Beranda / Horor / Anomali Dunia Darma / Bab 4 Kawan Baru

Share

Bab 4 Kawan Baru

Penulis: Rahameem
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-05 18:52:33

“Aku tidak memintamu menyelamatkanku. Kau tidak perlu melakukan itu!"

“Aku tidak menyelamatkanmu.” jawabku singkat. Memang tidak, aku menggantikan posisinya di permainan tadi memang bukan karena dia.

Kantin sekolah ini terasa berbeda. Kantin sekolah kami yang dulu ramai bagai pasar loak, begitu banyak bebunyian berkumpul di Sana. Suara bukantin yang memanggil nama murid yang memesan makanan. Sekelompok murid populer dengan gayanya slengean, tertawa terbahak-bahak. Beberapa dari mereka ada yang bernyanyi lagu yang sedang hits di beberapa minggu ini. Ada juga yang memakai kantin sesuai dengan fungsinya, makan siang. Kantin sekolah kami pun tidak luput dari fungsinya sebagai tempat sepasang kekasih anak SMA yang makan siang berbarengan, seperti yang selalu dilakukan oleh Eden dan Innana.

Begitu juga di kantin sekolah ini. Eden dan Innana masih memilih duduk bersama untuk menyantap makan siang bersama, bedanya kini Eden tak bergeming melihat kekasihnya terisak-isak, air matanya melenyapkan selera makannya. Melihat Innana, ingin sepertinya terisak-isak ketakutan seperti itu. Rasanya mustahil bagiku itu, selain aku tidak mempunyai kekasih yang dapat menenangkan isakkanku, aku juga lupa rasanya ketakutan.

“Apa pun itu tadi, jangan lakukan lagi. Aku tidak membutuhkannya!” Yuuta merasa tidak nyaman dengan apa yang telah aku lakukan. Mungkin apabila  aku benar-benar mati karena menggantikan posisinya, dia akan hidup dalam rasa bersalah.

“Anak-anak membicarakanmu.” tegur Jessica, tampa aku sadari, dia telah bertengger di sebelah meja kantin yang mana memisahkan aku dan Yuuta.

“Membicarakan apa?” sambil mendongak ke arah wajahnya. Aku dapati matanya sembab.

“Mereka bilang kau telah membunuh Karisma.” Jessica terus berdiri di samping meja. Dari gelagatnya, dia tidak berniat untuk duduk, bergabung bersama kami.

“Begitu…” aku terdiam sejenak.

“Tapi apakah mereka tidak juga membicarakan Anita yang membunuh sahabatnya sendiri?”

Jessica tersentak, matanya membelalak beberapa detik, sebelum melirak-lirik ke arah kakinya seperti mencari kepingan kata yang hilang.  

“Kau ini bodoh? Anita harus melakukan_”

“Harus membunuh sahabatnya sendiri?” sambarku cepat, "maksudku, Jika benar Dinar adalah sahabatnya, mengapa dia tidak mencobaUnterk menyelamatkannya?" 

“Entahlah! Ingat, jangan lakukan itu lagi! Aku tidak membutuhkan pertolonganmu!” Jessica melengos pergi begitu saja.

Kali ini memang benar. Aku melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan Jessica. Kala itu kelereng berhenti di tangan Jessica. Andai saja Karisma mampu membaca raut wajah Jessica yang panik pada saat itu, maka Jessica sudah tidak ada sekarang. Aku tidak mau itu.

Yuuta menatapku sebentar sebelum kembali menyantap makan siangnya. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku makan siang bersama orang lain. Biasanya aku memilih makan siang di taman sekolah, membeli roti dan sekotak susu saja cukup. Makan di kantin terlalu berisik bagiku, atau mungkin kantin tidak cocok bagi seseorang penyendiri sepertiku.

“Aku tahu kamu punya pertanyaan.” Aku memecah keheningan yang sedari tadi menyelimuti meja makan kantin kami.

“Benar, aku melakukan itu untuk Jessica.” langsung saja  kutembak tanpa menunggu apa sebenarnya pertanyaan Yuuta.

Dia menggelengkan kepalanya dan “Benar aku mempunyai pertanyaan, tapi bukan itu jawaban dari pertanyaanku.” Kali ini jarinya menuding ke puding coklat yang aku pilih sebagai pencuci mulut siang ini. “Boleh tukar dengan punya ku? Aku mendapatkan rasa vanilla. Vanilla terlalu membosankan.”

Tersendak, aku yang sedari tadi mengunyah mendadak harus terkekeh karena permintaanya. Aku kira Yuuta akan mempertanyakan kebenaran aku melakukan itu demi menyelamatkan Jessica, namun ternyata puding coklat lebih menarik baginya.

“Kenapa? Apa tidak boleh?” dia memang tidak sedang bercanda. Melihat aku yang tersendak, dia mengartikannya sebagai tindakan defensif.

“Boleh.” Suaraku tidak jelas, aku berbicara sambil menutup mulut karena aku tidak ingin apa yang aku kunyah terjun keluar dari mulut.

“Aku kira kamu akan menanyakan kenapa aku menyelamatkan Jessica.”

“Itu sudah jelas. Jessica adalah sahabat mu bukan?”

Memang, aku dengan Jessica adalah sahabat. Tapi itu dulu ketika kami berumur 8 tahun. Ketika kita masih sebatas bermain di halaman belakang rumah. Namun sekarang keadaanya menjadi sedikit rumit. Aku masih berharap kami bisa berteman seperti dulu. Tapi Jessica, dia sepertinya tidak mengharapkan itu terjadi. Dia terlanjur tenggelam dalam perasaan bersalahnya. 

***

Rumah Pak Bagasmoro memang selalu sunyi. Hanya ada aku, kakak ku, Apollo, dan mbak, pengasuh kami. Aku selalu menemukan mamah dengan dandanan rapi, dress dengan satu warna, mungkin dengan detail yang satu warna juga menghiasi bagian dadanya, rambutnya selalu terurai panjang ke bahu dan sebagian mengisi bagian belakang lehernya, wangi parfum yang menenangkan, tidak pernah tercium menyengat dan selalu membawa kesan lembut. Dengan begitu menawan, mamah selalu mempunyai urusan di luar rumah. Katanya urusan yang mendukung karir ayah sebagai Letnan TNI angkatan darat.

Ayah pun tidak di rumah. Hidupnya diberikan untuk menjaga tanah papua agar tetap menjadi bagian dari Indonesia. Ayah selalu bilang kalau keluarganya bukan hanya sebatas yang ada di rumah ini, melainkan semua orang yang ada di tanah air. Terutama saudara-saudaraku yang tinggal di tanah Papua. Sesekali Ayah tunjukan foto-fotonya bersama anak-anak sebayaku. Di bawah langit yang bebas, mereka duduk berkerumun menghadap ayah ku yang sedang menulis alphabet di papan tulis hitam yang diganjal batang kayu di kedua sisinya. Sepertinya menyenangkan, mereka bisa langsung menatap langit jika merasa bosan. Sedangkan langitku terbingkai dengan jendela ruangan kelas.

Apollo satu sekolah denganku, dia kakak laki-lakiku, kita berbeda dua tahun. Aku duduk di kelas 3 sekolah dasar dan dia kelas 5. Walau dia laki-laki, wajahnya justru lebih mirip dengan mamah. Lembut dengan senyuman secerah matahari. Jauh berbeda denganku. Katanya aku tidak mirip ayah ataupun mamah, aku lebih mirip Buba, kucing kami, karena aku selalu mengeluarkan aura jangan dekat-dekat! sama seperti Buba. Kadang beberapa kawan kakakku datang ke rumah dan ketika kami berpapasan di ruang tengah, mereka tidak berani menatap ku lebih dari satu menit. Aku merasa tidak melakukan apa-apa, tapi tatapanku sepertinya mengancam mereka.

 “Ath, lihat! Buba sedang bertengkar dengan seekor anjing. Cepat kemari!”

Kaki kecilku meraih langkah dengan cepat menuju ke halaman belakang, tempat Apollo berteriak. Dia dengan kaki telanjang, berdiri di tengah-tengah Buba dan seekor anak anjing Husky, hitam berbelang putih. Tangan Apollo berusaha membuat jarak antara mereka berdua. Terasa keberadaan Apollo bukan gangguan bagi mereka, pertarungan pun dimulai kembali. Kucing kami Buba, memang mempunyai tubuh yang lebih mungil dari pada anjing itu, tetapi keberaniannya tidak bisa dianggap remeh. Cakarnya yang tidak seberapa itu, sukses mendarat di muka anjing itu. Aku tidak melihat darah dari wajah anjing itu, namun kita tidak bisa biarkan ini.

“Niiiight! Kembali!” Seseorang memanjat tembok pembatas halaman rumah kami, dia datang dari arah sebelah rumah.

“Dia anjingmu?” Apollo menunjuk anjing itu dan iya mereka masih di dalam peperangan.

Yap dan sepertinya Night tidak menghiraukanku sekarang.”

Nama anjingnya aneh juga, Night? Mungkin karena kebanyakan bulunya berwarna hitam legam di tubuhnya. Si pemilik anjing itu sepertinya sebaya denganku, anak perempuan yang manis dengan rambut lurus sebahu, berkilauan dan memantulkan cahaya matahari sore. Karena anjingnya tidak mau mendengarkannya, ia memilih untuk datang ke halaman belakang kami. Setelah turun dari tembok dan berhadap-hadapan dan berdiri di hadapan ku, aku sadari tingginya melebihiku. Terlebih lagi, dia terlihat lebih cantik jika dilihat dari dekat.

Dia segera membantu Apollo meleraikan pertengkaran antara sesama peliharaan. Apollo menghalangi Buba, dan dia mencoba membuat anjingnya tenang. Setelah beberapa menit membuat mereka sama-sama gencatan senjata, Buba lari masuk ke dalam rumah dan Night duduk manis di hadapan majikannya. “Bagaimana bisa dia melewati tembok pembatas itu.” Tangannya mengelus-elus Night. Setelah si majikannya datang, anjing itu lebih terkontrol dari sebelumnya.

“Sepertinya dari tangga yang bertengger ke tembok, yang tadi kau gunakan juga.” Apollo menerka-nerka.

“Mungkin saja, tangga itu sejak kemarin dibiarkan bertengger di sana. Ayahku sepertinya lupa telah meninggalkannya.”

“Aku Jessica. Aku tinggal bersama Night di rumah sebelah kalian.” Dia menyodorkan tangan kanannya ke hadapan ku. Tentu harus ku sambut, walau sedikit ragu, tapi tidak sopan membiarkan tangan orang lain menunggu untuk, bersalaman.

“Namaku Athena.” Sambil menerima tangannya. “Dan aku Apollo.” Kata kakakku yang dari kejauhan. Sejak kapan aku pun tidak paham, Apollo sudah mengajak Night main lempar tangkap bola.

“Anjing milik mu lucu juga! Untung saja tidak Buba bunuh.” Apollo memang sedang memuji anjingnya, tapi terdengar sedikit menyeramkan sepertinya.

“Dia kakak mu?” bisiknya pelan sambil mengambil sepetak rumput di sebelahku. Kini kita duduk bersebelahan. Aku melirik ke arahnya dan mengangguk pelan. “Kakak mu tampan sekali.” Ini bukan pertama kali aku mendengar pujian untuk wajah Apollo, tetap saja pujian-pujian itu membuatku merinding. Apollo memang tampan, tapi orang-orang tidak tahu kalau dia juga cengeng. Kurasa air matanya mengurangi ketampanannya di mataku.

“Apakah kakakmu sedang mencari pacar?” Jessica berbisik lagi. Tangannya menutupi mulutnya dan mengarahkannya ke telinga ku. Mungkin tujuannya agar Apollo tidak mampu mendengar pertanyaanya.

“Aku tidak tahu.” Jawabku, tidak tahu. “Satu-satunya yang aku tahu, dia gemar mencari capung di musim panas.”

Tawa Jessica pecah. Matanya yang kecil, seketika menghilang, tertelan dengan tawanya yang mengisi halaman belakang kami. Tangan yang tadi dia gunakan untuk berbisik, sekarang menepuk-tepuk pundakku, seirama dengan tawanya.

“Kau lucu juga.” Aku tidak berniat untuk melucu. Tapi baiklah, jika itu tadi lucu.

“Mulai sekarang kita berteman.” Dari tepukan berujung dengan rangkulan. Jessica meraih pundakku yang lain dan merangkulku untuk lebih dekat dengannya. Aku sedikit kaget dengan rangkulan itu, tapi apa boleh buat, mungkin ini merupakan sebagai simbol bahwa kita berteman sekarang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anomali Dunia Darma   Epilog Part Satu

    Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me

  • Anomali Dunia Darma   Bab 36: Angin Berhembus ke Rumah

    Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai

  • Anomali Dunia Darma   Bab 35 Putus Asa Bersama

    Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu

  • Anomali Dunia Darma   Bab 34; Mulai Sekarang Aku adalah Rumahmu

    “Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep

  • Anomali Dunia Darma   Bab 33; Kematian adalah Kehidupan itu sendiri

    Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu

  • Anomali Dunia Darma   Bab 32; Rumah yang Hangus

    Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status