“Hangout yuk Na,” ajak Vita, diiringi lirikan dari yang lain.
“Nggak dulu nih gaess,” tolak halus Ana.
“Tumben lo Na, nggak ikut?,” heran Tasya. Mengetahui sahabatnya itu menolak ajakan mereka.
“Iya nih, Mama udah bilang suruh pulang cepat soalnya,” ujar Ana. Yang diangguki oleh teman-temannya.
“Take care Na, kita cabut duluan,” pamit Lira. Sambil menepuk pundak Ana pelan.
Ana mulai melajukan mobilnya, ikut meramaikan kemacetan ibu kota. Ana segera masuk, melihat 2 mobil yang tidak ia kenal. Sudah berderet dipelataran rumahnya.
“Ana pulang....” serunya seperti biasa.
“Tuh anaknya baru sampai,” lalu terlihat Fiona keluar. Lalu menyambar lengan Ana.
“Eh Ma kok Ana ditarik-tarik sih,” kata Ana risih.
Kemudian terlihat bingung setelah sampai diruang tamau. Dia terus terdiam mengamati wajah-wajah orang diruangan ini. Ana terkejut melihat orang yang sudah membuatnya kesal tadi malam.
“Lo..,” serunya menunjuk wajah Angga. Yang ditunjuk tidak kalah terkejut namun malah menyeringai.
“Ana udah kenal sama Angga?” Tanya Indira selaku Mama Angga. Melihat reaksi gadis lucu dihadapannya ini.
“Ih, nggak sudi kenal sama om-om mesum kayak dia,” katanya jutek.
“Ana..,” ucap Fiona lirih memperingati.
Indira tersenyum kemudian memegang lengan putranya. “Ini anak Tante, namanya Angga. Gih kenalan dulu!” Perintah Indira. Yang mau tidak mau dituruti oleh Angga. Dia mengulurkan tangan. Yang disambut ogah-ogahan oleh Ana yang juga dipaksa Fiona, Mamanya.
“Angga,”
“Ana,”
Ana bahkan tidak mau menatap kearah Angga, yang terus menyunggingkan seringai kearahnya.
“Besok kalian akan menikah. Makanya kami sepakat untuk mempertemukan kalian terlebih dulu,” ucapan Indira tersebut sontak membuat Angga dan Ana terkejut.
Angga menajamkan matanya. Kemudian menatap Ana yang juga menatapnya tak kalah sengit.
“Mama apa-apaan sih,” ucap Angga tak senang.
Indira hanya tersenyum kearah putranya lalu menyentuh lembut tangan Ana.
“Ana maukan menikah sama anak Tante?” kata indira lembut.
Ana membisu, menatap Tante Indira yang masih menyunggingkan senyum lembut kepadanya.
“Angga anaknya baik kok sayang,” katanya lagi yang membuat Ana tampak semakin bingung. Ingin membantah namun melihat senyum keibuan Indira. Ana tak sanggup menghancurkannya.
“Angga nggak perlu kawatir. Setelah ini Ana udah lulus kok,” terkejut mendengar perkataan Fiona. Ana kemudian menatap Fiona gemas.
“Ih Mama, apa-apaan sih,” dengan perlahan Ana melepaskan tangkupan tangan lembut ditangannya.
“Anak-anak pasti setuju kok jeng, iya kan Ana,” ucap wanita disebelahnya yang semakin membuat hati kedua orang tersebut memanas.
Pertemuan tersebut akhirnya selesai dengan kesepakatan kedua Ibu. Jangan tanya bagaimana reaksi kedua anak yang terlibat perjodohan tersebut. Mereka hanya membisu dan acuh tiap kali tak sengaja bertemu pandang.
POV Ana
“Ma yang bener dong aku mau dinikahin besok,” kataku terus mengikuti kemana Mamanya berberes.
“Beneran sayang, yang bilang bohongan siapa si,” balas Mama tanpa menatap kearahku.
Kemudian aku beranjak mendudukan diri dikursi meja makan, menahan kesal. Masih menghunus pandangan kearah mama yang tengah memasak makan malam.
“Aku masih mahasiswa Ma,” rengekku memelas.
“Bentar lagi kan lulus,” jawabnya ringan.
Aku tundukkan kepalaku, membawanya menelungkup diatas lipatan tanganku diatas meja makan. Bahkan aku masih 20 tahun. Baru aja malah, gerutuku dalam hati. Kemudian terdengar suara Papa mulai memasuki ruangan. Aku tetap pada posisiku sembari meratapi nasib malangku.
POV end
“Anjar hari ini pulang Ma,” ucap Doni papa Ana, setelah mencium kening istrinya lalu beralih meletakkan tas kerjanya dimeja makan.
“Syukurlah akhirnya dia ingat buat pulang juga,” kata Fiona bersukur.
“Gimana tadi?” tanya Doni. Seraya melirik kearah Ana, yang masih menelungkupkan kepalanya.
“Lancar pa,” jawab Fiona.
POV Angga
“Ma, Angga nggak mau ya nikah sama tuh bocah,” kataku setelah sampai diruang tamu kediaman keluargaku.
“Siapa yang kamu panggil bocah?” Tanya Indira. “Dia bentar lagi lulus kok,” seraya meletakan segelas kopi dimeja . “Lihat kan anaknya lucu gitu Mama suka banget,” Katanya lagi dengan mata berbinar.
Aku berdecak kemudian mulai menyeruput kopiku perlahan. Merilekskan pikiranku, kopi buatan Mama memang cocok dengan seleraku.
“Kamu nggak usah balik ke apartemen malam ini. Tidur disini aja, biar besok kita bisa berangkat bersama ke rumah Ana” kata Mama.
Hampir saja aku tersedak mendengar penuturan Mama. Ini bukan candaan ternyata, aku memijat keningku frustasi. Kemudian Mama beranjak meninggalkanku kedalam. Bagaimana aku bisa menghindar, menolak saja aku tak diberi kesempatan. Aku akan tetap mempertahankan hubunganku dengan Yuri. Pernikahan ini tak akan mempengaruhi apapun.
Ana tengah menyeret kopernya turun, setelah selesai dibereskan oleh bibi. Dia memandang kakaknya, memohon pertolongan yang dibalas pelukan hangat. “Lo masih punya gue. Kalau dia buat lo nggak nyaman princes,” lirih Anjar, sang kakak. Disisi telinga adiknya, Ana. Semakin mengeratkan pelukan antara keduanya. Setelah upacara pernikahan sederhana pagi tadi. Kini Ana sudah harus ikut Angga pulang ke apartemennya. Doni dan Fiona memeluk putrinya bergantian. Ana sudah menjadi istri Angga, sudah tentu dia harus mengikuti Angga. Setelah pamitan, Angga lalu membawa koper Ana ke mobilnya. “Kapan lo lulus,” tanya Angga. Setelah cukup lama suasana hening diantara mereka.
Esok hari Ana sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Berbeda dengan kebiasaannya ketika masih dirumah lama. Dia melakukan kegiatan sebagai seorang istri yang baik, walau belum sertaus persen ikhlas. Ana memasak untuk sarapan, sedikit membersihkan apertemen. Selesai dengan semua itu dia beranjak mandi. Menyiapkan keperluan kuliahnya. Dia masih ada beberapa mata kuliah yang belum selesai. Sedangkan Ana juga sedang dalam proses pengerjaan skripsi. Keluar kamar setelah siap, dilihat meja makan masih sepi. Dia mendekat kearah kamar Angga. Mendekatkan telinganya, terdengar alarm berbunyi. Mengetuk pintu berulang kali, namun tak ada sahutan. Dia perlahan membuka pintu dan tampak tempat tidur berantakan. &l
17.30 sore Ana masuk apartemen, menemukan suasana sunyi. Yah dia sekarang harus terbiasa dengan keadaan ini. Meletakkan sepatu dirak, melangkah masuk. Membasuh tangan diwastafel, lalu beranjak ke meja makan. Menuang air putih untuk dirinya sendiri. Segar batinnya lega, kemudian berlalu ke kamar. Dia sudah tidak sabar, untuk membasuh tubuhnya dengan sedikit berendam air hangat. Hah menyenangkan pikirnya. Meletakkan tas punggungnya, lalu masuk kekamar mandi. 30 menit dia habiskan untuk membersihkan dirinya. Memakai pakaian santai sedikit terbuka. Lalu dia keluar beranjak menyiapkan makan malam. Terdengar suara dari arah depan. Namun dia tanpa rasa ingin tahu, tetap melanjutkan aktivitasnya memotong sayur. “Lo udah pul
Menutup pintu agak keras. Ana kemudian melangkah menuju meja belajarnya. Meredakan rasa kesalnya didadanya. Mengabaikan notifikasi di ponselnya. Ana mulai melihat pekerjaan rumahnya. Huufff, banyak batinnya. Mencari laporan sementara praktikum minggu kemarin. Lalu menyiapkan lembar laporannya. Ana menulis cepat dan teliti mendeskripsikan semua yang harus dia paparkan dalam lporannya. Karena harus menulis secara manual, membuat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya lebih lama. Walau terkesan rumit dan kompleks, tapi Ana suka dengan jurusan biogi. Makanya dia memutuskan masuk jurusan tersebut. Bersama dengan para sahabat yang sudah Ana kenal sejak SMA. Mencari bab yang membahas soal pratikum tumbuhan, lalu kembali menulis. Ketika dia mencari buku taksonomi t
Mobil Alpart tersebut menepi, tepat didepan gerbang kampus. Ana masih tetap menekuk wajahnya, membuat Angga terkekeh pelan. Tangan Ana sudah akan membuka pintu, namun ditahan oleh Angga. “Pamit dulu dong sama suaminya,” kata Angga. Yang membuat Ana semakin bad mood. Menghela napas, Ana kemudian meraih tangan kanan Angga ogah-ogahan. Mencium cepat punggung tangan Angga, lalu melepasnya. Namun tangan lembut tersebut tetap digenggam oleh Angga. “Jangan pulang malam-malam. Jangan pecicilan saat nggak ada gue,” mata Ana memicing tak suka. “Suka-suka mata gue, mau pecicilan atau nggak. Itu bukan urusan lo Om. Da
”Na lo dijemput,” tanya Vita ketika mereka berjalan bersama keluar. “Nggak Vit, naik taksi aja mungkin,” jawabnya. Dari arah lain Rama mendekati mereka. Menepuk pundak Ana, ketika mereka sudah bersisian. “Eh Ram,” ucap Ana pulih dari rasa kejutnya. “Pulang sama Rama aja Na, daripada naik taksi,” kata Tasya mengusulkan. “Kamu nggak bawa mobil sayang?” Tanya Rama. “Eh udah ya gaess, Ram jaga sahabat kita ya,” ucap Lira. Berpamitan sebelum masuk kedalam mobil. “Dah An,” ucap Han
Ana beranjak keluar kamar. Untuk mengambilkan baju ganti Angga. Beruntung kamar Anjar tidak dikunci, jadi bisa dengan mudah masuk. Segera keluar, setelah mengambil apa yang Ana butuhkan. Kembali ke kamar, meletakkan baju tersebut diatas ranjang. “Pas nggak ya, di pakek Kak Angga,” gumam Ana. Menatap baju tersebut sambil bersedekap. Mengendikan bahu, lalu kembali membereskan bukunya. Menata buku-bukunya kedalam kardus dan kotak. Angga keluar kamar mandi, dengan handuk melilit sebatas pinggangnya. Memperlihatkan abs, yang tampak menggiurkan untuk disentuh. Jangan lupa tato di atas dada kanan. Menggosok rambutnya yang basah. Ana tampak masih sibuk dengan bukunya.&
Keesokan paginya, Ana bangun lebih pagi seperti biasa. Mengacuhkan Angga yang masih tertidur pulas. Setelah mandi, dia memeriksa tugasnya yang tampak sudah rapi. Dan selesai tanpa terkecuali. Ana melirik Angga sekilas, menghela napas. Ana memasukan tugasnya ke tas ransel. Memastikan semua tugasnya sudah dia bawa. Duduk di tepi ranjang, melihat wajah damai Angga. Menepuk pipi Angga pelan. Berusaha membangunkan suaminya yang jago molor. “Bangun kak,” ujar Ana masih menepuk pelan pipi Angga. Mengerjabkan mata. Melihat wajah manis Ana, “An,” lirih Angga serak. “Udah siang kak. Aku tunggu dibawah ya,&r