Share

Part 04

Seketika Ann menutup kuping dengan menggunakan kedua tangannya, samar-samar dia mendengar lagi perkataan kasar dan cacian dari ayah kepada ibunya. Ann pun membalikan badannya, langkahnya berjalan ke arah ladang gandum yang menguning terhampar. Tatapannya ke arah gubuk kecil yang ada di tengah-tengah ladang.

Kendatipun perut Ann sangat lapar dan tubuhnya yang lelah, dia masih terus berjalan mendekat gubuk tersebut. Begitu sampai dia pun duduk pada papan separuh yang tergeletak di antara rerumputan liar yang tumbuh, badannya menyender pada tiang bambu penopang gubuk.

Ungkapan-ungkapan yang ada di pikirannya, Ann curahkan pada buku lusuhnya. Dengan tak sadar airmatanya mengalir deras.

“Anak perempuan memang ditakdirkan cengeng!” gertak suara anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri tegak di belakang Ann.

Cepat, Ann tergapah berdiri. Begitu membalikan tubuhnya dia melihat sosok anak laki-laki memakai kaca mata bening berbentuk bulat dengan frame warna hitam dan bertopi warna hijau army. Mata Ann pun memperhatikan ujung kaki hingga pakaian yang dikenakan anak tersebut.

Menurut Ann, anak ini bukan dari lingkungannya, sepatu boot yang dipakai menandakan kalau dirinya orang berkelas. “Kamu siapa?” tanya Ann dengan suara agak serak.

Anak laki-laki ini mengulurkan tangannya sambil menjawab, “Aku Juan Deriel, panggil saja Juan atau Riel yang aku paling suka!”

Pelan dan ragu Ann menyambut uluran tangan. “Aku Ann!” singkatnya membalas memperkenalkan diri.

Cepat, pandangan Juan melihat pada buku lusuh milik Ann, dia pun mengambilnya.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar samar-samar ada yang berteriak, “Tolong...tolong...”

Dengan sigap, Ann meraih tasnya dan pergi meninggalkan Juan yang terpaku sambil memegang bukunya.

Juan berusaha memanggil dan mengejarnya, “Ann, Ann…ini bukumu!”

Sayangnya Ann berlari sangat cepat.

***

-Dua Tahun Kemudian-

Seragam kaos warna merah berkerah dengan rok warna hitam pendek, dipadukan dengan kaos kaki selutut dan sepatu warna hitam sudah Ann kenakan. “Terima kasih, Nek, sudah belikan pakaian ini untuk perpisahan.” Ucap Ann sambil mencium kening Loriez.

Betul, Ann sudah dua tahun tinggal bersama neneknya di kota The South, setelah pertengkaran hebat antara Mariez dan Johan.

Dalam pertengkaran itu, Johan memukuli Mariez dengan pemikul untuk menjajakan lukisannya yang terbuat dari besi hingga Mariez menghembuskan napas terakhirnya bersama bayi yang ada di dalam perutnya. Sedangkan Johan sendiri harus menanggung akan apa yang telah dilakukannya. Dia divonis dengan kurungan penjara selama 20 tahun.

Loriez memeluk cucunya ini sambil berkata sangat jelas di kuping Ann, “Kamu setelah tamat sekolah, harus bisa berjuang untuk kelanjutannya. Nenek besok akan ke Wales untuk menjumpai Kakakmu Natalie, siapa tahu dia bisa membantu biaya.”

Ann menatap wajah Neneknya penuh arti, arti yang tidak harus selalu berharap lebih akan sesuatu hal pada ketidakpastian, kemudian dia membalikan wajahnya ke arah cermin usang yang sudah penuh dengan noda dan retak, “Adik bagaimana kabarnya, Nek?” tanyanya pelan.

Pasca kejadian itu, Adik Ann pun mau tidak mau tinggal di asrama yatim piatu. Karena yayasan tersebut memiliki dana yang hanya cukup satu orang, maka Renata menempati itu. Mungkin jika ada untuk dua orang, Ann pun akan dengan ikhlas tinggal di sana.

“Nenek akan menjenguknya besok, setelah hasil panen dan daging ternak terjual,” jawab Loriez sangat pilu sembari mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir.

“Ya sudah, Ann berangkat dulu. Pasti Alice sudah menunggu di persimpangan jalan.” Lirih Ann sembari kembali memeluk Neneknya dengan erat.

Loriez melonggarkan pelukan,lalu  tangannya menyelinap pada tengah-tengah dadanya, dia mengeluarkan sapu tangan dan membukanya, kemudian mengambil selembar uang dan memberikannya pada Ann, “Nih, $NZ 5 untuk kamu merayakan perpisahan bersama teman-temanmu.”

Ann menolak, “Pegang saja buat Nenek, itu ‘kan hanya tinggal satu-satunya.” Karena Ann melihat di dalam sapu tangan hanya tinggal itu saja yang tersisa.

Loriez menaruhnya dengan paksa di dalam saku rok yang ada di pinggir, “Jangan membuat Nenek menangis! Cepat pergilah!”

Ann pun segera pergi ke luar rumah, dia berlari sangat kencang menyisir ladang jagung dan gandum, perjalanan yang cukup jauh untuk sampai di persimpangan jalan The West, padahal kalau dari rumah Neneknya ke sekolah lebih dekat hanya tinggal jalan ke arah utara saja. Tapi untuk sahabatnya, Ann mengalah.

“H-huh!” deruan napas Ann tersengal, keringatnya mengucur ke seluruh anggota badannya. Namun bibirnya menyungging senyum ketika Alice sudah berdiri tegak dengan muka agak kecewa. “Ann, aku sudah menunggumu hampir setengah jam, tahu!” ketusnya.

“Maaf, maaf. Aku tadi kebablasan mengobrol sama Nenek!” jawabnya sambil mengambil termos air yang terselempang pada bahunya, dia segera membuka penutup lalu meminumnya penuh dahaga.

Alice mengambil sapu tangan yang ada di dalam tasnya, lalu mengelap keringat yang bercucur pada kening Ann. Tangan kanannya merapikan rambut Ann yang terurai. Setelah beberapa menit, mereka pun segera berjalan menuju ke sekolah.

Begitu sampai sekolah, pandangan Ann pada keluarga teman-temannya. Sejenak dia terpaku, namun Alice segera meraih lengannya, “Kamu tidak sendirian! Orang tuaku juga tidak datang!” ucapnya membesarkan hati.

Sesungguhnya Alice sengaja bicara pada orang tuanya agar tidak datang, demi toleransi pada sahabatnya. Bermaksud agar Ann ada temannya, karena keseluruhan orang tua menghadiri acara pelulusan tak terkecuali pengambilan rapor.

Acara yang dikategorikan meriah untuk sebuah pelulusan sekolah dasar kalangan kelas bawah dan menengah ini.

Acara dimulai, Ann yang ditugaskan sebagai pembawa acara dengan suara yang merdu dia pun segera membukanya, “Selamat pagi, pertama-tama mari kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa….”

“…Bapak Kepala Sekolah silahkan naik ke podium untuk memberikan sambutan!”

Bapak Kepala Sekolah naik ke podium, sebelumnya tersenyum pada Ann yang memberikan microphone. Dia pun berbicara dengan tegas akan adanya wacana-wacana besar untuk meningkatkan perkembangan dalam belajar dan mengajar. “Laboratorium science dan komputer dalam proses pengajuan ke departemen pendidikan telah disetujui. Maka, jika ada sedikit peningkatan dalam iuran bulanan karena dana akan ada alokasi dana untuk membeli perangkat dan alat-alat laboratorium. Sekiranya Bapak dan Ibu bersedia memakluminya.”

Setelah beberapa kata tambahan terucap, Bapak Kepala Sekolah pun segera menutup pembicaraan dan mengembalikan microphone pada Ann. Hingga akhirnya acara yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu pengumuman untuk para juara kelas.

Ruangan menjadi sangat hening.

Adrian yang sudah antusias, dengan sumringah dan menggema membacakan secarik kertas yang ada di tangannya, “Kelas satu juara kelasnya diraih oleh…”

“…Ann Arthurian menduduki siswi dengan nilai tertinggi di seluruh sekolah di kota The West. Maka dari itu, kepada Ann silahkan naik ke panggung.”

Semua para hadirin ada yang bertepuk tangan, dan ada juga yang berdesis sinis,"Orang miskin pintar juga percuma, belum lagi Ayahnya penyiksa istri!"

Sedangkan Alice tersenyum bangga pada sahabatnya ini sambil berkata dengan pelan, “Aku sudah menduga, tak akan ada yang mengalahkanmu!”

Sebelum melangkah Ann menyatukan kedua tangan dan memejamkan matanya. Semua guru yang ada di samping memperhatikan gadis kecil ini, mereka tahu Ann sedang bersyukur pada yang memberikannya ruh dan kecerdasan pada dirinya.

Setelah itu, Ann melangkah ke arah panggung. Dia berjajar dengan yang lain peraih kejuaraan mewakili kelasnya masing-masing.

“Ann, Nenekmu tidak hadir?” tanya Adrian, karena hanya Ann yang tidak ada pendamping di sebelahnya. Ann menggelengkan kepalanya. “Tidak mengapa!” pungkas Adrian menutup persoalan.

Pemberian medali dan piagam penghargaan pun telah usai. Kini giliran Ann yang memberikan ucapan atas keberhasilannya. Ann berbicara dengan nada yang sangat datar, kata-katanya dia tidak rangkai dengan begitu baik. Dia merasa pembicaraannya tidak akan ditanggapi, toh dirinya mengerti setelah pelulusan ini, langkahnya pun tidak ada arahnya.

Cekrek!

Kamera yang dioperasikan salah satu wartawan lokal mengambil gambar Ann. Setelah itu Ann turun dari panggung dan menghampiri Alice, medali yang tergantung pada lehernya, Ann lepas dan memasangkan pada Alice. Reaksi Alice terpingkal kegirangan.

Selepas acara Khaty memanggil, “Ann, kamu ikut aku dulu ke ruanganku!”

Ann mengikuti Khaty dari belakang, setelah sampai ruangan, dia pun mempersilahkan duduk, “Duduk Ann!”

Ann menurutinya sambil duduk bergeming, sebab dia tahu iuran perpisahan belum terselesaikan. Tangan Khaty menyerahkan secarik surat pernyataan, “Ann, tanda tangani ini! Hanya sebagai formalitas saja, untuk diberikan kepada ketua yayasan,” titahnya.

Tiba-tiba Adrian sudah ada di belakang tempat duduk Ann, tangannya mengelus halus rambut panjangnya. “Masuk SLTP mana?” tanyanya.

Ann hanya menggeleng kepalanya.

Kemudian, setelah membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas surat pernyataan, Ann pun beranjak berdiri, sebelum meninggalkan ruangan tangannya diulurkan pada Adrian dan berkata sangat lirih, “Terima kasih sudah membimbing Ann dari nol hingga bisa sampai sekarang ini.”

Tangan Adrian menarik jabatan tangan siswi kesayangannya itu, “Tanpa ada keinginan belajarmu, semua hanya sia-sia!” Jelasnya disertai menatapnya.

Ann menghela napas sejenak, lalu meninggalkan ruangan dan sekolahnya ini.

Alice meraih tangan Ann, “Minggu depan aku pergi!” ucapnya mengingatkan.

“Kamu jaga diri di sana, semoga kita bisa bertemu lagi!” jawab Ann datar.

Mereka sejenak bermain ayun-ayunan yang ada di dekat sungai, tali ayunan ini begitu kokoh kendatipun telah bertahun-tahun lamanya. Anyaman tali rotan yang menopang ujung-ujung ban mobil tempat duduknya seakan tidak ada gentar menahan beban kedua anak mungil ini.

Ann bernyanyi riang seolah mewakilkan rasa bangga akan dirinya yang meraih nilai tertinggi. Padahal di luar sana ada orangtua yang mendambakan anaknya mendapat itu, agar bisa masuk sekolah favorite.  

Sedangkan untuk Ann, dia tidak ada yang membanggakannya. Ann pun enggan menemui Johan di dalam penjara, sepertinya Ann belum bisa memaafkannya.

Tiba-tiba tetangga Loriez berteriak-teriak memanggil, “Ann, Nenekmu terjatuh! Cepat pulang!”

Tanpa menunggu waktu Ann beranjak dari ayunan. Dia pergi meninggalkan Alice begitu saja.

Begitu sampai rumah, semua warga memenuhi rumah kecil Loriez. Cepat, Ann masuk ke dalam ruang tengah, nampak Neneknya terbujur kaku. “Nek…Nek bangun Nek, Nenek kenapa?” ucap Ann dengan suara memilukan bagi yang mendengarnya.

Salah satu dari tetangganya menepuk pundak Ann sambil berkata sangat sendu,“Ikhlaskan nenekmu telah tiada!”

Ann tidak menggubris, dia masih menggoyang-goyangkan tubuh neneknya disertai isak tangis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status