Ternyata semuanya telah siap. Selagi kita menikmati pertunjukan jeruji besi itu menancap di lorong sekolah, Kronos dan Kyos mempersiapkan sesuatu. Mereka mengambil dua meja dari luar kelas dan menjejerkannya di depan. Setelah semua murid duduk rapi di bangkunya masing-masing, Thea mulai berkeliling, mengitari kelas dengan membawa sebuah kotak yang berisikan banyak potongan kertas. Dia menyodorkan dan meminta kami untuk mengambil secarik kertas secara acak dari dalam kotak tersebut.
“Hari ini kita bermain permainan tradisional khas jawa tengah, cublek-cublek suweng. Kalian pasti pernah mendengarnya.” Pak Darma membuka permainan pertama kami.
“Peraturannya sederhana, Thea telah membagikan nomor urut kepada kalian. Nomor satu sampai lima akan bermain terlebih dahulu. Satu dari lima orang tersebut akan menjadi Pak Empo yang harus tertelungkup di atas meja. Empat lainnya berdiri mengitari Pak Empo dan membuka telapak tangannya di atas punggung pak Empo.”
Kronos menunjukan kelereng berukuran besar. Warnanya putih dengan ornamen merah kuning di bagian tengahnya, begitu mengkilap sampai sesekali dia berkelip memantulkan cahaya. Aku ragu tanganku bisa menggenggam itu, menutupi seluruh bagian kelereng itu.
“Tangan yang menadah ke atas, kalian letakkan di punggung Pak Empo. Ketika kalian mulai bernyanyi, pindahkan kelereng tersebut dari satu tangan ke tangan lainnya. Lalu di akhir lagu, Pak Empo harus mampu menebak di tangan mana kelereng itu berada? Jika pak Empo dapat menebaknya, maka dia menang dan orang yang memegang kelereng tersebut kalah.”
“Bagaimana jika Pak Empo salah menebaknya?” Salah satu dari kami bertanya.
“Jika Pak Empo gagal menebaknya, maka Pak Empo lah yang kalah. Siapa pun yang kalah, ia akan diakhiri, ia tidak perlu lagi tumbuh dan menjadi dewasa.”
Diakhiri, begitu kata Pak Darma. Sepertinya itu adalah kata ganti dari bunuh, akan dibunuh atau apa pun yang berkaitan dengan kematian. Pak Darma memang bukan orang yang mengatakan sesuatu itu bulat dengan itu bulat. Dia lebih memilih menari-nari di tengah-tengah kalimat yang tidak jelas, menempatkan maksud dan pikirannya menggunakan analogi yang buram. Dia lebih suka mengajak kami bermain-main terlebih dahulu di dalam imajinasi. Dia selalu melakukan hal tersebut di jam pelajaran yang diampu, Fisika. Dengan caranya itu, aku yang berpikir Fisika itu merepotkan, membosankan, dan sulit setengah mati menjadi lebih tertarik untuk memahami apa yang dimaksud oleh Newton. Sebelumnya aku gagal memahami gaya gravitasi pada bumi, gaya pada orang yang bermain skateboard, gaya tekanan yang dihasilkan orang yang menginjak rem, dan persoalan rumit lainnya. Tapi tepat satu tahun yang lalu Pak Darma dapat mengubah semuanya, mengubah Fisika menjadi lebih bersahabat.
“Baik, teman-teman yang mendapatkan nomor urut satu sampai lima silahkan maju ke depan.” Kyos mempersilahkan kami untuk berdiri di daun pintu alam kematian.
Perlahan aku membuka lipatan kertas kecil yang aku ambil tadi, “dua puluh..”lirihku. Jadi nomor duapuluh adalah nomor kematian ku? Bahkan usiaku saja belum mencapai 20, aku dipaksa untuk mati cepat-cepat di urutan yang keduapuluh?
Seisi kelas seketika bising. Tentu si pemegang nomor pertama sampai lima tidak menerima. Sebenarnya kami belum memahami betul apa yang dimaksud Pak Darma dengan diakhiri, namun siapa yang suka rela menjadi bahan uji coba. Tumbal pertama untuk kami memahami Pak Darma sedang bercanda atau ini adalah bagian dari projek sekolah untuk mempererat kebersamaan kami, mungkin? Mereka yang mendapatkan nomor urut satu sampai lima, secara bersamaan menolak untuk bermain. Kembali lagi siapa yang mau jadi tumbal? dan jika benar, faktanya Pak Darma berubah menjadi orang gila haus darah remaja, siapa yang siap untuk menerima kekalahan dan berakhir menjadi mayat? Tentu tidak ada.
“Jika kalian menolak untuk bermain, mudah saja bagi bapak. Mari kita akhiri semua ini dengan cepat.”
Ketiga murid aneh itu mengeluarkan senjata laras pendek. Berbarengan mereka membidik kepala kami dengan moncong senjata itu. Tampaknya senjata laras pendek itu tidak menggetarkan Bara dan kawan-kawan. Mereka anak lelaki remaja yang tidak mudah percaya, bagaimana tidak biasanya mereka mengisi hari-hari di sekolah dengan mengerjai satu sama lain. Atau mungkin, yang kami kenal Pak Darma bukan guru yang mengharapkan muridnya mati di usia muda.
Mengetahui beberapa murid tidak menganggap senjata itu serius, tanpa ragu mereka lepaskan beberapa tembakkan ke tembok kelas di belakang kami. Tembakan pertama, membuat semuanya bersembunyi di kolong meja masing-masing. Tembakan kedua, suaranya lebih nyaring karena dibarengi dengan pekikan setiap dari kami. Tembakan ketiga tertahan.
“Bagaimana? Kalian berubah pikiran?” tanya Pak Darma.
Sontak udara dalam kelas menjadi langka, nafas kami menjadi pendek. Tangan kami menutup kedua telinga, bersiap-siap melindungi dari suara dentuman pistol yang mungkin saja yang selanjutnya akan bersarang di kepala kami.
“Aku mohon yang mendapatkan nomor satu sampai lima bermainlah! Turuti apa yang Pak Darma inginkan!!” Melodi berteriak dari bawah mejanya.
Aku tidak percaya apa yang dikatakan Melodi, dia merestui seseorang untuk bermain permainan yang tidak masuk akal ini. Tidak sampai di situ saja, beberapa dari kami pun menimpali tanda lebih dari setuju. Ini mengerikan. Kami seperti saling dorong untuk siapa yang terlebih dahulu jatuh ke jurang kematian.
Tentu dengan berat hati mereka yang mendapatkan nomor satu sampai lima menuruti keinginan Pak Darma. Terpaksa bermain dengan harga taruhannya adalah nyawa. Mereka mengangkat tangan ke udara. Jari-jari mereka bergetaran, perlahan keluar dari balik meja mereka. Ragu namun apa boleh buat.
“Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter…" Mereka, lima teman kelasku di depan bernyanyi dan bermain. Anehnya mataku menangkap mereka sedang menggali satu lubang kuburan untuk temannya, entah untuk siapa, yang jelas untuk salah satu dari mereka.
“Mambu ketundung gudel, Pak Empo lera-lere, sapa ngguyu ndhelikake…” ini dia, orang yang tertelungkup di tengah mulai bangun, terduduk. Matanya merah, nafasnya terhenti, fokus memerhatikan setiap kepalan tangan yang bergoyang di sekelilingnya.
“Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.” Anita, orang yang bermain sebagai Pak Empo, menggenggam tangan Dinar, sahabatnya sendiri. Tangan mereka bertemu.
“Maafkan aku Dinar..”Anita berbisik pedih, dia alihkan pandangannya ke udara di sebelah telinga sahabatnya. Anita tidak mampu melihat ke arah wajah sahabatnya sendiri.
“Kau memang sahabat terbaikku. Aku bahkan tidak mampu menyembunyikan apa pun di hadapan mu.” Anita hancur, aku melihat tangannya menggenggam Dinar dengan erat. Sepertinya dia tahu, sahabatnya akan pergi meninggalkannya.
“Terimakasih Anita, sudah menjadi sahabat baikku selama ini.”
Beepp..
Dinar jatuh ke pelukan Anita. Kepalanya tidak bisa berdiri tegak lagi. Kelereng putih itu jatuh ke lantai, memantul-mantul, dan berakhir menggelinding. Suaranya mengantarkan kepergian Dinar. Anita histeris berteriak memanggil nama Dinar. Memeluk kepalanya yang telah berlubang. Aliran darah deras membasahi baju seragam Anita. Aku tidak bisa membedakan tangisan Anita, tangisan karena rasa bersalahnya atau kepergian sahabatnya.
Thea datang dengan brankar dorong berwarna hitam. Sebelum melonggarkan pelukan Anita pada tubuh Dinar, dia membelai halus kepala Anita.
“Semuanya akan baik-baik saja. Biarkan sahabatmu pergi.” lirih Thea halus.
Thea memang tidak mengancam, tidak juga mengintimidasi. Tapi Anita menyadari dia harus segera melepas tubuh Dinar. Apa yang dilakukan Anita memang benar. Karena bukan belaian Thea yang mengintimidasi, melainkan senjata di dalam saku rok seragam Thea.
"Dinar, muridku yang pintar. Sekarang dia sudah baik-baik saja. Kalian tidak usah khawatir.”
Tengkuk mengeras, kaku, ketegangan kelas sudah menjelma sebagai beban di kepalaku. Aku tertunduk, memilih untuk memandangi meja kayu, permukaanya tampak polos tanpa corak. Permukaan yang polos ini menyelamatkan aku dari pemadangan yang menyedihkan di depan kelas. Atau bahkan di sekelilingku. Rasanya begitu perih ketika melihat teman-teman menangisi kepergian Dinar.
Apanya kehidupan orang dewasa begitu terjal dan menyedihkan? Apanya kedewasaan itu adalah kutukan bagi kehidupan? Apanya?! Pandangan Pak Darma terhadap kehidupan sungguh keliru. Kutukan itu tidak hanya datang ketika kita beranjak dewasa saja. Kutukan itu bisa datang kapan pun ia mau. Memangnya tidak ada anak remaja yang mengalami kemalangan di dalam hidupnya? Memangnya dunia ini bersih dari anak-anak yang menjadi korban kekerasan? Memangnya tidak ada anak yang menjadi korban dari pelecehan? Tak ayal, yang sering kutemui adalah mereka yang menjadi korban dari keegoisan orang tuanya. Tapi coba berpikir lagi, adakah sesuatu yang bernama kutukan kehidupan? Apakah kemalangan-kemalangan yang kita harus lewati sebagai manusia adalah sebuah kutukan bagi kehidupan? Lalu kehidupan itu harusnya bagaimana? Apakah kemalangan seharusnya menjadi bagian dari kehidupan? Apa arti kebahagiaan jika kemalangan_
“Permainan masih berlanjut, siapa yang menerima nomor enam, silahkan maju kedepan kelas.” kata Kyos membubarkan lamunanku.
Yuuta berdiri dari bangkunya. Dia seperti tidak yakin ingin pergi ke depan kelas, peluh di keningnya semakin ketara, matanya menyalang, tangannya gemetaran. Maafkan aku Ibu, lirihnya sebelum dia mulai melangkah maju menuju ke depan kelas. Waktu mengantar langkahnya lambat. Yuuta baru saja bergabung di minggu lalu, tersirat di benakku.
“Pak Darma!” Aku berdiri dengan kasar. Bangkuku berdecit nyaring, menarik perhatian satu kelas. “Sepertinya Pak Darma keliru!" aku mengatakannya.
“Di mana letak kekeliruan itu?”
“Tentu ini semua keliru Pak. Menurut bapak, masa dewasa merupakan sebuah kutukan, lalu Bapak cegah kami untuk tidak sampai ke masa itu. Apakah itu tidak terdengar keliru?”
“Bagaimana kalau kamu juga ikut bermain bersama kita?” jawabnya sambil tersenyum sumringah dari balik layar.
“Yuuta, kamu boleh duduk kembali ke bangkumu.”
Tertegun, tapi ini lah konsekuensi yang harus aku hadapi. Aku harus menggantikan Yuuta bermain, menjadi hasil upaya protesku. Apa boleh buat, kuturuti perintahnya. Tanpa menoleh ke arah Yuuta aku berjalan pasti menggantikan posisinya. Aku berdiri tepat di mana Dinar berdiri tadi. Anita bergantian dengan yang lain untuk menjadi yang tertelungkup di tengah. Suasana di depan kelas ternyata terasa lebih dingin dibandingkan di bangku penonton sana. Di depan kelas sini, kami menikmati nafas terakhir kami berbarengan dan tenggelam dalam gamang.
“Cublek-cublek suweng, suwenge teng gelenter…” aku mulai bernyanyi. Mantra yang sama dilantunkan kembali. Ritual pengantar nyawa anak remaja dimulai kembali.
Orang di tengah sudah terduduk sekarang. Karisma, pemuda tampan dari kelas ini. Kami tidak pernah saling bicara sekali pun selama duduk di kelas yang sama. Tentu bukan karena dia sombong, hanya saja hari-harinya penuh dia habiskan untuk membaca surat-surat cinta yang dikirim oleh para penggemarnya. Surat itu datang bukan hanya dari adik-adik kelas kami, rupanya tak bosan dari teman sekelas pun ada. Dan aku juga terlalu sibuk untuk menjadi seseorang yang tidak menarik untuk diajak bicara.
Mungkin bukan waktu yang tepat, tapi baru kali ini aku melihat wajah Karisma dari dekat. Kulitnya bersih, matanya sayu dan hidungnya runcing di bagian ujungnya. Bibirnya tipis dan sedikit kemerah-merahan. Porsi wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan tegas. Seperti ukiran patung seni yunani di zaman dulu. Dia karya seni yang hidup.
“Athena, namamu Athena bukan?” Dia ambil kedua tanganku yang mengepal. Benang sutra halus, setipis itu keputusan antara aku atau dia yang akan mati kali ini.
“Iya, senang berkenalan denganmu, Karisma.” Bunga Lili Air yang hanya mekar di malam hari. Tangan ku merekah membawa kegelapan bagi Karisma. “Dan, maafkan aku.” Karisma tertegun setelah menemui ternyata yang ada di dalam genggaman tangan ini bukanlah kelereng, melainkan jepitan rambut.
“Hahaha, aku baru menyadari kita sering menjadi teman sekelas, sayangnya ini pertama kali kita berbicara satu sama lain, cepat sekali masa mudaku berakhir….” lalu dia menghilang.
Wajah Karisma yang putih bersih menjadi berwarna merah. Darah menjadi ornamen utama yang menutupi seluruh bagian wajah Karisma. Tanganku segera meraih badannya yang hampir terjengkang. Badannya masih hangat, darahlah yang membekukan kulitnya. Nafasnya perlahan terbang ke angkasa. Air mata dari teman-temannya berderai tak henti, Karisma telah menorehkan kebahagiaan di dalam hari yang menangisinya di hari ini.
“Pak Darma, bukankah Karisma masih remaja?” lirihku sembari membaringkan tubuhnya di atas meja. “Mengapa dia harus mati sekarang? Bukankah ini kemalangan baginya? Bukankah ini terasa seperti kutukan di kehidupannya? Dia harus mati di tengah-tengah orang asing, yang bukan keluarganya, bukan orang-orang terdekatnya. Tidakkah terdengar seperti kutukan baginya? Bapak ingin menyelamatkan kami dari kutukan, tapi Bapak sendiri adalah kutukan!”
“Kamu tidak mengerti Athena.” jawab Pak Darma ringan. Remaja dengan kenaifan memang tidak bisa dipisahkan, tapi apa yang aku hadapi ini tidak perlu dipahami oleh anak manusia yang sudah matang. Ini masalah moril.
“Memang! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengerti!” kataku setengah berteriak.
“Kenyataannya, di dunia ini banyak anak remaja yang hidup di dalam kutukan. Tidak menunggu masa dewasa, mereka telah menjalani hari-hari mereka dengan membawa kegelapan di tengkuknya. Kegelapan itu tercipta bukan dari tangan mereka sendiri, melainkan dari keegoisan para orang dewasa di sekitarnya. Mereka ada Pak, dan itu nyata. Jadi semua yang_”
Kriiinggg....kriiingg..
Kata-kataku terpotong oleh bel yang berdering keras. Aku melihat keempat cctv di kelas sedang mengarah wajahku. Ada berupa cahaya laser menyoroti keningku. Rupanya benda itulah yang melubangi kening kedua teman kelasku tadi. CCTV yang dilengkapi dengan tembakan laser, cukup praktis untuk memisahkan nyawa kami dari jasad.
“Kita lanjutkan esok hari. Kelas selesai.” Layar yang menampilkan wajah Pak Darma, kini mati. Kronos, Kyos dan Thea membawa Karisma pergi dengan brankar dorong, sama seperti Dinar pergi. Seisi kelas menjadi lenggang. Aku yang masih berdiri di depan kelas, mencari bangku mana saja yang kosong setelah apa yang terjadi hari ini.
Jadi di sana mereka biasanya duduk..
“Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau tidak perlu melakukan itu!" “Aku tidak menyelamatkanmu.” jawabku singkat. Memang tidak, aku menggantikan posisinya di permainan tadi memang bukan karena dia. Kantin sekolah ini terasa berbeda. Kantin sekolah kami yang dulu ramai bagai pasar loak, begitu banyak bebunyian berkumpul di Sana. Suara bukantin yang memanggil nama murid yang memesan makanan. Sekelompok murid populer dengan gayanya slengean, tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka ada yang bernyanyi lagu yang sedang hits di beberapa minggu ini. Ada juga yang memakai kantin sesuai dengan fungsinya, makan siang. Kantin sekolah kami pun tidak luput dari fungsinya sebagai tempat sepasang kekasih anak SMA yang makan siang berbarengan, seperti yang selalu dilakukan oleh Eden dan Innana. Begitu juga di kantin sekolah ini. Eden dan Innana masih memilih duduk bersama untuk menyantap makan siang bersama, bedanya kini Eden tak bergeming melihat kekasihnya terisak-isak, air matanya melenyap
Pak Darma menyiapkan semuanya. Loker sekolah yang lengkap dengan peralatan pribadi, alat mandi, baju tidur, pakaian dalam hingga kantong tidur. Kami pun diberi sandal, sehingga kami tidak perlu khawatir alas kaki yang kami gunakan ketika mandi. Setelah mengeksekusi dua murid, Pak Darma dan yang lainnya meninggalkan kami. Aku bisa bilang begitu karena sehabis Karisma pergi, aku tidak lagi mendengar suaranya lagi keluar dari speaker. Kami yang tadinya kebingungan, perlahan memahami apa yang harus kita lakukan di sisa waktu kami.Di posisi ini, tidak ada yang bisa aku lakukan. Bahkan bukan hanya aku yang merasa dilumpuhkan oleh Pak Darma, seisi kelas. Bara, yang terbilang mempunyai sabuk hitam, terikat erat melingkari image-nya, hanya bisa terdiam, menahan tangannya untuk tidak merusak sesuatu di kelas ini. Cctv lebih menakutkan daripada petir di hujan badai di tengah malam. Kami memahami, di setiap sudut kelas dan ruangan yang ada di sekolah ini, terpasang cctv yang bergandengan dengan
“Aku tidak mau makan ini Jessica!” Aku melempar piring plastik kecil berwarna merah muda, lengkap dengan spageti karangan Jessica. “Kau melawan pada ibu mu? Kau mau ibu kutuk jadi batu?” Jari telunjuknya menuding tepat di depan mata ku. Dia berperan galak secara natural. “Jessica, benda itu tidak bisa dimakan.”Aku berdiri, menjauh dari telunjuk itu. Dia terus menyodorkan bagian dari tumbuhan yang mirip seperti mie. Aku tidak tahu namanya apa, tapi ia menjalar di atas tanaman pagar. Jessica berperan sebagai ibu yang berlaga mampu memasak. Aku mengisi kekosongan peran yang dimainkan oleh Jessica. Tadinya aku menawarkan diri berperan sebagai Athena, diriku sendiri, tapi ditolak mentah-mentah olehnya. Jessica bilang kita harus berperan bukan menjadi diri kita, baru permainannya akan menjadi menyenangkan. Tapi aku bingung, aku di kehidupan nyata pun menjadi seorang anak, kenapa ketika bermain dengannya harus berperan sebagai anak juga. Aku kira dia bilang kita tidak boleh memerankan p
“Mari kita bernyanyi!” Pak Darma memberikan aba-aba dan permainan pun dimulai. “Naik kereta api tuut…tuut…tuut..” Sebanyak 27 murid berbaris menjadi satu barisan dan memegangi pundak, menyerupai kereta bergandengan antara gerbongnya. Aku tidak yakin aku diurutan keberapa, yang aku tahu aku memegangi bahu Yuuta dan Jessica memegang bahu ku. Semenit sebelum permainan dimulai, Jessica menghampiri ku tanpa berkata-kata. Dia berdiri di belakang ku dan sangat berusaha untuk tidak memandang ku balik. Kereta api manusia ini, berbaris diselubungi dengan ketakutan. Sekrup yang tertanam di tangan yang menempel di bahu tidak begitu kencang. Kapan saja bisa terlepas dan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Kami bernyanyi dan masuki terowongan aneh yang Pak Darma sediakan. Aku belum mengetahui bagaimana cara permainan ini bekerja. Kalau saja permainan naik kereta api ini normal, aku tidak perlu waspada dengan apa yang akan terjadi nanti. “Keretaku tak berhenti lama_” Kami salah, ternyata
Aku mungkin sudah gila. Meminta pertolongan dari seseorang yang juga menjadi penyebab dari semua ini. Aku tidak memiliki pilihan. Pak Darma berjalan tenang di tengah-tengah teriakkan para murid yang berhamburan. Ada beberapa dari mereka berlari menuju hutan, dan ada juga yang hanya berdiam memaku memandangi apa yang ada di tangan Thea. Mereka yang hanya mematung, ragu untuk ikut berlari menuju hutan, karena sebelumnya mereka tahu Thea menembak kepala Rama. Pak Darma menghampiri ku yang terduduk dengan kepala Jessica di pahaku. Dia berlutut. Sepatu pantofel hitamnya menginjak kubangan darah. Darah Jessica tidak berhenti mengalir dari kedua lengannya yang terputus. Wajah Jessica memucat, aku takut keberadaanya di dunia ini pun memudar. “Jangan menangis Athena.” Suaranya tenang. Ibu jarinya menyeka air mataku yang mengalir di pipi. “Jessica akan baik-baik_” “Dia tidak sedang baik-baik saja Pak! Darahnya terus keluar. Kalau begini terus dia bisa mati kehabisan darah!” Aku membent
“Ayah pergi ya nak.”Tentu aku tidak akan membiarkan itu. Ayahku berdiri di ujung jalan menuju matahari yang bentar lagi tenggelam dilahap bagian barat bumi. Jalannya sedikit licin karena banyak rumput liar dengan embun yang tersisa di untaian daunnya. Angin sore menghembus lembut ilalang. Cahaya matahari menjingga, mewarnai ilalang yang berbulu putih. Ayah tidak menoleh ke belakang setelah berpamitan. Langkahnya lunglai tapi tidak terhenti. Semakin lama punggungnya ditelan cahaya jingga, semakin jauh dari pandangan ku. Berjalan saja sudah tidak cukup, kaki ku mulai berlari mengejarnya. Sambil berteriak memanggil Ayah, aku berharap dia berubah pikiran untuk tidak pergi. Suara ku terdengar keras sampai ke bagian bumi timur namun tetap saja langkah ayahku tidak terhenti.Aku berlari dengan kaki telanjang. Menyusuri jalan setapak yang tiba-tiba b
KepadaAnak-anak ku tersayangDi rumahAnak ku sayang, Apollo dan Athena. Ayah dengar kalian tidak berhenti menangis karena Buba mati. Ini mungkin berat bagi kalian, namun sampai kapan kalian akan meratapi kepergiannya? Buba sudah membuat memori yang indah dengan kalian, kini sudah waktunya ia pergi dengan bahagia. Buba memang sudah mati, tapi memori yang bahagia itu, bisa saja terus hidup di dalam kalian. Jadi kuatkan hati kalian dengan memori bahagia dengannya.Ingat, apa pun yang kalian hadapi nanti, matahari akan terus terbit dari timur. Pagi akan menyongsong, memberitahukan dunia mu masih berputar. Jikalau kalian bersedih, menangislah sampai puas. Tapi kesedihan itu bukan akhir dari cerita di kehidupa
Hari ketiga Hallo nama ku Nadia. Aku masih di sekolah sial ini, terjebak bersama dengan guru psikopat itu. Pikiran Pak Darma yang sakit, membunuh kami berarti menyelamatkan kami. Dia berpikir apa yang sedang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kami dari kutukan dunia. Aku tidak mengerti jalan pikirannya, yang ada dia lah sebuah wujud kutukan di kehidupan kami. Selama tiga hari si pangeran bunga Lili itu telah menghabisi enam teman ku. Linda, kawan karibku, menjadi yang tersadis. Aku bahkan selalu dibayang-bayangi cipratan darahnya ketika pisau pancung itu mengenai kepalanya. Mengerikan sekali. Di hari ketiga ini Pak Darma menyodorkan setitik harapan kami untuk pergi dari sekolah ini. Di permainan hari ini, kami bertanding melawan sesama dalam permainan Congklak. Setiap anak berpasangan dan yang menang akan ditandingkan lagi dengan pemenang di pasangan yang lainnya. Begitu terus sampai mendapatkan dua pemenang yang mengalahkan seisi kelas. Di sini menariknya, kedua anak itu a