Aku kehilangan kesadaran.
Begitu kusadari, aku melayang, seperti terhanyut dan terombang-ambing di sesuatu yang tak tentu. Aku berusaha menggerakkan badan, rasanya kaku. Mataku terbuka, dan yang terlihat bukan lagi kegelapan, melainkan pendar putih. Kosong dan hampa. Rasanya aku tidak bisa melihat apa pun selain menghadap ke atas.
Dan tiba-tiba itu terasa menyesakkan. Citra-citra aneh bermunculan. Diriku berumur dua belas tahun yang menangis di pinggir danau. Diriku berumur empat belas tahun yang melawan dunia. Diriku berumur sepuluh tahun, yang memandang punggung kakak di taman rumah. Diriku berumur tujuh tahun yang bahagia.
Berapa lama waktu sudah berlalu?
Kilasan ini terasa tak memiliki akhir. Kilasan yang terasa semakin menekan. Dan tiba-tiba aku melihat langit. Malam yang gelap, seolah tak memiliki akhir. Tak ada bintang, tak ada cahaya, hanya kegelapan yang menekan. Aku teringat malam terakhirku di Rumah Pohon, saat kami menatap langit malam yang te
Kali berikutnya aku terbangun, aku tak merasa ada ikatan di kepala. Semua itu terasa aneh. Aku takut sudah tidak lagi di dunia. Aku takut semua sudah pergi.Namun, fungsi mataku terasa kembali. Mataku bergetar, dan perlahan, aku berhasil membuka katup yang sudah lama terkunci itu.Dan cahaya remang-remang menyerang matakuAku berkedip, mengerjapkan mata sangat panjang. Cahaya putih—bukan. Rasanya seperti remang kecil di sudut ruangan. Aku berkedip berulang kali, seperti mengenyahkan pendar hitam di pandanganku dan—ya, begitu mataku terbuka, aku kembali merasakan seluruh tubuhku. Aku berada di sel penjara kecil. Hanya sekitar dua kali tiga meter dengan lantai baja dan jeruji besi. Tubuhku masih terbujur kaku. Suasananya mencekam, diterangi bohlam, dan lusuh. Dindingnya gelap, dipenuhi ukiran bertuliskan: BIARKAN AKU MATI!Kepalaku pusing. Denyut terasa di segala arah. Aku mencoba duduk, dan rasanya begitu pedih. Aku tidak mampu menjaga tubuhku
Marvin dan John tidak bilang berapa lama aku disekap. Marvin bilang itu untuk kebaikan mentalku. Dia ingin saat aku meloloskan diri, kesehatan mentalku kembali. Jadi, saat dia mengatakan itu, aku sama sekali tak ingin pusing. Aku bilang agar mengunci selku lagi. Dan dia menolak. Namun, saat aku mulai menunjukkan mata yang kelewat mendung, akhirnya dia menurutiku.Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu sejak mereka mengajakku bicara. Alunan waktu terasa kosong, dan aku sama sekali tidak memiliki minat bicara. Aku hanya diam, hingga seseorang menggedor pintu besi.Lalu terdengar seruan dari luar. “Marvin! John! Buka pintunya!”“Akhirnya!” seru John. “Bantuan!”Aku bangun, sementara Marvin membuka pintu besi.Dan kulihat seorang pria. Berusia sekitar tiga puluh tahun, berjanggut tipis, berambut pendek, dan bermata biru. Dia tinggi, sekitar seratus sembilan puluh senti yang membuatnya harus menunduk melewati pintu
Tokio Eki Furuzawa menyembunyikanku di rumahnya, di Area 6 Distrik Lockwood. Dia sebenarnya dokter, jadi—entahlah, katanya aku sempat memasuki fase kritis dan berhasil lolos. Aku diberi banyak obat, vitamin, dan nutrisi sampai mengisolasiku selama satu bulan penuh. Segala berita Lockwood menjauh, dan aku tidak pernah melihat siapa pun. “Bagaimana keadaan di luar?” tanyaku. “Kau buron,” katanya, singkat. “Karena kabur dari penjara?” “Tidak ada yang tahu soal penjara. Mereka pikir kau kabur.” “Bagaimana dengan penjara?” Dia mengangkat alis. “Sebaiknya kau pulihkan kondisimu.” Hanya itu informasi yang dia berikan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Lockwood, Kawasan Normal, Helva, Laura, Kakek, atau siapa pun. Termasuk Rena Lockwood. Tampaknya aku mengerti maksud Tokio Eki Furuzawa menjauhkan segala hal tentang Lockwood. Karena mau tak mau aku pasti memikirkannya. Jadi, dengan tidak membiarkan satu hal tentang Lockwood t
28 November 2021.Aku menghabiskan sepanjang pagi dengan berlutut pada Ratu Helva—dan benar, berlutut padanya tidak serta-merta membuatku dimaafkan.“Kau pikir, dengan menundukkan kepalamu aku bakal memaafkanmu?”Mungkin dia memang tidak bisa memaafkanku atau dasarnya kurang ajar, tetapi semua mulai jelas saat dia menginjak pundakku—seperti majikan.“Apa yang terjadi setelah manusia mati?” tanyanya.Aku punya banyak jawaban seperti: “Jangan bunuh diri!” atau “Itu bukan pengalaman indah—sepertinya kau mau?” atau “Badanmu membusuk, tapi hatimu takkan pudar. Tenanglah. Aku pasti mengingat hatimu.”Namun, dia lebih dulu menekan pundakku. “Meninggalkan jejak. Angkat kepalamu, tahi kucing. Atau kutendang wajahmu.”Jadi, aku mengangkat kepala, dan dia terlihat dalam campuran kesal, iseng, sekaligus bahagia. Aku mengerutkan kening, yang membuatnya berkat
Helva memberi kami waktu berdua. Saat akhirnya kami bisa berbincang dengan suasana normal—yang kurang lebih setelah Bu Hiroko memelukku seperti melakukan bear hug—aku berhasil tahu kalau belakangan ini Bu Hiroko sering mengunjungi makam kami—yang pastinya makam kakakku dan—iya, makamku. Katanya terbuat dari sisa batuan sungai. Jadi, akhirnya Bu Hiroko kembali menjadi bijak. Helva sudah menceritakan semua, bahkan sampai gangguan yang kualami. Jadi, aku merasa aneh—sekaligus malu karena ketika akhirnya kami bertemu, Bu Hiroko justru tahu soal penyakitku. “Sebenarnya aku tidak sedang sakit mental,” kataku. “Aku memang seperti ini. Aku dan Louist sudah sakit mental sejak umur dua belas. Empat tahun dan baik-baik saja. Yah, meski setiap dua malam sekali mimpi buruk.” “Itu bukan hal yang harus kau tutupi, Charlie.” Dan aku mengerutkan kening, seperti mencium bau yang sangat kuat. “Bu Hiroko bau alkohol, sungguh?” “Apa?” Bu Hiroko kaget. Dia
Sore itu juga, Helva membawaku dengan mini van. Tokio Eki Furuzawa tidak protes saat kami—lebih tepatnya, Helva—menghubunginya. Aku bilang itu bisa dilacak, dan Helva menatapku skeptis seolah orang yang dulunya tidak percaya pelacakan sekarang sangat cemas. “Itu yang membuatku tertangkap,” kataku.“Mana mungkin ada yang melacak telepon pribadi dari cewek sekolah pada paman tua.” Kami keluar kompleks rumah Tokio Eki Furuzawa, lalu masuk ke jalan utama. “Lockwood mengira kau meledak. Tidak ada yang tahu kau selamat. Kalau ada yang menggali bekas ledakan, orang-orang juga pasti curiga. Kau ingat Area 3 Distrik Lockwood hanya dipenuhi lahan kosong?”“Jadi, Bocks di sana?”“Dan tidak ada penjagaan di sana, kecuali kamera pengawas.”“Oh.” Aku mengerti sekarang. Dulu aku juga bertanya-tanya mengapa ada banyak kamera di lahan tidak terpakai seperti Area 3 Distrik Lockwood. “
Makam Louist berada di kompleks yang sama dengan makam keluargaku. Dan akhirnya Laura benar-benar percaya aku mengalami sedikit gangguan karena begitu kami memasuki makam, yang secara teknis, sudah hampir malam, tubuhku gemetar tanpa henti. Tiba-tiba aku meringkuk, gigiku gemertak, seluruh tubuhku dingin. Aku merasa sesak, dan akhirnya muntah tepat di pintu pemakaman.“Astaga!” pekik Laura. “Kita dikutuk!”“Aku tahu ini ide buruk,” kataku, setengah sadar. “Minum.”Laura menyalakan senter, mencari botol minum, dan tiba-tiba dia menjerit, yang membuatku ikut menjerit. Karena dua orang di pintu masuk makam menjerit, Kakek—penyebab Laura menjerit—kesal. “Jangan heboh di pemakaman, Nak!”“Kek,” Laura seperti dicekik. “Kukira hantu!”“Sudah gelap. Jadi, kecilkan suaramu. Ini tempat orang beristirahat.” Kakek mendapatiku berjongkok. “Nak, sung
Keesokan harinya, ketika aku sedang mencoba menghilangkan nuansa sedih yang menggantung sepanjang malam di toko kelontong—dengan duduk di hadapan batu nisan kakakku—aku memikirkan banyak hal.Aku sering menceritakan banyak hal pada batu berukiran nama kakakku ini seolah dia mendengar semua yang kukeluhkan sepanjang empat tahun terakhir. Dan kali ini bukan salah satunya karena aku tidak ingin diketahui siapa pun. Laura bilang Kawasan Normal tahu aku ditangkap, jadi kalau tiba-tiba aku berkeliaran, rasanya situasi akan semakin tidak terkendali. Jadi, dengan penyamaran tertutup ala Rena, aku hanya membisu seolah sedang bersama Kakak.Kemudian karena aku tidak ingin terlarut dalam kesedihan, aku memainkan bunga, mengayunkannya bak tongkat sihir. “Yah, andai kita bisa melakukan sihir—astaga, menyenangkan sekali mengayunkan bunga ini.” Aku tertawa seorang diri.Sensasi ini seperti menunjukkan sisi idiot di depan penghuni makamDan