkanku saja!”Tanganku mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang sejak tadi nyaris meledak. Aku berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Di d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status