“Mari kita bernyanyi!” Pak Darma memberikan aba-aba dan permainan pun dimulai.
“Naik kereta api tuut…tuut…tuut..”
Sebanyak 27 murid berbaris menjadi satu barisan dan memegangi pundak, menyerupai kereta bergandengan antara gerbongnya. Aku tidak yakin aku diurutan keberapa, yang aku tahu aku memegangi bahu Yuuta dan Jessica memegang bahu ku. Semenit sebelum permainan dimulai, Jessica menghampiri ku tanpa berkata-kata. Dia berdiri di belakang ku dan sangat berusaha untuk tidak memandang ku balik.
Kereta api manusia ini, berbaris diselubungi dengan ketakutan. Sekrup yang tertanam di tangan yang menempel di bahu tidak begitu kencang. Kapan saja bisa terlepas dan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Kami bernyanyi dan masuki terowongan aneh yang Pak Darma sediakan. Aku belum mengetahui bagaimana cara permainan ini bekerja. Kalau saja permainan naik kereta api ini normal, aku tidak perlu waspada dengan apa yang akan terjadi nanti.
“Keretaku tak berhenti lama_” Kami salah, ternyata benda itu bukan terowongan. Benda itu lebih mirip guillotine yang mengeksekusi kriminal di zaman dulu.
Berbarengan dengan nyanyian kami berakhir, sebilang pisau pancungnya menyambar apa pun yang berada di bawahnya. Entah itu tangan kami yang masih memegangi bahu teman di depannya, dan entah itu tepat di atas kepala yang mungkin bisa memotong kepala kami menjadi bagian dua bagian, bagian belakang dan depan. Ini mengerikan.
“Reflek dari seorang juara taekwondo se nasional memang tidak bisa diragukan lagi.” Pak Darma bertepuk tangan dari kejauhan, dia menganggap kita sebagai sekelompok sirkus yang sedang menghibur iblis di dalam tubuhnya. “Bapak kagum kepada mu Bara, kamu dapat menghindari pisau pancung itu.”
Pisau pancung menyambar secepat kilat ke apa-apa yang di bawahnya. Aku menemukan pisau pancung itu mendarat satu inci di depan ujung kaki Bara. Tubuhnya yang jangkung besar, dada yang gagah dan mata tajam seketika kehilangan keberaniannya ketika melihat pisau pancung yang hampir menyentuh tubuhnya.
“Apa Bapak sudah gila!” Michael berteriak dari balik badan Bara. Dia mungkin melihat betapa cepatnya pisau pancung itu menghujam.
“Masa depan Bara gemilang, dia bisa saja menjadi atlet Taekwondo Indonesia. Hampir saja cacat karena pisau pancung itu!” Eden membela temannya. Ini pertama kalinya aku melihat Eden berteriak kepada seorang guru.
“Eden hentikan. Kau bisa ditembak mati.” Kekasih yang mengkhawatirkan cintanya akan berakhir menjadi mayat. Innana menahan tangan Eden untuk tidak mendatangi Pak Darma. Padahal Eden telah siap dengan kepalan tangannya.
Semuanya mulai kondusif kembali ketika mendengar kata ditembak mati. Seakan-akan semuanya termaafkan. Bara yang hampir kehilangan tangannya, termaafkan. Rama, Karisma dan Dinar yang kehilangan nyawanya, juga termaafkan. Kepalaku menunduk ke bawah, memandangi ujung spatu ku yang tidak bersih lagi. Sungguh aku ingin berlari pergi dari sini. Berlari kencang, menerobos segalanya yang ada di hadapan ku. Aku tidak peduli apakah itu Pak Darma atau itu Thea dengan pistolnya, atau bahkan sesuatu yang menunggu di dalam hutan. Aku tidak peduli lagi. Sayangnya, yang menjadi kendala bukan apa yang menghadangku di depan, melainkan kakiku yang tidak bisa berlari kencang.
“Ayahmu akan baik-baik saja.” Bisikan dari belakang. Jessica mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Jangan menoleh, aku tidak mampu melihat wajah menyebalkan mu!”
“Bagaimana kau tahu ayahku akan baik-baik saja?” Sesuai dengan perintah Jessica, aku tidak menoleh ke arah bisikannya datang.
“Orang tua ku pasti mengkhawatirkan kita. Mereka pasti mendatangi rumahmu untuk menanyakan keberadaan mu juga. Di sana ayahmu akan dijaga oleh mereka.”
Karena kami bersahabat sejak kecil, keluarga kami pun saling mengenal satu sama lain. Terlebih lagi ketika tahu aku dan Apollo diasuh oleh nani dan sering ditinggal di rumah. Tante dan om Hwang tidak keberatan untuk membagi makan malamnya bersama aku ada Apollo. Jessica lebih mirip om Hwang, mata kecil yang jika tersenyum membentuk setengah lingkaran seperti bentuk pelangi, hidung lancip dan bibirnya tipis. Om Hwang lebih sering tertawa dibandingkan Jessica. Sikapnya, mungkin lebih mirip dengan tante Hwang, sedikit jutek dan dingin, walau begitu orang-orang di dekatnya paham sekali kalau hati mereka menyerupai gulali. Berwarna merah muda, lembut, manis dan cepat sekali meleleh.
Permainan dimulai kembali. Kereta manusia ini mulai berjalan seirama dengan lagu yang kami nyanyikan. Kini, aku telah mengetahui bagaimana terowongan itu bekerja. Itu lebih cocok dipanggil alat pancung yang merebut masa depan. Setiap orang bergantian untuk melewati mesin pancung itu. Aku yakin setiap orang pun telah mempertimbangkan di mana posisi tubuh mereka ketika nyanyian terhenti. Sekiranya mainan ini lebih mudah untuk kita menyelamatkan diri, dibandingkan permainan kemarin. Namun tetap saja, kelima panca indera ku menjadi sangat peka ketika melewati terowongan kematian itu.
Nyanyian kami usai. Kereta manusia ini terhenti dan kebingungan. Mesin pancung itu tidak bergerak, padahal Kemala telah menyembunyikan tangannya dibalik punggung. Dia letakkan jauh-jauh tangannya agar tidak sejengkal pun disentuh oleh mesin pancung itu. Kami melirik Pak Darma yang berdiri agak jauh dari kami. Sinar matahari yang sampai ke wajahnya, membuat dia menyerupai matahari kedua di pagi ini. Dia tetap seperti matahari walau matanya menatap kami dengan kekosongan.
“Apakah dia selalu seperti itu? Matanya seperti kosong.” Yuuta menoleh ke belakang.
“Selain kekosongan, aku bisa melihat hal yang lain dari matanya.” Karena suaraku setengah berbisik, aku condongkan badan ku kedepan, sehingga Yuuta bisa mendengarnya.
“Hal yang lain?”
“Iya. Dari matanya aku bisa merasakan ada yang lebih dari kekejian yang dia lakukan. Itu seperti ada yang hilang dari dalam dirinya.” Mungkin Yuuta akan menganggapku gadis aneh. Aku mengatakan sesuatu yang sulit dipahami.
“Mungkin saja apa yang dia lakukan sekarang untuk mencari sesuatu hilang di dalam dirinya.” dan Yuuta pahami itu. Kita baru saja saling berbicara sejak kemarin, tapi dia dapat memahami apa yang aku maksud.
Aku mengangguk. Tidak sengaja mataku bertemu denganya. Bulu matanya panjang walau tidak lentik. Alisnya tebal dan di bagian depan menukik ke tengah, menuju batang hidung. Rambut hitamnya menutupi sebagian keningnya. Kulitnya tambah bersinar ketika harus disandingkan dengan rambut hitam yang bergelombang. Rambut Yuuta memang sedikit panjang karena ikal. Hidungnya besar menjulang, dan bibir bawahnya tebal. Ada yang menarik, dia mempunyai gigi gingsul di sisi kanan dan kiri seperti drakula. Setelah Karisma, ini kedua kalinya aku menatap wajah lawan jenis sedekat ini.
“Sampai kapan kau akan menatapku seperti itu?” drakula berbicara.
“Aku hanya sedang mencari apa yang ada di balik matamu itu.” Segera mungkin aku mengalihkan pandangan, ke udara, ke debu-debu yang tidak digubris oleh mata, ke apa saja kecuali wajah Yuuta. “Mungkin saja aku bisa menemukan sesuatu yang lain. Seperti ketika aku menemukan itu di mata Pak Darma.” Aku harap Yuuta membelinya. Aku tidak mampu mengakui bahwa aku sedang menjelajahi wajahnya tadi.
“Lalu, apa yang kau temukan?” itu seperti tantangan yang datang. Untuk menekankan bahwa itu adalah tantangan, dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke arah ku. Mata menyipit, mempertajam tatapannya.
Tentu aku kebingungan. Tadi itu bukan untuk menemukan sesuatu dari mata Yuuta. Tadi itu hanya rasa penasaran bagaimana wajahnya jika dilihat dari dekat. Lagi pula itu bukan salah ku, wajah kita berdekatan. Aku tidak memiliki pilihan untuk tidak memandangnya.
“Puding coklat.” Panik. Kalimat itu yang disodorkan oleh sel otak ku sedetik tadi dan aku setujuinya. Yuuta keheranan, mengapa kalimat puding coklat yang keluar. Bibirnya menyeringai senyuman lalu berbalik menghadap depan kembali. Dia mengolok-olok ku dengan senyumannya.
Kronos meminta kami untuk bernyanyi kembali. Meminta kereta manusia menuju kematian melaju kembali. Kronos, anak laki-laki dengan perawakan tinggi besar, berkulit kuning langsat dan bahunya tegap, kini berdiri di samping terowongan itu. Perhatiannya kini terpusat ke sekotak kendali mesin pancung itu. Tangannya menekan-nekan kombinasi tombol kembali. Dia mengubah settingan yang sudah ada?
“Siapa hendak turun?_”
Kereta kami lagi-lagi terhenti. Kini Michael yang terhempas ke belakang. Kakinya bergetar sampai tidak bisa menopang tubuhnya lagi. Pisau pancung itu hampir menyambar Michael, bahkan hampir mengenai Bara yang berbaris di depan Michel. Pisau pancung itu bertambah cepat, bukan. Pisau pancung itu dapat merenggut siapa saja tidak bergantung dengan irama nyanyian kita.
“Michael, kamu tidak apa-apa?” Kronos membantu Michel. Seolah tidak sudi dibantu oleh Kronos, Michel menarik tanganya lalu memilih untuk berdiri sendiri.
“Kalau begitu kita bisa mulai kembali permainannya.” Kata Kronos. Ini sungguh tidak baik.
Pisau pancung itu kembali tertarik ke atas terowongan mini itu. Kereta manusia pun mulai melaju kembali sesuai dengan perintah Kronos. Matanya yang bulat dan alis yang tebal tidak dipergunakan untuk mengintimidasi kami. Sama seperti hari kemarin, raut wajahnya tidak memberitahu kami apa pun. Jendela matanya lebar tetapi tidak terdapat apa pun di dalamnya. Jika diperhatikan ketiga murid itu terlihat normal, namun rasa-rasanya mereka tidak normal. Mereka anak remaja biasa, hanya saja dengan senjata di sakunya.
Aku menghitung langkah ku sampai bisa melewati terowongan itu. Dari posisi terjauh sampai berada tepat di bawah pisau pancung itu, bisa ada sekitar sepuluh langkah kaki. Aku tidak tahu dengan yang lain, mungkin jika itu kaki Yuuta, dia hanya membutuhkan delapan atau sembilan langkah saja. Kaki Yuuta lebih panjang. Tangan ku saja kesusahan untuk meraih kedua pundaknya. Sering kali tangan ku terlepas dari bahunya karena langkah kakinya terlalu lebar daripada milik ku.
Langkah demi langkah aku hitung untuk memperkirakan kapan aku harus benar-benar waspada. Pisau pancung itu nampak sangat mengkilat hujungnya. Di langkah kelima aku dapat merasakan keringat yang bercucuran di kening ku. Di langkah keempat, genggaman tangan Jessica lebih erat, memegangi bahu ku. Di langkah ketiga, langkah Yuuta semakin lebar, seolah dia ingin cepat berlari menerobos terowongan kematian itu. Di langkah kedua sebelum masuk ke dalam terowongan, indera pendengaran ku mati, dan gantinya indera penglihatan ku lebih awas, memperhatikan pisau pancung yang belum bergeming. Di langkah terakhir ku, semua perhatian ku menuju pisau pancung itu, dan tangan ku bersiap melepaskan bahu Yuuta.
Dan tidak terjadi apa-apa, aku dapat melewati pisau pancung itu dengan selamat_
“Athena awas!!”
Jessica mendorong punggung ku. Aku tersungkur setelah mendorong Yuuta. Kereta manusia ini, porak-poranda. Antara gerbongnya tidak lagi bergandengan. Lututku mendarat lebih dahulu ke lantai lapangan. Tergores sedikit, dan keluar darah dari kulit yang terbuka. Aku terduduk menghadap ke terowongan yang lebih mirip mesin pancung itu.
Tidak mempercayai apa yang aku lihat. Dua lengan berkulit putih bersih, menyemburkan darah ke angkasa. Tangan itu menggelepar-lepar di atas lantai lapangan. Darahnya mengalir ke tempat aku terduduk. Menggenang di sekitar ku. Perlahan pisau pancung itu terangkat. Belum sampai atas dan terhenti, aku sudah melihat sepatu putih Jessica yang kini memerah. Aku segera berdiri untuk benar-benar memastikan itu bukan lengan Jessica.
Terlambat. Darah dari lengannya pun, menyembur ke wajah dan rambutnya. Matanya membelalak tidak percaya, kini lengannya sudah tiada. Dia melangkah ke belakang, sambil menggelengkan kepalanya. Tidak, tidak mungkin, rintihnya terus menerus sambil melihati kedua lengannya yang terputus. Aku mencoba menghentikan darahnya dengan tangan ku. Menutupi apa yang mengalir terus menerus dari lengannya.
Semua murid berlarian menjauhi kami. Mereka tidak mampu melihat lengan Jessica yang masih bergelinjang di lantai lapangan. Jessica tidak bertahan, dia jatuh, tubuhnya tidak tertopang. Aku menangkap dan menggeletakkannya. Menopang kepalanya agar tidak berbenturan dengan bumi. “Pak Darma, tolong!”
Penemuan sebuah pulau terpencil dengan begitu banyak mayat anak remaja yang terkubur menggegerkan, bukanhanya tingkat nasional akan tetapi seluruh dunia. Wajah kami bertujuh tepampang dalam segala bentuk berita dengan berbagai macam bahasa, yang isinya sama saja: Ketujuh remaja ini berhasil selamat dari permainan mematikan yang diciptakan seorang guru maniak. Banyak yang mengira kami mengarang cerita. Mereka kira kami hanya lah sekumpulan anak remaja yang mengkonsumsi narkoba dan tidak sengaja membunuh teman sekelas karena di dalam pengaruh obat-obatan.Tentu saja Eden pasang badan dan menjelaskan dengan argument yang rapi, lengkap dengan bukti-bukti bahwa kami tidak asal mengarang cerita saja. Deon menyalahkan Eden karena terlalu membeberkan seluruh cerita tanpa filter kepada orang-orang yang asal, sehingga kalimat-kalimat ambigu bisa menjadi dasar lahirnya teori-teori konspirasi tidak masuk akal. “Kalian tahu kan, kasus ini murni kegilaan Pak Darma, tidak ada teori konspirasi yang me
Bab 36; Angin Berhembus ke RumahTerik matahari terhalang dedauan yang bertengger di tangkai-tangkai. Angin yang halus menyentuh tengkuk, kusadari ia membawa aroma bunga lili yang menarikku ke dalam malam itu. Tak ingin kuulangi bagaimana rasa di dalam hati menghadapi dirinya yang tak berhati. Tapi apakah itu terlambat? Aroma bunga lili sudah mengetuk rasa takutku sedari tadi.“Athena..” dipanggilnya namaku, suaranya lembut datang dari tenkuk.Tubuh ini membeku, berdiri, membujur kaku di balik pepohonan. Kedua lutut menggeras tak mampu bergerak, aku kepalkan kedua tanganku yang bergetar. Mata ini hanya tertuju pada satu titik yaitu gerbang sekolah. Aku tidak mendengar derap kaki mendekat. Semuanya hening hanya ada suara angin yang menggerakkan ranting dan daun. Aku yakin aku seharusnya tidak menemukan sesuatu yang mengendap-endap mendekati. Aroma bunga Lily of the valley dari semakin menguat, bunga Lily yang duluku cium dari saputangan, seolah mencekik tenggorokan. Harum sekali sampai
Pagi-pagi buta Yuuta dan Bara telah mencari batang pohon yang kokoh dan meraut di salah satu ujungnya. Kemala dan Innana menyiapkan makanan, dan sisanya mencari seresah daun kering dan ranting pohon untuk membuat api, lagi. Semuanya bekerja dalam diam, ditemani kicauan burung yang menggema dari dalam hutan.Udara dingin bekas semalam masih melayang-layang, hembusan nafas kami terlihat jelas, seperti asap, teradu dengan suhu hangat dalam tubuh. Hari keempat, hiruk-pikuk di dalam benakku bertambah empat kali dari hari sebelumnya. Bagaimana jika tidak ada jalan keluar? Bagaimana jika pulau ini tidak dilewati nelayan atau kapal apa pun itu? Bagaimana jika Pak Darma berhasil menemukan kami di sini? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan dia di sini? atau pertanyaan yang lebih mengganggu, bisakah aku membunuh Pak Darma jika bertemu kembali? Aku dikeroyok pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku sendiri. Jika aku memiliki tubuh di dalam pikiranku sendiri, mungkin aku sudah babak belu
“Dia baik-baik saja kan?” “Tidak perlu khawatir, dia masih bernafas.” “Kita perlu tidak bangunkan dia?” “Jangan.” “Tapi aku ingin dia bangun. Aku ingin dia tahu di mana kita sekarang.” Terganggu dengan keributan, aku membuka kelopak mataku perlahan. Yang pertama aku sadari ternyata rembulan sudah tergantikan oleh matahari. Di hadapanku teman-teman yang kuantar kepergiannya di depan gerbang. Ada Yuuta, Kemala dan Deon. Melihat aku mulai sadarkan diri, mereka berucap sukur dan tersenyum bersamaan. Seperti biasa Kemala dengan rasa cemas yang berlebihan, seketika menyambar tubuhku yang terlentang sesudah tahu aku tersadar. “Memangnya kita di mana?” kepalaku masih pening tidak bisa mengingat jelas apa yang terjadi semalam. “Kita ada di pesisir pantai. Tenang saja, kita sudah aman di sini.” timpal Deon, semeringah senyumannya. Aku sendiri masih kebingungan, bagaimana aku bisa kembali bersama mereka, sedangkan terakhir kali ingatanku, aku sedang menodongkan moncong senjata ke kep
Manusia memang bisa memilih bagaimana caranya hidup. Melalui kehidupan dengan mengemban kehormatankah? Atau ternyata sebaliknya. Hidup dengan tidak ada penyesalan adalah keberanian yang naif. Namun hidup penuh dengan rasa penyesalan adalah si pecundang yang tak tahu berterima kasih. Menariknya bagi manusia, dia bisa memilih bagaimana caranya hidup namun tidak dengan kematian. Manusia terbiasa lupa dengan kematian, dia tidak memikirkan itu sebelum tidur. Manusia terlalu berani, yang dia pikirkan sepanjang waktu bisa dipastikan mengenai hirup pikuk kehidupan. Mau makan apa ya sehabis ini? Apakah aku bisa mengejar mimpiku? Apakah aku di jalan yang tepat? Kira-kira aku akan punya anak berapa ya? dan lainnya. Lucunya, ketika manusia disibukan dengan sandang pangan papan dan hiburan dalam kehidupan, kematian sudah menantinya di suatu waktu. Memandangi jiwa mereka sambil cekikikan karena tergelitik, lihat betapa bodohnya para manusia, mereka kira mereka hidup selamanya. Kurang lebih begitu
Dalam permainan, demi meraih kemenangan, terkadang kau harus mengorbankan ratumu sendiri. Aku tidak ada henti-hentinya memandangi gemerlap langit bertabur bintang. Menikmati sisa malam, atau mungkin bisa dibilang sisa nafas yang kumiliki. Bulan sudah bergeser dari atas langit ke arah barat, bertanda sedikit lagi malam akan terganti fajar. Bintang-bintang gemerlap meramaikan suasana antara aku dan Pak Darma. Dalam sunyinya malam, di tengah hutan, aku tidak pernah menyadari bahwa malam di bumi begitu menawan. Dalam senyap kami mempersiapkan tarian penutup. Pak Darma menyalakan sepasang lampu tembak yang terletak di sekeliling lapangan basket sebagai sumber cahaya di sekolah. Aku menggeret satu meja dan disusul sepasang kursi untuk kita bermain di tengah lapangan. Air bekas hujan yang tercampur darah segar masih menggenang. Suasananya seperti aku membawa alat pancung ke pemakamanku sendiri. Bau amis semerbak menelilingi kami berdua. Setelah semuanya tertata, kami duduk bersebrangan,