Share

2. Janji Adalah Janji

Arnon memandang pada Fea. Mata mereka bertemu, beradu, dan saling menatap. Fea paling sulit melihat Arnon begini dekat dan tajam. Jantungnya berdegup semakin cepat saja.

"Apa maksud kamu?" Arnon yang semula tersenyum, berubah seketika. Senyum menghilang dari bibir tipis itu, berganti tatapan kesal.

"Kamu sudah hidup dengan baik sekarang. Kamu punya usaha mulai besar, ada banyak yang bisa membantu kamu. Kamu tidak lagi sakit, tidak perlu aku temani minum obat. Kamu bisa lakukan semua sendiri. Jadi, aku sudah memenuhi janjiku, Arnon." Fea meneguhkan hatinya mengatakan ini.

Meskipun tidak mudah. Dia juga tidak ingin jauh dari Arnon. Dia masih suka menatap cowok itu dari jauh, melihatnya memasak, tersenyum dan sesekali tertawa lebar.

Tapi Fea juga tidak sanggup lagi terus melihat Arnon bersama wanita-wanita. Fea tidak pernah berhasil membuat Arnon berhenti bermain dengan mereka. Buat Arnon, dia menikmati hidupnya seperti itu. Fea tidak bisa lagi begini.

Ddrrtt ... HP Arnon bergetar. Arnon meraih ponsel yang tergeletak di meja.

"Yes, Honey? Ya, hampir siap. Tentu saja." Arnon menerima telpon dari wanitanya.

Fea menunduk, menarik nafas dalam. Ingin sekali dia segera pergi.

"Sorry, aku sedang sedikit kesal ... Tidak, tentu bukan karena kamu, Honey. Oke ... See you soon." Arnon menutup telpon.

Fea berbalik, lebih baik dia pergi. Urusannya sudah selesai.

"Fernita!" Suara Arnon menghentikan langkah Fea. Arnon akan memanggilnya dengan nama utuh kalau cowok itu sedang kesal.

Fea memutar badannya. Dia melihat Arnon yang memasang wajah geram.

"Kamu merusak suasana hatiku. Aku akan menemui kamu nanti." Pandangan tajam itu, membuat Fea sedih. Dia makin tidak paham Arnon rasanya.

"Terserah," ucap Fea lirih, lalu dia melanjutkan langkah kakinya menuju ke kamarnya.

Kamar Fea ada di seberang taman belakang rumah besar keluarga Hendrawan. Berjejer dengan kamar lain, kamar para pekerja di rumah ini. Dulu, Fea sekamar dengan neneknya, Nenek Ellina. Hingga Fea masuk SMA, nenek meninggalkannya, sendirian.

Fea tetap mengabdi pada keluarga Hendrawan, majikan neneknya. Keluarga kaya raya yang punya beberapa perusahaan, tapi yang penuh drama cinta dan perebutan harta itu.

Masuk ke dalam kamar, Fea menangis. Dia duduk di depan meja rias, dan menelungkupkan wajahnya di atas meja. Air mata tak bisa dia tahan lagi. Perih, pedih, itu yang dia rasa.

Hingga beberapa lama, Fea mulai bisa menenangkan dirinya. Dia mengambil gelas air mineral, meminumnya hingga gelas itu kosong.

"Arnon, andai aku ga pernah janji sama kamu ... Andai aku ga bilang iya yang kamu katakan ... Ah, aku mungkin sudah bersama pria yang mencintaiku, aku bahagia dengan apa yang aku miliki sekarang." Hati Fea berbisik.

Dan ingatannya kembali membawa dia pada kenangan masa kecilnya, saat pertama dia masuk ke rumah keluarga Hendrawan, melihat Arnon kecil yang malang.

*

"Kita sampai, Sayang. Nenek tinggal di sini." Nenek Ellina tersenyum pada Fea.

Hari itu Fea tiba di rumah keluarga Hendrawan. Dia baru saja naik kelas 4 SD, hampir sepuluh tahun usianya. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, nenek datang mengikuti pemakaman, lalu membawa Fea bersamanya.

Fea memandang sekeliling. Dia sampai melongo memandang rumah besar, sangat besar, indah dan mewah. Ada taman luas dan cantik. Dengan area bermain di sana. Seperti ada di istana saja.

"Nek, beneran nenek tinggal di sini?" Fea masih mengedarkan pandangannya penuh kekaguman.

"Iya. Kakek juga dulu kerja di sini. Tapi kakek sudah ke surga, Nenek tetap kerja di sini. Fea pasti senang. Ya?" Nenek memeluk Fea sambil tersenyum manis.

"Iya. Kayak rumah di tivi-tivi itu. Aku pikir rumah besar gitu cuma ada di film. Ternyata Nenek tinggal di rumah sebesar ini. Wahh ..." Fea melebarkan bibirnya.

"Aku ga mau!!" Terdengar suara teriakan anak kecil.

Fea menoleh ke arah suara itu. Nenek Ellina pun melihat ke arah yang sama. Seorang bocah laki-laki kira-kira seusia Fea, berlari ke arah taman, menjauhi dua wanita yang ada di belakangnya.

"Aku ga suka obat!" Anak itu berteriak lagi.

"Tuan Muda, ini ga pahit. Nanti dikasih minum air gula. Ya? Biar Tuan Muda sembuh!" Salah satu wanita itu membujuk bocah tampan di depannya, yang bersiap hendak lari lagi.

"Nek, itu siapa?" Fea bertanya. Dia merasa aneh, bocah itu takut minum obat.

"Tuan Muda Arnon. Arnon Brilliant Hendrawan. Dia sakit dan harus terus minum obat. Makanya dia bosan, pasti marah-marah kalau disuruh minum obat." Nenek Ellina menjelaskan.

"Ooo ..." Fea manggut-manggut.

"Ayo, Nenek kenalkan sama Tuan Muda." Nenek Ellina mengajak Fea mendekat ke taman, ke tempat Arnon.

Bocah itu naik di atas perusutan, tidak mau turun.

"Tuan Muda!" panggil Nenek Ellina.

Anak kecil tampan dengan pakaian keren itu menoleh, melihat Nenek Ellina dan Fea yang berjalan mendekat. Matanya langsung tertuju pada Fea.

"Turun sini!" Nenek Ellina melambai, meminta Arnon turun dari perusutan.

Arnon menurut. Dia turun dengan merosot. Lalu mendekat pada Nenek Ellina.

"Tin, minum obatnya sebentar lagi, ya? Nanti aku ajak Tuan Muda ke dalam." Nenek Ellina bicara pada Titin, pengasuh Arnon.

"Iya, Nek." Titin kembali ke rumah, diikuti temannya yang juga masih di situ.

Arnon melihat pada Fea. Dia menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki. Fea dengan rambut panjang kecoklatan, terurai hingga di punggungnya. Wajahnya merah, penuh keringat di dahinya.

"Kamu siapa?" tanya Arnon.

"Ini cucu Nenek, Tuan Muda. Namanya Fernita. Tapi biasa dipanggil Fea. Dia akan tinggal di sini temani Nenek. Bisa jadi teman Tuan Muda juga." Nenek Ellina mengenalkan Fea pada Arnon.

"Oo ..." Arnon membulatkan mulutnya masih memandang Fea.

"Halo, Tuan Muda." Fea menyapa, sedikit kikuk.

"Hai," jawab Arnon datar.

"Tuan Muda, nanti boleh kasih tunjuk Fea seluruh kompleks rumah ini. Biar dia tidak kesasar kalau mau ke ruangan yang dia cari." Nenek Ellina melihat Arnon.

"Hm, oke. Ayo!" Arnon mengangguk, dia bersiap melangkah pergi.

"Tuan Muda, tunggu sebentar." Nenek Ellina memanggil lagi.

"Hah? Kenapa?" tanya Arnon.

"Keliling area rumah ini perlu tenaga ekstra. Jadi kita ke rumah dulu, yuk. Fea perlu minum, Tuan Muda juga perlu obatnya, biar ga sakit kalau abis keliling rumah." Ini cara Nenek Ellina membujuk Arnon.

"Hm? Oke." Lagi Arnon mengangguk.

Mereka pun berjalan menuju ke dalam rumah, lewat pintu samping ke dapur.

*

"Huuffhh ..." Fea mengusap rambutnya ke belakang. "Kamu selalu tampan, Arnon. Sejak aku melihat kamu waktu itu, aku suka memandang kamu."

Fea melihat dirinya di cermin. Dia cantik, bahkan beberapa teman mengatakan dia sangat cantik. Tetapi itu tidak bisa membuat Arnon memandang dirinya. Sampai kapanpun Arnon memberi batas, Fea adalah sahabat buatnya.

Tidak mungkin Fea meminta lebih, dia hanya pembantu rumah keluarga Hendrawan. Dia bisa tinggal, sekolah, karena mereka berbaik hati, bahkan setelah Nenek Ellina pergi untuk selamanya.

Fea melangkah ke atas kasurnya. Dia memilih berbaring saja, meredakan pilu yang masih mendera di hatinya. Entah karena lelah badannya atau letih jiwanya, tidak lama Fea tertidur.

Tok tok tok!!

Fea tersentak. Pintu kamarnya diketuk. Cepat dia bangun dan melihat ke jam dinding. Jam sembilan lewat.

"Fea!" Suara Arnon, di depan pintu.

Fea cepat turun dari kasur dan segera membuka pintu. Arnon di sana, memandang dengan mata tajam padanya.

"Kamu tidak menjawab telpon, kamu benar-benar ingin aku marah?!" Arnon bicara dengan nada sangat kesal.

"Aku ..."

"Janji adalah janji. Sampai kapanpun kamu harus tetap di sini. Kamu dengar?!" Makin tajam tatapan Arnon dan juga nada suaranya meninggi.

Degupan di hati Fea seketika kembali menderu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status