Share

Bab 3 Sahabat Semu

Ternyata semuanya telah siap. Selagi kita menikmati pertunjukan jeruji besi itu menancap di lorong sekolah, Kronos dan Kyos mempersiapkan sesuatu. Mereka mengambil dua meja dari luar kelas dan menjejerkannya di depan. Setelah semua murid duduk rapi di bangkunya masing-masing, Thea mulai berkeliling, mengitari kelas dengan membawa sebuah kotak yang berisikan banyak potongan kertas. Dia menyodorkan dan meminta kami untuk mengambil secarik kertas secara acak dari dalam kotak tersebut.

“Hari ini kita bermain permainan tradisional khas jawa tengah, cublek-cublek suweng. Kalian pasti pernah mendengarnya.” Pak Darma membuka permainan pertama kami.

“Peraturannya sederhana, Thea telah membagikan nomor urut kepada kalian. Nomor satu sampai lima akan bermain terlebih dahulu. Satu dari lima orang tersebut akan menjadi Pak Empo yang harus tertelungkup di atas meja. Empat lainnya berdiri mengitari Pak Empo dan membuka telapak tangannya di atas punggung pak Empo.”

Kronos menunjukan kelereng berukuran besar. Warnanya putih dengan ornamen merah kuning di bagian tengahnya, begitu mengkilap sampai sesekali dia berkelip memantulkan cahaya. Aku ragu tanganku bisa menggenggam itu, menutupi seluruh bagian kelereng itu.

“Tangan yang menadah ke atas, kalian letakkan di punggung Pak Empo. Ketika kalian mulai bernyanyi, pindahkan kelereng tersebut dari satu tangan ke tangan lainnya. Lalu di akhir lagu, Pak Empo harus mampu menebak di tangan mana kelereng itu berada? Jika pak Empo dapat menebaknya, maka dia menang dan orang yang memegang kelereng tersebut kalah.”

“Bagaimana jika Pak Empo salah menebaknya?” Salah satu dari kami bertanya.

“Jika Pak Empo gagal menebaknya, maka Pak Empo lah yang kalah. Siapa pun yang kalah, ia akan diakhiri, ia tidak perlu lagi tumbuh dan menjadi dewasa.”

Diakhiri, begitu kata Pak Darma. Sepertinya itu adalah kata ganti dari bunuh, akan dibunuh atau apa pun yang berkaitan dengan kematian. Pak Darma memang bukan orang yang mengatakan sesuatu itu bulat dengan itu bulat. Dia lebih memilih menari-nari di tengah-tengah kalimat yang tidak jelas, menempatkan maksud dan pikirannya menggunakan analogi yang buram. Dia lebih suka mengajak kami bermain-main terlebih dahulu di dalam imajinasi. Dia selalu melakukan hal tersebut di jam pelajaran yang diampu, Fisika. Dengan caranya itu, aku yang berpikir Fisika itu merepotkan, membosankan, dan sulit setengah mati menjadi lebih tertarik untuk memahami apa yang dimaksud oleh Newton. Sebelumnya aku gagal memahami gaya gravitasi pada bumi, gaya pada orang yang bermain skateboard, gaya tekanan yang dihasilkan orang yang menginjak rem, dan persoalan rumit lainnya. Tapi tepat satu tahun yang lalu Pak Darma dapat mengubah semuanya, mengubah Fisika menjadi lebih bersahabat.

“Baik, teman-teman yang mendapatkan nomor urut satu sampai lima silahkan maju ke depan.” Kyos mempersilahkan kami untuk berdiri di daun pintu alam kematian.

Perlahan aku membuka lipatan kertas kecil yang aku ambil tadi, “dua puluh..”lirihku. Jadi nomor duapuluh adalah nomor kematian ku? Bahkan usiaku saja belum mencapai 20, aku dipaksa untuk mati cepat-cepat di urutan yang keduapuluh? 

Seisi kelas seketika bising. Tentu si pemegang nomor pertama sampai lima tidak menerima. Sebenarnya kami belum memahami betul apa yang dimaksud Pak Darma dengan diakhiri, namun siapa yang suka rela menjadi bahan uji coba. Tumbal pertama untuk kami memahami Pak Darma sedang bercanda atau ini adalah bagian dari projek sekolah untuk mempererat kebersamaan kami, mungkin? Mereka yang mendapatkan nomor urut satu sampai lima, secara bersamaan menolak untuk bermain. Kembali lagi siapa yang mau jadi tumbal? dan jika benar, faktanya Pak Darma berubah menjadi orang gila haus darah remaja, siapa yang siap untuk menerima kekalahan dan berakhir menjadi mayat? Tentu tidak ada.

“Jika kalian menolak untuk bermain, mudah saja bagi bapak. Mari kita akhiri semua ini dengan cepat.”

Ketiga murid aneh itu mengeluarkan senjata laras pendek. Berbarengan mereka membidik kepala kami dengan moncong senjata itu. Tampaknya senjata laras pendek itu tidak menggetarkan Bara dan kawan-kawan. Mereka anak lelaki remaja yang tidak mudah percaya, bagaimana tidak biasanya mereka mengisi hari-hari di sekolah dengan mengerjai satu sama lain. Atau mungkin, yang kami kenal Pak Darma bukan guru yang mengharapkan muridnya mati di usia muda. 

Mengetahui beberapa murid tidak menganggap senjata itu serius, tanpa ragu mereka lepaskan beberapa tembakkan ke tembok kelas di belakang kami. Tembakan pertama, membuat semuanya bersembunyi di kolong meja masing-masing. Tembakan kedua, suaranya lebih nyaring karena dibarengi dengan pekikan setiap dari kami. Tembakan ketiga tertahan. 

“Bagaimana? Kalian berubah pikiran?” tanya Pak Darma. 

Sontak udara dalam kelas menjadi langka, nafas kami menjadi pendek. Tangan kami menutup kedua telinga, bersiap-siap melindungi dari suara dentuman pistol yang mungkin saja yang selanjutnya akan bersarang di kepala kami. 

“Aku mohon yang mendapatkan nomor satu sampai lima bermainlah! Turuti apa yang Pak Darma inginkan!!” Melodi berteriak dari bawah mejanya. 

Aku tidak percaya apa yang dikatakan Melodi, dia merestui seseorang untuk bermain permainan yang tidak masuk akal ini. Tidak sampai di situ saja, beberapa dari kami pun menimpali tanda lebih dari setuju. Ini mengerikan. Kami seperti saling dorong untuk siapa yang terlebih dahulu jatuh ke jurang kematian.

Tentu dengan berat hati mereka yang mendapatkan nomor satu sampai lima menuruti keinginan Pak Darma. Terpaksa bermain dengan harga taruhannya adalah nyawa. Mereka mengangkat tangan ke udara. Jari-jari mereka bergetaran, perlahan keluar dari balik meja mereka. Ragu namun apa boleh buat. 

“Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter…" Mereka, lima teman kelasku di depan bernyanyi dan bermain. Anehnya mataku menangkap mereka sedang menggali satu lubang kuburan untuk temannya, entah untuk siapa, yang jelas untuk salah satu dari mereka.

“Mambu ketundung gudel, Pak Empo lera-lere, sapa ngguyu ndhelikake…” ini dia, orang yang tertelungkup di tengah mulai bangun, terduduk. Matanya merah, nafasnya terhenti, fokus memerhatikan setiap kepalan tangan yang bergoyang di sekelilingnya.

“Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.” Anita, orang yang bermain sebagai Pak Empo, menggenggam tangan Dinar, sahabatnya sendiri. Tangan mereka bertemu.

“Maafkan aku Dinar..”Anita berbisik pedih, dia alihkan pandangannya ke udara di sebelah telinga sahabatnya. Anita tidak mampu melihat ke arah wajah sahabatnya sendiri.

“Kau memang sahabat terbaikku. Aku bahkan tidak mampu menyembunyikan apa pun di hadapan mu.” Anita hancur, aku melihat tangannya menggenggam Dinar dengan erat. Sepertinya dia tahu, sahabatnya akan pergi meninggalkannya.

“Terimakasih Anita, sudah menjadi sahabat baikku selama ini.”

Beepp.. 

Dinar jatuh ke pelukan Anita. Kepalanya tidak bisa berdiri tegak lagi. Kelereng putih itu jatuh ke lantai, memantul-mantul, dan berakhir menggelinding. Suaranya mengantarkan kepergian Dinar. Anita histeris berteriak memanggil nama Dinar. Memeluk kepalanya yang telah berlubang. Aliran darah deras membasahi baju seragam Anita. Aku tidak bisa membedakan tangisan Anita, tangisan karena rasa bersalahnya atau kepergian sahabatnya.

Thea datang dengan brankar dorong berwarna hitam. Sebelum melonggarkan pelukan Anita pada tubuh Dinar, dia membelai halus kepala Anita.

“Semuanya akan baik-baik saja. Biarkan sahabatmu pergi.” lirih Thea halus.

Thea memang tidak mengancam, tidak juga mengintimidasi. Tapi Anita menyadari dia harus segera melepas tubuh Dinar. Apa yang dilakukan Anita memang benar. Karena bukan belaian Thea yang mengintimidasi, melainkan senjata di dalam saku rok seragam Thea. 

"Dinar, muridku yang pintar. Sekarang dia sudah baik-baik saja. Kalian tidak usah khawatir.”

Tengkuk mengeras, kaku, ketegangan kelas sudah menjelma sebagai beban di kepalaku. Aku tertunduk, memilih untuk memandangi meja kayu, permukaanya tampak polos tanpa corak. Permukaan yang polos ini menyelamatkan aku dari pemadangan yang menyedihkan di depan kelas. Atau bahkan di sekelilingku. Rasanya begitu perih ketika melihat teman-teman menangisi kepergian Dinar.

Apanya kehidupan orang dewasa begitu terjal dan menyedihkan? Apanya kedewasaan itu adalah kutukan bagi kehidupan? Apanya?! Pandangan Pak Darma terhadap kehidupan sungguh keliru. Kutukan itu tidak hanya datang ketika kita beranjak dewasa saja. Kutukan itu bisa datang kapan pun ia mau. Memangnya tidak ada anak remaja yang mengalami kemalangan di dalam hidupnya? Memangnya dunia ini bersih dari anak-anak yang menjadi korban kekerasan? Memangnya tidak ada anak yang menjadi korban dari pelecehan? Tak ayal, yang sering kutemui adalah mereka yang menjadi korban dari keegoisan orang tuanya. Tapi coba berpikir lagi, adakah sesuatu yang bernama kutukan kehidupan? Apakah kemalangan-kemalangan yang kita harus lewati sebagai manusia adalah sebuah kutukan bagi kehidupan? Lalu kehidupan itu harusnya bagaimana? Apakah kemalangan seharusnya menjadi bagian dari kehidupan? Apa arti kebahagiaan jika kemalangan_

“Permainan masih berlanjut, siapa yang menerima nomor enam, silahkan maju kedepan kelas.” kata Kyos membubarkan lamunanku. 

Yuuta berdiri dari bangkunya. Dia seperti tidak yakin ingin pergi ke depan kelas, peluh di keningnya semakin ketara, matanya menyalang, tangannya gemetaran. Maafkan aku Ibu, lirihnya sebelum dia mulai melangkah maju menuju ke depan kelas. Waktu mengantar langkahnya lambat. Yuuta baru saja bergabung di minggu lalu, tersirat di benakku.

“Pak Darma!” Aku berdiri dengan kasar. Bangkuku berdecit nyaring, menarik perhatian satu kelas. “Sepertinya Pak Darma keliru!" aku mengatakannya.

“Di mana letak kekeliruan itu?” 

“Tentu ini semua keliru Pak. Menurut bapak, masa dewasa merupakan sebuah kutukan, lalu Bapak cegah kami untuk tidak sampai ke masa itu. Apakah itu tidak terdengar keliru?”

“Bagaimana kalau kamu juga ikut bermain bersama kita?” jawabnya sambil tersenyum sumringah dari balik layar.

“Yuuta, kamu boleh duduk kembali ke bangkumu.”

Tertegun, tapi ini lah konsekuensi yang harus aku hadapi. Aku harus menggantikan Yuuta bermain, menjadi hasil upaya protesku. Apa boleh buat, kuturuti perintahnya. Tanpa menoleh ke arah Yuuta aku berjalan pasti menggantikan posisinya. Aku berdiri tepat di mana Dinar berdiri tadi. Anita bergantian dengan yang lain untuk menjadi yang tertelungkup di tengah. Suasana di depan kelas ternyata terasa lebih dingin dibandingkan di bangku penonton sana. Di depan kelas sini, kami menikmati nafas terakhir kami berbarengan dan tenggelam dalam gamang.

“Cublek-cublek suweng, suwenge teng gelenter…” aku mulai bernyanyi. Mantra yang sama dilantunkan kembali. Ritual pengantar nyawa anak remaja dimulai kembali. 

Orang di tengah sudah terduduk sekarang. Karisma, pemuda tampan dari kelas ini. Kami tidak pernah saling bicara sekali pun selama duduk di kelas yang sama. Tentu bukan karena dia sombong, hanya saja hari-harinya penuh dia habiskan untuk membaca surat-surat cinta yang dikirim oleh para penggemarnya. Surat itu datang bukan hanya dari adik-adik kelas kami, rupanya tak bosan dari teman sekelas pun ada. Dan aku juga terlalu sibuk untuk menjadi seseorang yang tidak menarik untuk diajak bicara.

Mungkin bukan waktu yang tepat, tapi baru kali ini aku melihat wajah Karisma dari dekat. Kulitnya bersih, matanya sayu dan hidungnya runcing di bagian ujungnya. Bibirnya tipis dan sedikit kemerah-merahan. Porsi wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan tegas. Seperti ukiran patung seni yunani di zaman dulu. Dia karya seni yang hidup.

“Athena, namamu Athena bukan?” Dia ambil kedua tanganku yang mengepal. Benang sutra halus, setipis itu keputusan antara aku atau dia yang akan mati kali ini.

“Iya, senang berkenalan denganmu, Karisma.” Bunga Lili Air yang hanya mekar di malam hari. Tangan ku merekah membawa kegelapan bagi Karisma. “Dan, maafkan aku.” Karisma tertegun setelah menemui ternyata yang ada di dalam genggaman tangan ini bukanlah kelereng, melainkan jepitan rambut.

“Hahaha, aku baru menyadari kita sering menjadi teman sekelas, sayangnya ini pertama kali kita berbicara satu sama lain, cepat sekali masa mudaku berakhir….” lalu dia menghilang. 

Wajah Karisma yang putih bersih menjadi berwarna merah. Darah menjadi ornamen utama yang menutupi seluruh bagian wajah Karisma. Tanganku segera meraih badannya yang hampir terjengkang. Badannya masih hangat, darahlah yang membekukan kulitnya. Nafasnya perlahan terbang ke angkasa. Air mata dari teman-temannya berderai tak henti, Karisma telah menorehkan kebahagiaan di dalam hari yang menangisinya di hari ini. 

“Pak Darma, bukankah Karisma masih remaja?” lirihku sembari membaringkan tubuhnya di atas meja. “Mengapa dia harus mati sekarang? Bukankah ini kemalangan baginya? Bukankah ini terasa seperti kutukan di kehidupannya? Dia harus mati di tengah-tengah orang asing, yang bukan keluarganya, bukan orang-orang terdekatnya. Tidakkah terdengar seperti kutukan baginya? Bapak ingin menyelamatkan kami dari kutukan, tapi Bapak sendiri adalah kutukan!”

“Kamu tidak mengerti Athena.” jawab Pak Darma ringan. Remaja dengan kenaifan memang tidak bisa dipisahkan, tapi apa yang aku hadapi ini tidak perlu dipahami oleh anak manusia yang sudah matang. Ini masalah moril.

“Memang! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengerti!” kataku setengah berteriak.

“Kenyataannya, di dunia ini banyak anak remaja yang hidup di dalam kutukan. Tidak menunggu masa dewasa, mereka telah menjalani hari-hari mereka dengan membawa kegelapan di tengkuknya. Kegelapan itu tercipta bukan dari tangan mereka sendiri, melainkan dari keegoisan para orang dewasa di sekitarnya. Mereka ada Pak, dan itu nyata. Jadi semua yang_”

Kriiinggg....kriiingg..

Kata-kataku terpotong oleh bel yang berdering keras. Aku melihat keempat cctv di kelas sedang mengarah wajahku. Ada berupa cahaya laser menyoroti keningku. Rupanya benda itulah yang melubangi kening kedua teman kelasku tadi. CCTV yang dilengkapi dengan tembakan laser, cukup praktis untuk memisahkan nyawa kami dari jasad.  

“Kita lanjutkan esok hari. Kelas selesai.” Layar yang menampilkan wajah Pak Darma, kini mati. Kronos, Kyos dan Thea membawa Karisma pergi dengan brankar dorong, sama seperti Dinar pergi. Seisi kelas menjadi lenggang. Aku yang masih berdiri di depan kelas, mencari bangku mana saja yang kosong setelah apa yang terjadi hari ini.

Jadi di sana mereka biasanya duduk..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status