Share

Usaha Rekonsiliasi

Sudah TIGA HARI lamanya, aku dan Davin tidak saling bertegur sapa. Tidak juga saling bertukar obrolan melalui sosial media. Alasannya? Aku mengacuhkan dia! Bahkan, semua kontak Davin telah aku blokir. Aku sudah benar-benar tidak peduli. Mendengar namanya pun, aku tidak sudi.

“Nadia, Nadia, kamu nggak mau ambil tindakan ke mereka yang masih ngomongin kamu kah? Mereka sudah keterlaluan, lho.” Indira, si kawan sebangku, baru saja berbisik; atau sebenarnya mencoba memengaruhi.

Yah, para kampret itu masih membicarakanku soal menjadi bahan taruhan Davin and the gang. Kalau boleh berkata jujur, aku tidak terlalu peduli tentang mereka yang membicarakanku. Aku hanya kecewa terhadap Davin karena ternyata dia tidak sedewasa itu.

“Ah, enggak mau. Biarin aja. Nanti juga capek sendiri,” jawabku, mencoba acuh tak acuh pada sekitar.

“Kamu seriusan mau diem aja? Nggak sakit hati memangnya?” Indira mendekatkan dirinya kepadaku sambil mengangkat kedua alis bak tengah terheran-heran dengan sikap yang kuambil.

“Memangnya mau diapakan? ‘Kan aku nggak mungkin tau-tau ngelabrak mereka? Banyak pasukan lagi merekanya.” Aku melirik ke arah Indira dengan agak sinis, lalu mengangkat dagu untuk memberi kode kepada teman sebangkuku ini bahwa sekarang, kami masih berada di jam pelajaran. Ditambah, guru yang berada di depan saat ini adalah termasuk guru killer.

“Ya ngapain, kek! Kamu tuh jangan diam aja,” jawab Indira lagi. Rupanya dia masih tidak peka dengan kodeku tadi.

Kali ini, aku memilih untuk tidak menanggapi. Alih-alih memberi tanggapan dengan kata, aku hanya menghela napas; sungguh malas melanjutkan obrolan ini.

Lagi pula, aku ini hanya ingin memerhatikan pelajaran dengan serius dan fokus. Jadi, kumohon, Tuhan, jangan biarkan aku diganggu sedikit pun.

“Permisi, Bu Ika.”

Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar, yang disusul oleh seorang lelaki masuk dari daun pintu. Bu Ika, nama guru yang sedang mengajar saat ini, langsung menoleh pada sumber suara dan berucap, “Oh, Davin. Ada perlu apa?”

“Ini, Bu, saya boleh pinjam Nadia-nya dulu? Saya disuruh sama Pak Ilham untuk mengurusi OSIS sehingga butuh bantuan Nadia.”

Demi Tuhan. Aku baru saja berdoa dalam hati dan Tuhan langsung menunjukkan hasilnya saat ini juga? Apakah takdir segitu membencinya melihatku hidup tenang? Bu Ika, kumohon, jadilah penolongku!

“Oh, boleh. Saya juga hanya menjelaskan sedikit, nanti Nadia bisa bertanya ke yang lain.” Tanggapan dari Bu Ika sungguh-sungguh membuatku kecewa. Ke mana Bu Ika yang galak dan tidak mengizinkan siapa pun mengganggu kelasnya? Apakah Bu Ika yang sekarang hanya doppleganger?

Ah, sudahlah. Aku sambat pun, takdir tidak akan mendengar dan membantuku begitu saja. Maka, aku hanya bisa pasrah dan ikut dengan Davin keluar keras. 

Taruhan, seisi kelas pasti langsung heboh berbisik!

“Nadia,” panggil Davin dari belakang, yang sengaja kutinggalkan dia dengan berjalan lebih dulu. Aku mendengar dia memanggil, tetapi aku memilih untuk mengabaikannya.

“Nadia.” Davin mencoba memanggil lagi, tetapi aku tetap tidak menanggapi dan terus berjalan. Entah untuk ke berapa kali, Davin berseru dengan suara tegas, “Nadia! Saya manggil kamu, lho. Nggak mungkin kamu mendadak tuli, ‘kan?”

“Apa, sih? Kalau emang ada yang mau diomongin, langsung to the point, ‘kan, bisa. Jangan banyak bertele-tele kalau jadi orang,” cecarku dengan sinis. Aku sudah tidak bisa lagi bersabar kepada Davin. Harga diriku telah dicoreng sedemikian rupa, hatiku dipermainkan seenaknya saja. Jadi, wajar bila aku benar-benar marah, ‘kan?

“Kamu mau sampai kapan bermain kucing-kucingan terus dengan saya?” tanyanya, lalu menarik pergelangan tanganku hingga jarak antara kami semakin terkikis.

“Mau sampai kapan lari terus dan nggak mau menyelesaikan masalah?” Davin mengimbuhkan, pun masih dengan menatapku lekat seolah aku adalah mangsa yang siap disergap.

“Sampai kamu pergi dari hidup aku dan nggak ganggu aku.” Sempat kujeda lantaran aku memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah lain sambil mendengus. Barulah sekon berikutnya, aku langsung menambahkan, “Lagi pula, Davin, nggak ada yang harus diselesaikan atau diperjelas karena dari awal,  kita memang nggak memulai sesuatu dengan jelas.”

“Oh, jadi kamu mau saya bersikap lebih jelas lagi ke kamu? Dari segi mana, sikap saya yang kurang jelas?” Entah mengapa, lama-kelamaan aku seolah bisa merasakan aura Davin mulai mengintimidasi agar aku patuh kepadanya. Efek jabatan kapten tim kah?

“Saya tanya lagi kalau gitu. Dari segi mana, sikap saya yang MENURUT KAMU kurang jelas, Nadia?” Pertanyaan yang diulang itu ... buatku sudah seperti sebuah tuntutan atau bahkan, memojokkan.

Aku kesal. Baru kali ini aku mengetahui sisi Davin yang ternyata begitu mendominasi dan juga mengintimidasi. Memang aku sering mendengar kabar burung soal bagaimana gilanya seorang Davin yang melebihi setan di neraka sekali pun, saat Davin  sudah menunjukkan sisi kepemimpinan ... tidak, lebih tepat disebut dengan, sisi diktaktornya. Namun, saat itu, kupikir berita kegilaan Davin bak setan hanyalah kabar burung belaka. Ternyata tidak!

Aku merasa merinding seolah ada tekanan yang menekan kedua pundakku untuk berlutut dan memohon ampun. Sayangnya, egoku juga bisa lebih mendominasi hingga dengan segenap keberanian tersisa, aku menarik pergelangan tangan yang sebermula digenggam oleh Davin untuk berkata, “Semua soal kamu itu nggak jelas, tau nggak?”

Aku ingin sok keren dengan langsung meninggalkan Davin begitu saja dan segera menuju ruang OSIS untuk menyelesaikan pekerjaan yang, katanya, memerlukan bantuanku. Nyatanya, aku sendiri tidak tahu … di mana tempat untukku menyelesaikan urusan itu?

Harap dimaklumi. Aku ini bukan anggota OSIS, tidak pernah juga terlibat urusan OSIS. Benar-benar baru kali ini, aku diseret untuk membantu urusan OSIS. Diseretnya oleh Davin pula. Aku curiga, dia hanya beralasan agar bisa bercengkrama denganku karena sudah tiga hari ini, dia sama sekali tidak kuberikan cela agar kami bisa berbincang.

“Jadi, di mana urusan OSIS yang kamu bilang itu? Bukan akal-akalan kamu aja buat ngobrol sama aku, ‘kan?” tanyaku, diikuti tatapan penuh menyelidik dan curiga.

“Ikut saya. Kita bahas masalah ini nanti lagi, saat istirahat atau pulang sekolah.” Like hell, I would do that. Yah, pada akhirnya aku memilih untuk tidak menyuarakan suara hati barusan karena sudah terlalu malas untuk berdebat lebih lanjut.

Aku memutuskan untuk mengikuti Davin hingga kami sampai di sebuah ruang kelas tidak terpakai yang sudah disambut oleh beberapa anak OSIS di dalam sana.

“CIEE. Pasangan baru udah datang tuh.”

“Lho, lho, mentang-mentang pasutri baru, datangnya juga barengan?”

Baru saja aku masuk dan bergabung, tiba-tiba langsung disambut dengan godaan sedemikian hebohnya. Tentu, aku langsung menggaruk bagian belakang kepala. Otakku benar-benar tidak bisa memproses semua yang terjadi. Bahkan, ketika aku melirik ke arah Davin pun, dia tidak memberi tanggapan apa-apa. Hanya diam dan tersenyum kecil. Payah!

“Jadi, ini cewek lo yang pinter gambar itu, Vin?” celetuk salah seorang lelaki yang tiba-tiba menghampiri kami, lalu mengulurkan tangan kepadaku. “Halo. Nadia, ceweknya Davin, ‘kan? Aku Nicholas, ketua OSIS di sini.”

Oh, jadi dia mengajak berkenalan?

“Mm … hai, iya, aku Nadia, tapi bukan ceweknya Davin,” ralatku dengan ramah dan sesopan mungkin.

“Hahaha. Masih malu-malu ternyata. That’s okay, pasangan baru memang sering malu-malu,” jawab Nicholas dengan percaya diri.

Masalahnya, kami bukan pasangan! Aku melirik ke arah Davin dengan penuh harapan; bantulah menyangkal. Namun, tentu saja tidak ada hasil. Davin justru, lagi-lagi, hanya melempar senyum― yang mati-matian ingin kutampar!

“Beneran bukan pacarnya Davin!” seruku, masih berusaha meralat. Meski aku tahu, probabilitas terbesarnya tidak akan berguna.

“Ya, ya, terserah. Jadi, Nadia, kami dari OSIS mau minta tolong kamu sebagai tambahan tenaga tukang gambar,” jelas Nicholas, lalu mengajakku untuk menyapa anggota lain, “Nah, ini ada Alretta, Felix, dan Indra, yang akan jadi temen kamu menggambar nanti. Untuk koordinatornya itu temen Davin, si Candra.”

Oke, tunggu. Aku belum terlalu peduli dengan nama-nama yang disebutkan oleh Nicholas tadi. Lebih utamanya, aku ingin tahu; untuk apa aku menggambar?

“Sebentar. Jadi, tujuannya menggambar ini untuk apa? Apakah akan ada sebuah proyek dalam waktu dekat?” tanyaku, meminta penjelasan.

“Lho, Davin belum menjelaskan? Tim voli Davin 2 bulan lagi akan tanding di Nasional. Jadi, kami diminta sekolah untuk menyiapkan alat-alat menjadi supporter.” Penjelasan Nicholas memang santai, tetapi aku yang tidak bisa menangkapnya.

Aku mengerutkan dahi sambil menyimak penjelasan Nicholas. Dari penjelasan dia barusan, dapat disimpulkan bahwa aku akan berkontribusi dalam mendukung Davin, ‘kan?

“Kata Davin, kamu juga setuju. Jadi, bisa kita mulai untuk briefing sekarang, ‘kan?” Kalimat Nicholas kali ini bukan serupa pertanyaan, melainkan sebuah tuntutan, di mana aku harus menjawab iya.

Davin sialan. Apa lagi yang dia rencanakan kali ini?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status