“Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau tidak perlu melakukan itu!"
“Aku tidak menyelamatkanmu.” jawabku singkat. Memang tidak, aku menggantikan posisinya di permainan tadi memang bukan karena dia.
Kantin sekolah ini terasa berbeda. Kantin sekolah kami yang dulu ramai bagai pasar loak, begitu banyak bebunyian berkumpul di Sana. Suara bukantin yang memanggil nama murid yang memesan makanan. Sekelompok murid populer dengan gayanya slengean, tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka ada yang bernyanyi lagu yang sedang hits di beberapa minggu ini. Ada juga yang memakai kantin sesuai dengan fungsinya, makan siang. Kantin sekolah kami pun tidak luput dari fungsinya sebagai tempat sepasang kekasih anak SMA yang makan siang berbarengan, seperti yang selalu dilakukan oleh Eden dan Innana.
Begitu juga di kantin sekolah ini. Eden dan Innana masih memilih duduk bersama untuk menyantap makan siang bersama, bedanya kini Eden tak bergeming melihat kekasihnya terisak-isak, air matanya melenyapkan selera makannya. Melihat Innana, ingin sepertinya terisak-isak ketakutan seperti itu. Rasanya mustahil bagiku itu, selain aku tidak mempunyai kekasih yang dapat menenangkan isakkanku, aku juga lupa rasanya ketakutan.
“Apa pun itu tadi, jangan lakukan lagi. Aku tidak membutuhkannya!” Yuuta merasa tidak nyaman dengan apa yang telah aku lakukan. Mungkin apabila aku benar-benar mati karena menggantikan posisinya, dia akan hidup dalam rasa bersalah.
“Anak-anak membicarakanmu.” tegur Jessica, tampa aku sadari, dia telah bertengger di sebelah meja kantin yang mana memisahkan aku dan Yuuta.
“Membicarakan apa?” sambil mendongak ke arah wajahnya. Aku dapati matanya sembab.
“Mereka bilang kau telah membunuh Karisma.” Jessica terus berdiri di samping meja. Dari gelagatnya, dia tidak berniat untuk duduk, bergabung bersama kami.
“Begitu…” aku terdiam sejenak.
“Tapi apakah mereka tidak juga membicarakan Anita yang membunuh sahabatnya sendiri?”
Jessica tersentak, matanya membelalak beberapa detik, sebelum melirak-lirik ke arah kakinya seperti mencari kepingan kata yang hilang.
“Kau ini bodoh? Anita harus melakukan_”
“Harus membunuh sahabatnya sendiri?” sambarku cepat, "maksudku, Jika benar Dinar adalah sahabatnya, mengapa dia tidak mencobaUnterk menyelamatkannya?"
“Entahlah! Ingat, jangan lakukan itu lagi! Aku tidak membutuhkan pertolonganmu!” Jessica melengos pergi begitu saja.
Kali ini memang benar. Aku melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan Jessica. Kala itu kelereng berhenti di tangan Jessica. Andai saja Karisma mampu membaca raut wajah Jessica yang panik pada saat itu, maka Jessica sudah tidak ada sekarang. Aku tidak mau itu.
Yuuta menatapku sebentar sebelum kembali menyantap makan siangnya. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku makan siang bersama orang lain. Biasanya aku memilih makan siang di taman sekolah, membeli roti dan sekotak susu saja cukup. Makan di kantin terlalu berisik bagiku, atau mungkin kantin tidak cocok bagi seseorang penyendiri sepertiku.
“Aku tahu kamu punya pertanyaan.” Aku memecah keheningan yang sedari tadi menyelimuti meja makan kantin kami.
“Benar, aku melakukan itu untuk Jessica.” langsung saja kutembak tanpa menunggu apa sebenarnya pertanyaan Yuuta.
Dia menggelengkan kepalanya dan “Benar aku mempunyai pertanyaan, tapi bukan itu jawaban dari pertanyaanku.” Kali ini jarinya menuding ke puding coklat yang aku pilih sebagai pencuci mulut siang ini. “Boleh tukar dengan punya ku? Aku mendapatkan rasa vanilla. Vanilla terlalu membosankan.”
Tersendak, aku yang sedari tadi mengunyah mendadak harus terkekeh karena permintaanya. Aku kira Yuuta akan mempertanyakan kebenaran aku melakukan itu demi menyelamatkan Jessica, namun ternyata puding coklat lebih menarik baginya.
“Kenapa? Apa tidak boleh?” dia memang tidak sedang bercanda. Melihat aku yang tersendak, dia mengartikannya sebagai tindakan defensif.
“Boleh.” Suaraku tidak jelas, aku berbicara sambil menutup mulut karena aku tidak ingin apa yang aku kunyah terjun keluar dari mulut.
“Aku kira kamu akan menanyakan kenapa aku menyelamatkan Jessica.”
“Itu sudah jelas. Jessica adalah sahabat mu bukan?”
Memang, aku dengan Jessica adalah sahabat. Tapi itu dulu ketika kami berumur 8 tahun. Ketika kita masih sebatas bermain di halaman belakang rumah. Namun sekarang keadaanya menjadi sedikit rumit. Aku masih berharap kami bisa berteman seperti dulu. Tapi Jessica, dia sepertinya tidak mengharapkan itu terjadi. Dia terlanjur tenggelam dalam perasaan bersalahnya.
***
Rumah Pak Bagasmoro memang selalu sunyi. Hanya ada aku, kakak ku, Apollo, dan mbak, pengasuh kami. Aku selalu menemukan mamah dengan dandanan rapi, dress dengan satu warna, mungkin dengan detail yang satu warna juga menghiasi bagian dadanya, rambutnya selalu terurai panjang ke bahu dan sebagian mengisi bagian belakang lehernya, wangi parfum yang menenangkan, tidak pernah tercium menyengat dan selalu membawa kesan lembut. Dengan begitu menawan, mamah selalu mempunyai urusan di luar rumah. Katanya urusan yang mendukung karir ayah sebagai Letnan TNI angkatan darat.
Ayah pun tidak di rumah. Hidupnya diberikan untuk menjaga tanah papua agar tetap menjadi bagian dari Indonesia. Ayah selalu bilang kalau keluarganya bukan hanya sebatas yang ada di rumah ini, melainkan semua orang yang ada di tanah air. Terutama saudara-saudaraku yang tinggal di tanah Papua. Sesekali Ayah tunjukan foto-fotonya bersama anak-anak sebayaku. Di bawah langit yang bebas, mereka duduk berkerumun menghadap ayah ku yang sedang menulis alphabet di papan tulis hitam yang diganjal batang kayu di kedua sisinya. Sepertinya menyenangkan, mereka bisa langsung menatap langit jika merasa bosan. Sedangkan langitku terbingkai dengan jendela ruangan kelas.
Apollo satu sekolah denganku, dia kakak laki-lakiku, kita berbeda dua tahun. Aku duduk di kelas 3 sekolah dasar dan dia kelas 5. Walau dia laki-laki, wajahnya justru lebih mirip dengan mamah. Lembut dengan senyuman secerah matahari. Jauh berbeda denganku. Katanya aku tidak mirip ayah ataupun mamah, aku lebih mirip Buba, kucing kami, karena aku selalu mengeluarkan aura jangan dekat-dekat! sama seperti Buba. Kadang beberapa kawan kakakku datang ke rumah dan ketika kami berpapasan di ruang tengah, mereka tidak berani menatap ku lebih dari satu menit. Aku merasa tidak melakukan apa-apa, tapi tatapanku sepertinya mengancam mereka.
“Ath, lihat! Buba sedang bertengkar dengan seekor anjing. Cepat kemari!”
Kaki kecilku meraih langkah dengan cepat menuju ke halaman belakang, tempat Apollo berteriak. Dia dengan kaki telanjang, berdiri di tengah-tengah Buba dan seekor anak anjing Husky, hitam berbelang putih. Tangan Apollo berusaha membuat jarak antara mereka berdua. Terasa keberadaan Apollo bukan gangguan bagi mereka, pertarungan pun dimulai kembali. Kucing kami Buba, memang mempunyai tubuh yang lebih mungil dari pada anjing itu, tetapi keberaniannya tidak bisa dianggap remeh. Cakarnya yang tidak seberapa itu, sukses mendarat di muka anjing itu. Aku tidak melihat darah dari wajah anjing itu, namun kita tidak bisa biarkan ini.
“Niiiight! Kembali!” Seseorang memanjat tembok pembatas halaman rumah kami, dia datang dari arah sebelah rumah.
“Dia anjingmu?” Apollo menunjuk anjing itu dan iya mereka masih di dalam peperangan.
“Yap dan sepertinya Night tidak menghiraukanku sekarang.”
Nama anjingnya aneh juga, Night? Mungkin karena kebanyakan bulunya berwarna hitam legam di tubuhnya. Si pemilik anjing itu sepertinya sebaya denganku, anak perempuan yang manis dengan rambut lurus sebahu, berkilauan dan memantulkan cahaya matahari sore. Karena anjingnya tidak mau mendengarkannya, ia memilih untuk datang ke halaman belakang kami. Setelah turun dari tembok dan berhadap-hadapan dan berdiri di hadapan ku, aku sadari tingginya melebihiku. Terlebih lagi, dia terlihat lebih cantik jika dilihat dari dekat.
Dia segera membantu Apollo meleraikan pertengkaran antara sesama peliharaan. Apollo menghalangi Buba, dan dia mencoba membuat anjingnya tenang. Setelah beberapa menit membuat mereka sama-sama gencatan senjata, Buba lari masuk ke dalam rumah dan Night duduk manis di hadapan majikannya. “Bagaimana bisa dia melewati tembok pembatas itu.” Tangannya mengelus-elus Night. Setelah si majikannya datang, anjing itu lebih terkontrol dari sebelumnya.
“Sepertinya dari tangga yang bertengger ke tembok, yang tadi kau gunakan juga.” Apollo menerka-nerka.
“Mungkin saja, tangga itu sejak kemarin dibiarkan bertengger di sana. Ayahku sepertinya lupa telah meninggalkannya.”
“Aku Jessica. Aku tinggal bersama Night di rumah sebelah kalian.” Dia menyodorkan tangan kanannya ke hadapan ku. Tentu harus ku sambut, walau sedikit ragu, tapi tidak sopan membiarkan tangan orang lain menunggu untuk, bersalaman.
“Namaku Athena.” Sambil menerima tangannya. “Dan aku Apollo.” Kata kakakku yang dari kejauhan. Sejak kapan aku pun tidak paham, Apollo sudah mengajak Night main lempar tangkap bola.
“Anjing milik mu lucu juga! Untung saja tidak Buba bunuh.” Apollo memang sedang memuji anjingnya, tapi terdengar sedikit menyeramkan sepertinya.
“Dia kakak mu?” bisiknya pelan sambil mengambil sepetak rumput di sebelahku. Kini kita duduk bersebelahan. Aku melirik ke arahnya dan mengangguk pelan. “Kakak mu tampan sekali.” Ini bukan pertama kali aku mendengar pujian untuk wajah Apollo, tetap saja pujian-pujian itu membuatku merinding. Apollo memang tampan, tapi orang-orang tidak tahu kalau dia juga cengeng. Kurasa air matanya mengurangi ketampanannya di mataku.
“Apakah kakakmu sedang mencari pacar?” Jessica berbisik lagi. Tangannya menutupi mulutnya dan mengarahkannya ke telinga ku. Mungkin tujuannya agar Apollo tidak mampu mendengar pertanyaanya.
“Aku tidak tahu.” Jawabku, tidak tahu. “Satu-satunya yang aku tahu, dia gemar mencari capung di musim panas.”
Tawa Jessica pecah. Matanya yang kecil, seketika menghilang, tertelan dengan tawanya yang mengisi halaman belakang kami. Tangan yang tadi dia gunakan untuk berbisik, sekarang menepuk-tepuk pundakku, seirama dengan tawanya.
“Kau lucu juga.” Aku tidak berniat untuk melucu. Tapi baiklah, jika itu tadi lucu.
“Mulai sekarang kita berteman.” Dari tepukan berujung dengan rangkulan. Jessica meraih pundakku yang lain dan merangkulku untuk lebih dekat dengannya. Aku sedikit kaget dengan rangkulan itu, tapi apa boleh buat, mungkin ini merupakan sebagai simbol bahwa kita berteman sekarang.
Pak Darma menyiapkan semuanya. Loker sekolah yang lengkap dengan peralatan pribadi, alat mandi, baju tidur, pakaian dalam hingga kantong tidur. Kami pun diberi sandal, sehingga kami tidak perlu khawatir alas kaki yang kami gunakan ketika mandi. Setelah mengeksekusi dua murid, Pak Darma dan yang lainnya meninggalkan kami. Aku bisa bilang begitu karena sehabis Karisma pergi, aku tidak lagi mendengar suaranya lagi keluar dari speaker. Kami yang tadinya kebingungan, perlahan memahami apa yang harus kita lakukan di sisa waktu kami.Di posisi ini, tidak ada yang bisa aku lakukan. Bahkan bukan hanya aku yang merasa dilumpuhkan oleh Pak Darma, seisi kelas. Bara, yang terbilang mempunyai sabuk hitam, terikat erat melingkari image-nya, hanya bisa terdiam, menahan tangannya untuk tidak merusak sesuatu di kelas ini. Cctv lebih menakutkan daripada petir di hujan badai di tengah malam. Kami memahami, di setiap sudut kelas dan ruangan yang ada di sekolah ini, terpasang cctv yang bergandengan dengan
“Aku tidak mau makan ini Jessica!” Aku melempar piring plastik kecil berwarna merah muda, lengkap dengan spageti karangan Jessica. “Kau melawan pada ibu mu? Kau mau ibu kutuk jadi batu?” Jari telunjuknya menuding tepat di depan mata ku. Dia berperan galak secara natural. “Jessica, benda itu tidak bisa dimakan.”Aku berdiri, menjauh dari telunjuk itu. Dia terus menyodorkan bagian dari tumbuhan yang mirip seperti mie. Aku tidak tahu namanya apa, tapi ia menjalar di atas tanaman pagar. Jessica berperan sebagai ibu yang berlaga mampu memasak. Aku mengisi kekosongan peran yang dimainkan oleh Jessica. Tadinya aku menawarkan diri berperan sebagai Athena, diriku sendiri, tapi ditolak mentah-mentah olehnya. Jessica bilang kita harus berperan bukan menjadi diri kita, baru permainannya akan menjadi menyenangkan. Tapi aku bingung, aku di kehidupan nyata pun menjadi seorang anak, kenapa ketika bermain dengannya harus berperan sebagai anak juga. Aku kira dia bilang kita tidak boleh memerankan p
“Mari kita bernyanyi!” Pak Darma memberikan aba-aba dan permainan pun dimulai. “Naik kereta api tuut…tuut…tuut..” Sebanyak 27 murid berbaris menjadi satu barisan dan memegangi pundak, menyerupai kereta bergandengan antara gerbongnya. Aku tidak yakin aku diurutan keberapa, yang aku tahu aku memegangi bahu Yuuta dan Jessica memegang bahu ku. Semenit sebelum permainan dimulai, Jessica menghampiri ku tanpa berkata-kata. Dia berdiri di belakang ku dan sangat berusaha untuk tidak memandang ku balik. Kereta api manusia ini, berbaris diselubungi dengan ketakutan. Sekrup yang tertanam di tangan yang menempel di bahu tidak begitu kencang. Kapan saja bisa terlepas dan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Kami bernyanyi dan masuki terowongan aneh yang Pak Darma sediakan. Aku belum mengetahui bagaimana cara permainan ini bekerja. Kalau saja permainan naik kereta api ini normal, aku tidak perlu waspada dengan apa yang akan terjadi nanti. “Keretaku tak berhenti lama_” Kami salah, ternyata
Aku mungkin sudah gila. Meminta pertolongan dari seseorang yang juga menjadi penyebab dari semua ini. Aku tidak memiliki pilihan. Pak Darma berjalan tenang di tengah-tengah teriakkan para murid yang berhamburan. Ada beberapa dari mereka berlari menuju hutan, dan ada juga yang hanya berdiam memaku memandangi apa yang ada di tangan Thea. Mereka yang hanya mematung, ragu untuk ikut berlari menuju hutan, karena sebelumnya mereka tahu Thea menembak kepala Rama. Pak Darma menghampiri ku yang terduduk dengan kepala Jessica di pahaku. Dia berlutut. Sepatu pantofel hitamnya menginjak kubangan darah. Darah Jessica tidak berhenti mengalir dari kedua lengannya yang terputus. Wajah Jessica memucat, aku takut keberadaanya di dunia ini pun memudar. “Jangan menangis Athena.” Suaranya tenang. Ibu jarinya menyeka air mataku yang mengalir di pipi. “Jessica akan baik-baik_” “Dia tidak sedang baik-baik saja Pak! Darahnya terus keluar. Kalau begini terus dia bisa mati kehabisan darah!” Aku membent
“Ayah pergi ya nak.”Tentu aku tidak akan membiarkan itu. Ayahku berdiri di ujung jalan menuju matahari yang bentar lagi tenggelam dilahap bagian barat bumi. Jalannya sedikit licin karena banyak rumput liar dengan embun yang tersisa di untaian daunnya. Angin sore menghembus lembut ilalang. Cahaya matahari menjingga, mewarnai ilalang yang berbulu putih. Ayah tidak menoleh ke belakang setelah berpamitan. Langkahnya lunglai tapi tidak terhenti. Semakin lama punggungnya ditelan cahaya jingga, semakin jauh dari pandangan ku. Berjalan saja sudah tidak cukup, kaki ku mulai berlari mengejarnya. Sambil berteriak memanggil Ayah, aku berharap dia berubah pikiran untuk tidak pergi. Suara ku terdengar keras sampai ke bagian bumi timur namun tetap saja langkah ayahku tidak terhenti.Aku berlari dengan kaki telanjang. Menyusuri jalan setapak yang tiba-tiba b
KepadaAnak-anak ku tersayangDi rumahAnak ku sayang, Apollo dan Athena. Ayah dengar kalian tidak berhenti menangis karena Buba mati. Ini mungkin berat bagi kalian, namun sampai kapan kalian akan meratapi kepergiannya? Buba sudah membuat memori yang indah dengan kalian, kini sudah waktunya ia pergi dengan bahagia. Buba memang sudah mati, tapi memori yang bahagia itu, bisa saja terus hidup di dalam kalian. Jadi kuatkan hati kalian dengan memori bahagia dengannya.Ingat, apa pun yang kalian hadapi nanti, matahari akan terus terbit dari timur. Pagi akan menyongsong, memberitahukan dunia mu masih berputar. Jikalau kalian bersedih, menangislah sampai puas. Tapi kesedihan itu bukan akhir dari cerita di kehidupa
Hari ketiga Hallo nama ku Nadia. Aku masih di sekolah sial ini, terjebak bersama dengan guru psikopat itu. Pikiran Pak Darma yang sakit, membunuh kami berarti menyelamatkan kami. Dia berpikir apa yang sedang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kami dari kutukan dunia. Aku tidak mengerti jalan pikirannya, yang ada dia lah sebuah wujud kutukan di kehidupan kami. Selama tiga hari si pangeran bunga Lili itu telah menghabisi enam teman ku. Linda, kawan karibku, menjadi yang tersadis. Aku bahkan selalu dibayang-bayangi cipratan darahnya ketika pisau pancung itu mengenai kepalanya. Mengerikan sekali. Di hari ketiga ini Pak Darma menyodorkan setitik harapan kami untuk pergi dari sekolah ini. Di permainan hari ini, kami bertanding melawan sesama dalam permainan Congklak. Setiap anak berpasangan dan yang menang akan ditandingkan lagi dengan pemenang di pasangan yang lainnya. Begitu terus sampai mendapatkan dua pemenang yang mengalahkan seisi kelas. Di sini menariknya, kedua anak itu a
Sudah jelas aku yang berada di puncak piramida ini. Yuuta kalah telak. Atau mungkin bahasanya, Yuuta mengalah. Hitungan biji yang dia kumpulkan sudah habis, sedangkan aku masih ada beberapa tersisa di genggaman ku. Mata Yuuta menyoroti ku tajam, di benaknya waktu berdetum kencang sepertinya. Bagaimana tidak, jika aku gila, aku yang akan mendorongnya dari atas piramida. “Aaaah, ini sungguh sangat membosankan.” Aku menghentikan hitungan ku. Sisa biji-biji congklak itu masih di genggaman ku. “Kata Pak Darma permainan yang disediakan akan menyenangkan. Mana ada? Aku hampir saja tertidur di pertandingan terakhir ini.”“Jadi menurutmu ini membosankan?” Pak Darma menanggapi scenario yang aku buat. “Iya, kalah maka mati, menang bisa tetap hidup, tapi bisa mati di kemudian hari. Ini monoton. Aku mulai bosan.” Kata-kata itu menggugah bisikan seisi kelas. Aku mendengar seseorang berbisik, dia sudah gila dari telinga sebelah kananku. Tenang saja kawan, bukan hanya kau yang menyangka aku sudah g