"Bagaimana tuan Paul? Tuan Harss?" Tanya pemuda berkuncir itu pada dua orang petugas polisi. Salah satunya terlihat begitu jengah sembari menggaruk-garuk alis. Edrich datang lagi bersama rekannya, tuan Harss yang jelas-jelas tidak ingin tugasnya dicampuri itu kini malah dimintai tolong untuk ikut bersama mereka berdua ke Routell. Menemani mereka dalam penyelidikan tidak berdasar dengan segudang alasan yang menurutnya tidak masuk akal.
"Lihatlah," Ucap Edrich sembari mengangkat plastik kecil berwarna merah di sela telunjuk dan ibu jarinya pada mereka, "botol kecil ini adalah hasil percobaanku dari air yang kuambil di sungai kemarin. Kalian tau apa isinya?"
Seorang petugas bernama Paul yang menemani tuan Harss menyipitkan mata karena penasaran, "Ya. Ini berisi darah." Ucap Edrich tepat di depan wajahnya.
Tuan Harss menggeleng sembari memijat keningnya, m
Hari itu, area hutan ramai dengan satuan kepolisian. Garis pembatas menyelimuti titik dimana mayat ditemukan. Beberapa warga yang memang tinggal tidak jauh dari sana ikut melihat tanpa berani mendekat. Memperhatikan sosok yang tergeletak itu dengan mata miris, namun tak menunjukkan bela sungkawa barang seiris."Astaga, aku tidak menyangka tuan Wod akan berakhir seperti ini," Bisik salah satu warga. Gerald yang berdiri diantara mereka secara tidak sengaja ikut mendengar."Hartanya yang melimpah itu sepertinya tidak bisa membuat dia bahagia, ya?" tambah yang lain, "atau malah dia mati karena tersedak berliannya sendiri?""Ehemm.." Dua wanita yang sedang asyik bergunjing itu terkejut saat Gerald berdeham, "maaf menganggu, tapi apakah kalian mau memberitahu saya informasi mengenai tuan Wod selama masa hidupnya?"Ibu-ibu itu
"Kemudian dia terus menatapku tanpa berkedip sekalipun. Bayangkan jika kau ada di posisiku, Gerald! Mengerikan sekali, bukan?" Edrich terus berceloteh pada manusia berambut acak yang melamun sedari tadi. Pandangan pria itu menerawang ke depan tanpa memperhatikan manusia yang tengah berbicara dengannya. Pikirannya masih terhanyut pada potongan-potongan misteri yang perlahan membentuk sebuah kenyataan."Apakah tuan Mark yang telah melakukannya?""Gerald? Hey, apa kau mendengarkanku?" Dua buah tangan Edrich melambai di depan wajah, Gerald seketika tersadar dari lamunannya."Hm?" Deham Gerald pada Edrich, menunjukkan raut muka seperti tidak terjadi apa-apa."Ah, kau tidak mendengarkanku sedari tadi rupanya," ujar Edrich. Ia semakin yakin kalau Gerald menyembunyikan sesuatu darinya, dia harus memastikannya sendiri."Gerald, apa kau mengetahui hal lain yang tidak aku ketahui?" Tanya Edrich. Me
"Kau yakin dengan ini kita bisa menangkap pelakunya?"Edrich tidak menjawab pertanyaan tuan Harss, dia malah tersenyum lebar sembari menatap hasil yang telah mereka buat. Berlembar kertas di atas meja itu mencantumkan adanya obat gratis bagi suatu penyakit kulit langka, dan alamat yang ia beri adalah rumahnya sendiri."Tentu saja. Dari informasi yang kita dapatkan, anak dari pelaku memiliki penyakit langka yang begitu mahal harga obatnya. Kalian tidak perlu khawatir akan kedatangan orang lain, karena penyakit anak itu hanya ada satu-satunya di wilayah ini. Dan dengan menciptakan penawaran menarik, kita sama saja membuat pelaku untuk mendatangi perangkapnya sendiri." Ucap Edrich, dalam hal ini dia juga tak berbohong soal obat yang ia terangkan. Gerald dan Harss sudah menyetujui untuk membantu biaya pengobatan anak sang pelaku bila ia berhasil tertangkap."Jadi sekarang," Edrich meraih tumpukan selebaran itu dan membaginya
Desing angin menghantarkan dingin yang menyelimuti langit temaram. Daun yang berguguran terbang terseret hembusan. Bagai mengerti kepedihan yang terjadi, awan menggelap menahan jutaan pilu. Menyertai tangis pedih seorang pria renta yang memeluk erat tubuh lemah putri tercinta yang tengah menjemput ajalnya. "Ayah.." Bisik lembut itu terdengar mengiris lubuk hati, sang ayah menggenggam erat tangan kurus yang membelai pipi. Dingin, jemari kecilnya terasa begitu dingin. "Jangan menangis.." Namun hiburan sang putri malah membuat air di kelopak mata cekung itu mengalir semakin deras, "aku tidak apa-apa. Ayah jangan bersedih.." "Sirly.." Dengan bergetar, pria tua itu memanggil. Berharap perlahan gadis kecilnya itu kembali mengerjapkan mata cantiknya pada dirinya. Tapi iris yang selalu memandangnya penuh cinta itu semakin l
"AAAARGHHH!!"Pagi itu, castil Elmardillo dikejutkan oleh sebuah teriakan yang berasal dari rumah tanaman. Martha kebingungan ketika menghadapi Vinz yang terus menjerit-jerit, ketakutan saat pertama kali mata ketiganya terbuka dengan jelas."Kemarilah, anak manis!" Sedangkan sosok dengan gaun noni belanda itu tidak hentinya mengerjai. Terus mendekati bocah yang sebentar lagi pingsan karena penampilannya yang bersimbah darah dengan wajah yang hancur sebelah."TIDAK, JANGAN DEKATI AKU!" Vinz berlarian, kemudian berakhir bersembunyi di bawah meja.Martha dengan cepat menghadang hantu noni belanda itu. "Hentikan, Dory! Jangan membuatnya semakin ketakutan!" Membawanya bertatap muka dan memberinya banyak sekali omelan."Ada apa denganmu, Martha? Aku hanya ingin bermain de
Sebuah rumah besar berarsitektur tradisional berdiri tepat di kaki gunung. Vinz yang terlalu bersemangat langsung berlarian masuk ke dalam halamannya yang luas. Terlihat begitu senang dengan suasana pegunungan yang segar menenangkan. Hingga orang-orang itu berjalan mengiringi mereka lalu perlahan membukakan pintu ganda besar, tiba-tiba pemandangan lain terpampang di depan mata dan membuat Vinz seketika terperangah."Silahkan, tuan." Ujar salah satu orang diantara mereka. Satu persatu dari mereka masuk, menyisakan bocah kecil yang berdiri kaku di depan pintu dengan mulut terbuka lebar."Ayo masuk," Derl pun harus menggandeng Vinz agar masuk ke dalam. Meski bocah kecil itu sempat terkejut, akhirnya ia mengikuti Derl memasuki portal dunia lain tersebut.Di dalam sana, keadaan begitu berbalik dengan dunia nyata. Di luar masih terang benderang berkat panasn
BRAKKK! "Edrich! Hey, Edrich! Bangun!" Gerald spontan menepuk-nepuk wajah Edrich dengan panik. Saking paniknya, hingga ia tidak sadar memukul rahang pria berkuncir itu dengan keras.PLAK!"Ssshh..." Namun hal itu berhasil membangunkan sang rekan. Gerald kemudian membantu Edrich duduk, sedikit kasian melihat pria itu mengelus-elus pipinya yang merah."Apa yang kau lihat Edrich? Kenapa kau sampai pingsan begini??" Pertanyaan demi pertanyaan sudah memenuhi kepala Edrich yang masih berputar-putar. Namun setelah tersadar, Edrich dengan segera menatap ke sekeliling ruangan."Hey, ada apa Edrich??" Pria berkuncir itu sejenak tidak menjawab, hingga akhirnya menjatuhkan pandangan serius Gerald."Ikut aku keluar," Ucapnya. Gerald pun mengikuti Edrich yang berjalan tergesa meninggalkan rumah.Dibawah sebuah pohon yang rindang, Edrich terduduk menerawang, "aku meli
Pria bertopi itu berjalan menembus keramaian. Edrich, di tengah rasa pusing yang mendera kepalanya berusaha mengikuti pria itu dari belakang. Bersembunyi di balik tembok ketika pria yang ia incar menoleh ke sekeliling sebelum memasuki sebuah gang sempit di sebrang jalan.Tidak ada yang memperhatikannya. Bahkan banyaknya manusia yang berlalu lalang terlihat tidak peduli dengan apapun disana, termasuk pria bertopi besar yang begitu mencurigakan. Tapi Edrich tetap menunggu tanpa melepaskan pandangannya sekalipun. Terus memperhatikan dengan saksama lorong sempit itu, hingga akhirnya seseorang keluar dari sana.'Ah, itu dia!' batin Edrich. Namun yang ia dapati bukanlah pria tadi. Melainkan seorang perempuan tua yang mengenakan jas lusuh beserta tongkat yang membantu jalannya."Apa? Bagaimana mana bisa dia.. Merubah wujudnya?!" Edrich terkejut denga