Malam makin larut. Sudah lewat jam sepuluh malam, Fea duduk menunggu di taman itu, sendiri. Dingin terasa sesekali menusuk kulitnya karena angin menerpa. Fea menangkupkan kedua tangannya seperti memeluk diri sendiri.
Dia melihat ke arah ruangan Arnon, pria itu ada di sana memasak sesuatu buat Fea. Entah apa yang dia siapkan, Fea tidak ada bayangan. Setelah pembicaraan tadi, Fea masih sedikit resah. Pada akhirnya kembali dia mengalah, mengikuti apa yang Arnon mau. Arnon muncul dengan nampan di tangannya. Dua cangkir cantik dengan satu piring tertutup ada di atas nampan itu. Dengan senyum manisnya Arnon berjalan mendekati Fea. "Oke ... It is ready for a beautiful lady. Please ..." Arnon meletakkan nampan di atas meja, tepat di depan Fea. "Apa ini?" Fea memandang Arnon. Arnon menarik kursi agar lebih dekat duduk di sebelah Fea. "Bukalah."Fea tersenyum. Dia angkat penutup piring itu. "Taarraaa!" ucap Arnon dengan senyum makin lebar. "Arnon ..." Dan mata Fea melebar. Wajahnya tampak senang melihat apa yang ada di atas piring itu. "Omelet spesial khusus buat gadis cantik kesayangan Arnon." Arnon kembali melebarkan bibir sambil memainkan alisnya. Hati Fea serasa meletup mendengar ini. Bukan kali pertama Arnon mengatakan kata-kata manis. Bahkan salah satu panggilan untuk Fea memang seperti itu. Gadis cantik kesayangan Arnon. Setelah sekian lama, Arnon mengucapkannya lagi. "Harum ... Hmm ... Pasti lezat." Fea menghirup aroma dari piring berisi omelet itu. "Lama aku tidak membuat omelet buat kamu, kan?" ujar Arnon. "Ya, lama sekali. Omelet dengan udang, wortel, sosis, jamur. Khusus buat Fea. Thank you, Ar." Fea memandang Arnon. Jika sedang begini, Fea merasa dia seolah kekasih Arnon. Arnon manis dan romantis. "Cobalah, hm? Kamu pasti sudah beneran lapar," kata Arnon. "Baiklah, Tuan Muda Hendrawan. Dengan senang hati aku akan menikmati hidangan istimewa yang Tuan Muda siapkan." Fea mengambil pisau dan garpu, lalu mulai memotong omelet itu. Sepotong dia masukkan ke dalam mulut. "How? Is it good?" Arnon menatap Fea. "Hhmmm, it is. So yummy ..." Fea suka sekali. Awalnya Fea tidak begitu suka omelet. Tapi ketika Arnon membuat dengan tampilan beda dan entah bumbu apa yang dia isi di omelet itu, Fea jadi suka makan omelet. "Nice," Arnon mengangguk-angguk. "Ini besar sekali. Berapa telur tadi? Aku ga akan habis, Ar." Fea memotong lagi omelet itu. "Kamu harus bantu aku menghabiskannya." Dan Fea menyodorkan omelet itu di depan mulut Arnon. Arnon membuka mulutnya, "Hmmm, memang enak. Hmmm ..."Fea tersenyum lebar. Akhirnya omelet itu mereka makan berdua. Sampai ludes. Kemudian Fea mengangkat cangkir minumannya. Ini juga salah satu minuman kesukaannya. Lemon tea dengan madu. "Ahh, kencan yang menyenangkan. Hee ... hee ..." Arnon mengangkat cangkirnya, dia mengajak Fea tos dan meneguk lagi beberapa kali minumannya. "Siapa mau kencan sama playboy macam kamu? Iihh," cibir Fea. "Yaa, iya ... Aku bukan pria baik. Fernita Verena Naftali tidak akan melihat Arnon." Arnon pura-pura ngambek. "Makanya tobat. Udah tambah umur, Tuan Muda." Fea memajukan wajahnya mendekat pada Arnon. Arnon memegang pipi Fea. "Kamu yakin Tuhan akan menghukum aku ke neraka karena ga hidup normal seperti pria umumnya?" Fea tidak menjawab. Jika dia teruskan ini akan jadi perdebatan lagi. Arnon merasa yang dia lakukan selama ini bukan hal buruk. Dia tidak merugikan siapa-siapa. Bertobat untuk apa? Dia banyak beramal dan menolong orang. Jika mau ditimbang, apa yang dia bagi ke anak yatim dan orang yang berkekurangan sudah bisa menutupi semua hal buruk yang dia buat, jika itu dianggap jahat atau dosa. "Aku mau minum." Fea menghindar tidak mau menjawab pertanyaan Arnon. Arnon melepaskan tangannya. Dia memperhatikan Fea menghabiskan minuman di cangkirnya. "Terima kasih banyak jamuannya malam ini, Tuan Muda. Aku rasa ini saatnya aku harus kembali ke peraduanku. Kuharap mimpi indah setelah ini." Fea berdiri. "Oke. Aku antar ke kamar." Arnon ikut berdiri. Berdua, mereka berjalan menuju ke kamar Fea. "Thank you, kamu tetap mau di sini, Fea. Thank you." Itu yang Arnon katakan saat sudah tiba di depan kamar Fea. "Ya." Sedikit kaku Fea menjawab. "Selamat malam, Ar."Fea mengulurkan tangan meraih gagang pintu. Arnon melangkah maju dan mengecup puncak kepala Fea. Desiran kembali mengalir di dada Fea. "Arnon ... Kenapa kamu begini?" batin Fea berbisik. Dia begitu manis saat Fea memutuskan pergi. Tapi di lain waktu, dia akan cuek dan kadang juga ketus pada Fea. "Malam, Fea." Arnon melangkah menjauh. Fea masuk ke dalam kamar. Dari jendela dia terus memandang Arnon hingga berbelok tak terlihat lagi. "Arnon ... Aku benci diriku sendiri. Karena aku tak bisa mendapatkan yang aku mau." Kembali gelisah menerpa hati Fea. "Aku senang di sisi kamu, Ar. Tapi sampai kapan akan begini? Aku sayang kamu, cinta mati rasanya. Tapi aku juga harus mengejar harapanku sendiri. Karena mengharapkan kamu itu mustahil."Fea melempar tubuhnya ke atas kasur. Dia memandang ke langit-langit kamarnya. Bayangan wajah tampan itu terpampang di mata Fea.Bertahun-tahun Fea bergulat dengan perasaannya. Sejak dia masih anak-anak, tumbuh remaja, hingga dia menjadi wanita dewasa. Fea tidak pernah lelah meminta dalam doa, agar Arnon dan dia menemukan titik yang sama, hati yang sama. Tapi nihil.
Satu doa lagi yang Fea juga terus memohon, jika dia dan Arnon tidak mungkin meraih kebahagiaan dalam jalinan cinta, apa yang Fea rasakan akan pudar, berganti dengan cinta baru yang siap membuat hidupnya punya warna berbeda.
"Ya Tuhan ... Apa sebenarnya yang terjadi dengan hidupku? Kenapa Kau biarkan cintaku buat Arnon begitu kuat hingga justru membuat aku tersiksa? Jika ini bukan untukku, lepaskan, Tuhan. Dan beri aku pintu keluar dari janji yang aku dan Arnon ucapkan." Hati Fea berseru.
"Jika memang Kau ingin aku bersama Arnon, tepis dan singkirkan semua yang merintangi. Ubahkan Arnon menjadi pria seperti yang Kau kehendaki." Fea memejamkan matanya. Senyum yang membuat dia jatuh hati muncul dalam pikirannya. Dan malam terus melaju. Fea, hampir tak bisa terlelap hingga terdengar suara ayam berkokok di kejauhan. *****"Hai!!" Suara renyah Rania menyambut Fea, saat dia masuk ke ruangan di kantornya. "Halo, Ran." Fea tersenyum. Dia meletakkan tasnya, duduk di kursinya yang berseberangan dengan meja Rania. "Jadi?" Rania menatap Fea. Dia menanyakan apa keputusan Fea setelah perbincangan mereka kemarin. "I stay. I can't leave." Dengan suara tanpa semangat Fea menjawab. "Arnon memaksamu lagi? Karena janji bocah itu?" Tatapan Rania yang manis berubah, sedikit kesal. "Aku akan coba lebih sabar, Ran. Aku juga ingin Arnon berubah." Fea meyakinkan Rania. "Yakin dia bisa berubah? Sudah berapa lama kamu di sisi dia? Hasilnya? Jangan merasa terus berhutang, Fea. Kamu bukan budak Arnon." Rania mengerutkan kedua keningnya. "Rania ..." Fea tidak suka dengan yanga Rania ucapkan. Wajahnya langsung menciut. "Sorry, Fea. Aku memang ceplas ceplos. Harap maklum, ya?" Rania mengangkat jarinya memberi kode oke."Untung saja Mas Jaka tahan sama kamu. Udah kebal telinganya dengar kamu ngomong kayak ga mikir gitu." Fea mengangkat kedua bahunya. "Haaa ... haa ..." Rania tertawa. Jaka tunangan Rania. Dua bulan lagi mereka akan menikah. Mereka sedang melakukan persiapan. "Andai aku bisa seperti kamu." Fea mengerucutkan bibirnya. "Ceplas ceplos? Ngomong ga pakai mikir? Eh, jangan Non, banyak yang ga suka sama aku, tahu. Karena mulut ga bisa direm," tukas Rania. "Bukan. Pingin bisa happy dengan pria yang aku cintai dan cinta sama aku." Fea tersenyum kecut. Fea membuka rak di mejanya, mengambil alat tulisnya. Dia melihat sebuah bungkusan di sana. Kotak kecil berwarna merah marun dengan pita warna emas. Imut, cantik. Dia angkat kotak itu dan letakkan di atas meja. "Hei, apa itu?" Rania seketika melihat pada kotak cantik di meja Fea. "Entahlah. Siapa yang meletakkan di rakku?" Fea juga merasa aneh. "Bingkisan cinta, Fea." Rania tersenyum lebar. Fea menatap sahabatnya itu.Fea melirik Rania yang asyik menggoda Fea karena dapat kiriman kotak cantik itu."Bingkisan cinta? Ngomong ngasal, kan?" tukas Fea. Tangan gadis itu membuka pita yang melilit manis di kotak merah marun. Lalu Fea membuka penutup kotak itu.Di dalamnya, jam tangan manis. Kecil, berwarna silver. Ada permata di beberapa titik, bagus sekali. Dan pasti sangat mahal."Astaga! Fea, ini berapa duit? Itu pasti dari Irvan. Beneran dia cinta kamu, Fe." Rania langsung yakin kalau kotak itu kiriman Irvan.Fea juga hampir yakin. Karena beberapa kali Irvan melakukan ini. Dia pernah mengirim bunga dan coklat. Lalu juga dia mengirim tas cantik dan elegan. Lain waktu datang kiriman bros dan jepitan rambut indah. Tapi kali ini, jam tangan itu, pasti sangat mahal.Fea melihat ada kertas putih terlipat di dalam kotak. Saat Fea mengangkatnya, harum terasa menyeruak ke hidung Fea dari kertas imut itu. Fea membuka kertas itu dan membacanya.&nb
Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup."Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu."Arnon!" sentak Arnella kesal."Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella.Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar."Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? M
Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. "Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. "Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenan
Makan malam terus berlanjut. Irvan membicarakan hal-hal sederhana yang membuat suasana malam itu menyenangkan. Irvan memang pintar juga melucu, bolak balik Fea tertawa, sampai menutup mulut takut lepas tak terkontrol lagi."Begitu, deh. Ga nyangka kan, maunya buat seru-seruan, malah bikin aku malu. Beneran kalau ingat itu pingin kabur aja. Hee ... hee ..." Irvan mengisahkan kejadian lucu saat dia masih sekolah.Fea tersenyum lebar sambil geleng-geleng. Dia perhatikan Irvan, lesung pipinya bagus, membuat dia makin menawan. Ya, dia kekasih Fea sekarang, bisa dibanggakan juga soal tampang. Tidak kalah dengan Arnon."Kamu senang malam ini?" Irvan memandang Fea yang masih menghabiskan makanan di piringnya. Tinggal dua suap lagi selesai."Ya, seru juga mendengar cerita kamu, Ir. Malam yang menyenangkan. Thank you." Fea tersenyum manis. Dia akan mencoba melebarkan hatinya, menerima Irvan, menikmati kasih sayangnya, siapa tahu, hati Fea pu
Arnon terdiam dengan apa yang Fea katakan. Kali ini Arnon mendengarkan dengan serius yang diucapkan gadis itu. Harapan dan impian Fea. Bukan kali ini saja Fea mengutarakan apa yang dia inginkan dalam hidupnya. Sebuah keluarga, dengan pria yang mencintainya, yang dia cintai, dan merawat anak-anak mereka. Keluarga sederhana tapi hidup bahagia.Setiap Fea bercerita tentang itu, Arnon ingin tertawa. Kadang dia memang sudah tertawa dan membuat Fea enggan mengatakannya lagi. Kadang Arnon pikir itu hanya khayalan saja, bukan sesuatu yang serius. Tapi kali ini, Arnon merasa Fea benar-benar ingin mewujudkan harapannya itu. Dengan pria yang bersamanya tadi?"Siapa dia?" Arnon menatap lebih tajam pada dua bola mata Fea."Namanya Irvan. Dia wakil direksi di kantor. Orangnya sabar dan ramah. Kamu jangan kuatir, aku akan baik-baik saja sama dia." Fea mencoba setenang mungkin bicara, dia mau melunakkan hati Arnon agar akhirnya Arnon melepaskannya dari janji m
Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung."Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?"Masuk, Fea!" titah Arnon.Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon."Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya."Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya."Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah
Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita."Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon.Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia."Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut."Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko.
Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal."Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon.Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu."Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak.Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon."Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan.Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini?"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu