“Aku tidak mau makan ini Jessica!” Aku melempar piring plastik kecil berwarna merah muda, lengkap dengan spageti karangan Jessica.
“Kau melawan pada ibu mu? Kau mau ibu kutuk jadi batu?” Jari telunjuknya menuding tepat di depan mata ku. Dia berperan galak secara natural.
“Jessica, benda itu tidak bisa dimakan.”Aku berdiri, menjauh dari telunjuk itu.
Dia terus menyodorkan bagian dari tumbuhan yang mirip seperti mie. Aku tidak tahu namanya apa, tapi ia menjalar di atas tanaman pagar. Jessica berperan sebagai ibu yang berlaga mampu memasak. Aku mengisi kekosongan peran yang dimainkan oleh Jessica. Tadinya aku menawarkan diri berperan sebagai Athena, diriku sendiri, tapi ditolak mentah-mentah olehnya. Jessica bilang kita harus berperan bukan menjadi diri kita, baru permainannya akan menjadi menyenangkan. Tapi aku bingung, aku di kehidupan nyata pun menjadi seorang anak, kenapa ketika bermain dengannya harus berperan sebagai anak juga. Aku kira dia bilang kita tidak boleh memerankan peran yang sama dengan kehidupan nyata kita.
Sudah dua tahun kami menjadi teman. Hampir setiap hari, sepulang sekolah, aku selalu dijemput untuk diseret, bermain di halaman belakang rumah Jessica. Kita memang tidak satu sekolah, maka dari itu Jessica dan aku hanya mempunyai waktu bermain setelah pulang sekolah. Aku yang setiap hari bermain dengannya menjadi hal yang positif bagi Apollo. Dia tidak perlu lagi berpura-pura senang untuk duduk menonton anime kesukaan ku di tengah rumah. Dia bisa bermain video gim atau bahkan mengundang teman-temannya hanya untuk memamerkan mobil tamiya yang baru dibelikan mamah di akhir pekan.
“Kau merusak permainan ini.” Jessica berdecak sebal. Dia memang cepat sekali merasa sebal, terlebih lagi jika kemauannya tidak dituruti. Mamanya selalu meminta maaf kepadaku, dia selalu bilang Jessica dibesarkan sebagai anak tunggal, tidak heran jika sikapnya begitu egois dan tidak memikirkan orang lain.
“Jika aku memakannya, kau yang akan merusak perutku.” Aku sendiri tumbuh besar bersama Apollo. Kebersamaanku dengan Apollo cukup intens. Bagaimana tidak, yang aku punya hanya Apollo. Mamah dan Ayah selalu melihat kami dari kejauhan. Aku tidak mengeluh, karena ayah benci pada si tukang mengeluh, hanya saja rasanya nyaman jika bangun serta sebelum tertidur aku masih bisa melihat wajah mamah.
“Ayo kita pergi ke rumah mu. Kira-kira kakakmu sedang apa ya?” Kakinya mulai mengarah ke pintu darurat kecil yang dibuat ayahnya Jessica agar bisa menyeberangi tembok pembatas antara rumah kita, tanpa harus memutar melalui pintu utama rumah.
“Tidak tahu, paling sedang bermain video gim.” Aku tidak tertarik untuk bermain gim dengan Apollo. Setiap kali aku bermain dengannya, aku menjadi si pecundang. Aku benci kekalahan.
“Jessica, bersihkan dulu mainan ini.” Tanganku memunguti piring dan gelas plastik berukuran mini yang berserakan di atas rumput.
“Biar Night yang membersihkannya. Ayo kita pergi ke rumah mu saja!”
Tangan kananku disambar, dan aku terseret mengarah ke pintu rahasia itu. Jessica sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang aku sarankan. Night –anjing husky yang nakal, yang katanya akan membersihkan bekas kita bermain. Aku tidak yakin dengan itu. Memang benar aku lebih mirip dengan Buba, aku akui itu. Hal itu menggambarkan adanya ikatan antara si pemilik dan si peliharaan. Kurasa Night dengan Jessica pun mempunyai kesamaan. Mereka sama-sama tidak bisa diatur dan begitu berisik.
***
Kami berbaris di lapangan basket. Jeruji yang terpasang di lobi ternyata bisa terbuka. Kyos dan Kronos berdiri di depan menghadap kami, sedangkan Thea menggiring beberapa anak yang enggan pergi ke lapangan. Mereka enggan tentu bukan karena panas terik matahari di pagi hari. Mereka belum siap untuk menerima aku atau yang lainnya hari ini yang akan pergi.
Lapangan basket, beralas hijau dan garis-garisnya berwarna putih. Lapangannya sedikit kotor, banyak daun-daun kuning yang jatuh dari pohon-pohon yang menjulang. Sinar matahari menyeruak lembut, melalui celah-celah dahan dan dedaunan pohon. Anginnya sejuk sehingga terasa sinar yang datang tidak menyengat. Tiupan angin menghembus wajah Jessica dan memainkan sisa rambutnya yang tidak dia terikat. Kami tidak berdiri sebaris dan deretnya pun bersela tiga orang. Aku memperhatikannya dari jauh.
Dia membalas tatapan aku sebentar, lalu segera dia buang muka, seolah-olah aku bukanlah sesuatu yang penting. Semenjak kejadian itu, dia selalu memperlakukan ku seperti ini. Berlaga seakan-akan kami tidak pernah bermain bersama sampai ketiduran di halaman belakang. Aku tidak pernah menyesali dengan kejadian di hari itu, tapi sepertinya Jessica tidak bisa begitu saja memaafkan dirinya. Seberapa kali aku mengatakan kejadian itu bukan masalah besar, dia tetap keras kepala dan menghukum dirinya di setiap hari. dia berhenti menjadi temanku. Kami tidak lagi saling bicara.
Tapi selama itu Jessica, aku tidak khawatir. Kami memang tidak berteman lagi, tapi keceriaan Jessica dapat membawa teman yang baru yang lebih membuatnya nyaman.
“Selamat Pagi murid-muridku yang tercinta.” Intonasinya hangat, menyerupai sinar matahari di pagi ini. Itu membuatku merinding.
Deretan terdepan berbarengan melangkah ke belakang. Mereka merasakan ancaman lebih dekat di deretan yang paling depan. Tentu, kini Pak Darma memilih untuk mendatangi kita secara langsung. Bukan melalui layar laptop. Pak Darma berdiri di sebelah Kronos dan tersenyum hangat kepada kita. Rambutnya sedikit panjang dari biasanya, tetap dengan poni terbelah dua yang tidak diatur dengan sengaja. Kulitnya putih pucat dan matanya menyipit karena tersenyum. Aku tidak ingin lama-lama memandangi matanya, rasanya seperti kosong tanpa nyawa di dalamnya.
“Hari ini kita akan sedikit berolahraga.”
Kakinya melangkah mendekati barisan anak-anak. Aku dapat melihatnya jelas, Pak Darma sedang mencari seseorang di antara murid-muridnya. Lalu pandangannya jatuh ke arah ku yang ada di deretan kedua paling ujung di sebelah kanannya. Dia perlahan mendekati ku. Sambil tersenyum, semeringah. Sepertinya dia membawa kabar yang baik. Tapi itu tidak mungking, aku bisa rasakan itu.
“Olahraga kali ini, tidak akan terlalu berat.” Dia mengatakannya di depan muka ku. “Sehingga teman kita, Athena, bisa ikut serta kali ini.” Seraya memeras kedua bahuku sebentar lalu pergi, kembali ke depan.
Memang benar, aku tidak pernah ikut serta dalam kelas olahraga. Tidak berlari, tidak loncat tinggi, tidak semuanya terkecuali berenang. Ini dikarenakan kondisi kakiku yang pernah remuk, aku bilang remuk karena kaki kiriku patah di bagian tulang kering dan paha. Ini membuatku menjadi sangat akrab dengan kursi roda untuk beberapa tahun. Kini aku sudah pulih, aku bisa berjalan normal tanpa bantuan tongkat penyanggah, sempat kaki kiriku menjadi lebih pendek dari kaki kananku karena aku tidak menggunakannya untuk berjalan. Tetapi terakhir aku periksa aku sudah tidak perlu berjalan pincang, kaki kiriku membaik di setiap tahunnya. Hanya saja rasanya masih ngilu kalau harus menghentakkan kaki kiri keras-keras ke bumi.
“Kronos, Kyos, tolong bawakan terowongan kereta api untuk permainan hari ini kemar_”
“Pak aku mohon pak! Kasihani aku!!” Satu orang dari kita meinggalkan barisan dan berlutut di hadapan Pak Darma. Suaranya melonjak dan bergetar, dia menekan keinginannya untuk menangis. “Apa yang Bapak inginkan? Uang seberapa banyak yang Pak Darma minta, orang tua saya pasti akan sediakan! Aku mohon Pak!”
Aku berusaha melihat siapa yang membenamkan wajahnya di lantai, sejajar dengan kaki Pak Darma. Rintihannya terdengar sampai tempat aku berdiri, suaranya seperti Rama si anak bangsawan. Namun aku tidak yakin.
“Siapa dia?” seseorang menepuk pundak ku dari belakang. Sedikit terkejut, sampai aku dapati Yuuta berdiri di belakang ku.
“Aku tidak tahu. Mungkin Rama.” Dan memang benar dia si Rama.
“Aku mohon Pak! Pulangkan aku! Aku berjanji aku tidak akan menutupi apa yang bapak lakukan!” Rama terus saja merengek dan kali ini dia pegangi kedua kaki Pak Darma. “Saya satu-satunya anak laki-laki di keluarga saya. Saya harus meneruskan tanggung jawab yang ayah saya emban sekarang.”
Pak Darma menutup matanya. Dia perlahan berjongkok dan meraih badan Rama yang hampir menyatu dengan bumi. Dalam isaknya, Rama tidak berhenti mengucapkan kata tolong. Pak Darma dengan halus, mengelus kepala Rama yang ada di dalam pelukkanya. Kami yang melihat pemandangan ini pun hanya bisa terdiam. Apa yang dirasakan Rama mungkin sama dengan setiap murid di sini. Hanya ingin pulang. Tapi Pak Darma sekonyong-konyong dengan pandangan anehnya mengenai kehidupan, memborgoli setiap pergelangan kaki kita.
Langkah kaki dari tengah-tengah barisan murid, mengetuk lantai. Aku mencari siapa yang sedang berjalan. Dari sela-sela barisan, aku melihat Thea berjalan menuju Pak Darma. Thea, gadis hitam manis, berambut keriting, berjalan pasti melawan arus angin yang datang dari balik punggung Pak Darma. Tangan kirinya bebas dan tangan kanannya, dia sembunyikan di dalam saku rok seragam abu-abu. Spatu hitam pantofelnya berhenti mengetuk lantai, selangkah di balik punggung Rama. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia mengeluarkan sesuatu dari saku rok kanannya. Lalu, tangan kirinya merogoh saku rok sejajar dengan tangannya. Dia mengeluarkanya, lalu merangkai keduanya sehingga menjadi sempurna. Senjata laras pendek dengan peredam suara.
Tangan Pak Darma berhenti membelai kepala Rama karena akan mengganggu bidikan jarak dekat Thea. Semenjak kita yang melihat senjata laras pendek berada di tangan Thea, tidak lagi berbaris rapi sebagaimana seharusnya. Kaki kita secara otomatis menjauhi kepala Rama yang sekarang mungkin dalam bahaya. Mengambil banyak langkah mundur ke belakang tanpa bersuara. Bukan karena kita bekerjasama dengan pak Darma atau Thea untuk mengelabui Rama, hanya saja senjata yang tertuding kearah kepala Rama juga terasa menuding juga ke arah kita.
Rama tampak tidak menyadari pergantian atmosfer di sekelilingnya. Alih-alih dia curiga, kini rintihannya menghilang seiring dia menemukan kehangatan di dalam pelukkan Pak Darma.
“Kau benar ingin Bapak tolong secepatnya?” Pak Darma kini bersuara. Dia menyudahi pelukannya dan mendorong badan Rama agar bisa menatap mata Rama secara langsung. Rama menjawab dengan anggukan. Air matanya mungkin berhenti, namun pipinya masih basah.
“Kalau begitu baiklah.”
Seiring dengan kalimat Pak Darma usai Thea menarik pelatuknya. Rama menghilang. Kebanggaan keluarga bangsawan sudah menjadi seonggok mayat di tengah hutan. Tubuhnya tidak bisa tegak lagi. Pak Darma mengambil tubuhnya. Dia elus-elus kepala yang mengalir darah itu seolah Rama masih bernyawa seperti sedetik yang lalu.
“Kau sudah aman sekarang Rama. Kau anak yang baik, bahkan di tangisan mu tadi, kau tidak mengkhawatirkan diri mu, melainkan ayahmu. Kau anak yang hebat.”
Perutku mual melihat ini semua. Bukan karena darah dari kepala Rama menggenang dan memantulkan sinar matahari kembali ke langit. Aku mual dengan kata-kata Pak Darma yang sebegitu mengerikan. Pandangannya akan kehidupan yang tidak masuk akal. Pandangannya akan nyawa manusia yang murah. Pandangannya terhadap tindakan menyelamatkan yang salah kaprah.
“Biar aku bawa Rama dulu. Kyos, Kronos, tolong siapkan untuk permainan hari ini.”
Pak Darma membopong tubuh Rama ke dalam hutan. Dia hilang disembunyikan batang-batang pohon yang besar. Thea menggosok-gosok lap kain putih pada moncong peredam suara yang tersambung dengan senjata. Lantai lapangan yang hijau kini ada nuansa merah. Burung-burung berkicau, meramaikan suasana mencekam.
Aku alihkan pandangan ku dari genangan darah yang berkilauan ke kerumunan teman sekelas. Eden masih bersama dengan Inanna, mereka saling menguatkan satu sama lain walau aku yakin Eden pun di ujung keputusasaan. Bara terduduk merangkul lututnya, di paling belakang kerumunan. Kemala menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang bergetar. Deon sengaja membelakangi tempat di mana Rama menghilang. Aku tidak melihat jelas air mata Deon menetes. Deon sendiri lebih memilih memandangi langit yang biru dengan awan yang tak berbentuk, melayang melewati kepalanya.
“Ini hanya permulaan.” Yuuta berbisik, dan apa yang dia bisikkan itu benar.
Kyos dan Kronos datang menurunkan kotak persegi panjang dari troli ke lantai. Tinggi kotak itu melebihi tinggi anak SMA, lebarnya hanya mampu dilewati satu orang saja. Aku tidak yakin kotak itu terbuat dari apa, warnanya hitam dan sisi kotaknya berwarna merah. Benda aneh itu sepertinya berat sekali, karena terlihat Kronos dan Kyos terengah-engah setelah meletakkannya dengan sempurna di tengah lapangan.
“Aku sungguh tidak mau tahu apa isi kotak itu.” Kepalaku sakit. Aku mengingat, sedari bangku kelas dua SMP, pagiku selalu berat. Tapi aku rasa, Pak Darma membuat nerakaku menjadi lebih indah jika dibandingkan dengan pagi di sekolah ini.
Kronos membuka sepetak dari dinding benda itu. Terdapat banyak tombol dan sedikit layar di atas deretan tombolnya. Tangannya mulai menekan-nekan kombinasi tombol, lalu deru mesin terdengar. Kedua sisi yang paling lebar, terangkat permukaanya. Kedua sisi itu mengingsut ke atas sehingga pandangan kita bisa menembus ke sisi seberang dari benda aneh itu.
“Ini namanya terowongan kereta api.” Pak Darma telah kembali. “Kita akan memainkan permainan naik kereta api. Bukankah itu menyenangkan?”
Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me
Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai
Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,