Ana tengah membersihkan kedua tangannya, dengan tisu toilet. Ketika pintu toiletnya terbuka.
“Eh Om, kira-kira dong..” Ana berdecak. Sedangkan orang dihadapannya malah berlalu membuka pintu lain. Ana mengikuti langkah lelaki tersebut. “Eh, Om gue belum selesai ya sama lo. Untung urusan gue dalam toilet udah selesai,” Ana mendengus. “Jangan-jangan Om mau mesum ya ditoilet,” seru Ana. Dengan tangan bersedekap, tepat dibelakang lelaki itu.
“Siapa yang lo panggil Om,” kata Angga. Menoleh kearah datangnya suara. “Jangan nuduh sembarangan lo anak kecil. Gue cuma mau nyari cewek gue. Dasar bocah, jangan mikir yang macem-macem,” Kata Angga. Sedangkan Ana terlihat tidak peduli.
“Ana, lo udah belum?” Tanya Vita mengalihkan perhatianku.
“Udah kok,” jawab Ana lalu menengok Angga. “Awas lo Om,” katanya dengan wajah jutek.
Angga menghela napas. Kalau bukan karena dia kawatir dengan Yuri, tidak mungkin dia nekat masuk ke toilet wanita begini. Merogoh saku, ingin kembali menghubungi Yuri. Terdapat pesan darinya yang langsung saja dibuka oleh Angga.
“Sory, aku pulang duluan. Besok aku jelasin!”
Kondisi moodnya kian buruk setelah menerima pesan tersebut.
“Kenapa nggak dari tadi sih bilangnya. Gue sampai dikira mesum sama bocah tadi,” gerutunya sembari melangkah keluar mall menuju parkiran.
.
“Ana pulang...,” seru Ana melangkah masuk kedalam rumah.
Terlihat Fiona dan Doni tengah menonton TV diruang tengah.
“Ana sini?” Panggil Fiona. Ana segera mendekat, lalu duduk disofa berhadapan dengan orang tuanya.
“Baru pulang?” Tanya Doni. Yang sudah mengalihkan perhatian dari TV.
“Iya Pa,” jawab Ana sambil nyengir. Doni balas tersenyum melihat tingkah menggemaskan anaknya. Batal sudah niatnya untuk ngomel soal jam malam.
“Besok pulang sekolah, langsung pulang jangan mampir dulu,” kata Fiona.
“Kenapa Ma?” tanya Ana bingung. “Besok Ana ada ekstra,” sambungnya.
“Ya absen dulu,” Ana bingung, namun tak urung mengangguk. Mengiyakan perintah Fiona.
“Oke deh Ma,” kata Ana. Membuat Fiona tersenyum lembut.
“Segera tidur ya, sudah malam,” ucap Fiona, seraya mengusap kepala Ana.
Setelah mencium pipi kedua orang tuanya. Anapun beranjak kekamarnya.
.
Angga baru keluar dari mobilnya, ketika dering telpon terdengar. Melihat penelpon, lalu kembali berjalan kearah lift. Dengan sengaja Angga tetap membiarkan panggilan tersebut hingga berhenti dengan sendirinya. Dering ponselnya kembali terdengar ketika dia masih berada dalam lif menuju unit apartemennya. Dering ponsel segera disenyapkan oleh Angga agar tak mengganggu pendengarannya.
Angga berdecak setelah masuk kedalam apartemennya. Menemukan si penelpon masih belum lelah mencoba menghunginya. Setelah meminum segelas air yang langsung dia tandaskan. Angga kemudian dengan berat hati mengangkat panggilan tersebut.
“Ya Ma,” jawab Angga lelah.
“Dari mana aja si Ga, dari tadi Mama telpon nggak diangkat-angkat,” balas Indira mengomel.
“Iya tadi, Angga masih dijalan Ma,” raut wajahnya benar-benar muram. Berusaha menjaga nada bicaranya agar tetap tenang.
Terdengar helaan napas, “Besok datang ke alamat yang udah Mama kirimin ya,” ucap Indra. “Dijam yang udah mama tentuin.”
“Oke,” jawab Angga tidak ingin memperpanjang pembicaraan.
“Jangan lupa ya” peringat Indira. “Ya udah kalau gitu, segera istirahat. Selamat malam anak ganteng.” Tanpa repot-repot membalas, Angga langsung memutuskan sambungan telpon.
Angga menatap langit-langit ruang tamu apartemennya. Kemudian memejam menikmati kesunyuian ini. Napasnya terdengar teratur, lalu mata kembali terbuka.
POV Angga
Pekerjaan menumpuk ditambah pengalihan proyek Papa untuk aku tangani. Semakin hari, bukan semakin sedikit malah bertambah banyak saja pekerjaanku. Niatnya hari ini ingin menghabiskan waktu berdua dengan Yuri. Tapi kandas begitu saja tanpa alasan yang jelas. Lebih baik berkutat dikantor, daripada harus membuang-buang waktu untuk hal tidak penting seperti itu. Hufff, menghela napas, entah sudah berapa kali aku menghela napas hari ini. Masih ada hari lain, untuk aku bisa menghabiskan waktu bersama Yuri pikirku. Kemudian aku beranjak kekamar, mengistirahat tubuh yang lelah.
Sambil mengobrol, ibu dan menantu tersebut menyiapkan makan malam. Seperti sebuah reuni, Indira benar-benra bersuka cita menyambut kedatangan putra dan menantunya. Karena ini kunjungan pertama mereka setelah resmi menikah. Walau sempat tertunda, namun tak melunturkan kebahagiaan Indira. “Angga masih mandi An?” “Iya Ma,” Mulai menata hidangan dimeja makan. Henri, Papa Angga mulai bergabung dimeja makan. Melihat dihadapannya sudah tersaji berbagai makanan menggugah selera. Melengkungkan senyum tipis, melihat perempuan beda generasi tengah berbincang ria. Sudah seperti teman lama. Padahal seingatnya, Indira baru mengenal Ana. Tapi mereka bisa langsung akrab seperti ini. &nb
“Aku sudah sampai, kamu dimana An?” Sebuah pesan masuk, membuat Ana tidak lagi fokus pada obrolan Vita dan Tasya. Yang sibuk menceritakan bimbingan beberapa waktu lalu. “Gue balik dulu ya guys, kak Angga udah sampai katanya,” ujar Ana lalu membawa tasnya. Jangan lupa draft yang sudah penuh coretan Pak Hari. Tadi Ana sempat sedikit bercerita sikap dosen pembimbing pada para sahabatnya. Yang kemudian mendapat reaksi beragam dari mereka. Sekilas lebih banyak keterkejutan, beda dengan Rama yang datar saja mendengar cerita itu. Tidak memberi komentar lebih, tetapi menatap sedikit lama ke arah Ana. Yang jelas disadari oleh gadis itu. &
Vita sudah berpesan untuk menunggu di lobi apartemen saja. Padahal niatnya Ana ingin mengendarai mobilnya sendiri. Sebelumnya mereka kurang setuju jika hari ini mencari bahan. Karena pastinya mereka hanya akan sempat membeli bahan penelitian. Tidak sekaligus bisa hang out menjernihkan pikiran yang sudah kusut oleh proses penelitian dan bimbingan. Ana masih bersiap, setelah berendam air hangat dengan aroma terapi. Sedikit meringankan pikiran yang sebelumnya penat disebabkan Angga. Memakai dress selutut berlengan panjang. Dengan bahan yang dingin sungguh terasa nyaman memeluk kulitnya. Memakai make up natural seperti biasa, dia melirik lipstik baru yang belum pernah dipakai. Memakai lipstik warna marun yang cocok dengan hitam rambutnya. Memindahi penampilannya di depan cermin. &
Mendengar dering panggilan, Angga hanya melirik ponselnya yang tergeletak dinakas. Tanpa ada niat untuk melihat dari mana panggilan itu berasal. Ponsel itu kembali berdering, mendengus malas. Akhirnya Angga meraih ponselnya dengan penampilan yang masih berantakan. Kancing kemeja belum terpasang sempurna, apalagi dasi. Dasinya masih terlipat rapi diatas ranjang. Menggeser tanda hijau, sambil berlalu keluar dengan jas dan tas kerja di tangannya. Dia lebih terlihat seksi dengan tampilan berantakan seperti itu. ”Iya Dinar,” sapanya selagi berjalan mendekati meja makan. Meletakkan tas kerja dan jasnya di kursi. Ana melirik Angga yang masih berantakan, sambil menerima telpon. Melanjutkan pekerjaannya, menata hidangan di meja makan. Ana tinggal menunggu air
Menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, Angga sesekali melirik Ana yang sudah terlelap. Tidak pernah terbayang jika Ana akan bermalam dikamarnya. Yang bahkan sebelumnya gadis itu tidak pernah tinggal setelah menyelesaikan urusannya. Bibirnya sedikit melengkung, ditengah kesunyian hanya ditemani suara ketikan keyboard. Hampir tengah malam ketika Angga selesai, membereskan berkas-berkasnya. Menatanya dimeja untuk besok dibawa ke kantor. Melangkah mendekati ranjang, Angga seakan belum percaya dengan pemandangan ini. Dengan lelap Ana tidur, menghadap ke arahnya. Angga bergerak naik, ikut bergabung disamping Ana. Berhadapan tepat, mereka berada dalam balutan selimut yang sama. Angga tidak bisa menjelaskan euforia dalam hatinya. Meski dalam diam, dia terus menatap istrinya lekat. Memastikan bahwa sosok didepan matanya ini nyata, bukan hayalan.
Mengartikan apa yang dia rasakan. Ana menikmati ritme detakan ini. Ikut menghangatkan suasana antara keduanya. Sampai kilasan para wanita yang dibawa Angga ke apartemen. Mengganggu pikiran sekaligus menyentil hatinya. Mendorong dada itu sampai tercipta jarak antara keduanya. Pandangan mereka saling menumbuk. Sungguh ada banyak tanya dalam hati Ana. Yang selama ini hanya berlalu, tanpa ingin diungkapkan. Berpikir semua itu bukan menjadi urusannya. Tapi setelah Angga menjelaskan demikian. Seakan menganggap kehadirannya adalah penting bagi kehidupan laki-laki itu. Membuatnya memikirkan kembali semua sikap acuhnya selama ini. “Apakah Nabila hanyalah sebatas mantan kekasih?” Tanya Ana seraya menaikkan salah satu alisnya. Mencoba tidak menunjukan keingintahuan yang mencolok.