Manusia itu terlempar, ada tanpa tahu dari mana mereka berasal dan hendak ke mana mereka akan pergi. Hutan yang membentang, gelap gulita dan dingin, bersinarkan rembulan dibantu pelitnya sinar bintang nun jauh. Kecemasan selalu ada di pelupuk mata manusia di bumi.
Manusia itu terlanjur hidup, terlanjur ada. Terlanjur di suatu hari membuka mataya dan mendapati matahari di langit. Terlanjur yang berarti tidak memiliki pilihan selain hidup karena Dia Yang Maha Ada, ada.
Manusia itu tanpa henti berlari selama hidupnya. Sebagian karena mengejar apa yang ada di depannya. Sebagian lagi karena lari dari apa yang menguntit di belakang tengkuknya. Kedua kakinya tanpa henti mengitari bumi bak Adam yang mencari Hawa.
Manusia, hiduplah sebagai manusia. Itulah kutukan yang ada di dunia.
“Selamat datang di sekolah tanpa nama ini. Sekolah yang hanya akan membawa kalian semua kepada suka cita.” tangannya membentang kesamping, suaranya melambung megah.
Seisi kelas tidak memberikan respon pada sambutan dramatis Pak Darma. Bahkan segel botol minum yang sukar dibuka lebih menarik dari sambutan aneh itu. Sekolah tanpa nama, sekolah yang membawa suka cita, oh dia lupa menyebutkan sekolah yang jendelanya ditralis. Memangnya kami ini apa? Tahanan rumah?
“Kalian di sini hanya akan bermain dan tidak akan menghadapi kedewasaan. Di sekolah ini kalian akan bebas dari kutukan kehidupan yang bernama kedewasaan.”
Pak Darma masih saja mengatakan hal yang benar-benar membingungkan. Dia seperti sedang bermain sandiwara yang penontonnya saja dibayar untuk menyaksikannya. Kedewasaan adalah kutukan, apa lagi itu? Persoalan mengapa kami bisa terbangun di sekolah ini saja belum terjawab, Pak Darma malah mengatakan perkara yang kurang jelas menambah kebingungan yang menumpuk di benak.
"Bapak akan mengajak kalian bermain di setiap hari. Tentu permainannya akan sangat menyenangkan! Tapi pertama-tama bapak ingin menjelaskan tentang peraturan di sekolah ini.”
Siswa yang datang dengan troli logistik tadi, mengambil sebatang kapur dari atas meja guru dan bersiap untuk menuliskan sesuatu di papan tulis hijau di depan kelas.
“Pertama, kalian tidak diperbolehkan untuk keluar dari wilayah sekolah ini. Sangat berbahaya, bapak khawatir kalian bisa tersesat dan menjadi santapan empuk hewan liar.”
Kami terperanjat bersamaan. Saling menoleh satu sama lain, seolah mencari penjelasan dari setiap murid yang ada. Tetap saja nihil, siapa lagi yang bisa menjelaskan kata-kata hewan liar selain Pak Darma sendiri.
“Kedua, kalian harus mengikuti jadwal yang telah bapak rancang. Di dalam jadwal tersebut mengatur waktu makan, mandi, tidur dan bermain kalian. Kalian harus hidup teratur, Bapak tidak ingin kalian sakit. Kesehatan kalian adalah nomor satu.”
“Izin bertanya Pak, apakah ini adalah bagian dari pelatihan alam?”, sela Eden, meminta kejelasan mengenai keadaan yang sedang kami hadapi sekarang. Tentu itu sangat mewakili isi kepala kami semua.
“Tunggu, Bapak jelaskan setelah ini.” jawab Pak Darma meminta waktu.
Ini tentu terdengar tidak beres. Pak Darma membuat ini menjadi semakin sulit untuk dipahami. Jika memang benar ini adalah pelatihan alam, mengapa dia tidak langsung mengiyakannya saja. Toh kata iya tidak mengambil setengah menit untuk diucapkan. Mungkin saja jawabannya bukan iya, karena ketika jawabannya tidak, itu membutuhkan penjelasan yang berarti membutuhkan waktu lebih dari setengah menit.
Jangan lengah, mata dan telingamu harus tetap terjaga walau kamu percaya kamu sedang tertidur. Dulu ketika aku yang masih berumur 10 tahun, ayah selalu saja mengatakan hal tersebut. Anehnya dia mengatakannya sebagai pengantar tidur. Dia mengatakannya sambil bertengger di daun pintu kamar semenit sebelum mematikan lampu dan menutup pintu. Aku melihat itu wajar, ayahku seorang Letnan satu angkatan darat, yang menghabiskan umurnya untuk menjaga tanah papua. Terkadang dia harus tertidur di tengah hutan untuk memastikan masyarakat di tanah papua tertidur di kamar yang hangat. Jangan lengah, memang bukan sekedar kata-kata saja baginya. Hal itu sudah menyatu ke dalam darahnya sehingga, pada saat yang terlemah pun ayahku kuat.
Seperti apa yang telah ayah ajarkan, aku tidak boleh lengah. Pak Darma memang wali murid kami. Seorang guru yang kami kenal dekat hampir satu tahun ini. Sikapnya tidak kasar, lemah lembut dan menyenangkan, namun kini keadaanya terlalu mengarah ke dia datang sebagai ancaman.
“Ketiga, kalian harus menaati semua peraturan yang ada di setiap permainan.”
“Peraturan sekolah ini mudah untuk ditaati bukan?” tanpa menunggu respon kami. “Di sekolah ini difasilitasi dengan cctv berserta penyadap suara di setiap ruangannya, jadi usahakan kalian tidak melanggar peraturannya. Ikuti semua kata-kata bapak dan jika tidak, bapak terpaksa menghilangkan kalian lebih cepat.”
Hembusan angin kencang datang menggerayangi setiap tengkuk murid di dalam kelas. Nada Pak Darma berbicara tidak berubah, datar tanpa penekanan, tetap saja kami paham dia tidak sedang berpura-pura, atau semacam bercanda. Bara mengangkat tangannya, dia duduk di ujung depan kelas. Aku bisa melihat jelas jari-jari tangannya sedikit bergetar.
“Maksud bapak dengan menghilangkan kami itu apa? Kami tidak mengerti. Apakah kami sedang diculik?”, Bisa aku bilang Bara lebih pemberani dari Eden, namun sayang, keberaniannya tidak dibarengi dengan pemilihan kata yang baik. Dibandingkan dia menanyakan apa yang sedang terjadi? dia lebih senang menggunakan kata culik untuk memperjelas semuanya.
Pak Darma terkekeh, Bara heran. Dia sama sekali tidak berniat untuk melucu di kelas kali ini.
“Ini mengilustrasikan bagaimana manusia terlahir ke dunia ini. Terlempar begitu saja. Manusia secara tiba-tiba menyadari keberadaan diri mereka sendiri di dunia ini. Tanpa tahu mereka berasal dari mana, tanpa tahu mereka hendak kemana.”
“Lalu mereka yang sudah terlanjur hidup, mau tidak mau menjalani kehidupan itu sendiri. Sialnya manusia membawa dua hal yang membatasi kehidupan mereka, yaitu ruang dan waktu. Manusia tidak bisa hidup tanpa itu. Atau lebih tepatnya, manusia tidak mampu terlepas dari kedua hal itu. Dimanapun manusia berada, mereka pasti membawa kedua hal tersebut.” Semakin dijelaskan, semakin rumit. Pak Darma tidak mau menjawabnya dengan sederhana.
“Kedua hal tersebut menjadi kutukan bagi manusia. Ruang memberikan batas bagi manusia. Manusia sebenarnya bisa terbang melayang ke sesuatu yang lebih tinggi dari ini. Namun tempat, seolah-olah memegangi kedua kaki mereka. Dan waktu selalu menggerogoti hati manusia. Manusia di masa kecilnya bahagia, dengan perlahan waktu mengubahnya menjadi kesedihan. Kedewasaan menjadi jalan yang terjal bagi seorang anak manusia. Kedewasaan seolah menjadi racun pada pikiran manusia.” terlihat Pak Darma memejamkan matanya dan perlahan menarik nafas dalam, seolah dia mempersiapkan sesuatu yang besar keluar dari mulutnya.
“Alangkah baiknya, manusia bisa menghentikan waktu dan melenyapkan ruang. Bapak sadari, yang bisa melakukan itu hanyalah kematian…”
Aku ingin segera pulang. Ini jelas ada yang tidak beres.
“Dengan kematian, kalian bisa terbang ke tempat yang lebih mulia, serta kalian tidak perlu tumbuh menjadi dewasa, keriput, jelek dan sedih. Kalian tidak perlu menderita. Jadi mari kita mainkan permainan pertama kita hari ini.” lagi-lagi tangannya terbuka, membentak ke kiri dan ke kanan, menyambut kami dengan suara tinggi kegirangan, bibirnya tersenyum dan yang mengerikan, matanya menunjukan kehampaan.
Dia bukan Pak Darma, atau mungkin dia lah Pak Darma yang sebenarnya.
***
“Sebelum itu, Bapak ingin memperkenalkan teman baru kalian.”
Ketiga siswa itu berjajar di depan kelas. Menatap lurus melewati wajah-wajah kami. Mereka menatap tembok yang berada di belakang punggung kami, tanpa emosi, tanpa ekspresi, tanpa sedikit pun corang di air mukanya.
“Perkenalkan, dari arah paling kanan Kronos, selanjutnya Kyos dan yang terakhir Thea.” nama mereka mungkin dipanggil, mata kami pun mengikuti arahan Pak Darma menyebutkan nama-namanya, tetap saja raut wajah mereka tidak berubah. Tersenyum namun hanya bibirnya saja.
“Mereka akan membantu Bapak untuk menyelenggarakan permainan.”
Yang terdengar di kelas hanyalah hembusan angin dan kicauan burung. Berbeda denganku, yang aku dengar dari isi kepalaku, bak deru mesin kereta api express, bising dengan ribuan pertanyaan dan kesimpulan. Pikiranku begitu cepat meloncat dari satu asumsi ke asumsi yang lain, dari pertanyaan satu ke pertanyaan yang lainnya. Aku mengkolning diriku dengan jumlah ribuan, setiap kloningan memberikan pertanyaan yang perlu dijawab, namun tergeletak begitu saja. Setiap kloning datang dengan warna gusar yang beragam.
Tidak sengaja mataku menemui Yuuta yang menunduk ke arah kolong mejanya. Tangannya sibuk tidak jelas, menekan-nekan jemari tangan kirinya. “Coba saja aku mendengarkan kata Ibu....” dia sedang berbicara sendiri. Menggumamkan kalimat-kalimat pendek yang ditunjukan untuk diri sendiri. “...mungkin aku tidak harus berada di sini.” Aku tidak yakin dia sedang merintih, tapi suaranya terdengar bergetar.
Memang tidak adil bagi Yuuta. Dia baru saja pindah ke sekolah kami seminggu yang lalu, dan sekarang dia berada di sini bersama kami. Dia bisa saja menunggu jadwal pindahnya menjadi hari setelah ini, atau bahkan dia bisa saja untuk tidak memilih sekolah kami. Tunggu dulu, ini bukan hanya tidak adil bagi Yuuta, ini tidak adil bagi kita semua.
“Pak hentikan bercandanya. Ini tidak lucu.”ujar Michael memecah keheningan diantara kami.
Sambil bangun dari bangkunya, “saya mau pulang Pak. Ibu saya khawatir kalau saya tidak pulang sekarang!”
Dia serius, Michael mengambil tas lalu berjalan menuju pintu kelas. Tidak satu pun dari Kronos, Kyos atau Thea menghentikan Michael. Aku segera melihat reaksi Pak Darma di dalam layar, dia tidak bergeming. Dalam hati, aku ingin sesuatu terjadi –karena penasaran, dan di waktu bersamaan aku juga tidak menginginkan sesuatu buruk terjadi pada Michael.
Langkah kaki Michael pasti, pergi meninggalkan kelas. Secara tiba-tiba suara deru terdengar dari lobi kelas yang terbuka langsung ke arah lapangan basket. Aku dan murid lainnya, mulai berdesakan meraih jendela untuk melihatnya lebih dekat. Melihat lebih jelas tralis panjang turun dari plafon lobi lalu mendarat tepat masuk ke dalam lantai dan terkunci. Ini menjadi jawaban yang sempurna dari pertanyaan apakah kita diculik?-nya Bara.
“Kronos dan Kyos, mari kita persiapkan permainan pertama kita.”kata Pak Darma.
Thea menghampiri Michael yang berdiri terpaku di lobi kelas, kakinya seolah-olah ikut terkunci bersama jeruji itu.
“Ayo kembali ke kelas Michael, permainan pertama akan segera dimulai.” katanya dengan suara lembut.
Tunggu dulu, dari mana Thea tahu nama Michael. Jelas dia tidak memperkenalkan dirinya tadi. Pak Darma pun tidak sama sekali memanggil nama Michael sebelumnya. Bagaimana Thea tahu nama Michael. Dan mungkin saja mereka bertiga telah mengetahui nama Michael, bukan. Bukan hanya Michel, mungkin saja semua nama murid kelas tiga. Termasuk ak_
“Athena, ayo kembali ke bangkumu.” aku menoleh dan mendapati Kyos memanggil namaku.
Aku menengok ke dalam isi kelas. Ternyata semua murid telah terduduk rapi di bangkunya masing-masing, meninggalkan aku yang masih berdiri di depan jendela, menatap udara yang mengambang di sela-sela jeruji, kalut dengan pikiranku. Kedua kaki ini lemas seketika. Kyos memanggilku dengan namaku. Bagaimana dia tahu namaku? Bagaimana dia juga tahu nama Michael? Tidak mungkin mereka telah menghafalkan nama dan wajah kami bahkan sebelum bertemu dengan kami.
Untuk apa mereka melakukan itu? Semakin aku ikuti alur yang dibuat Pak Darma, semakin aku tidak mengerti. Manusia yang terlempat lah, Kedewasaan adalah kutukan lah, dan ruang beserta waktu membatasi manusia. Semuanya menumpuk satu sama lain, memburamkan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Satu yang aku yakin akan hal ini, yaitu aku berada di dalam ancaman.
Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me
Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai
Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,