“Oh, Ann dunia memang terkadang sangat tidak adil bagi sebagian kita. Tapi, kamu harus sabar dan kuat!” ujar seorang Nenek yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya.
Spontan, Ann mengercapkan kedua matanya. “Nenek?” Ann terkejut sambil menghampiri dan memeluknya. “Kok Nenek ada di sini?” tanya Ann pada Loriez yang ada di depannya.
Begitu Ann mendongakan wajahnya ke atas, dia memundurkan langkahnya ke belakang. “Maaf, Pak,” ucapnya sambil memuyu-muyu matanya.
“Lain kali, kalau jalan gunakan kedua mata!” jawab seorang Bapak yang tidak dikenali dengan kasar.
Sejenak Ann merenung, ‘Kenapa kejadian ini sering terjadi? Tapi ini begitu nyata,’ ucapnya dalam senyap.
Setelah sadar kalau itu hanya halusinasi, dia pun segera mempercepat langkahnya. Begitu sampai rumah, matanya kembali digercapkan. “Nenek Loriez?” ucapnya agak terkejut.
Nenek serta merta mengurai tangannya lalu memeluk erat cucu kesayangannya ini. Tapi Ann,segera melepaskan. Melihat itu, Loriez heran. “Kamu baik-baik saja, Ann?” tanyanya kebingungan.
Pikiran dan hati Ann berucap bersamaan, ‘Selalu seperti ini, apakah karena aku selalu berimajinasi?'
Tidak ingin membuat Neneknya berpikir yang tidak-tidak, Ann pun kembali menghampiri dan memeluknya erat. “Tidak Nek, Ann hanya bingung saja, kenapa Nenek ini begitu sangat cantik!” ucapnya sambil mengelus halus wajahnya yang sudah keriput.
Mariez dari dalam rumah segera berujar, “Cepat ganti pakaianmu lalu jaga Adik. Ibu dan Nenek ada urusan ke desa sebelah.”
Mendengar ucapan dari anaknya Loriez menyela, “Biarkan anakmu makan dulu!”
Loriez adalah Ibu dari Mariez. Mereka memang tinggal berjauhan dari semenjak kecil. Sudah dipastikan karena kurangnya perekonomian keluarga. Menjadikan anak-anak besar di mana-mana dan menopang kehidupannya masing-masing.
Ann, melangkah masuk ke dalam kamarnya. Tepatnya, kamar dirinya dan Natalie sebelum pergi. Tidak bersemangat dia pun duduk di ujung tempat tidur terbuat dari kayu yang usianya sudah tidak bisa diterka. Sebab dari bentuk dan ukirannya saja sudah seperti puluhan tahun lamanya.
Kedua mata Ann mengarah pada pakaian Natalie yang terpapar, dia pun segera mengambilnya. “Belum cukup kita mengenal satu sama lain, Kaka sudah pergi lagi...” ucapnya sambil tangannya melipat baju.
Setelah mengganti pakaian, Ann segera ke luar dari kamar sedangkan kakinya melangkah masuk ke dapur.
“Bu, Ibu, ini bagaimana?” tanya Ann yang bingung karena di atas meja hanya ada roti yang tinggal dua keping, tiga irisan tipis daging panggang dan beberapa potong telur yang diiris kecil.
Loriez menghampiri, matanya menoleh pada piring-piring yang cucunya sebutkan. Dia hanya menggeleng-geleng kepala disertai menghela napas panjang yang berat.
Pandangan Loriez menoleh pada Mariez. “Sudah aku bilang,menikah dengan Dean yang setidaknya bisa menghidupimu dengan layak! Ini malah pilih Johan yang hanya sekedar pelukis jalanan!” ketusnya.
Mendengar ucapan Ibunya, sepertinya Mariez merasa terungkit dengan perasaannya. Sambil menoleh pada Ann, dia pun berkata, “Makan secukupnya!”
Kemudian Mariez menoleh pada Ibunya. “Maafkan Bu, sepertinya aku memang salah,” lirihnya sembari pikirannya menerawang kelima belas tahun yang silam.
-Flashback on-
Loriez berjalan pelan ke luar dari pintu gerbang tempat kerjanya. Tiba-tiba saja Dean datang menghampiri, “Mariez, aku bisa membuat keluargamu jauh lebih baik!” ucapnya bernada lembut.
Mariez menatap wajah Dean. Dean ini tidak dikategorikan buruk rupa, tapi menurut penglihatan Mariez, dia ini tidak begitu menawan.
Mariez bukannya menggubrisnya dia berlalu begitu saja.
Sedangkan Dean sendiri tidak patah semangat, motornya segera melaju ke rumah Mariez bermaksud untuk menemui Loriez.
Begitu Dean memarkirkan motornya tepat di depan dekat Loriez duduk, Loriez pun segera beranjak dan menyambutnya dengan sumringah. Karena dia memang mengetahui kalau Dean telah menaksir anaknya.
“Ibu, apa kabar?” tanya Dean penuh sopan santun.
Loriez menyungging senyum, “Aku baik saja, semoga kamu pun...sini, duduk,” ajaknya sambil sedikit menggeser.
Dean duduk di atas kursi kayu persis berdampingan dengan Loriez, dia pun mulai mengutarakan maksudnya. Mendengar penuturan Dean yang ingin menikahi Mariez, Loriez tersenyum bahagia.
Karena Loriez melihat Dean adalah laki-laki yang baik dan kategori mampu, kendatipun Loriez belum begitu mengenal putrinya. Sebab Mariez baru saja datang beberapa hari lalu. Sebagai seorang Ibu, Loriez menginginkan anaknya bahagia dan tidak kesusahan seperti dirinya. Itulah penyebab Mariez tinggal bersama temannya belas tahun lamanya.
“Bu, Dean sudah menyukainya dari awal Mariez bekerja di perusahaan.” Ujarnya penuh sopan santun.
Dean ini adalah mandor di tempat Mariez bekerja.
Loriez merasa yakin dengan Dean, dia pun berucap, “Aku setuju saja, terlebih lagi kamu pasti bisa mendidik Mariez, hanya saja semua ada di tangan Mariez tentunya!”
Loriez bisa melihat sikap Dean yang dewasa, karena Dean dengan putrinya bertautan sangat jauh, tepatnya lebih dari lima belas tahun. Mariez usianya baru saja menginjak ke 20, sedangkan Dean sudah 35 tahun.
Pandangan Loriez dan Dean teralihkan pada Mariez yang sedang berjalan mengarah ke rumah. Begitu Mariez sudah ada di depan dan tepat sekali mereka duduk, Loriez menyapa, “Mar, ada Nak Dean.”
Mariez tidak menjawabnya melainkan berjalan melewati Dean dan Ibunya sambil menunduk. Langkahnya dipercepat masuk ke dalam kamarnya lalu menguncinya.
Melihat tindakan anaknya yang kurang sopan ini, Loriez mendatangi kamar lalu segera mengetuk pintu. “Mariez, tolong buka pintu Nak, Ibu mau bicara!” ucapnya pelan sekali.
Kendatipun pelan namun Mariez mendengarnya dengan sangat jelas, karena dinding kamar hanya anyaman bambu dan ada yang bolong-bolong. Malas, Mariez mencoba membuka pintu. Begitu pintu sudah terbuka, Loriez masuk.
“Kamu, mau hidupmu seperti ini terus?” tuturnya agak mendesis di kuping anaknya.
Mariez memutarkan tempat duduknya. Dia menatap kedua bola mata orange Loriez dan memutar ke seluruh badan Ibunya.
“Bu, Mariez sudah punya kekasih nanti malam akan ke sini berjumpa dengan Ibu,” lirihnya pelan.
Loriez segera menebak, “Jangan bilang kalau kekasihmu itu adalah Johan!”
“Kalau dia, Ibu tidak setuju!” imbuhnya melanjutkan dengan mata terbelalak.
Loriez beranjak dari tempat duduknya. “Bawakan air buat Dean di depan, berbasa-basilah dengannya, cepat!” titahnya.
Moriez beranjak dari duduknya, dia pun pergi ke dapur dan segera membuat teh manis lalu membawanya ke depan.
Begitu Mariez datang, senyuman manis Dean memenuhi bibirnya.
Setelah menaruh teh di atas meja yang ada di depan Dean, Mariez duduk di atas kursi yang terbuat dari kayu dengan posisi berhadapan.
Bergeming tidak tersenyum atau pun berbicara.
Loriez mencairkan suasana, “Mar, Nak Dean ini hendak bersungguh-sungguh padamu.”
Suasana semakin hening dan formal.
Baru saja Dean hendak berbicara, Johan datang dengan berjalan kaki, namun tangannya penuh membawa beberapa bingkisan.
“Selamat sore,” ucapnya penuh wibawa.
Melihat kedatangan Johan mata Mariez berbinar.
Pandangan Dean pun mengarah pada Mariez, dari sini Dean mengerti kalau Mariez tidak tertarik padanya serta memahami kalau hatinya sudah ada yang menempati. Dean cukup tahu diri, Dia pun pergi meninggalkan kediaman Mariez.
Sedangkan Loriez wajahnya masam dan tidak bersahabat, namun karena anaknya Mariez meyakinkannya kalau Johan akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Mau tidak mau Loriez pun menyetujuinya. Akhirnya setelah perkenalan singkat ini. Johan dan Mariez menikah. Setelah menikah mereka tinggal di rumah anak sulungnya Loriez yang sudah lama tidak ditempati karena seluruh keluarganya migran ke Wales, hingga saat ini.
Mariez sedikit menyesal karena telah memilih Johan, karenanya anak-anaknya serba kekurangan terlebih lagi dia pun harus berjauhan dengan anak sulungnya.
Belum lagi Ann, sosoknya yang cerdas dan masih untung sekolah mempertahankannya. Kalau tidak, dia sudah putus sekolah dari semenjak tahun lalu karena Johan selalu menunggak iuran hingga berbulan-bulan.
Loriez berdiri, “Ayo, jadi tidak mau periksa perutmu itu?” ajaknya sambil meliriknya.
Mariez pun berbenah diri, yang sebelumnya dia melihat ke dalam rumah. Nampak Ann sedang memakan roti sambil menyuapi Adiknya.
“Ann, Ibu pergi. Kalau Ayahmu datang bilang padanya Ibu pergi sama Nenek,” ujarnya sambil berlalu.
Ann hanya mengangguk pelan.
Setelah pamitan pada ibu, ayah serta Renata yang baru pulang dari sekolah. Ann langsung masuk ke dalam mobil milik pribadinya, dan sopir pun sudah duduk di depan stir. Sementara Juan masih bergeming di dekat pintu mobil, "Ann, kamu ikut mobilku, aku mau mengantarkanmu." Pinta Juan sembari menatap wajah gadis yang sudah duduk di atas jok mobil belakang. Ann menggelengkan kepalanya. "Aku sama sopir saja!" singkatnya. "Ayo Pak, kita jalan agar tidak ketinggalan pesawat." Ann menambahkan dengan melirik ke arah sopir. Sementara Juan yang masih terpaku di depan pintu mobil, akhirnya duduk di sebelah Ann. Sopir bergegas melajukan mobil. Sedangkan Juan serta Ann saling membisu di belakang, setelah beberapa saat Juan memiringkan badannya menghadap Ann yang sedang membaca buku. "Yang kamu lihat minggu lalu tidak sesuai penglihatanmu!" jelasnya pelan dengan tangan hendak meraih tangan Ann, akan tetapi ditepis olehnya. Ann pun beraksi sama disertai menatap wajah Juan. Kemudian berbicara ketus,
Pesawat pribadi Erick yang ditumpangi dirinya serta Ann sudah mendarat dengan selamat di kota terkenal akan bangunan bersejarahnya namun berarsitektur kuno ini. Hawa sejuk musim semi serta rintikan hujan menyambut kedatangan dua manusia yang berbeda usia ini. "Selamat datang di London, Sir!" ucap Pengawal dari kolega Erick dengan ramah. Ann semakin tajkub pada sosok Erick ini. Sosoknya bagi Ann adalah inspirasinya. Kemudian para pengawal membawa Erick dan Ann agak jauh dari perkotaan. Selama perjalanan pandangan mata Ann menembus kaca jendela mobil jauh ke luar sana. Ya, jauh tidak karuan, hatinya kini hampa karena di sampingnya tidak ada sosok penguatnya. Akan tetapi berbeda setelah melihat handphonenya penuh dengan pesan dari Juan. Pesan-pesan itu seolah asupan energi semangatnya dia pun akhirnya tersenyum. Mobil berhenti di depan bangunan dengan arsitek paling unik di antara bangunan ataupun rumah lainnya. "Ayo, Ann!" ajak Erick yang sedang memperhatikan gadis belia
Alarm jam yang terdapat di atas nakas Jeanne berdering keras persis di sebelah kuping Ann. Suaranya yang memekakan hingga menusuk genderang telinganya, membuat dirinya dengan cepat meraih jam tersebut serta melihatnya. Di sana terlihat pukul 04:25, Ann pun menoleh ke arah samping dimana Jeanne dan Sylvie tidur. "Ke mana mereka?" ucap Ann pada diri sendiri, karena menampaki teman-temannya memang sudah tidak ada di sampingnya. Ann pun bergegas duduk serta memperhatikan ke seluruh ruangan, ranjang Sylvie pun kosong. Matanya hanya melihat ke arah tempat tidur Rania yang dirinya masih tertidur pulas. "Ke mana mereka sepagi ini?" lagi-lagi Ann berbicara sendiri. Cepat sekali Ann masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan aktivitasnya. Setelahnya dia pun dengan segera berjalan ke arah dapur. "Juan? Jeanne? Sylvie?" ucap Ann agak terkejut karena mereka sudah ada di dalam dapur. "Pagi, Ann." Sapa Sylvie sambil memberikan secangkir susu coklat hangat. Ann tak
Natalie beserta kecemburuan dan iri hatinya. Sementara Ruth dan Ann mereka berdua menikmati kebersamaan dengan saling bercanda tawa terkadang diselangi pelukan mesra. "Tante pinjam Ann sebentar!" ucap Juan pada Ruth. Juan melakukan itu agar Ruth tidak mencolok memperlakukan Ann hingga membuat Natalie cemberut. "Nat, temankan Tante Ruth sejenak!" Juan menoleh pada Natalie yang masih berdiri bergeming serta memasang muka tak bersahabat. Ruth sepertinya tidak mengerti dengan gelagat Natalie, dia malah berasumsi kalau Juan bereaksi seperti itu karena dirinya sudah tahu isi hati Juan pada putrinya. Kemudian menoleh pada Ann, "Ikutlah Ann, biar Juan tidak sewot melulu!" godanya. Ann mendelik ke arah Juan serta menghampiri, "Mau apa sih?" Juan tidak menjawab pertanyaan dari Ann, melainkan dengan cepat meraih jemarinya lalu menggenggamnya. Ann bertanya kembali, "Mau ke mana?" Juan berbisik ke petugas yang ada di depan pintu tad
Ann menepuk pipinya pelan serta menggercapkan secara cepat kedua bola matanya."Iya, ini Kakak!" Natalie meyakinkan sambil menghampiri adiknya. Tangan kanannya meraih jemari gadis yang memakai pakaian adat Selandia Baru ini pelan sekali, sedangkan tangan kirinya mengelus halus pipi kirinya. "Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, dan kamu memang cantik!" ucap Natalie dengan pandangan menatap tajam wajah adiknya.Ann tersenyum tipis serta langsung memeluk kakaknya ini. "Kakak kok bisa ada di sini?" desisnya tepat di kuping Natalie.Natalie merenggangkan pelukannya, dia menuntun adiknya ke arah sudut ruang ramah tamah yang sebelumnya Natalie memotong tart strawberri coklat dan menaruhnya di atas piring kecil lalu mengguyurkan coklat cair di atasnya. "Nih, dari pada colak colek seperti tadi! Jorok tahu!" sindir Natalie sambil memberikan piring kecil isi kue pada adiknya ini. Sumringah Ann mengambilnya serta langsung memakannya sembari dihayati.&n
Napas Catherine tersengal melihat kesedihan saudaranya itu, dia pun turut merasakan bagaimana perasaan Ruth bertahun lamanya. Memahami kalau Ruth bukanlah seorang ibu yang melepaskan tanggung jawab begitu saja, akan tetapi beberapa alasan hingga membuat dirinya terpaksa melakukan semua, terlebih lagi demi keluarganya.Setegar-tegarnya Ruth, namun malam ini dia nampak rapuh. Air matanya mengalir deras di depan anak kandungnya yang sedang tertidur pulas. Tangan halusnya membelai rambut panjang Ann terhampar di atas bantal berbalut sarung berwarna putih. Satu kecupan hangat pun berlabuh di atas pipi mulus gadis belia ini. Kendati tertidur, Ann masih merasakan kecupan serta belaian dari ibu kandungnya ini. Akan tetapi dia berpura-pura memejamkan matanya.'Aku menyayangi kalian,Bu.' Bisik hati Ann dalam senyap. Ann mengerti semua kejadian ini terjadi karena ujian dari Tuhan. Mariez juga Ruth hanya sekedar korban dari para manusia yang telah dikendalikan hawa naf