Pak Darma menyiapkan semuanya. Loker sekolah yang lengkap dengan peralatan pribadi, alat mandi, baju tidur, pakaian dalam hingga kantong tidur. Kami pun diberi sandal, sehingga kami tidak perlu khawatir alas kaki yang kami gunakan ketika mandi. Setelah mengeksekusi dua murid, Pak Darma dan yang lainnya meninggalkan kami. Aku bisa bilang begitu karena sehabis Karisma pergi, aku tidak lagi mendengar suaranya lagi keluar dari speaker. Kami yang tadinya kebingungan, perlahan memahami apa yang harus kita lakukan di sisa waktu kami.
Di posisi ini, tidak ada yang bisa aku lakukan. Bahkan bukan hanya aku yang merasa dilumpuhkan oleh Pak Darma, seisi kelas. Bara, yang terbilang mempunyai sabuk hitam, terikat erat melingkari image-nya, hanya bisa terdiam, menahan tangannya untuk tidak merusak sesuatu di kelas ini. Cctv lebih menakutkan daripada petir di hujan badai di tengah malam. Kami memahami, di setiap sudut kelas dan ruangan yang ada di sekolah ini, terpasang cctv yang bergandengan dengan tembakan laser. Sekali kami melakukan kesalahan, mungkin kening kami akan berlubang seperti Dinar di pagi tadi.
“Di sini kebanyakan buku cerita, hanya sedikit buku yang berisikan pelajaran.” Yuuta, sedari tadi mengikutiku. Aku ingin menanyakan, mengapa dia mengikutiku. Tapi aku memilih diam, aku terlalu takut jika jawaban yang dia punya ternyata kita hanya mempunyai tujuan yang sama, bukannya mengikutimu.
Sedari tadi aku dan Yuuta mengunjungi setiap ruangan yang ada. Melebarkan pengetahuan kami terhadap sekolah ini. Pak Darma menyediakan satu kelas normal –tempat di mana Karisma dan Dinar dieksekusi, satu ruangan untuk loker dan berganti pakaian, kamar mandi yang layak untuk membersihkan percikan darah yang mungkin saja terciprat, kantin yang penuh dengan stok makanan, ruangan UKS lengkap dengan obat-obatan dan yang terakhir ruang perpustakaan.
“Baca ini. Cerita Peterpan yang tidak pernah menjadi tua.” Yuuta menyodorkan satu buku. Halamannya terbuka. Aku tahu dia tidak benar-benar sedang membacanya, mau sebagus apapun buku yang tersedia di sini, tetap saja rasanya akan hambar.
Perhatianku kini ke buku yang Yuuta sodorkan. Dengan posisi berdiri bersebelahan, Yuuta menopang buku itu dengan tangan kirinya agar tetap terbuka dan jari telunjuk, dia letakan tepat di atas halaman yang terbukaa, menunjuk satu kata lalu berganti ke kata yang lain.
Kita – sedang – diperhatikan.
Tiga kata. Yuuta menunjuk ke tiga kata itu, berurutan namun melompat-lompat dari paragraph lima ke satu lalu ke tiga.
Kamera – selalu – melihat – ke – arah – kita.
Lagi, kini lima kata yang terangkai. Dia mencoba untuk berkomunikasi dengan ku, melalui buku ini, bukan melalui suara. Benar juga, Yuuta bilang kami sedang diperhatikan, bisa jadi apa yang kami bicarakan terdengar oleh yang ada di sana. Aku tersentak saat memahami gaya berkomunikasi uniknya. Dia berpura-pura menyelesaikan bacaannya di halaman yang sekarang, dan beralih ke halaman selanjutnya.
Punya – cara – untuk – kabur – tanda tanya. Telunjuk Yuuta menanyakan hal yang baru.
Sebentar aku melirik ke arahnya, memastikan dia memperhatikan telunjuk ku. Cara berkomunikasi seperti ini pernah aku lihat di film horor, sekelompok anak remaja dengan papan Ouija-nya, duduk melingkar di tengah malam, mencoba berkomunikasi dengan yang tidak terlihat.
Belum – kita – harus – temukan – cara – pergi – dari – sini.
Yuuta mengangguk paham. Cepat-cepat aku menyambung kata-kata ku.
Menurut – mu – kita – bisa – selamat – tanda tanya. Aku menanyakannya karena aku ragu. Tapi Yuuta, sedikitpun aku tidak menemukan kekhawatiran dari ekspresinya. Yuuta, dia benar-benar menarik.
Tentu – tanda seru.
Dia tutup bukunya. Beberapa detik kemudian dia menghadirkan buku yang lain. Kini, tulisan yang tertera di sampulnya adalah ensiklopedia hewan, nampak dengan gambar jenis burung yang aku tidak mengenalnya, macan tutul hingga serangga di sampulnya. Bukunya tebal, sepertinya banyak hewan yang dibahas di dalamnya. Kali ini tanganku juga ikut membantu menopang buku tersebut. Memegangi bagian sampulnya dikala Yuuta sedang mencari-cari sesuatu. Halaman ke halaman lain dia lewati hingga pencariannya terhenti di gambar Latrodectus hasseltii, laba-laba punggung merah.
“Laba-laba jenis ini sangat mematikan. Dia bisa membunuh manusia. Tipikal laba-laba, dia memangsa siapa pun yang menempel di jaringnya. Ketika kamu hinggap di jaringnya, pertama kamu akan tersangkut di sana. Susah sekali untuk melarikan diri, jaringnya sangat lengket di kulit mu. Lalu si tuan rumah akan datang, bukan untuk menawarkan mu teh, melainkan menjadikanmu kepompom.”
“Kepompom kata yang terlalu bagus. Sebenarnya bisa saja si pemilik jaring itu membawa teh. Bukan untuk tamunya, tapi sebagai teman menyantap tamunya.” Tambahku.
“Benar. Ketika kamu sudah terselubungi oleh jaring lembutnya, tidak bisa kabur. Dia pun akan menggigit mu dan kamu akan menjadi santapan yang sempurna baginya.” Yuuta bercerita dengan sedikit dramatisasi. “Oh ya, dia juga disebut black widow karena setelah melakukan perkawinan, dia membunuh suaminya dan memasaknya.Mengerikan sih, tapi lihat..” sambil menuding ke satu gambar “Dia begitu menawan, tubuhnya berwarna hitam mengkilap dan terdapat corak merah di punggung. Siapa yang tidak tergoda dengannya? Jangankan laba-laba jantan, aku saja terpukau!”
“Keindahannya mengundang mangsanya untuk hinggap di jaringnya.”
Aku mulai memahami apa yang Yuuta bicarakan sejak tadi. Laba-laba punggung merah yang menawan, mengelabui mangsanya. Seekor Laba-laba betina yang besar dan menawan, bertengger di jaring putih lembut, tersenyum di bawah terik matahari. Lalu serangga kecil, anggap saja kupu-kupu, kubang atau bahkan belalang, tidak sengaja hinggap di jaringnya. Mereka anggap dunia ini baik-baik saja, mereka anggap satu dunia ini hidup dengan pandangan jernih seperti yang mereka lihat. Dari sanalah, satu per satu dari mereka menjadi kering, terselubung jaring putih yang lembut, dan terlupakan.
Bel berdering. Suara Pak Darma setelah seharian lenyap, terdengar kembali. Dia memerintahkan kami semua untuk bersih-bersih dan bersiap untuk beristirahat di malam ini. Makan malam pun telah disediakan, tidak mewah hanya capcay lengkap dengan nasi, yang disertai dengan susu putih. Pak Darma bilang, dia tidak ingin kita jatuh sakit. Aneh sekali, dia tidak ingin kita sakit, tapi satu-satunya yang sakit adalah sesuatu di kepalanya.
Mendengar perintahnya, aku dan Yuuta segera pergi dari perpustakaan mini itu. Bergabung dengan yang lainnya, makan dan bersiap-siap untuk beristirahat. Setiap anak melakukan apa pun yang diperintah oleh Pak Darma, termasuk para anak nakal. Dimas yang biasanya melakukan sesuatu tepat kebalikan dari perintah, kini kaki dan tangannya lumpuh. Atau mungkin keberaniannya lenyap setelah melihat Karisma terbunuh tanpa peluru tadi pagi.
Geng Jessica, geng anak gadis popular yang selalu mempunyai sesuatu untuk dibicarakan, kini menjadi hening. Mereka tetap duduk bersama, tangannya saling menggenggam, menguatkan satu sama lain, tapi mulut mereka bungkam tanpa suara. Aku suka keheningan tapi tidak kali ini. Jesicca dan teman-temannya, seolah menjadi perwakilan suasana kelas. Jika mereka redup, aku bisa rasakan satu kelas pun menjadi kelabu.
Lagi-lagi Yuuta mengikutiku. Aku berdiri memandang senja dari balik jeruji yang dipasang di lobi kelas. Indah memang pemandangannya, semuanya tenang dan meredup, berbarengan dengan tenggelamnya matahari. Yuuta ikut menikmati suasana ini, dia berdiri di sebelahku. Aku menoleh ke arahnya, ingin sekali aku bertanya kenapa lagi-lagi kau mengikuti ku? Tapi sudahlah, aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk memperdulikan hal itu.
“Apakah pemandangan ini menjadi kenangan terakhir di benak kita nanti?” lirihku kecil.
“Entahlah. Walau sedang terjerat di jaring dan menunggu si tuan rumah datang memangsa, kita bisa menikmati alam yang menawan ini. Bukanlah hal yang buruk.” Yuuta mengucapkannya dengan senyuman. Rasanya ringan seketika.
Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me
Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai
Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,