Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 11 Jika Angin Membawa

Share

Bab 11 Jika Angin Membawa

Author: Elis Z. Faida
last update Huling Na-update: 2025-09-20 18:24:36

Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna.

Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar.

Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak.

“Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lirih, suaranya nyaris tertelan oleh sunyi.

Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri, tapi justru yang muncul adalah serpihan kenangan. Tawa Elhan, cara matanya memandang dengan penuh keyakinan, janji-janji kecil yang pernah diucapkan di sela percakapan sederhana. Semuanya kini terasa seperti mimpi yang terlepas begitu saja.

Nayla ingin membenci, ingin melupakan. Tapi hatinya menolak. Yang tersisa hanya perasaan kosong, semacam jurang yang perlahan menelannya dari dalam.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. “Nayla, boleh Mama masuk?” suara lembut itu terdengar dari luar.

Dengan malas, ia menjawab, “Masuk aja, Ma.”

Pintu terbuka perlahan. Wajah ibunya muncul, membawa raut khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Kamu belum tidur juga? Besok kan kerja pagi.”

Nayla memaksakan senyum tipis. “Sebentar lagi, Ma.”

Ibunya duduk di tepi ranjang, menatap putrinya dengan tatapan yang penuh tanya. “Akhir-akhir ini kamu kelihatan murung terus. Ada yang mau kamu ceritakan ke Mama?”

Pertanyaan itu menusuk, tapi Nayla memilih diam. Bagaimana mungkin ia bisa menceritakan semuanya? Tentang cinta yang harus kandas hanya karena restu yang tak pernah datang, tentang luka yang semakin dalam setiap kali ia mencoba memahami.

“Mama nggak mau maksa,” lanjut ibunya, “tapi ingat, apa pun yang kamu rasain, kamu nggak sendirian.”

Kata-kata itu membuat Nayla menunduk. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menahannya. Ia tidak ingin ibunya ikut terluka oleh beban yang seharusnya hanya ditanggungnya sendiri.

“Terima kasih, Ma. Aku baik-baik aja kok,” jawabnya singkat, meski hatinya menolak.

Ibunya hanya mengangguk, lalu berdiri. “Kalau begitu, jangan terlalu larut ya. Mama sayang sama kamu.”

Pintu ditutup kembali, meninggalkan Nayla sendiri dengan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Ia menatap lagi ke luar jendela. Angin berdesir, menggoyangkan dedaunan, seolah ikut mengolok-olok hatinya yang tak mampu tegar.

Dan untuk kesekian kalinya, Nayla berbisik pada dirinya sendiri: Kalau cinta ini hanya akan jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita.

Keesokan paginya, matahari muncul enggan. Langit mendung, menyisakan warna kelabu yang menutupi semangat siapa pun yang memandang. Nayla berangkat kerja dengan langkah berat. Jalanan ramai, orang-orang berlalu lalang, tapi hatinya tetap sendiri.

Di kantor, ia mencoba menutupi kelelahan emosinya dengan bekerja lebih giat. Menyibukkan diri adalah satu-satunya cara agar pikirannya tidak terus melayang pada Elhan. Namun, rekan-rekan kerjanya mulai menyadari ada yang berubah.

“Lagi nggak enak badan ya, Nay?” tanya Rara, sahabat sekantornya.

Nayla menggeleng cepat. “Nggak, kok. Cuma kurang tidur.”

Rara menatapnya dengan penuh curiga, tapi tak menekan lebih jauh. Ia tahu, jika Nayla belum siap bercerita, semua pertanyaan hanya akan menambah luka.

Siang itu, saat jam istirahat, Nayla memilih duduk sendiri di pojok kantin. Suara riuh teman-temannya hanya jadi latar samar yang tidak benar-benar ia dengar. Matanya menatap kosong pada makanan yang hampir tidak disentuh.

Pikirannya melayang. Ia membayangkan, apa yang sedang dilakukan Elhan saat ini? Apakah ia juga merasakan kehilangan yang sama? Ataukah ia sudah benar-benar menutup pintu, meninggalkan semua tanpa penyesalan?

Nayla meremas sendok di tangannya. Hatinya bergejolak, antara ingin membenci dan tetap mencinta.

“Kalau terus begini, aku bisa gila,” gumamnya dalam hati.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola yang sama. Kerja, pulang, terjebak dalam kenangan, lalu menangis dalam diam. Semuanya terasa seperti siklus yang tak ada ujungnya. Sampai akhirnya, satu sore, sesuatu terjadi.

Hujan turun deras ketika Nayla pulang dari kantor. Payungnya hampir tak mampu menahan derasnya air, membuat sebagian bajunya basah. Ia berlari kecil menuju halte bus, berharap bisa segera naik dan pulang.

Namun, di sanalah ia melihatnya. Sosok yang tak asing, berdiri di sisi jalan dengan tubuh basah kuyup. Rambutnya menempel, wajahnya tertunduk, tapi Nayla tidak mungkin salah mengenali.

Elhan.

Darahnya berdesir. Jantungnya berdegup kencang, seperti hendak melompat keluar. Langkahnya terhenti, matanya terpaku. Ia tidak percaya, tapi kenyataan ada di depan mata.

Elhan mendongak perlahan, dan pandangan mereka bertemu. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti. Suara hujan, kendaraan, dan orang-orang di sekitar menghilang begitu saja. Yang tersisa hanya tatapan dua pasang mata yang penuh luka, penuh rindu, tapi juga penuh dinding yang belum runtuh.

“Kenapa dia ada di sini…?” Nayla bertanya dalam hati, tapi bibirnya kelu.

Elhan tidak mendekat, hanya menatap. Ada sesuatu di matanya, campuran antara kerinduan dan ketakutan. Bibirnya bergerak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar.

Dan sebelum Nayla sempat memutuskan apa yang harus ia lakukan, sebuah bus berhenti di halte. Pintu terbuka, orang-orang berdesakan naik. Dalam kekacauan itu, pandangan mereka terputus.

Saat Nayla kembali mencari dengan matanya, Elhan sudah tidak ada.

Yang tersisa hanya hujan deras, bau tanah basah, dan hatinya yang semakin remuk.

Malam itu, Nayla sampai di rumah dengan tubuh kuyup. Air hujan masih menetes dari ujung rambutnya, membasahi lantai ruang tamu. Ia meletakkan tas kerja dengan kasar, lalu menjatuhkan dirinya di sofa. Napasnya terengah, bukan karena berlari, melainkan karena hatinya yang berdegup terlalu cepat.

“Elhan…” nama itu keluar tanpa sadar dari bibirnya.

Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Bayangan tadi begitu nyata—tatapan mata Elhan di tengah hujan, wajah yang sama, senyum yang dulu selalu menenangkan, tapi kini diganti dengan sorot yang penuh luka. Nayla tak bisa menghapusnya dari pikirannya.

Kenapa ia harus muncul lagi sekarang? Kenapa setelah semua usaha keras Nayla untuk melupakan, dunia justru memaksanya mengingat?

Air matanya jatuh, bercampur dengan sisa air hujan di pipinya. Ia membiarkan tangis itu pecah, tubuhnya bergetar hebat. Semua perasaan yang berusaha ia tekan kembali meledak, lebih kuat dari sebelumnya.

“Mau sampai kapan aku kayak gini…” suaranya bergetar di ruang kosong.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Nayla masih dihantui bayangan Elhan. Setiap kali ia melintas di halte itu, jantungnya berdetak tak karuan. Ia berharap, tapi juga takut, menemukan sosok yang sama berdiri di sana. Namun, Elhan tak pernah terlihat lagi.

Di kantor, fokusnya semakin menurun. Ia sering melamun di tengah rapat, tangannya sibuk menggambar garis tak beraturan di buku catatan. Rara memperhatikan perubahan itu, tapi tetap memilih diam. Hingga akhirnya, suatu sore, ia tak tahan lagi.

“Nay, ayo jujur sama aku. Ada apa sebenarnya? Aku nggak tahan lihat kamu kayak gini terus,” kata Rara saat mereka duduk berdua di kantin yang sudah sepi.

Nayla menunduk. Tangannya meremas gelas plastik yang hampir kosong. Lama ia diam, sebelum akhirnya suara lirihnya keluar. “Aku ketemu Elhan.”

Rara terbelalak. “Elhan? Maksudmu… mantan kamu itu?”

Nayla mengangguk pelan. “Aku nggak sengaja lihat dia waktu hujan. Dia berdiri di pinggir jalan, basah kuyup. Kita sempat saling tatap, tapi… habis itu dia hilang.”

Rara terdiam, mencoba mencerna. “Dan itu bikin kamu kayak gini?”

“Gimana aku bisa nggak kepikiran, Ra? Selama ini aku berusaha keras melupakan. Aku coba meyakinkan diri kalau dia udah nggak ada di hidupku. Tapi kenyataan malah bawa dia lagi ke depan mataku.”

“Terus kamu mau apa?”

Pertanyaan itu membuat Nayla bungkam. Ia tidak tahu. Bagian dari dirinya ingin mencari Elhan, ingin tahu kenapa ia muncul lagi. Tapi bagian lain takut—takut jika luka lama kembali terbuka lebih lebar.

“Entahlah,” jawabnya akhirnya. “Aku cuma tahu, aku nggak bisa pura-pura kuat lagi.”

Rara meraih tangannya, menggenggam erat. “Kalau gitu, jangan pura-pura. Kalau mau nangis, nangis. Kalau mau marah, marah. Tapi satu hal, Nay… jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri cuma karena dia.”

Nayla menatap sahabatnya, bibirnya bergetar menahan tangis. Kata-kata itu sederhana, tapi menancap dalam. Ia sadar, selama ini ia terlalu sibuk menjaga luka agar tak terlihat, sampai-sampai dirinya sendiri hampir hilang di dalamnya.

Malam itu, Nayla kembali tak bisa tidur. Ia berjalan mondar-mandir di kamar, lalu akhirnya berhenti di depan meja kerja kecil. Ia membuka laci, mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi kenangan. Foto, tiket bioskop, potongan kertas dengan tulisan tangan Elhan.

Tangannya gemetar saat mengambil salah satu foto. Itu foto mereka di tepi pantai, berdua tersenyum dengan mata penuh cahaya. Senyum yang kini terasa seperti ejekan.

“Kenapa harus berakhir, Han…” bisiknya.

Air matanya jatuh lagi. Namun kali ini, di tengah tangis, muncul dorongan aneh. Ia merasa harus menulis, menuangkan semua yang mengganjal di hatinya. Ia mengambil buku catatan kosong, lalu mulai menulis kalimat demi kalimat.

Tulisan itu bukan surat untuk Elhan, bukan pula catatan harian biasa. Itu lebih mirip teriakan hati—tentang cinta, kehilangan, marah, rindu, dan penolakan. Kata-kata mengalir tanpa henti, seperti banjir yang sudah terlalu lama ditahan bendungan.

Saat sadar, halaman demi halaman sudah penuh dengan goresan tinta. Tangannya pegal, matanya bengkak, tapi hatinya sedikit lebih ringan.

Untuk pertama kalinya sejak lama, Nayla merasa ia bisa bernapas lebih lega.

Hari-hari berlalu, dan perlahan, kebiasaan baru itu menjadi pelarian Nayla. Setiap malam, ia menulis. Tentang apa pun yang ia rasakan, tanpa peduli apakah ada yang akan membaca atau tidak. Baginya, menulis adalah cara untuk tetap waras, cara untuk merangkul dirinya yang hampir hancur.

Namun, takdir seolah belum selesai mempermainkannya.

Suatu sore, ketika ia berjalan pulang melewati jalan kecil di dekat taman, matanya kembali menangkap sosok itu. Elhan.

Kali ini, ia sedang duduk di bangku taman, menunduk, dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Rambutnya sedikit lebih panjang, wajahnya tampak lebih tirus, tapi tetap Elhan yang ia kenal.

Nayla berhenti di tempat. Kakinya tak bisa digerakkan, jantungnya berdetak terlalu cepat.

Kenapa dia ada di sini lagi?

Kali ini, Elhan tidak menyadari kehadirannya. Ia sibuk menulis sesuatu di buku itu, sesekali menghela napas panjang, lalu menatap kosong ke arah langit mendung.

Nayla merasa campur aduk. Ada dorongan kuat untuk mendekat, menanyakan semua hal yang menyesakkan selama ini. Tapi ada juga rasa takut—takut kalau ia hanya akan terluka lebih dalam.

Ia berdiri cukup lama, hingga angin sore bertiup lebih dingin. Pada akhirnya, Nayla memilih mundur perlahan, membiarkan jarak tetap ada di antara mereka.

Namun, sebelum benar-benar pergi, ia sempat melihat satu hal. Di halaman buku Elhan yang terbuka, ada tulisan besar di bagian atas:

“Jika suatu hari angin kembali, semoga ia membawamu bersamaku.”

Dada Nayla bergetar hebat. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak yang hampir pecah.

Tanpa sadar, air mata kembali jatuh.

Dan sejak sore itu, Nayla tahu—cinta yang mereka tinggalkan tidak pernah benar-benar pergi.

Nayla menatap layar ponselnya yang sudah mati karena baterai habis. Ia baru saja pulang dari kampus, menutup hari yang panjang dengan kepala penuh pikiran. Langkahnya pelan, menyusuri jalanan kecil menuju rumah. Angin sore berhembus, membawa aroma dedaunan kering yang jatuh di sepanjang trotoar.

Ada rasa kosong yang menelusup diam-diam di dadanya. Seolah ada sesuatu yang harus ia tunggu, tapi ia sendiri tak yakin apa. Sejak percakapannya dengan Elhan terakhir kali, hatinya selalu digelayuti tanda tanya yang tak berjawab.

Sesampainya di rumah, ia mendapati ruang tamu sepi. Mama tidak ada. Hanya suara televisi menyala dari kejauhan, dibiarkan berisik tanpa ada yang menonton. Nayla mengganti pakaian, lalu duduk di kursi kayu dekat jendela, tempat favoritnya. Dari sana, ia bisa melihat halaman kecil dengan pohon mangga yang masih hijau.

Pikirannya melayang.

Ke Elhan.

Ke kata-kata terakhir yang ia ucapkan.

Ke pandangan matanya yang terasa jauh sekaligus dekat.

Nayla menutup wajah dengan kedua tangannya. “Kenapa harus serumit ini, Han? Kenapa restu seseorang bisa jadi tembok setinggi ini?” gumamnya lirih.

Sementara itu, di tempat berbeda, Elhan sedang duduk di kursi panjang sebuah café. Kopinya sudah dingin, uapnya lenyap sejak tadi. Di hadapannya terbuka buku catatan yang tak tersentuh, pena tergeletak tanpa arti. Ia mencoba menulis, tapi pikirannya selalu kembali pada sosok Nayla.

Kata-kata ibunya terus terngiang di telinga. Tegas, dingin, dan penuh penolakan. “Mama nggak mau lihat kamu bersama dia lagi, Han. Jangan bikin Mama kecewa.”

Elhan menggertakkan giginya. Ia ingin melawan, ingin berteriak kalau cintanya tulus dan bukan sesuatu yang pantas dipisahkan. Tapi setiap kali ia menatap wajah ibunya, sesuatu di dalam dirinya runtuh. Bagaimanapun, ia adalah anak lelaki yang tumbuh dengan rasa hormat mendalam pada ibunya. Dan di sanalah konflik itu berakar—antara taat dan cinta, antara restu dan kebahagiaan pribadi.

Ia menutup mata, memijat pelipis. “Apa benar angin bisa bawa semua ini pergi?” bisiknya.

Di saat yang sama, Nayla menerima pesan dari sahabatnya, Rani.

“Lagi di rumah nggak? Aku mau main bentar, bawa kabar seru.”

Nayla tersenyum tipis. Kehadiran Rani selalu jadi penyegar, seolah dunia yang berat bisa jadi lebih ringan walau sebentar. Ia membalas singkat, “Iya, ke sini aja.”

Tak lama kemudian, Rani datang dengan langkah riang. Tas selempang kecilnya memantul-pantul seiring gerakannya. “Nay! Aku bawa gosip kampus. Kamu nggak bakal nyangka,” ujarnya antusias begitu masuk.

Nayla mencoba ikut tersenyum. “Apa lagi? Jangan bilang soal senior yang kemarin ribut itu.”

“Bukan,” Rani menggeleng cepat. Ia duduk di sofa, matanya berbinar. “Aku tadi nggak sengaja dengerin beberapa anak cowok ngobrol soal Elhan. Katanya dia lagi sibuk banget akhir-akhir ini, jarang nongol, bahkan ada yang bilang dia mau berhenti ikut organisasi.”

Deg. Jantung Nayla seperti berhenti berdetak sesaat.

Elhan? Mundur dari organisasi? Itu bukan Elhan yang ia kenal.

“Serius kamu, Ran?” suaranya lirih.

“Iya. Kayaknya dia lagi ada masalah besar. Tapi anehnya, dia nggak cerita ke siapapun. Semua orang cuma bisa nebak-nebak,” jawab Rani sambil mengedikkan bahu.

Nayla menunduk, menggenggam jemarinya erat. Hatinya seperti diremas. Ia tahu persis apa yang membebani Elhan, tapi sekaligus ia merasa semakin jauh, tak berdaya, seolah semua keputusan bukan lagi ada di tangannya.

Malam itu, setelah Rani pulang, Nayla menulis di buku catatan kecilnya—tempat ia biasa menumpahkan isi hati. Tulisannya bergetar, tinta pena hampir patah karena tekanan tangannya terlalu kuat.

“Kalau cinta ini hanya akan jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita. Walau hanya sebentar, walau hanya meninggalkan jejak samar. Aku ingin percaya, Han. Bahwa suatu hari, kita akan menemukan jalan.”

Di luar, angin malam kembali berhembus, menggetarkan tirai tipis jendela.

Dan entah kebetulan atau takdir, pada saat yang sama, Elhan juga menulis sesuatu di catatannya sendiri.

“Kalau aku harus pergi, biarlah angin yang jadi perantara. Karena aku terlalu pengecut untuk jujur, dan terlalu takut untuk bertahan.”

Dua hati, dua tulisan, satu angin.

Namun arah yang dituju masih belum sama.

Hari-hari berikutnya terasa berjalan lambat bagi Nayla. Ia pergi ke kampus, mengikuti kelas, mengerjakan tugas, lalu pulang dengan perasaan yang sama: kosong. Semua rutinitas yang dulu terasa biasa kini seperti kehilangan warna.

Setiap kali ia melewati koridor kampus, matanya tanpa sadar mencari sosok Elhan. Tapi yang ia temui hanyalah wajah-wajah asing, langkah-langkah tergesa, dan percakapan ramai yang tak satupun mampu mengisi kehampaan di hatinya.

Sampai suatu sore, saat ia duduk sendirian di taman kampus dengan buku terbuka di pangkuan, seorang teman sekelas, Dira, menghampirinya.

“Nay, kamu kelihatan murung banget belakangan ini. Kenapa? Lagi ada masalah?” tanya Dira hati-hati.

Nayla tersenyum tipis, berusaha menutupi guncangan dalam dirinya. “Nggak, aku cuma capek aja. Tugas lagi numpuk.”

Padahal kenyataannya, yang membuatnya rapuh bukanlah tugas, melainkan seseorang yang kini terasa jauh meski masih berada di kota yang sama.

Dira menepuk bahu Nayla, lalu pamit. Tapi perkataan itu meninggalkan gema dalam diri Nayla aku memang terlihat murung, ya?

Malamnya, ia berdiri di balkon rumahnya, menatap bulan yang separuh tertutup awan. Angin malam berhembus, membawa aroma lembap yang menenangkan sekaligus menyedihkan. Ia teringat pada semua momen kecil bersama Elhan: tawa mereka saat hujan turun, tatapan mata yang tak pernah bohong, janji-janji sederhana yang tak perlu banyak kata.

Kini semua itu terasa seperti potongan mimpi yang hampir memudar.

Sementara itu, di sisi lain kota, Elhan duduk di meja belajar dengan buku-buku berserakan. Ia mencoba fokus pada laporan yang harus ia selesaikan, tapi pikirannya selalu kembali pada Nayla. Ia memejamkan mata, lalu membuka buku catatan kecil yang sudah penuh dengan coretan.

“Nayla, aku ingin bilang kalau aku rindu. Tapi rindu ini rasanya hanya menambah luka. Aku ingin percaya kalau kita bisa bertahan, tapi suara Mama selalu lebih keras daripada suara hatiku sendiri.”

Tangannya berhenti menulis. Ia menatap langit-langit kamar, merasakan berat yang terus menekan dada. Elhan tahu ia berada di persimpangan: tetap bersama Nayla dengan risiko menantang ibunya, atau melepaskan Nayla demi menjaga kedamaian keluarga.

Dan setiap kali ia hampir memilih yang pertama, bayangan wajah ibunya muncul, mengingatkan akan semua pengorbanan yang sudah ia lakukan demi dirinya. Itu membuatnya goyah, lagi dan lagi.

Di kampus, gosip tentang Elhan makin berkembang. Ada yang bilang dia sengaja menarik diri dari banyak kegiatan, ada yang menduga ia sedang menghadapi masalah keluarga. Nayla mendengar semuanya, tapi hanya bisa diam. Ia tahu kebenaran, tapi juga tahu bahwa itu bukan miliknya untuk dibagikan.

Suatu malam, Rani kembali menemuinya. “Nay, kamu masih mikirin Elhan, ya?” tanyanya blak-blakan.

Nayla terdiam, lalu mengangguk pelan.

“Kenapa kamu nggak coba hubungi dia?” desak Rani.

“Aku takut, Ran. Takut kalau jawabannya bikin aku lebih hancur.”

Rani menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kadang, diam justru bikin semuanya makin jauh. Kamu harus berani pilih, Nay: mau terus menunggu angin yang nggak jelas arahnya, atau kamu yang tentukan sendiri jalannya.”

Kata-kata itu menusuk Nayla. Ia sadar, selama ini ia terlalu pasif, membiarkan keadaan mengendalikan hidupnya. Tapi untuk bergerak maju, ia harus menghadapi sesuatu yang paling ia takuti: kenyataan bahwa Elhan mungkin benar-benar memilih pergi.

Malam itu, ia menulis lagi di catatan kecilnya. Tulisan tangannya kali ini gemetar, tinta sedikit berantakan.

“Aku nggak mau selamanya jadi penonton. Kalau cinta ini memang hanya akan jadi angin, setidaknya aku ingin tahu arahnya. Aku ingin dengar langsung, dari bibirnya, ke mana ia akan pergi.”

Sementara itu, Elhan, di kamarnya, menutup catatannya dengan wajah muram. Ia berbisik pada dirinya sendiri, hampir tak terdengar.

“Kalau suatu hari aku harus benar-benar kehilangan Nayla… semoga angin bisa membawa semua rasa ini kembali padanya, walau hanya dalam bentuk kenangan.”

Angin kembali berhembus malam itu. Dua hati yang terpisah sama-sama menulis, sama-sama rindu, sama-sama takut. Tapi keduanya tetap berdiri di tempat berbeda—tak ada yang berani melangkah lebih dulu.

Dan malam semakin pekat, menyimpan rahasia yang bahkan bintang pun enggan bersuara.

Hari Minggu pagi, matahari menembus tirai kamar Nayla, tapi ia tetap bergelung di balik selimut. Ponselnya bergetar berkali-kali—pesan dari grup kampus, dari Rani, bahkan dari Dira. Tapi matanya terlalu berat untuk membaca semuanya.

Ia baru saja memejamkan mata lagi ketika satu pesan muncul di layar. Nama pengirim itu membuat jantungnya seketika berdegup lebih kencang.

Elhan.

Pesan singkat, hanya berisi:

“Boleh ketemu sebentar?”

Nayla menatap layar lama sekali. Tangannya bergetar, keringat dingin muncul di telapak tangannya. Bagian dirinya ingin segera membalas “iya”, bagian lain ingin pura-pura tidak melihat.

Tapi akhirnya, ia mengetik dengan tangan gemetar:

“Di taman kampus. Jam tiga.”

Ia menutup ponsel, lalu duduk memeluk lutut. Dadanya sesak, pikirannya berputar. Kenapa tiba-tiba dia mau ketemu? Apa untuk mengakhiri segalanya? Atau… masih ada yang bisa diselamatkan?

Jam tiga sore, taman kampus sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan laptop masing-masing. Angin berhembus, membawa aroma rumput basah yang baru disiram.

Nayla duduk di bangku panjang, menunduk, jari-jarinya saling meremas. Sesekali ia menoleh ke arah pintu masuk taman, menanti sosok yang tak kunjung muncul.

Dan akhirnya, langkah itu datang. Elhan. Dengan kemeja biru muda, wajah lelah, dan mata yang penuh bayangan.

Mereka saling menatap sejenak. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Hanya diam, seolah angin ikut menahan napasnya.

“Aku hampir nggak percaya kamu mau datang,” suara Nayla bergetar, pecah oleh gugup.

Elhan duduk di sampingnya, menjaga jarak kecil yang terasa sangat jauh. “Aku… butuh ngomong sama kamu.”

Hening menyelimuti mereka. Suara burung di pepohonan terdengar terlalu keras.

“Elhan,” Nayla memulai, mencoba mengendalikan suaranya, “kenapa semua ini harus jadi serumit ini? Kenapa kita nggak bisa cuma… berdua, tanpa harus mikirin orang lain?”

Elhan menatap tanah. Jemarinya mengepal, urat tangannya menegang. “Aku udah coba, Nay. Aku udah berusaha lawan semuanya. Tapi Mama—” ia terhenti, menarik napas panjang, “Mama nggak pernah bisa nerima kamu.”

Air mata Nayla jatuh begitu saja. “Apa aku salah, Elhan? Apa aku kurang baik buat kamu?”

Elhan buru-buru menggeleng, suaranya parau. “Bukan kamu. Nggak pernah tentang kamu. Ini tentang dia… tentang semua hal yang nggak bisa aku ubah.”

Nayla menggigit bibir, menahan isak. “Jadi apa artinya semua janji yang pernah kamu ucapin? Semua mimpi yang pernah kita rancang?”

Elhan terdiam lama. Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia berkata, “Artinya aku pengecut. Karena aku nggak bisa memilih kamu di atas semuanya.”

Kata-kata itu menghantam Nayla lebih keras dari apapun. Jantungnya serasa diremukkan, napasnya tercekat. Ia menatap Elhan dengan mata penuh air, mencari secercah harapan, tapi yang ia temukan hanyalah pasrah.

“Elhan…” suaranya lirih, “kalau memang ini akhirnya, katakan langsung. Jangan biarkan aku terus menggantung di udara.”

Elhan memejamkan mata. Ia ingin berteriak, ingin melawan takdir. Tapi lidahnya kelu. Dan akhirnya, ia hanya berkata pelan, “Aku harus pergi, Nay. Bukan karena aku nggak cinta kamu. Justru karena aku terlalu cinta, aku nggak sanggup lihat kamu terus disakiti karena aku.”

Nayla terisak. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi jemarinya.

“Elhan… jangan pergi. Jangan biarin aku sendirian.”

Tapi Elhan bangkit berdiri. Bahunya bergetar, wajahnya pucat. “Maaf.”

Hanya itu. Satu kata yang tak pernah cukup.

Nayla menatap punggungnya menjauh, seperti dulu. Seperti malam itu, ketika angin membawa pergi segalanya. Dan kini, sekali lagi, angin jadi saksi perpisahan yang mereka tidak pernah inginkan.

Malamnya, Nayla menulis di buku catatannya. Tangannya bergetar, matanya sembab.

“Kalau cinta ini hanya akan jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita. Walau cuma sebentar. Walau hanya lewat. Aku akan tetap menunggu, sampai kapanpun.”

Dan di sisi lain kota, Elhan menatap langit-langit kamarnya, air mata mengalir diam-diam.

“Maafkan aku, Nay. Suatu hari… semoga angin membawa aku kembali padamu.”

Angin malam kembali berhembus. Dua hati berteriak dalam diam, dua jiwa saling mencari, tapi tak pernah benar-benar bertemu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Angin di Antara Kita    Bab 14 Retakan yang Tak Terucap

    Suara tawa dari arah kantin masih terdengar samar meski mereka sudah menjauh. Nayla berjalan di samping Elhan, menunduk, tangannya sibuk meremas-remas ujung kemeja seragamnya sendiri. Seakan ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tersangkut di tenggorokan. Elhan di sebelahnya melangkah tenang, seolah tidak ada yang mengganggunya. Padahal, sejak tadi, hatinya gelisah. Ada jarak di antara mereka. Jarak yang bukan tercipta karena langkah kaki, tapi karena kata-kata yang tak kunjung terucap. “Han…” Nayla akhirnya membuka suara, pelan, hampir seperti bisikan. Elhan menoleh sekilas, senyumnya tipis. “Hm?” Nayla menggigit bibir. Ia ingin bertanya, apa benar ucapan teman-teman di kantin tadi? Apakah benar Elhan akan dijodohkan dengan seseorang dari keluarga sahabat mamanya? Tapi lidahnya kelu. Kata-kata itu terasa seperti duri. Salah ucap sedikit saja, bisa jadi luka. Elhan yang peka, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa? Ada yang mau kamu bilangin ke aku?” Nayla menatap wajahnya, dalam,

  • Angin di Antara Kita    Bab 13 Di Balik Restu yang Tak Pernah Datang

    Langit senja berwarna jingga pucat, memantul di kaca jendela kamar Nayla yang terbuka setengah. Angin sore berhembus lembut, membawa suara-suara samar dari jalan raya; deru kendaraan, suara anak-anak kecil bermain, bahkan riuh ayam jantan dari rumah tetangga. Semua terdengar biasa, seolah tak ada yang berubah. Namun bagi Nayla, hari-hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sejak perpisahan itu, ia hidup di antara penyangkalan dan kenyataan. Setiap pagi ia berharap bangun dengan kabar bahwa semua hanya ilusi, tapi setiap kali membuka mata, ia kembali menemukan kenyataan pahit: Elhan benar-benar pergi. Di atas meja belajarnya, berserakan kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan. Coretan-coretan yang lebih mirip puisi patah hati. Sebagian hanya satu kalimat pendek, seperti potongan pikiran yang tertinggal saat malam menghimpitnya. “Aku benci angin, karena ia terlalu mirip denganmu—datang tiba-tiba, pergi tanpa pamit.” “Kalau cinta ini dosa, biarlah aku me

  • Angin di Antara Kita    Bab 12 Luka yang Tak Terucap

    Pagi itu, ruang kelas terasa bising. Suara tawa mahasiswa bercampur dengan bunyi kursi yang digeser, kertas yang dibolak-balik, dan langkah kaki yang lalu-lalang. Semua tampak biasa—kecuali bagi Nayla. Ia duduk di bangku dekat jendela, menatap keluar. Matanya sembab, kantung matanya jelas terlihat. Ia mencoba tersenyum ketika Rani menepuk bahunya, tapi senyum itu hanya sekilas, lalu menghilang seperti asap. “Nay, kamu nggak apa-apa?” Rani berbisik, menyodorkan botol air mineral. “Muka kamu pucet banget.” Nayla menggeleng, menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Aku cuma kurang tidur.” Rani menatapnya lama. Ia tahu sahabatnya sedang bohong. Tapi Rani memilih tidak mendesak. Hanya mengusap punggung Nayla pelan, seakan memberi kekuatan diam-diam. Di sudut lain kelas, Elhan duduk kaku. Ia mencoba menatap papan tulis, tapi matanya sesekali melirik ke arah Nayla. Dan setiap kali pandangan itu bertemu, Nayla buru-buru menunduk. Ada jarak aneh di antara mereka, jarak yang lebih tajam

  • Angin di Antara Kita    Bab 11 Jika Angin Membawa

    Malam itu kota seolah menutup dirinya dalam kabut tipis. Lampu jalan berpendar sayu, memantulkan cahaya kuning yang rapuh di atas aspal yang mulai lembap. Angin berembus dari arah utara, dingin menusuk, membawa sisa aroma hujan yang belum sepenuhnya sirna. Nayla duduk di tepi jendela kamarnya, menatap kosong ke luar. Dari tempatnya, ia bisa melihat jalanan sepi dengan sesekali suara kendaraan lewat, hanya menimbulkan jejak cahaya sebentar sebelum hilang ditelan gelap. Tangannya menggenggam sebuah cangkir berisi teh yang sudah lama mendingin. Uapnya tak lagi mengepul, sama seperti hangat di hatinya yang kian memudar. Ia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhirnya dengan Elhan, tapi setiap detail kejadian itu masih membekas jelas. Bayangan punggung Elhan yang menjauh, suara parau yang pecah ketika ia berkata harus pergi—semuanya terasa masih hidup dalam kepalanya. Setiap kali mengingatnya, dadanya kembali sesak. “Kenapa harus berakhir begini…” gumamnya lir

  • Angin di Antara Kita    Bab 10 Luka yang Membayangi

    Udara di sekitar rumah keluarga Elhan dipenuhi aroma tanah basah yang samar, bercampur dengan harum bunga melati dari pekarangan. Semuanya begitu kontras dengan apa yang sedang bergemuruh di hati Nayla—sebuah ketidakpastian yang tak berhenti mencengkeram. Nayla menatap pintu besar bercat cokelat tua itu dengan perasaan campur aduk. Inilah rumah yang selama ini hanya ia dengar dalam cerita, hanya ia bayangkan dari balik kata-kata Elhan. Rumah yang megah, berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi, tapi terasa dingin… sangat dingin. Langkah Nayla terhenti di depan gerbang. Jemarinya menggenggam erat tali tas yang ia bawa, seakan benda sederhana itu bisa menjadi penopang keberaniannya. Di sampingnya, Elhan berdiri dengan wajah tegang. Ia berusaha tersenyum, tapi senyum itu kaku, jauh dari ketulusan yang biasa Nayla lihat. “Jangan takut,” ucap Elhan pelan, suaranya lebih terdengar seperti menenangkan dirinya sendiri ketimbang menenangkan Nayla. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.” N

  • Angin di Antara Kita    Bab 9 Di Antara Rindu dan Penolakan

    Langit sore itu terbakar jingga, awan tipis berarak pelan, dan suara burung camar terdengar samar dari kejauhan. Di tepi danau kampus, angin bertiup lembut, memantulkan riak kecil di permukaan air. Tempat itu biasanya menjadi ruang tenang bagi Nayla, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Namun sore itu, ketenangan justru terasa asing. Ia duduk di bangku kayu yang sedikit berlumut, menatap air dengan tatapan kosong. Buku catatan terbuka di pangkuannya, tetapi tangannya hanya menggenggam pena tanpa menulis apapun. Pikirannya kacau, seperti pusaran air yang berputar tanpa arah. Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Dan jantungnya langsung berdegup tak terkendali ketika melihat siapa yang datang. Elhan. Lelaki itu berjalan pelan, seolah takut langkahnya akan memecah udara di sekitarnya. Matanya redup, wajahnya lebih kurus, dan ada lelah yang jelas terlihat. Namun sorot itu tetap sama: sorot yang dulu pernah membuat Nayla merasa dunia ini hanya mereka berdua

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status