Arnon lari mengejar Fea. Gadis itu berlari menuju kamarnya. Marah. Fea sangat marah. Jadi ini yang sebenarnya? Arnon mendekati dia karena ada persyaratan yang harus Arnon penuhi untuk mendapat warisan papanya? Sampai di kamar, Fea menarik kopernya. Dia akan pergi. Secpeat mungkin! Cukup semua permainan ini. Fea tidak mau terlibat lebih jauh. "Fea!" Arnon di depan pintu. Dia menatap pada Fea dengan wajah merah dan pandangan sangat gelisah. "Terima kasih, Arnon. Untuk semuanya. Aku pamit. Semoga kamu akan menemukan wanita yang tepat buat menjadi bahan permainan kamu." Fea merasa dadanya bergemuruh. Dia ingin berteriak dan memukul Arnon. "Fea, kamu salah paham." Arnon maju dan mendekat. Dia memegang tangan Fea melepaskan tangan gadis itu dari kopernya. "Salah paham?" Fea menatap tajam pada Arnon. "Benar, ada persyaratan yang Papa dan Mama beri buatku. Ya, untuk perusahaan Papa. Tapi tidak begitu, Fea. Aku tidak butuh perusahaan itu. Tidak. Mama yang mendesak aku. Jadi, aku ..."
Thank you buat setiap reader dari tulisan ini. Yang teruang di kisah Fea dan Arnon hanyalah sekelumit cerita dua anak manusia. Ada terlalu banyak kisah lain yang bisa ditulis dan diceritakan. Berikut mungkin hal yang perlu kita renungkan, tentang kehidupan. Setiap orang tidak bisa memilih kapan dia akan lahir, kapan dia akan meninggalkan semesta. Tidak juga bisa memilih pada orang tua mana dia akan menjadi anaknya, menjadi bagian hidup mereka hingga akhir hayatnya. Yang terjadi, semua itu kedaulatan Sang Khalik menetapkan yang sesuai dengan setiap orang menurut pemandangan-Nya. Begitu pun perjalanan hidup yang dilalui setiap insan. Terlalu sering mendapati hal yang tak terduga datang, tiba-tiba ada di depan mata. Ada kalanya dengan mudah diatasi. Tidak menutup kemungkinan situasi begitu rumit tidak bisa dihindari, hanya harus dihadapi. Pernahkah menanyakan pada Sang Pemberi Hidup, mengapa jalan ini y
Pagi datang. Hari telah berganti. Fea membuka matanya. Dia memandang langit-langit di atasnya. Dia di mana? Astaga! Ini kamar kos. Ini bukan kamar tempat dia tinggal di rumah besar Hendrawan. Ingatan Fea segera berhenti pada kejadian malam sebelumnya. Hatinya kembali perih. Air mata tak bisa dia tahan, mulai membasahi pipinya. Dia usap dengan telapak tangannya. Dia duduk dan menekuk kedua lututnya. Dia menoleh ke sisi kanan, Rania tidur miring membelakangi Fea. Rania begitu sayang Fea. Dia sampai memilih menginap, menemani Fea, meninggalkan suaminya sendirian. "Maafkan aku, Rania. Aku membuat kamu ikut susah." Fea merasa bersalah juga pada Rania karena apa yang dia alami. Terdengar dering dari ponsel Rania. Segera Rania terbangun dan meraih ponselnya. Jaka yang menghubungi. "Hah? Mas Jaka di depan? Oh, ok. Bentar ya, Mas." Rania turu dari ranjang. Dia ke kamar mandi. Fea hanya memperhatikan saja Rania sampai hilang di balik pintu kamar mandi. Beberapa menit Rania kembal
Mobil Arnon masuk ke halaman luas rumah besar itu. Dia memarkirnya di tempat biasa, lalu segera dia masuk ke dalam rumah. Satu yang akan dia lakukan, menghadapi Nyonya Arnella, mamanya sendiri. Arnon sangat kesal dan marah karena wanita itu yang justru merusak hidupnya. Seorang ibu yang seharusnya mendukung anaknya, memberikan hal terbaik yang diperlukan, tetapi Arnella berbeda. Apa yang dia lakukan hanya untuk kesenangannya sendiri. "Mama!" Arnon berteriak memanggil Arnella. Dia menuju ke kamar mamanya, tapi kosong. Jam segini kadang wanita itu hanya bermain ponsel sambil rebahan di kamarnya. Arnon keluar dan mencari ke ruangan lain. Dia melihat seorang pelayan di ruang besar dan bertanya di mana Nyonya Arnella. Arnella sedang ada di ruang olahraga di sisi agak belakang rumah. Dengan cepat Arnon menuju ke ruangan itu. Di dalam, Arnella sedang senam mengikuti video yang dia lihat di layar besar di depannya. Arnon mematikan video dan membuat Arnella sontak menoleh padanya. Wanita i
Pagi itu, sebelum jam delapan Arnon sudah memarkir mobil di depan kantor Fea. Dia sengaja datang pagi sekali, agar bisa melihat Fea datang. Ternyata Irvan yang datang lebih dulu. Irvan langsung melihat mobil mewah Arnon yang terparkir manis di halaman kantor. Irvan yakin Arnon mengantar Fea. Tapi sepagi ini? Arnon yang bersandar di pintu mobil memandang Irvan yang berdiri melihat ke arahnya. Irvan merasa ini saat yang bagus dia bicara dengan Tuan Muda. Irvan mendekati Arnon. "Pagi sekali Tuan Muda mengantar Fea." Irvan menyapa Arnon. Arnon menatap Irvan. "Apa kabar?" Ternyata Arnon tidak memberi respon atas perkataan Irvan. "Tentu saja tidak baik. Kekasihku, berjalan menjauh. Dia melepaskan aku, untuk seseorang yang aku tidak yakin sungguh-sungguh sayang padanya." Irvan membalas tatapan Arnon. "Kamu terlalu yakin dengan pikiran kamu. Kekasihmu tidak cinta padamu. Itu kenyataannya. Dia memaksa dirinya ada di sisi kamu. Dia kembali pada rumah yang tepat untuk tinggal." Arnon m
Irvan tidak menduga dia kembali ke rumah besar ini dan menemui lagi Nyonya Arnella. Seperti pertama kali Irvan datang, dengan gaya sok anggun dan elegan, Arnella duduk di kursinya. Kali ini di tangannya ada sebuah majalah yang sedang dia baca. Saat mengetahui ada yang masuk ke ruangan itu, Arnella meletakkan majalah di tangannya, di sisinya. Dia melihat Irvan yang berjalan masuk diiringi dua pria suruhannya. Wajahnya yang cantik memang menawan, dengan body masih bisa dibilang sangat bagus, jika dilihat dari umurnya. Arnella memang sangat menjaga diri dan penampilannya. "Duduklah, Irvan. Terima kasih, Rio, Alle, kerja kalian bagus," ucap Arnella. "Baik, Nyonya. Permisi." Salah satu dari pria itu menyahut. Mereka sedikit membungkuk, memberi hormat pada Arnella lalu kembali melangkah, meninggalkan ruangan itu. Irvan sudah duduk. Sama seperti saat pertama kali datang, di kursi itu lagi Irvan duduk. "Kamu tidak bisa menepati janji. Karena itu aku mau menolong kamu, Irvan. Aku sudah me
Hati Fea terenyuh. Apa yang Arnon katakan membuatnya kembali terbawa pada masa-masa dia dan Arnon remaja. Tidak sedikit waktu Arnon mengeluh dan protes tentang hidupnya. Dia punya semua yang dia butuh, kecuali perhatian dan cinta dari papa mama. Setiap Arnon mengeluh, Fea akan menghiburnya, memberi senyum paling manis agar Arnon kembali tenang dan ceria. "Ada aku dan Nenek Ellina yang sayang kamu. Kamu ga menghitung kami, hah?" Itu yang Fea katakan. "Iya, aku tahu, kamu dan Nenek sayang aku." Arnon berkata dengan wajah masih sedikit kesal. "Kalau gitu senyum, Tuan Muda. Dan buatkan Fea makanan paling istimewa." Fea meggoyang-goyangkan kepala, membuat rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda berkibar di belakang kepalanya. "Oke. Kamu mau makan apa?" Dengan semangat yang mulai bangkit lagi, Arnon mengajak Fea ke dapur. Di sana Arnon melepas semua marah dan kecewa dengan membuat masakan. Nenek Ellina, dia yang menemukan bakat Arnon hingga Tuan Muda bercita-cita jadi chef dan punya
Mata bulat Fea memandang pada Arnon. Pria tampan itu menunggu Fea melanjutkan kalimatnya. "Kenapa?" Sekali lagi Arnon bertanya. "Aku lapar." Bibir mungil Fea bicara. Arnon langsung menarik Fea kembali dalam pelukannya. "Ahh ... Arnon!" Fea terkejut dan sedikit berteriak. Dekapan Arnon kali ini cukup kuat sampai Fea merasa sakit di kedua lengannya. "Kamu paling tidak bisa diajak romantis. Hmm?" ucap Arnon. Dia tersenyum, melonggarkan pelukannya dan mengecup kening Fea, bukan sekali, beberapa kali. Arnon ingat saat di pantai, dia hampir mendaratkan kecupan di bibir Fea, gadis itu berdalih ingin buang air kecil. Kali ini, karena dia merasa lapar. Sepintar itu Fea mencari cara agar tidak mendapat sentuhan dari Arnon. "Aku memang lapar," ujar Fea. Fea menoleh ke dinding. Jam menunjukkan hampir jam enam sore. "Ini waktunya makan malam." "Baiklah ..." Arnon berdiri. "Aku akan membuatkan masakan istimewa. Kamu mau apa?" Fea melihat sekeliling. Apartemen ini cantik, menarik, dan sang