Share

Bab 4 Kawan Baru

“Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau tidak perlu melakukan itu!"

“Aku tidak menyelamatkanmu.” jawabku singkat. Memang tidak, aku menggantikan posisinya di permainan tadi memang bukan karena dia.

Kantin sekolah ini terasa berbeda. Kantin sekolah kami yang dulu ramai bagai pasar loak, begitu banyak bebunyian berkumpul di Sana. Suara bukantin yang memanggil nama murid yang memesan makanan. Sekelompok murid populer dengan gayanya slengean, tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka ada yang bernyanyi lagu yang sedang hits di beberapa minggu ini. Ada juga yang memakai kantin sesuai dengan fungsinya, makan siang. Kantin sekolah kami pun tidak luput dari fungsinya sebagai tempat sepasang kekasih anak SMA yang makan siang berbarengan, seperti yang selalu dilakukan oleh Eden dan Innana.

Begitu juga di kantin sekolah ini. Eden dan Innana masih memilih duduk bersama untuk menyantap makan siang bersama, bedanya kini Eden tak bergeming melihat kekasihnya terisak-isak, air matanya melenyapkan selera makannya. Melihat Innana, ingin sepertinya terisak-isak ketakutan seperti itu. Rasanya mustahil bagiku itu, selain aku tidak mempunyai kekasih yang dapat menenangkan isakkanku, aku juga lupa rasanya ketakutan.

“Apa pun itu tadi, jangan lakukan lagi. Aku tidak membutuhkannya!” Yuuta merasa tidak nyaman dengan apa yang telah aku lakukan. Mungkin apabila  aku benar-benar mati karena menggantikan posisinya, dia akan hidup dalam rasa bersalah.

“Anak-anak membicarakanmu.” tegur Jessica, tampa aku sadari, dia telah bertengger di sebelah meja kantin yang mana memisahkan aku dan Yuuta.

“Membicarakan apa?” sambil mendongak ke arah wajahnya. Aku dapati matanya sembab.

“Mereka bilang kau telah membunuh Karisma.” Jessica terus berdiri di samping meja. Dari gelagatnya, dia tidak berniat untuk duduk, bergabung bersama kami.

“Begitu…” aku terdiam sejenak.

“Tapi apakah mereka tidak juga membicarakan Anita yang membunuh sahabatnya sendiri?”

Jessica tersentak, matanya membelalak beberapa detik, sebelum melirak-lirik ke arah kakinya seperti mencari kepingan kata yang hilang.  

“Kau ini bodoh? Anita harus melakukan_”

“Harus membunuh sahabatnya sendiri?” sambarku cepat, "maksudku, Jika benar Dinar adalah sahabatnya, mengapa dia tidak mencobaUnterk menyelamatkannya?" 

“Entahlah! Ingat, jangan lakukan itu lagi! Aku tidak membutuhkan pertolonganmu!” Jessica melengos pergi begitu saja.

Kali ini memang benar. Aku melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan Jessica. Kala itu kelereng berhenti di tangan Jessica. Andai saja Karisma mampu membaca raut wajah Jessica yang panik pada saat itu, maka Jessica sudah tidak ada sekarang. Aku tidak mau itu.

Yuuta menatapku sebentar sebelum kembali menyantap makan siangnya. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku makan siang bersama orang lain. Biasanya aku memilih makan siang di taman sekolah, membeli roti dan sekotak susu saja cukup. Makan di kantin terlalu berisik bagiku, atau mungkin kantin tidak cocok bagi seseorang penyendiri sepertiku.

“Aku tahu kamu punya pertanyaan.” Aku memecah keheningan yang sedari tadi menyelimuti meja makan kantin kami.

“Benar, aku melakukan itu untuk Jessica.” langsung saja  kutembak tanpa menunggu apa sebenarnya pertanyaan Yuuta.

Dia menggelengkan kepalanya dan “Benar aku mempunyai pertanyaan, tapi bukan itu jawaban dari pertanyaanku.” Kali ini jarinya menuding ke puding coklat yang aku pilih sebagai pencuci mulut siang ini. “Boleh tukar dengan punya ku? Aku mendapatkan rasa vanilla. Vanilla terlalu membosankan.”

Tersendak, aku yang sedari tadi mengunyah mendadak harus terkekeh karena permintaanya. Aku kira Yuuta akan mempertanyakan kebenaran aku melakukan itu demi menyelamatkan Jessica, namun ternyata puding coklat lebih menarik baginya.

“Kenapa? Apa tidak boleh?” dia memang tidak sedang bercanda. Melihat aku yang tersendak, dia mengartikannya sebagai tindakan defensif.

“Boleh.” Suaraku tidak jelas, aku berbicara sambil menutup mulut karena aku tidak ingin apa yang aku kunyah terjun keluar dari mulut.

“Aku kira kamu akan menanyakan kenapa aku menyelamatkan Jessica.”

“Itu sudah jelas. Jessica adalah sahabat mu bukan?”

Memang, aku dengan Jessica adalah sahabat. Tapi itu dulu ketika kami berumur 8 tahun. Ketika kita masih sebatas bermain di halaman belakang rumah. Namun sekarang keadaanya menjadi sedikit rumit. Aku masih berharap kami bisa berteman seperti dulu. Tapi Jessica, dia sepertinya tidak mengharapkan itu terjadi. Dia terlanjur tenggelam dalam perasaan bersalahnya. 

***

Rumah Pak Bagasmoro memang selalu sunyi. Hanya ada aku, kakak ku, Apollo, dan mbak, pengasuh kami. Aku selalu menemukan mamah dengan dandanan rapi, dress dengan satu warna, mungkin dengan detail yang satu warna juga menghiasi bagian dadanya, rambutnya selalu terurai panjang ke bahu dan sebagian mengisi bagian belakang lehernya, wangi parfum yang menenangkan, tidak pernah tercium menyengat dan selalu membawa kesan lembut. Dengan begitu menawan, mamah selalu mempunyai urusan di luar rumah. Katanya urusan yang mendukung karir ayah sebagai Letnan TNI angkatan darat.

Ayah pun tidak di rumah. Hidupnya diberikan untuk menjaga tanah papua agar tetap menjadi bagian dari Indonesia. Ayah selalu bilang kalau keluarganya bukan hanya sebatas yang ada di rumah ini, melainkan semua orang yang ada di tanah air. Terutama saudara-saudaraku yang tinggal di tanah Papua. Sesekali Ayah tunjukan foto-fotonya bersama anak-anak sebayaku. Di bawah langit yang bebas, mereka duduk berkerumun menghadap ayah ku yang sedang menulis alphabet di papan tulis hitam yang diganjal batang kayu di kedua sisinya. Sepertinya menyenangkan, mereka bisa langsung menatap langit jika merasa bosan. Sedangkan langitku terbingkai dengan jendela ruangan kelas.

Apollo satu sekolah denganku, dia kakak laki-lakiku, kita berbeda dua tahun. Aku duduk di kelas 3 sekolah dasar dan dia kelas 5. Walau dia laki-laki, wajahnya justru lebih mirip dengan mamah. Lembut dengan senyuman secerah matahari. Jauh berbeda denganku. Katanya aku tidak mirip ayah ataupun mamah, aku lebih mirip Buba, kucing kami, karena aku selalu mengeluarkan aura jangan dekat-dekat! sama seperti Buba. Kadang beberapa kawan kakakku datang ke rumah dan ketika kami berpapasan di ruang tengah, mereka tidak berani menatap ku lebih dari satu menit. Aku merasa tidak melakukan apa-apa, tapi tatapanku sepertinya mengancam mereka.

 “Ath, lihat! Buba sedang bertengkar dengan seekor anjing. Cepat kemari!”

Kaki kecilku meraih langkah dengan cepat menuju ke halaman belakang, tempat Apollo berteriak. Dia dengan kaki telanjang, berdiri di tengah-tengah Buba dan seekor anak anjing Husky, hitam berbelang putih. Tangan Apollo berusaha membuat jarak antara mereka berdua. Terasa keberadaan Apollo bukan gangguan bagi mereka, pertarungan pun dimulai kembali. Kucing kami Buba, memang mempunyai tubuh yang lebih mungil dari pada anjing itu, tetapi keberaniannya tidak bisa dianggap remeh. Cakarnya yang tidak seberapa itu, sukses mendarat di muka anjing itu. Aku tidak melihat darah dari wajah anjing itu, namun kita tidak bisa biarkan ini.

“Niiiight! Kembali!” Seseorang memanjat tembok pembatas halaman rumah kami, dia datang dari arah sebelah rumah.

“Dia anjingmu?” Apollo menunjuk anjing itu dan iya mereka masih di dalam peperangan.

Yap dan sepertinya Night tidak menghiraukanku sekarang.”

Nama anjingnya aneh juga, Night? Mungkin karena kebanyakan bulunya berwarna hitam legam di tubuhnya. Si pemilik anjing itu sepertinya sebaya denganku, anak perempuan yang manis dengan rambut lurus sebahu, berkilauan dan memantulkan cahaya matahari sore. Karena anjingnya tidak mau mendengarkannya, ia memilih untuk datang ke halaman belakang kami. Setelah turun dari tembok dan berhadap-hadapan dan berdiri di hadapan ku, aku sadari tingginya melebihiku. Terlebih lagi, dia terlihat lebih cantik jika dilihat dari dekat.

Dia segera membantu Apollo meleraikan pertengkaran antara sesama peliharaan. Apollo menghalangi Buba, dan dia mencoba membuat anjingnya tenang. Setelah beberapa menit membuat mereka sama-sama gencatan senjata, Buba lari masuk ke dalam rumah dan Night duduk manis di hadapan majikannya. “Bagaimana bisa dia melewati tembok pembatas itu.” Tangannya mengelus-elus Night. Setelah si majikannya datang, anjing itu lebih terkontrol dari sebelumnya.

“Sepertinya dari tangga yang bertengger ke tembok, yang tadi kau gunakan juga.” Apollo menerka-nerka.

“Mungkin saja, tangga itu sejak kemarin dibiarkan bertengger di sana. Ayahku sepertinya lupa telah meninggalkannya.”

“Aku Jessica. Aku tinggal bersama Night di rumah sebelah kalian.” Dia menyodorkan tangan kanannya ke hadapan ku. Tentu harus ku sambut, walau sedikit ragu, tapi tidak sopan membiarkan tangan orang lain menunggu untuk, bersalaman.

“Namaku Athena.” Sambil menerima tangannya. “Dan aku Apollo.” Kata kakakku yang dari kejauhan. Sejak kapan aku pun tidak paham, Apollo sudah mengajak Night main lempar tangkap bola.

“Anjing milik mu lucu juga! Untung saja tidak Buba bunuh.” Apollo memang sedang memuji anjingnya, tapi terdengar sedikit menyeramkan sepertinya.

“Dia kakak mu?” bisiknya pelan sambil mengambil sepetak rumput di sebelahku. Kini kita duduk bersebelahan. Aku melirik ke arahnya dan mengangguk pelan. “Kakak mu tampan sekali.” Ini bukan pertama kali aku mendengar pujian untuk wajah Apollo, tetap saja pujian-pujian itu membuatku merinding. Apollo memang tampan, tapi orang-orang tidak tahu kalau dia juga cengeng. Kurasa air matanya mengurangi ketampanannya di mataku.

“Apakah kakakmu sedang mencari pacar?” Jessica berbisik lagi. Tangannya menutupi mulutnya dan mengarahkannya ke telinga ku. Mungkin tujuannya agar Apollo tidak mampu mendengar pertanyaanya.

“Aku tidak tahu.” Jawabku, tidak tahu. “Satu-satunya yang aku tahu, dia gemar mencari capung di musim panas.”

Tawa Jessica pecah. Matanya yang kecil, seketika menghilang, tertelan dengan tawanya yang mengisi halaman belakang kami. Tangan yang tadi dia gunakan untuk berbisik, sekarang menepuk-tepuk pundakku, seirama dengan tawanya.

“Kau lucu juga.” Aku tidak berniat untuk melucu. Tapi baiklah, jika itu tadi lucu.

“Mulai sekarang kita berteman.” Dari tepukan berujung dengan rangkulan. Jessica meraih pundakku yang lain dan merangkulku untuk lebih dekat dengannya. Aku sedikit kaget dengan rangkulan itu, tapi apa boleh buat, mungkin ini merupakan sebagai simbol bahwa kita berteman sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status