Share

4. Gadis Cantik Kesayangan Arnon

Malam makin larut. Sudah lewat jam sepuluh malam, Fea duduk menunggu di taman itu, sendiri. Dingin terasa sesekali menusuk kulitnya karena angin menerpa. Fea menangkupkan kedua tangannya seperti memeluk diri sendiri. 

Dia melihat ke arah ruangan Arnon, pria itu ada di sana memasak sesuatu buat Fea. Entah apa yang dia siapkan, Fea tidak ada bayangan. Setelah pembicaraan tadi, Fea masih sedikit resah. Pada akhirnya kembali dia mengalah, mengikuti apa yang Arnon mau. 

Arnon muncul dengan nampan di tangannya. Dua cangkir cantik dengan satu piring tertutup ada di atas nampan itu. Dengan senyum manisnya Arnon berjalan mendekati Fea. 

"Oke ... It is ready for a beautiful lady. Please ..." Arnon meletakkan nampan di atas meja, tepat di depan Fea. 

"Apa ini?" Fea memandang Arnon. 

Arnon menarik kursi agar lebih dekat duduk di sebelah Fea. "Bukalah."

Fea tersenyum. Dia angkat penutup piring itu. 

"Taarraaa!" ucap Arnon dengan senyum makin lebar. 

"Arnon ..." Dan mata Fea melebar. Wajahnya tampak senang melihat apa yang ada di atas piring itu. 

"Omelet spesial khusus buat gadis cantik kesayangan Arnon." Arnon kembali melebarkan bibir sambil memainkan alisnya. 

Hati Fea serasa meletup mendengar ini. Bukan kali pertama Arnon mengatakan kata-kata manis. Bahkan salah satu panggilan untuk Fea memang seperti itu. Gadis cantik kesayangan Arnon. Setelah sekian lama, Arnon mengucapkannya lagi. 

"Harum ... Hmm ... Pasti lezat." Fea menghirup aroma dari piring berisi omelet itu. 

"Lama aku tidak membuat omelet buat kamu, kan?" ujar Arnon. 

"Ya, lama sekali. Omelet dengan udang, wortel, sosis, jamur. Khusus buat Fea. Thank you, Ar." Fea memandang Arnon. Jika sedang begini, Fea merasa dia seolah kekasih Arnon. Arnon manis dan romantis. 

"Cobalah, hm? Kamu pasti sudah beneran lapar," kata Arnon. 

"Baiklah, Tuan Muda Hendrawan. Dengan senang hati aku akan menikmati hidangan istimewa yang Tuan Muda siapkan." Fea mengambil pisau dan garpu, lalu mulai memotong omelet itu. Sepotong dia masukkan ke dalam mulut. 

"How? Is it good?" Arnon menatap Fea. 

"Hhmmm, it is. So yummy ..." Fea suka sekali. Awalnya Fea tidak begitu suka omelet. Tapi ketika Arnon membuat dengan tampilan beda dan entah bumbu apa yang dia isi di omelet itu, Fea jadi suka makan omelet. 

"Nice," Arnon mengangguk-angguk. 

"Ini besar sekali. Berapa telur tadi? Aku ga akan habis, Ar." Fea memotong lagi omelet itu. "Kamu harus bantu aku menghabiskannya." Dan Fea menyodorkan omelet itu di depan mulut Arnon. 

Arnon membuka mulutnya, "Hmmm, memang enak. Hmmm ..."

Fea tersenyum lebar. Akhirnya omelet itu mereka makan berdua. Sampai ludes. Kemudian Fea mengangkat cangkir minumannya. Ini juga salah satu minuman kesukaannya. Lemon tea dengan madu. 

"Ahh, kencan yang menyenangkan. Hee ... hee ..." Arnon mengangkat cangkirnya, dia mengajak Fea tos dan meneguk lagi beberapa kali minumannya. 

"Siapa mau kencan sama playboy macam kamu? Iihh," cibir Fea. 

"Yaa, iya ... Aku bukan pria baik. Fernita Verena Naftali tidak akan melihat Arnon." Arnon pura-pura ngambek. 

"Makanya tobat. Udah tambah umur, Tuan Muda." Fea memajukan wajahnya mendekat pada Arnon. 

Arnon memegang pipi Fea. "Kamu yakin Tuhan akan menghukum aku ke neraka karena ga hidup normal seperti pria umumnya?" 

Fea tidak menjawab. Jika dia teruskan ini akan jadi perdebatan lagi. Arnon merasa yang dia lakukan selama ini bukan hal buruk. Dia tidak merugikan siapa-siapa. Bertobat untuk apa? 

Dia banyak beramal dan menolong orang. Jika mau ditimbang, apa yang dia bagi ke anak yatim dan orang yang berkekurangan sudah bisa menutupi semua hal buruk yang dia buat, jika itu dianggap jahat atau dosa. 

"Aku mau minum." Fea menghindar tidak mau menjawab pertanyaan Arnon. 

Arnon melepaskan tangannya. Dia memperhatikan Fea menghabiskan minuman di cangkirnya. 

"Terima kasih banyak jamuannya malam ini, Tuan Muda. Aku rasa ini saatnya aku harus kembali ke peraduanku. Kuharap mimpi indah setelah ini." Fea berdiri. 

"Oke. Aku antar ke kamar." Arnon ikut berdiri. 

Berdua, mereka berjalan menuju ke kamar Fea. 

"Thank you, kamu tetap mau di sini, Fea. Thank you." Itu yang Arnon katakan saat sudah tiba di depan kamar Fea. 

"Ya." Sedikit kaku Fea menjawab. "Selamat malam, Ar."

Fea mengulurkan tangan meraih gagang pintu. Arnon melangkah maju dan mengecup puncak kepala Fea. Desiran kembali mengalir di dada Fea. 

"Arnon ... Kenapa kamu begini?" batin Fea berbisik. Dia begitu manis saat Fea memutuskan pergi. Tapi di lain waktu, dia akan cuek dan kadang juga ketus pada Fea. 

"Malam, Fea." Arnon melangkah menjauh. Fea masuk ke dalam kamar. Dari jendela dia terus memandang Arnon hingga berbelok tak terlihat lagi. 

"Arnon ... Aku benci diriku sendiri. Karena aku tak bisa mendapatkan yang aku mau." Kembali gelisah menerpa hati Fea. "Aku senang di sisi kamu, Ar. Tapi sampai kapan akan begini? Aku sayang kamu, cinta mati rasanya. Tapi aku juga harus mengejar harapanku sendiri. Karena mengharapkan kamu itu mustahil."

Fea melempar tubuhnya ke atas kasur. Dia memandang ke langit-langit kamarnya. Bayangan wajah tampan itu terpampang di mata Fea. 

Bertahun-tahun Fea bergulat dengan perasaannya. Sejak dia masih anak-anak, tumbuh remaja, hingga dia menjadi wanita dewasa. Fea tidak pernah lelah meminta dalam doa, agar Arnon dan dia menemukan titik yang sama, hati yang sama. Tapi nihil. 

Satu doa lagi yang Fea juga terus memohon, jika dia dan Arnon tidak mungkin meraih kebahagiaan dalam jalinan cinta, apa yang Fea rasakan akan pudar, berganti dengan cinta baru yang siap membuat hidupnya punya warna berbeda.

"Ya Tuhan ... Apa sebenarnya yang terjadi dengan hidupku? Kenapa Kau biarkan cintaku buat Arnon begitu kuat hingga justru membuat aku tersiksa? Jika ini bukan untukku, lepaskan, Tuhan. Dan beri aku pintu keluar dari janji yang aku dan Arnon ucapkan." Hati Fea berseru. 

"Jika memang Kau ingin aku bersama Arnon, tepis dan singkirkan semua yang merintangi. Ubahkan Arnon menjadi pria seperti yang Kau kehendaki." Fea memejamkan matanya. Senyum yang membuat dia jatuh hati muncul dalam pikirannya. 

Dan malam terus melaju. Fea, hampir tak bisa terlelap hingga terdengar suara ayam berkokok di kejauhan. 

*****

"Hai!!" Suara renyah Rania menyambut Fea, saat dia masuk ke ruangan di kantornya. 

"Halo, Ran." Fea tersenyum. Dia meletakkan tasnya, duduk di kursinya yang berseberangan dengan meja Rania. 

"Jadi?" Rania menatap Fea. Dia menanyakan apa keputusan Fea setelah perbincangan mereka kemarin. 

"I stay. I can't leave." Dengan suara tanpa semangat Fea menjawab. 

"Arnon memaksamu lagi? Karena janji bocah itu?" Tatapan Rania yang manis berubah, sedikit kesal. 

"Aku akan coba lebih sabar, Ran. Aku juga ingin Arnon berubah." Fea meyakinkan Rania. 

"Yakin dia bisa berubah? Sudah berapa lama kamu di sisi dia? Hasilnya? Jangan merasa terus berhutang, Fea. Kamu bukan budak Arnon." Rania mengerutkan kedua keningnya. 

"Rania ..." Fea tidak suka dengan yanga Rania ucapkan. Wajahnya langsung menciut. 

"Sorry, Fea. Aku memang ceplas ceplos. Harap maklum, ya?" Rania mengangkat jarinya memberi kode oke.

"Untung saja Mas Jaka tahan sama kamu. Udah kebal telinganya dengar kamu ngomong kayak ga mikir gitu." Fea mengangkat kedua bahunya. 

"Haaa ... haa ..." Rania tertawa. Jaka tunangan Rania. Dua bulan lagi mereka akan menikah. Mereka sedang melakukan persiapan. 

"Andai aku bisa seperti kamu." Fea mengerucutkan bibirnya. 

"Ceplas ceplos? Ngomong ga pakai mikir? Eh, jangan Non, banyak yang ga suka sama aku, tahu. Karena mulut ga bisa direm," tukas Rania. 

"Bukan. Pingin bisa happy dengan pria yang aku cintai dan cinta sama aku." Fea tersenyum kecut. 

Fea membuka rak di mejanya, mengambil alat tulisnya. Dia melihat sebuah bungkusan di sana. Kotak kecil berwarna merah marun dengan pita warna emas. Imut, cantik. Dia angkat kotak itu dan letakkan di atas meja. 

"Hei, apa itu?" Rania seketika melihat pada kotak cantik di meja Fea. 

"Entahlah. Siapa yang meletakkan di rakku?" Fea juga merasa aneh. 

"Bingkisan cinta, Fea." Rania tersenyum lebar. Fea menatap sahabatnya itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status