Aku baru sampai di depan rumah. Motor baru saja kumatikan, dan rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangan setelah menenteng dua kresek besar dari minimarket. Semuanya berisi kebutuhanku dan anak-anak.
Suara tawa dari dalam rumah menyambutku begitu aku sampai di depan pintu. Gelak tawa yang terdengar akrab dan hangat. Terdengar seperti keluarga yang harmonis. Tapi tidak buatku.
"Ternyata mereka sudah di dalam," pikirku sambil melangkah masuk.
Aku menatap pintu rumah sejenak sebelum mendorongnya pelan. Aku melangkah tanpa menyapa mereka semua. Berjalan melewati mereka begitu saja menuju ruang tengah. Lalu kuletakkan semua belanjaanku ke atas meja.Dari ruang tengah, aku bisa melihat ibu duduk di antara Arya dan Ryan, anak-anak kesayangannya. Kedua istrinya ikut tertawa, sesekali menyela obrolan. Wajah ibu sumringah. Matanya berbinar, pipinya sedikit merah karena terlalu banyak tersenyum. Aku tahu, momen seperti ini yang selalu ia rindukan. Momen ketika anak-anak yang dulu ia rawat dengan penuh kasih kini berkumpul di sekelilingnya.
"Kamu sekarang sudah kelas berapa?" tanya Ibu pada anaknya Arya.
"Kelas dua, Nek."
"Kamu cepat sekali besar ya. Nenek masih ingat waktu kamu bayi dulu, kamu nggak bisa tidur kalau belum nenek gendong."
Aku terus memperhatikan kedekatan mereka. Aku tidak merasa risih, juga tidak merasa iri. Pun aku tak pernah merasa jadi bagian dari kehangatan itu. Ada jarak yang tidak pernah bisa dijembatani, dan aku sudah terlalu lelah untuk mencoba. Jika pun aku muncul di ruang tengah, paling hanya duduk di sudut, bermain handphone, dan pura-pura sibuk agar tidak perlu ikut tertawa bersama mereka.
"Kamu nggak mau adik lagi?" tanya Mas Danar. Disusul deheman oleh istrinya Arya.
Aku tak seperti Mas Danar yang selalu bisa membaur, bahkan dengan keluargaku sendiri. Entahlah. Mungkin luka masa kecilku terlalu dalam, terlalu lekat, dan belum benar-benar sembuh. Aku sudah mencoba berkali-kali, tapi seperti dinding kaca, setiap kali aku mendekat, aku tetap tertahan. Tak pernah benar-benar bisa masuk ke dalam lingkaran itu.
Kali ini pun, aku lebih memilih duduk di dapur. Jus buah kemasan yang tadi kubeli sudah setengah habis, dan aku memainkan ponsel sambil membuka akun media sosialku. Beberapa berita hangat langsung memenuhi layar. Ku pilih salah satu dan mulai membacanya. Namun sebelum aku larut, langkah pelan terdengar mendekat. Aku menoleh, Arya berdiri di sampingku.
“Mbak,” panggilnya pelan. Suaranya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Aku langsung tahu ini bukan sapaan basa-basi.
“Ya. Kenapa? Ada perlu apa denganku?” tanyaku, mengangkat alis. Jus buah kutaruh di meja. Aku mengalihkan perhatianku dari layar ponsel. Lalu ku tatap lurus kedua mata Arya.
“Kamu kasih ibu makan tempe goreng kemarin sama nasi sisa lagi ya?” tanyanya dengan raut wajah kurang menyenangkan.
Langsung saja hatiku memanas. Aku tidak perlu bertanya dari mana dia tahu. Mungkin ibu yang cerita, mungkin juga istrinya yang kepo melihat isi dapur waktu cuci piring. Tapi itu bukan urusannya.
"Pasti Ibu ngadu ke Arya. Dasar! Perlu aku kasih dia pelajaran nanti setelah mereka pulang," niatku dalam hati.
“Kenapa memangnya? Mau protes?” aku menantangnya. Ku dorong kursi ke belakang. Kini aku berdiri sambil bersendekap dada.
Arya tetap tenang, tapi nada suaranya mulai naik satu oktaf. “Kalau ibu Mbak kasih makan tempe terus, darimana bisa dapat gizi yang cukup? Tolong lah, berhenti pelit sama ibu sendiri.”
Aku tertawa kecil, sinis. Sama sekali aku tidak takut dengan gertakan Arya.
"Kamu pikir tempe nggak ada gizinya? Itu makanan rakyat. Lebih baik tempe hangat dari pada ayam goreng dingin dari restoran cepat saji, tahu?!”
Arya menatapku, mencoba menahan diri. Tapi aku tahu, dia sedang berusaha keras tidak meledak. Tentu dia tidak mau Ibu mengetahui bahwa kita sedang berseteru. Apalagi yang kita perdebatkan adalah orang tua sendiri.
“Iya deh, anak kesayangan. Yang disponsori penuh oleh ibu sampai bisa jadi tentara. Makanya bisa bilang begitu,” tambahku, menyengat. Aku ingin dia tahu, bahwa posisinya hari ini tidak lepas dari peran besar ibu yang mencurahkan segala-galanya padanya, sementara aku tidak pernah merasakan itu. Kasih sayang seorang ibu hanya omong kosong bagiku.
“Sudahlah, Mbak. Berhenti mengungkit hal itu. Wajar kan kalau orang tua mengusahakan kesuksesan anaknya. Mbak juga pasti akan lakukan itu ke anak-anak Mbak.”
Aku tersenyum kecut. “Eits... perlu diralat. Anak kesayangan. Cuma dia yang diusahakan. Bukan semua anaknya. Ibu memang orang tua kita semua, tapi kasih sayangnya cuma cukup untuk kamu dan Ryan. Sedangkan untukku tidak. Yang Ibu lakukan malah sebaliknya. Dia pupus semua mimpi-mimpiku.”
Suasana mendadak dingin. Arya menarik napas, wajahnya berubah. Mungkin dia mulai lelah berdebat denganku.
Aku berdiri, menatapnya tajam. “Jangan ajari aku jadi anak yang baik. Aku sudah terlalu kenyang dengan luka. Kalau kamu merasa sanggup memperlakukan ibu lebih baik, silakan bawa ibu ke rumahmu. Rawat dia. Biayai dia. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau menampungnya.”
Arya terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Seperti biasa, semua orang hanya bisa diam saat aku mengungkapkan semua kebenaran itu.
“Jangan cuma nuduh aku nggak becus ngurus ibu! Jangan juga ceramah kalau aku ini anak durhaka. Kamu yang sejak kecil bisa makan dengan enak pasti nggak tahu rasanya ada di posisiku. Jadi jangan salahkan aku jika sekarang aku bersikap demikian pada Ibu. Tentunya kamu tahu, setiap ada asap pasti akan selalu ada api," balasku berapi-api.
***
Entah sudah berapa kali secuil kisah pahit masa kecil itu terulang dalam ingatan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, aku belum juga melupakan setiap detail rasa sakitnya. Semua bagai kepingan film yang terpatri kuat dalam ingatanku. Bayangan-bayangan itu kerap muncul di waktu-waktu yang tak terduga, seperti pagi ini. Aku terisak lirih dalam perjalanan menuju sekolah. Air mata tak bisa kutahan saat berbagai hal menyakitkan itu kembali berputar ulang di dalam kepala. Sekolah tempatku mengajar mulai tampak di depan mata. Aku menarik napas panjang, menepikan kenangan ke balik relung hati yang paling sunyi. Setelah memarkir motor, aku mengeluarkan bedak dari tas kecilku dan membubuhkannya dengan cepat di wajah yang masih sedikit basah. Harus tampak segar, setidaknya tak terlihat seperti habis menangis.Aku melangkah menuju ruang guru, meletakkan tas dan map pelajaran yang sudah kubawa dari rumah. Setelah itu, seperti biasa, aku berjalan menuju kantin untuk sarapan. Udara pagi cukup sej
Aku berhenti mengunyah. Ayam goreng yang biasanya terasa lezat kini seperti potongan karton keras di dalam mulutku. Sulit sekali aku telan. Seolah ada benjolan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sementara itu, nasi dalam piring mulai bercampur dengan tetesan air mata. Hangat dan asin. Rasanya menyayat. Bagaimana bisa Ibu menyebut Ayah pilih kasih, sedangkan dia sendiri sudah lebih dulu dan lebih sering melakukannya? Tanpa pernah merasa bersalah."Uangku hanya cukup buat beli satu. Lain kali akan aku belikan lagi kalau sudah gajian," ujar Ayah pelan, dengan suara tenang seperti biasa. Tak ada nada tinggi, tak ada bantahan keras. Dia hanya menjawab dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal.Itulah hal yang membuatku tak pernah berhenti mengaguminya. Ayah, laki-laki sederhana itu, selalu bisa bersikap tenang dalam menghadapi Ibu yang hampir setiap hari selalu marah-marah. Siap meledak untuk hal-hal remeh sekalipun. Kadang aku merasa dunia ini terlalu kejam. Mengapa Ayah yang begitu
Aku mendengkus kesal sambil mengendalikan kemudi. Jalanan masih lengang, namun pikiranku terlalu riuh oleh ingatan masa lalu. Tumpukan rasa sakit itu tak pernah luntur sedikit pun meski tahun demi tahun berlalu. Pagi ini, pikiranku kembali melayang ke masa kecilku, masa yang ingin kulupakan namun selalu datang menghantui di saat-saat paling rapuh seperti sekarang. Masa kecil yang tak seperti anak-anak lain. Masa kecil yang penuh luka karena cinta yang tidak dibagi rata."Andai hari itu, Ibu mau membagi ayam goreng yang sama pada anak-anaknya," gumamku sendiri. Lalu kepalaku memutar memori ingatan tentang satu kejadian menyakitkan di masa itu. Di balik pintu kamar kecil rumah kami yang sempit dan pengap, aku dulu sering bersembunyi. Hari itu, aku menahan napas, berjongkok di balik pintu agar tak terlihat. Aku ingin mendengar, ingin memastikan bahwa kecurigaanku benar. "Ibu darimana? Apa yang dia bawa dalam genggamannya?" pikirku sambil bersembunyi di balik pintu. Ibu baru saja pula
"Aku nggak mau kalau Ibu tinggal di rumah kita, Mas. Ngerawat orang tua itu susah. Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kan Mbak Wulan itu saudara tertua. Jadi dia paham lah gimana caranya merawat orang yang sudah tua," tolak Rani sambil melipat tangannya di depan dada.Ekspresinya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sudah kuduga Rani akan berkata demikian. Sejak awal, aku tahu rencana membawa Ibu tinggal bersama mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran baru."Tapi kan kamu enak. Ada yang bantu jagain Dara di rumah," bujuk Arya lagi. Suaminya itu belum menyerah. Wajahnya terlihat sabar, tapi ada nada putus asa di ujung suaranya.Rani mendengus kesal. "Dara sudah besar, Mas. Aku merawatnya sendirian juga sanggup. Memangnya selama ini aku pernah ngeluh ke kamu soal ngurus Dara? Nggak, kan. Tapi untuk merawat Ibu, maaf Mas, aku nggak sanggup," tegasnya sekali lagi. Wajahnya ditekuk. Bola matanya beralih menatap tembok. Aku memperhatikan mereka dari ujung ruang tengah, pura-pura membaca
Aku baru sampai di depan rumah. Motor baru saja kumatikan, dan rasa pegal mulai menjalar di pergelangan tangan setelah menenteng dua kresek besar dari minimarket. Semuanya berisi kebutuhanku dan anak-anak. Suara tawa dari dalam rumah menyambutku begitu aku sampai di depan pintu. Gelak tawa yang terdengar akrab dan hangat. Terdengar seperti keluarga yang harmonis. Tapi tidak buatku."Ternyata mereka sudah di dalam," pikirku sambil melangkah masuk. Aku menatap pintu rumah sejenak sebelum mendorongnya pelan. Aku melangkah tanpa menyapa mereka semua. Berjalan melewati mereka begitu saja menuju ruang tengah. Lalu kuletakkan semua belanjaanku ke atas meja. Dari ruang tengah, aku bisa melihat ibu duduk di antara Arya dan Ryan, anak-anak kesayangannya. Kedua istrinya ikut tertawa, sesekali menyela obrolan. Wajah ibu sumringah. Matanya berbinar, pipinya sedikit merah karena terlalu banyak tersenyum. Aku tahu, momen seperti ini yang selalu ia rindukan. Momen ketika anak-anak yang dulu ia ra
“Tidak, Lan. Biarkan ibu di sini. Adik-adikmu nggak ada yang mau menerima ibu. Ibu janji nggak akan cerita apa-apa lagi ke tetangga,” rajuknya sambil memegangi tanganku. Ibu bahkan hampir bersimpuh di kakiku, tapi tubuhnya segera kutarik lagi ke atas. Aku tidak butuh dia bersujud di kakiku. Yang aku mau hanya dia tidak membuat masalah denganku. Buliran air mata jatuh satu-satu, mengalir di pipi keriputnya. Suaranya bergetar, matanya penuh harap, memohon belas kasihan dariku agar aku tak mengusirnya dari rumah ini.Aku mendesah kasar, menepis tangannya. “Ya kan. Akhirnya ngaku kalau sering ngadu ke orang-orang. Denger ya, Bu! Meskipun mereka kasihan, belum tentu mereka mau nampung ibu di rumahnya. Ujung-ujungnya siapa? Tetap aku yang harus ngerawat ibu. Maka dari itu, ibu pilih, nurut sama aku atau angkat kaki dari rumah ini. Jangan hanya menyusahkanku saja!”Tanganku mengepal, mencoba menahan luapan emosi yang sejak tadi nyaris meledak. Aku berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Di d