Setelah Fea mendengar yang Arnon katakan, Fea ingin menangis. Tapi dia mencoba menahan saja agar butiran bening itu tidak menitik di kedua pipinya. Arnon tidak juga mengerti dirinya, tidak peduli yang Fea rasa. Fea kali ini harus bisa tegas, harus bisa membela dirinya di hadapan Arnon.
"Bisakah kita duduk dan bicara? Aku minta jangan dengan emosi." Fea membesarkan hatinya. Arnon memandang Fea. Lalu dia mengangguk. "Oke, kita bicara." Arnon melangkah meninggalkan kamar Fea. Fea mengikuti Arnon, menuju ke taman. Sisa pertemuan dengan Widya masih di sana. Meja yang ditata cantik dan romantis. Hanya peralatan makan sudah tidak ada lagi. Para pelayan sudah membereskan semuanya. Arnon duduk di kursi cantik, menunggu Fea. Fea maju beberapa langkah, dia duduk di depan Arnon. Meja di hadapan mereka dengan bunga hias di atas meja. Mawar merah dan putih, manis. Tapi tidak membuat hati Fea lebih baik. "Apa yang kamu mau katakan?" Arnon memulai. Suaranya merendah, tapi masih terdengar kesal. Fea melipat jari-jari tangannya di atas meja, mata beningnya yang kini sendu memandang Arnon. "Ar, janji yang aku ucapkan padamu, adalah janji anak-anak. Usia kita belum genap sebelas tahun saat itu. Sekarang kita sudah dewasa. Kita punya hidup masing-masing. Aku sudah memenuhi janjiku, menemani kamu selama ini. Semua sudah lunas." Fea hati-hati mengatakan ini. Dia tidak mau Arnon kembali naik pitam dan marah padanya. "Kamu ingat apa janji kamu?" Arnon tidak mendengarkan Fea. Dia kembali mengingatkan Fea akan janji yang mereka buat kala itu. "Tentu, aku ingat." Fea tetap berusaha tenang, meski hati makin sedih. "Bisa kau ucapkan lagi?" Arnon menantang Fea. Fea diam. Rasanya dia akan dijebak oleh cowok tampan ini. "Fea, katakan," desak Arnon. "Kamu sudah tahu apa yang pernah kita janjikan. Aku tak perlu mengulanginya, Ar." Fea menolak. "Fea ...""Bisakah kali ini kamu mendengarkan aku?" pinta Fea. "Fine!" Arnon makin kesal. "Aku tinggal di rumah ini sebagai pelayan, pembantu kamu. Tuan Besar dan Nyonya membayar aku dengan aku bekerja di rumah ini. Aku bisa hidup layak, bisa sekolah bahkan sampai jadi sarjana." Fea ingin membuka mata Arnon pada kenyataan yang ada di antara mereka. "Sekarang, aku bahkan punya pekerjaan yang baik, di luar bekerja membantu di rumah ini. Aku bisa hidup tanpa membebani keluarga ini dengan menggaji aku lagi. Biarkan aku pergi, Ar." Arnon memundurkan badan, dia bersandar di sandaran kursi. Matanya menatap tajam pada Fea. "Aku ... Aku juga sudah dua lima tahun sekarang. Kamu pasti ingat keinginan aku. Di usia ini aku akan menikah, hidup dengan pria yang siap menjadi pendampingku ... Aku, kurasa ... ini saatnya, Ar," Fea melanjutkan. "Kamu ingin menikah?" Arnon makin tajam menatap Fea. "Tentu saja, Ar. Aku wanita normal. Aku sudah dewasa dan mulai mandiri. Ada pria baik yang menunggu aku. Kamu juga bisa melakukannya. Ada banyak wanita di sekitar kamu. Pilihlah salah satu, menikahlah, dan berbahagia dengan keluarga kamu," kata Fea. "Menikah? Fea, kamu sangat tahu, pernikahan itu cuma permainan! Aku hidup bahagia seperti ini," sahut Arnon sambil mencibir. "Tapi aku tidak. Aku tidak bahagia, Ar." Fea berkata tegas. Arnon tersentak. Kali ini Fea mengatakan dia tidak bahagia? Fea belum pernah berkata dia tidak bahagia. Dia selalu ceria, kuat, dan tampak menikmati hidup yang dia miliki. Arnon berpikir hidup di dekatnya itu cukup buat Fea. "Kamu cari alasan saja. Kamu kira aku tidak tahu. Kamu pasti sudah bosan menjadi sahabatku. Atau kamu merasa aku lebih perhatian dengan teman-teman wanitaku, dan kamu merasa aku abaikan? Begitu, kan?" Arnon pun mencari alasan agar Fea merasa bersalah karena ingin pergi dari hidup Arnon. "Nggak, Ar. Nggak." Fea tidak mampu lagi menahan air matanya. Butiran bening itu perlahan menitik. Arnon tidak percaya melihat Fea menangis. Sudah lama sekali Arnon tidak pernah melihat gadis itu menangis. "Fea ..." Rasa geram Arnon mereda seketika. Dia berjalan mendekati Fea. Gadis itu menutup wajah dengan kedua tangannya. "Fea ..." Arnon menyentuh tangan Fea. Fea tidak bergerak. Mulai terdengar isakan lirih. "Hei ... Maafkan aku ..." Arnon memeluk Fea. Dia menarik Fea dalam pelukannya. Fea tidak merespon. Dia tetap saja menutup wajahnya. "Aku tidak mau kamu menangis. Kamu gadis yang kuat, bukan? Kamu tidak akan gampang menangis." Arnon mengelus rambut panjang Fea.Fea merasakan pelukan lembut dan hangat Arnon. Dalam hati dia ingin jika kehangatan dan kelembutan ini dia saja yang memilikinya, bukan wanita lain. Fea cinta pada Arnon dan ingin bahagia bersamanya.
"Fea ... Please, jangan pergi. Aku ga mau kamu jauh dari aku." Arnon melepas pelukannya. Dia menatap mata indah Fea.
Mata mereka kembali bertemu. Fea memejamkan matanya. Dia tidak mau Arnon melihat dia seperti ini sebenarnya. Dia malu menangis di depan Arnon."Aku sayang kamu, Fea. Aku ga mau kamu pergi." Arnon masih menatap Fea. Mata Fea masih terpejam. Arnon perlahan mengecup kening Fea. Hati Fea menderu dengan perlakuan lembut Arnon. Fea sangat menikmati saat Arnon semanis ini. Sayangnya ini hanya kasih seorang sahabat, tidak lebih. Arnon menangkup kedua pipi Fea. Mata gadis itu masih saja terpejam. Dia berusaha lagi agar tidak meneteskan air mata. Dia tidak mau jika Arnon melihat dia menangis. Sudah sangat lama Fea tidak menangis di depan Arnon. Dia bukan gadis kecil yang rindu orang tuanya. Bukan juga gadis kecil yang marah dan sedih karena mainannya rusak. "Kamu jangan pergi, please. Aku janji setelah ini aku akan luangkan waktu kita bisa main sama-sama lagi. Maaf, akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Kamu mau kita hang out sama-sama? Iya, nanti kita atur jadwal buat jalan ke mana. Ke pantai? Atau kamu mau camping di gunung? Kita lama tidak melakukannya lagi, kan?" Fea menundukkan kepalanya. "Aku lelah, Ar. Aku ingin sendirian. Boleh aku ke kamar sekarang?" Fea tidak tahu harus bagaimana menghadapi Arnon. Arnon masih saja tidak memahami dirinya. Fea ingin sekali berkata, dia cinta Arnon. Tapi Fea sadar siapa dia di depan Arnon. Ya, mereka bersahabat, tapi Arnon adalah tuannya. Jika dia mengatakan cinta yang dia simpan selama ini, apakah yang terjadi kemudian? Apakah Arnon akan membalas cintanya? Atau itu semua akan merusak hubungan persahabatan mereka? Fea tidak mau itu terjadi. "Kamu tidak akan pergi, kan? Kamu akan tetap di sini, sama aku?" Lagi Arnon meminta Fea menjawab. Fea hanya menunduk. Berat berkata iya, tapi tidak bisa dia menolak permintaan Arnon. Arnon meraih kepala Fea. Dia memeluk gadis itu lagi dan membiarkan Fea dalam dekapannya. "Kamu janji akan tetap di sisiku? Sampai kita dewasa dan sampai tua? Kita akan sama-sama, ga akan pisah. Kamu janji?" Arnon mengatakan lagi permintaannya pada Fea saat mereka masih bocah. Mendengar itu air mata Fea meluncur lagi di pipinya. Ingatannya kembali pada hari itu, hari ketika Arnon menatap dia dengan wajah sedih dan mata berair. Dengan semangat Fea kecil menjawab Arnon. "Ya, kita akan sama-sama, aku janji. Sampai dewasa, sampai kita tua, terus sama-sama. Aku akan berada di sisi kamu. Aku janji." Fea menggenggam tangan Arnon kuat dan tersenyum manis pada bocah itu. "Dan sampai sekarang, aku masih di sini, Arnon." Hati Fea berbisik. "Kamu tidak akan pergi, kan?" ulang Arnon. Fea akhirnya mengangguk. Rasanya tidak ada pilihan selain tetap di sisi Arnon. Ada rasa pilu menusuk, tapi juga rasa hangat karena Arnon begitu manis. Fea merasa kecupan lembut di puncak kepalanya. Fea memejamkan matanya. Arnon begitu lembut saat dia mengungkapkan sayangnya. Meskipun Fea sadar, itu hanya batas pada sahabat saja. Fea melingkarkan lengannya pada pinggang Arnon. Dia merasa detak jantung Arnon yang kuat di telinganya yang tepat berada di dada Arnon. "Hei, kamu pasti belum makan." Arnon melepas pelukannya. Mata sedikit sipit tapi bagus itu memandang Fea. "Aku tadi ketiduran, lewat jam makan," kata Fea. "Ah, aku akan buatkan kamu sesuatu. Tunggu ya?" Arnon berdiri. Fea membalas memandang Arnon. Apa yang akan dilakukan cowok itu?Malam makin larut. Sudah lewat jam sepuluh malam, Fea duduk menunggu di taman itu, sendiri. Dingin terasa sesekali menusuk kulitnya karena angin menerpa. Fea menangkupkan kedua tangannya seperti memeluk diri sendiri.Dia melihat ke arah ruangan Arnon, pria itu ada di sana memasak sesuatu buat Fea. Entah apa yang dia siapkan, Fea tidak ada bayangan. Setelah pembicaraan tadi, Fea masih sedikit resah. Pada akhirnya kembali dia mengalah, mengikuti apa yang Arnon mau.Arnon muncul dengan nampan di tangannya. Dua cangkir cantik dengan satu piring tertutup ada di atas nampan itu. Dengan senyum manisnya Arnon berjalan mendekati Fea."Oke ... It is ready for a beautiful lady. Please ..." Arnon meletakkan nampan di atas meja, tepat di depan Fea."Apa ini?" Fea memandang Arnon.Arnon menarik kursi agar lebih dekat duduk di sebelah Fea. "Bukalah."Fea tersenyum. Dia angkat penutup piring itu."Taarraaa!" ucap A
Fea melirik Rania yang asyik menggoda Fea karena dapat kiriman kotak cantik itu."Bingkisan cinta? Ngomong ngasal, kan?" tukas Fea. Tangan gadis itu membuka pita yang melilit manis di kotak merah marun. Lalu Fea membuka penutup kotak itu.Di dalamnya, jam tangan manis. Kecil, berwarna silver. Ada permata di beberapa titik, bagus sekali. Dan pasti sangat mahal."Astaga! Fea, ini berapa duit? Itu pasti dari Irvan. Beneran dia cinta kamu, Fe." Rania langsung yakin kalau kotak itu kiriman Irvan.Fea juga hampir yakin. Karena beberapa kali Irvan melakukan ini. Dia pernah mengirim bunga dan coklat. Lalu juga dia mengirim tas cantik dan elegan. Lain waktu datang kiriman bros dan jepitan rambut indah. Tapi kali ini, jam tangan itu, pasti sangat mahal.Fea melihat ada kertas putih terlipat di dalam kotak. Saat Fea mengangkatnya, harum terasa menyeruak ke hidung Fea dari kertas imut itu. Fea membuka kertas itu dan membacanya.&nb
Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup."Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu."Arnon!" sentak Arnella kesal."Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella.Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar."Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? M
Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. "Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. "Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenan
Makan malam terus berlanjut. Irvan membicarakan hal-hal sederhana yang membuat suasana malam itu menyenangkan. Irvan memang pintar juga melucu, bolak balik Fea tertawa, sampai menutup mulut takut lepas tak terkontrol lagi."Begitu, deh. Ga nyangka kan, maunya buat seru-seruan, malah bikin aku malu. Beneran kalau ingat itu pingin kabur aja. Hee ... hee ..." Irvan mengisahkan kejadian lucu saat dia masih sekolah.Fea tersenyum lebar sambil geleng-geleng. Dia perhatikan Irvan, lesung pipinya bagus, membuat dia makin menawan. Ya, dia kekasih Fea sekarang, bisa dibanggakan juga soal tampang. Tidak kalah dengan Arnon."Kamu senang malam ini?" Irvan memandang Fea yang masih menghabiskan makanan di piringnya. Tinggal dua suap lagi selesai."Ya, seru juga mendengar cerita kamu, Ir. Malam yang menyenangkan. Thank you." Fea tersenyum manis. Dia akan mencoba melebarkan hatinya, menerima Irvan, menikmati kasih sayangnya, siapa tahu, hati Fea pu
Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia.Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi?"Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea."Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji m
Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung."Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?"Masuk, Fea!" titah Arnon.Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon."Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya."Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya."Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah
Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita."Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon.Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia."Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut."Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko.