Sepeninggal ibu dan neneknya, Ann kembali berimajinasi, tangannya lincah menulis di atas buku lusuhnya. Pikiran Ann pada kenyataan hidup yang selalu dibatasi. Dia memiliki sayap namun tersangkut pada ranting-ranting pepohonan, sangkutan itu tiada lain adalah pahitnya kemiskinan.
Tiba-tiba saja Ann dikejutkan oleh Ayah yang baru datang, “Mariez, Riez kamu di mana? Cepat, ambilkan minum! Ambilah bahan makanan ini, lukisanku hari ini terjual dua buah dengan harga yang lumayan!” ucapan itu membuat Ann tersenyum.
Ann dengan cepat mendatangi Johan. “Yah, Ayah... ibu pergi bersama nenek ke kampung sebelah!” ujar gadis kecil yang sudah berdiri di depannya sambil memberikan segelas air.
Johan tersenyum, tangannya meraih gelas sambil berucap sangat lembut, “Mungkin kamu akan memiliki Adik baru.”
Penuturan dari ayahnya membuat Ann menghela napas pendek, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sedangkan matanya tertuju pada beberapa bahan makanan yang Johan beli, “Ayah, bolehkan aku makan sepotong daging asap itu?” tanyanya sambil mengambil kotak yang terbungkus rapat.
“Tentu saja, makanlah!” ucap Johan sambil membuka lalu memberikannya.
Gadis mungil ini dengan cepat mengambil dan memakannya. Baru saja dia hendak mengambil satu potong lagi, tiba-tiba Mariez datang, “Ann, harus tahu diri ya, itu bukan untuk hari ini saja!”
Tangan Ann pun mengurungkan untuk mengambilnya kembali.
Cepat, dia membereskan barang-barang yang terpapar di atas kursi dan membawanya ke dalam dapur. Persediaan makanan ini cukup untuk beberapa hari dan waktu yang tidak bisa ditentukan.
Di dalam dapur Ann sedang sibuk, sejenak dia pun memelankan aktivitasnya. Kupingnya mendengar jelas pembicaraan neneknya yang sinis, tepatnya dia berbicara pada ayah dan ibunya, "Anak pertamamu saja kamu biarkan pergi! Lihat Ann mau makan daging dua iris saja kamu larang!”
“Ini, hamil lagi?” sambung Loriez sambil pergi keluar dengan muka ditekuk.
Penuturan Neneknya membuat Ann semakin tidak yakin akan dirinya untuk mendapat dukungan akan cita-citanya. Dia akan mempunyai adik baru dengan keadaan yang sangat memprihatinkan.
Mariez menyenderkan badannya pada ujung tempat duduk, “Sudahlah Bu, ini yang terakhir. Aku akan mencari pekerjaan lagi,” ucap Mariez menenangkan ibunya.
***
Waktu istirahat telah tiba, Ann duduk di bawah pohon cemara dekat pintu gerbang sekolah bersama Alice.
“Ann, sepertinya setelah selesai pelulusan aku akan pergi ke kota bersama seluruh keluarga!” Alice membuka pembicaraan sedangkan tangannya mengepang rambut panjang Ann.
Rambut Ann ini berwana coklat dan lurus sangat tebal hingga membuat Alice menyukainya karena rambutnya ikal dan susah diatur.
Sedangkan yang ditanya masih sibuk dengan tulisan imajinasinya, sepertinya dia tidak begitu menangggapi pernyataan temannya ini. Bahkan tidak ada komentar apa pun yang terlontar. Dia sedang merangkai kata, kata yang seharusnya terucapkan. Alice menengok tulisan dan merebut buku tersebut, keras sekali dia membacanya, "Aku hanya menginginkan sebuah dekapan, rasanya tidak pernah ku dapatkan apalagi jika aku utarakan keinginanku."
Ann merebut bukunya sambil mendelikan mata.
“Setelah lulus, ikut aku saja!” ucap Alice.
Ann tersenyum tipis sambil berkata sinis, “Dengan keadaan keluargamu yang serba kekurangan? Lalu, aku akan menambah beban untuk mereka?”
Kemudian Ann beranjak dari tempat duduknya. Baru saja membalikan tubuhnya, Adrian sudah berdiri tepat di depannya. “Tolong bantu Bapak mengurus laporan akhir tahun buat murid-murid.” Ujar Adrian sembari memberikan setumpuk buku padanya.
Ann tersenyum lebar sembari menyanggah tumpukan itu menggunakan kedua tangannya.
“Bapak emangnya mau kemana?” tanya Ann sedikit gusar.
“Ke kampus, Bapak ada kelas hingga pukul 12:00,” jawab Adrian bernada lirih.
Kemudian, Adrian pun pergi.
Sedangkan Ann langsung masuk ke dalam ruangan kelas.
Alice pun datang, dia duduk persis di depan Ann, matanya tertuju pada tangan serta wajah sahabatnya ini. “Bisa-bisanya pak guru memberikan tugasnya padamu,” ketusnya sambil memperhatikan angka-angka hasil tulisan Adrian yang Ann pindahkan pada rapor dan nampak namanya pun tertera di sana.
Sedangkan Ann sendiri tidak menggubris hal itu, dia tetap pada kefokusannya. Hari ini memang waktu tenang setelah ulangan akhir tahun. Jadi, tidak ada pembelajaran.
“Ann, kapan selesai?” tanya Alice terlihat kesal dan menguap.
“Pulanglah, ini tinggal sepuluh lagi, tidak bisa asal isi saja dan satu buku harus menulis 18 mata pelajaran, artinya kamu jangan membuat aku terburu-buru dan tidak karuan!” ucap Ann tegas.
Mendengar perkataan temannya ini Alice pindah tempat duduk, “Aku tunggu kamu, bangunkan jika kamu sudah selesai!” ucapnya sambil menyenderkan badan dan meluruskan kakinya pada bangku panjang.
Mata Ann sekilas menoleh pada Alice, bibirnya mengulas senyuman karena melihat gelagatnya. Dia pun kembali melanjutkan tugas dari gurunya.
Setelah hampir 45 menit pengisian rapor pun akhirnya selesai.
“Thanks God!” ucap Ann sambil meregangkan tangannya.
Kemudian, dia mendekat pada sahabatnya, tangannya menepuk bahu yang sedang di alam mimpi. “Cepat bangun, atau aku tinggal pulang!” Ann membangunkan dengan nada sedikit berteriak.
Alice hampir terjungkal karena teriakan Ann yang membuatnya tersentak dari tidurnya yang lumayan lelap. Sedangkan Ann cekikikan melihat itu.
“Ann!!” bentak Alice sambil membereskan dirinya. Kemudian dia pun mengikuti Ann, masuk ke ruangan guru.
Melihat kedatangan Ann, Kathy selaku admin sekolah yang sedang mencatat pembayaran menatap wajahnya. Ann paham akan hal itu, sambil menaruh tumpukan rapor di atas meja dia berucap sangat pelan, “Aku paham kok Bu, Ayah belum melunasi iuran dan pembayaran akhir tahun, nanti Ann sampaikan...”
Kathy hanya menghela napasnya. Memahami kalau ini bukanlah yang pertama.
Adrian tiba-tiba datang, “Bagaimana Ann, sudah selesai?” tanyanya.
Ann mengangguk sembari menunjuk pada tumpukan rapor.
Adrian segera memeriksanya satu persatu, lalu menoleh pada Ann yang berdiri mematung di sebelahnya. Tangan Adrian pada saku celananya, dia mengeluarkan uang dan menghitung lembaran pecahan, lalu memberikannya pada Ann. “NZ$ 18! Untuk jajanmu!” ucapnya.
Sumringah Ann mengambilnya. Tatapannya menoleh pada Alice sambil tersenyum, “NZ$ 2 untukmu,” lirihnya sembari memberikan padanya.
Kemudian, Ann pun melangkah pada Kathy, “NZ$ 10 untuk satu bulan SPP.”
Khaty & Adrian saling memandang, mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Setelahnya, Ann dan Alice segera meninggalkan ruangan guru.
“Ann, apakah harus bayar SPP menggunakan uang hasil kerjamu?” tanya Alice sambil berjalan di sebelahnya.
Ann tidak menjawab apa-apa selain dari helaan napas.
“Kita rayakan upah ini dengan membeli ice cream vanilla?” ajak Ann sambil meraih cepat lengan Alice. Mendengar itu Alice tertawa bahagia, setelah membeli ice cream cone seharga NZ$ 0.50 mereka duduk di atas rerumputan hijau di antara jalan setapak sambil menikmatinya.
Tangan Ann membuka tas dan kembali mengambil buku usangnya, tangannya kembali lihai menulis kata demi kata yang keluar otomatis dari isi kepalanya.
Aku selalu berpikir, kalau hidup ini seperti makan ice cream, manis dan dingin. Tapi, sayang ternyata ice cream nikmatnya sesaat, seperti hidupku!
Alice membaca itu disertai tawa sambil berkata, “Kalau makan ice cream itu setelahnya, dahaga lagi ‘kan?”
Ann tersenyum geli, dia pun menutup bukunya lalu memasukannya kembali. “Kita tinggal dua tahun lagi sekolah di sini. Setelahnya entahlah...”
Alice menyimak perkataan Ann yang seperti putus harapan dengan hanya mengatupkan kedua bibirnya. Setelahnya mereka pun segera melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.
Di persimpangan jalan mereka pun berpisah, “Ann, besok kamu harus masuk, aku akan bawa makanan, kita makan bersama! Kamu bawa air saja!” ucap Alice sambil berlari.
Ann menandai dengan menganggkat jempolnya. Langkahnya pun dia percepat karena langit nampak mendung. Tiba-tiba langkah Ann terhenti.
Seketika Ann menutup kuping dengan menggunakan kedua tangannya, samar-samar dia mendengar lagi perkataan kasar dan cacian dari ayah kepada ibunya. Ann pun membalikan badannya, langkahnya berjalan ke arah ladang gandum yang menguning terhampar. Tatapannya ke arah gubuk kecil yang ada di tengah-tengah ladang. Kendatipun perut Ann sangat lapar dan tubuhnya yang lelah, dia masih terus berjalan mendekat gubuk tersebut. Begitu sampai dia pun duduk pada papan separuh yang tergeletak di antara rerumputan liar yang tumbuh, badannya menyender pada tiang bambu penopang gubuk. Ungkapan-ungkapan yang ada di pikirannya, Ann curahkan pada buku lusuhnya. Dengan tak sadar airmatanya mengalir deras. “Anak perempuan memang ditakdirkan cengeng!” gertak suara anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri tegak di belakang Ann. Cepat, Ann tergapah berdiri. Begitu membalikan tubuhnya dia melihat sosok anak laki-laki memakai kaca mata bening berbentuk bulat dengan frame warna hitam dan bertopi warna hi
Alice yang terpaku dari tadi tidak tinggal diam, dia mengikuti sahabatnya. Setelah sampai rumah Ann, Alice masuk ke dalam kerumunan, dia pun bertanya pada salah satu warga yang ada di sana, “Kenapa dan ada apa Pak?” “Nenek Loriez terjatuh, sepertinya dia memang sudah waktunya ajal, usianya ‘kan sudah tua sekali,” ungkap salah satu Bapak yang sibuk mempersiapakan pemulasaraan. Alice berdiri di belakang Ann, tangannya meraih lengan gadis yang sedang terisak ini. “Ann, kamu harus kuat, malam ini tidurlah di rumahku,” ucapnya pelan. Ann beranjak dan menoleh pada Alice, “Tuhan tidak sedang bersamaku, itu selalu!” ucapnya pesimis. “Tuhan sedang ada rencana besar untukmu, sabarlah!” jawab Alice menguatkan hati sahabatnya, hanya itu cara satu-satunya agar Ann tidak terpuruk. Kendatipun dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak memakan waktu lama, karena tidak ada yang harus ditunggu dari pihak keluarga. Pemulasaraan pun telah usai dengan
Di dalam asrama mata Ann memperhatikan ke sekeliling ruangan sambil terpaku di atas tempat tidur bertingkat. Tatapannya pada suster dan anak-anak sebayanya yang sedang sibuk dengan buku-buku mereka di atas meja belajar. Reina datang menghampiri dengan membawa beberapa baju dan kotak segi empat. “Jangan merenung seperti itu, nanti suster Maria akan menggodamu,” ujarnya sambil menoleh pada suster yang berbadan gemuk yang sedang merapikan tempat tidur. Tangan Reina pun meraih kotak, setelah di buka isinya adalah bermacam-macam buku yang tidak pernah Ann miliki. “Ensiklopedia Algoritma? Ensiklopedia Cultural? Science? Sejarah? Ilmu Peradaban?” ucap Ann sumringah sambil mengeluarkan semua buku-buku tersebut, hingga membuat tempat tidurnya penuh. Reina tersenyum melihat antusiasme Ann pada buku-buku, dia menyadari anak yang baru datang ini tidak seperti anak pada umumnya. Dia berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu. Kemudian, dia pun meninggalkannya.
Terbiasa dengan kehidupan serba minimalis dan ala kadarnya, tidur beralas sehelai karpet adalah bukan persoalan yang besar. Menyadari siapa dirinya, Ann tidak banyak menuntut atau mengeluh. Dia beraksi biasa saja, kemudian kakinya melangkah pada anak yang sedang menulis di sebelahnya. “Bolehkan aku minta beberapa lembar buku tulis dan pinjam pencil?” pinta Ann sedikit memelas. Teman sekamarnya ini membuka lacinya, lalu mengeluarkan buku dan pensil, “Ini, buatmu saja!” ucapnya datar. Ann mengambil buku tersebut dan berterima kasih. Kemudian, Ann duduk di kursi belajarnya lalu menulis kembali materi-materi yang diujikan waktu dia ulangan pelulusan. Kendatipun tidak yakin kalau besok akan diuji dengan soal yang sama. Melihat itu, Angela dan Belle penasaran dengan apa yang Ann tulis, “Kamu menulis apa?” tanyanya sambil menengok ke arah buku. “Aku menulis, operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat, membandingkan bilangan pecahan, mengingat kembali bilangan berpangkat bulat positif,
Setelah mengunci pintu, Maria menaruh kunci tersebut di bawah tong sampah besar yang ada di dekat pintu kamar mandi. Kemudian dia pun kembali ke ruang ibadah bergabung dengan yang lain. Di dalam ruangan, anak-anak dan para Suster berdoa dengan khusyuk. Di akhiri ceramah singkat oleh Madam Julia. “Semoga hari ini yang ikut olimpiade diberikan kemudahan oleh Tuhan. Amen!” tutupnya. Ternyata Nancy menyadari kalau Ann tidak ikut berdoa, dia pun segera pergi ke kamar untuk memeriksanya. Sayangnya, Ann tidak ditemukan, begitu pula ketika dia memeriksa di ruang makan. Nancy mulai cemas, dia pun segera menemui Madam Julia, “Madam…Madam, Ann hilang! Dia tidak ada?” ujar Nancy terpengap-pengap. Julia menatap wajah Nancy dan bertanya, “Kamu ini dari tadi pagi sudah tidak beres, tadi bilang kasur dan buku milik Ann hilang, sekarang Ann-nya yang hilang! Kamu ini kenapa?” Nancy mencoba menstabilkan napas dan berbicara dengan tenang, “Madam, aku merasa yakin dengan
Tangan Ann sedikit gemetaran dan dingin ketika membuka map isi soal-soal, setelah membukanya mata Ann berbinar. ‘Tuhan sekarang sangat baik, sangat baik!’ gumamnya, karena yang ada pada lembaran soal sesuai dan hampir sama dengan apa yang Ann pelajari semalam. Kepolosan Ann, dia akan mengira Tuhan baik, jika sedang memberikannya kemudahan, dan akan berpikiran sebaliknya jika sedang dalam kesulitan. Padahal Tuhan itu sangat baik dan bijaksana kepada seluruh umatnya. Oh Ann! Keberuntungan Ann mulai berpihak padanya karena dalam hitungan menit dia sudah bisa menyelesaikan lembar per lembar pertanyaan yang banyaknya lebih dari 100 soal. Santainya Ann menaruh di atas meja pengawas, lalu ke luar dari ruangan. Melihat itu Angela dan Belle terkejut, tepatnya hampir semua anak-anak terkejut. Sedangkan mereka masih belum menyelesaikan kalaupun separuhnya. Di luar pintu masuk, petugas keheranan melihat Ann sudah ke luar sebelum waktu yang telah ditentukan.
Ann hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun, sedangkan pelayan membalasnya dengan sentuhan halus pada rambut Ann. Setelah menikmati makanan yang membuat Ann seperti bermimpi ini, Ann kembali berkata dalam hati, ‘Tuhan baik!’ itu pun disertai dengan menyatukan jemarinya dan menundukan kepalanya. Melihat itu, Ronald tersenyum sambil meyakini kalau Ann adalah gadis kecil yang polos dan cerdas. Kemudian dia pun menuntun Ann dengan jemarinya yang besar dan kasar. Mereka berjalan menyusuri kota. Pandangan Ann menyatu ke arah sebuah tempat bermain modern, dia hanya memperhatikan tanpa meminta atau pun berpikiran memasukinya. Sedangkan Ronald yang sudah menganggap Ann adalah Marsha dia menarik tangannya dengan halus, “Sha, ayo masuk dulu…kita main komedi diputar….” ajaknya tanpa menyadari kalau yang diucapkannya membuat Ann sedikit agak terenyuh sedih. Ann memang tidak pernah mendapatkan itu dari sosok Johan Ayahnya, Johan akan pergi tiap hari dan pulang sore. Terlebih lagi dengan
Julia datang karena diberitahu oleh Nancy, kedua matanya mengarah ke ketiga orang yang sedang bergaduh. "Angela, Belle & kamu Maria! Ikut ke ruanganku sekarang!" ucapnya sangat tegas, dia pun segera berbalik dan diikuti oleh mereka bertiga. Di dalam ruangan, Maria, Angela dan Belle berdiri sejajar. Sedangkan kepala mereka menunduk dan bergeming. Julia beranjak dari tempat duduknya, dia jalan mengitari mereka bertiga, lalu berkata dengan sangat sinis, "Maria! Bukankah kejadian tahun kemarin hingga salah satu siswa bunuh diri karena ulahmu? Dan bagusnya orang tua siswa itu tidak memperpanjang kasusnya. Coba kalau tidak, bukan kamu saja yang akan masuk ke dalam penjara dan yayasan ini pun akan tercemar secara international!" Mendengar kemarahan Julia, Maria bersimpuh dan menukukan kepalanya, "Madam, aku sebetulnya tidak ingin berbuat seperti itu lagi, hanya saja...." Perkataannya terputus karena Angela dan Belle segera meraih kedua tangan Julia dan berkata, "M-madam Julia, sebetulnya ak