Kamu di mana, aku sudah di tempat. Celingak-celinguk, sorot mata redup menjelajahi ke sekeliling ruangan. Sudah satu jam lebih aku menyibukan diri di dalam toko buku yang tidak terlalu ramai. Aku terdampar di toko buku sambil menunggu janji Apollo yang aku dapat setiap minggu. Banyak buku berjajar, memenuhi rak-rak dan menghalangi tubuhku dipandang oleh penjaga toko yang bertugas. Rasanya canggung saja jika harus melihat-lihat tanpa ada intensi untuk membeli dari awal. Mungkin saja durasi satu jam bukan waktu yang lama untuk aku yang gemar membuang waktu, tapi untuk bertemu Apollo rotasi bumi melambat. Setelah kami berpisah, Mamah dan Apollo pindah kota. Mereka pulang ke tempat eyang kakung, tepatnya ke kota Bandung. Jakarta-Bandung tidak dipisahkan oleh hamparan samudra atau gunung menjulang ke langit dan kakinya mengakar ke inti bumi. Jakarta-Bandung untuk kami manusia modern bukan lagi halangan. Maka dari itu Apollo sering mengujungiku di akhir pekan. Dia bilang dia ingin melih
“Athena, minggir! Apa yang kau lakukan!” Ah, aku begitu merindukan pelukan Mamah. Penghianatan pahit, penawarnya adalah kata maaf. Segelas susu bagi bisa ular. Penawar bagi luka. Mamah seharusnya meminta maaf bukan pergi begitu saja. Hadapi kekecewaan Ayah bukan memboyong kakak ke entah berantah. Aku menghalangi tubuh Melodi dari moncong senjata Sri. Ujung senjatanya ngebul, panasnya bertabrakan dengan dingin yang dibawa hujan. Aku melihat jelas lubangnya mengarah ke kepala. Melodi hanya bisa merintih di belakang tubuhku. Tanganku gemetaran tapi aku tidak gentar. Aku angkat kedua tanganku ke udara menandakan aku hanya ingin berdamai. Jendela mata Sri tidak memberikan isyarat keadaan hatinya, apakah ia masih hidup atau gersang dilahap api amarah. Tanan Sri kokoh menodongkan pistol, mengarahkan moncongnya menuju keningku. Hujan bertambah deras. Langitnya dari biru menjadi kelabu. Jika memang Sri tidak berubah pikiran, aku akan segera bertemu Jessica. Aku harap ayah tidak akan kec
Madu tak pernah beracun, sebaliknya ia manis merayuBunga merekah menggoda yang berkeliling, biasanya sih lebah yang bisingBagaimana jikalau si lebah hinggap di bunga tak biasaMalang, bentuknya menawan walau mengandung bukan hanya nektar“Innana, ada apa? Mengapa tiba-tiba_”“Eden! Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba dia meminta putus. Dengan mudahnya dia mencampakkanku begitu saja!” sambil berderai air mata. Aku, Kemala dan Melodi duduk mengitari Innana. Tangisannya tidak berhenti menemani deru hujan. Ruang kelas kosong, hanya ada kami berempat. Aku tidak ingat berapa yang tersisa dari kami setelah sunami peluru Sri tadi. “Eden pasti mempunyai alasan. Dia tidak mungkin begitu saja minta putus.” Kemala tidak lelah menenangkan “Apa alasannya?! Coba beritahu aku alasan yang tepat….” niat Kemala untuk menenangkannya pun gagal, gejolak amarah, kekecewaan yang diselimuti air mata tak terelakkan. “Semuanya baik-baik saja, tidak ada perdebatan sebelumnya. Aku ingat-ingat pun, terakhir kita
Canggung sekali. Terakhir kali pembicaraan normal dengan Innana tidak berjalan mulus. Kami malah bertengkar yang diakhiri dengan aku menakut-nakutinya. Kondisi yang mengharuskan aku menggiringnya ke bilik toilet tempat di mana aku menemukan buku catatan Nadia. Aku klaim tempat ini adalah markas pemberontakan. Nadia menaruh buku itu di sini, maka di sinilah satu-satunya tempat yang aman bagi kami mengatur strategi. Bilik toilet memang sempit, tapi aku harap apa yang kami dapatkan dari sini melebar sampai kami dapat menemukan jalan pulang. Kira-kira sudah 300 tetesan air yang jatuh dari keran wastafel toilet. Kerannya sedikit bocor karena berkarat. Setiap hitungan ke 60 aku akan bersumpah serapah dalam hati pada Yuuta, karena dia belum datang juga. Yuuta dan Eden lebih tepatnya. Aku meminta Yuuta membawa Eden ke tempat ini di jam makan malam. Mungkin Pak Darma akan menyadari kami berempat tidak tertangkap di cctv dengan mudah, karena memang jumlah murid yang ada berkurang secara drasti
Putus asa, jalan buntu dan harapan yang menjadi angan-angan saja, mengantarkan Sri menuju tiang jagal. Hatinya retak, celah-celahnya kentara, lukanya dalam dan bernanah. Jiwanya tidak mau menahan borok luka hati yang dia pendam. Salah siapa lagi jika bukan kita, si pelaku atau si orang yang acuh. Semua darah ada di tangan kita semua. “Sejak kejadian kemarin, dia tidak keluar dari ruang UKS. Kami sudah berusaha membujuknya untuk membuka pintu, setidaknya dia butuh makan. Tapi kami tidak mendapatkan jawaban dari dalam” Kemala menjelaskan apa yang terjadi pasca Sri menembaki kepala teman-teman kami. Kami mendapati Sri tergantung di tiang ring basket. Kepalanya menunduk ke bawah, padahal pagi ini mataharinya begitu cerah. Dia menggantung dengan seutas tali yang melingkar di lehernya, padahal berat kehiduapannya masih ada. Kaki, tangan bahkan tubuhnya membiru, menjuntai begitu saja, seirama dengan angin hutan. Semua dari kami, sisa dari pertarungan kemarin, mematung mengantarkan nyawa S
“Dasar gadis pincang! Cepat kemasi barang-barangmu, lalu pergi dari rumah ini!” dalam pengaruh alkohol seseorang yang berwibawa seketika berubah menjadi si dungu yang tidak pernah bersekolah. Ayah tengah berada di titik rendahnya. Setengah jiwanya menyebar racun ke seluruh sudut tubuh miliknya. Kini dia tidak lagi mengenal mana pagi dan mana malam. Mana daratan mana lautan. Mana buah kuldi yang mengantarkan Adam ke bumi dan mana buah hati. Semua dia ludahi. Hina rasanya. Mimpi buruk ini berawal dari kecurigaanku terhadap hubungan mamah dan ajudan baru kami, om Prima. Tentu kecurigaanku berlandaskan sesuatu, bukan hanya lamunan sang pujangga pengangguran di siang bolong. Sekali aku memergoki mamah dan om Prima berpelukan di mobil sebelum masuk ke rumah. Aku melihatnya dari siluet yang menembus jendela mobil. Mereka mungkin tidak menyadari keberadaanku dari dalam rumah. Mereka pikir rumah kosong. Memang seharusnya di jam segitu aku masih berada di sekolah, namun aku pulang lebih cep
Rumah gelap gulita. Gelita malam menyeruak, menemani aku yang terbaring kelaparan. Kamarku hening, ayah mendengkur di tengah rumah dikelilingi botol wiskinya. Listrik di rumahku mati, ayah tidak sama sekali mengurusi rumah apa lagi dirinya. Dia seperti seonggok daging yang menunggu, menanti ajalnya saja. Aku bukan tidak berani protes, lelah rasanya untuk mengulang-ulang kembali kalimat ayah ayo makan, atau ayah cukup jangan minum lagi . Semua percuma dibuat olehnnya. Seperti apa yang aku bilang, ayah tidak mengurusi rumah lagi. Selama ini aku menjalani kehidupanku sendiri, bermodalkan dengan tabunganku dan barang-barang berhargaku yang aku jual. Aku tidak bisa berkerja, aku masih di bawah umur. Kadang Apollo memberiku beberapa rupiah yang ditransfer ke rekeningku. Dia tahu keadaan rumah dan aku. Apollo bilang, ayo kita pergi saja dari sini, tidak bersama ayah atau pun mamah, hanya kita berdua. Terdengar seperti kehidupan yang indah bagi kita berdua. Akan tetapi, Apollo memang tumbuh
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini Pak Darma datang langsung ke kelas bersama Kronos dan Kyos. Biasanya jika permainan itu digelar di dalam kelas, dia lebih memilih berinteraksi dengan kami melalui layar laptop. Entah apa alasannya, barangkali jeritan kami akan memantul dan bergema di ruangan sehingga dapat melukai gendang telinganya. Barangkali dia tidak suka suara bising. Tapi lihat lah sekarang, tidak banyak yang tersisa dari kami. Mungkin teriakkan dari segelintir orang tidak akan melukai telinganya. Yang hadir di kelas hanya 7 orang. Setelah kejadian tadi pagi, Melodi lebih memilih mengurung dirinya di UKS. Aku bilang aku tidak apa-apa, tetapi dia tidak menganggapnya. Sering kali ketika orang merasa bersalah, mereka akan menghindar jauh-jauh. Sayangnya di sekolah yang berjeruji ini mirip penjara, jarak sejauh apa pun yang kau inginkan, kau akan bersenggolan kembali ketika waktunya bersih-bersih di toilet. Tapi mungkin saja dia mengurung diri bukan karena merasa bersa