Yuriko terbangun dari tidurnya. Dia melihat di sekelilingnya para rombongan Im-Tech tertidur pulas di samping hidangan yang tersisa sebagian.
“Orang Im-Tech sangat pemalas.” gumam Yuriko sembari menguap lega, “Lebih baik aku cari angin segar dulu.”
**
Jessie berjalan di tengah hutan dengan menenteng shotgun kesayangannya. Dia mendapati sebuah borgol leher bekas dengan beberapa lembar potongan perban berserakan di atas rerumputan.
“Ternyata benar dugaanku, dasar adik bodoh!” batin Jessie. Dia lalu menoleh ke setiap arah seolah mencari tahu jejak Dhea, “Jika perempuan itu berhasil kabur, seharusnya dia meninggalkan jejaknya di sini.” gumam Jessie curiga.
“Sebaiknya aku mengabari orang itu.” imbuh Jessie sembari membuka tablet hologramnya.
Selang beberapa menit, Yuriko berpapasan dengan Jessie yang tengah menghalangi jalannya. Di tengah situasi yang sangat canggung, mereka hanya saling bertatapan sinis.
“Minggir kau panda WG! Jangan menghalangi jalanku!” bentak Jessie sembari menodongkan shotgun ke arah Yuriko.
Yuriko sedikit pun tak gentar. Dia malah asyik mencamil bungkusan snack, “Sebaiknya kau tidak mencari masalah denganku, Jessie Lavender!”
“Minggir!! Kubunuh kau!” ancam Jessie serius. Sementara Yuriko tetap tenang.
Jessie yang dikuasai amarah tanpa berpikir panjang menembak Yuriko.
Dhuar!
Cekrek-krek.
Secara mengejutkan, peluru shotgun Jessie langsung dilahap Yuriko sebelum tepat mengenainya.
Jessie terkejut. Dia mulai panik sembari meremas sebatang rokok yang masih menyala.
Yuriko menatap Jessie sembari meludahkan peluru tersebut ke arahnya.
“Fuuh!”
“Aku tak ingin berurusan denganmu, kau lemah! Kau tak mungkin bisa mengalahkanku!”
Jessie menyeringai sembari menenteng kembali shotgun-nya, “Baiklah, aku mengalah!” dia lalu berjalan mendekat Yuriko sembari berbisik lirih ke arahnya, “Sebaiknya kau berhati-hatilah setelah melahap peluru itu. Dan ingat baik-baik! WG akan hancur selama data penelitian Robert Hans masih berada di tanganku!”
**
Di balik sebuah tembok setengah hangus terbakar, tampak sisa puing-puing bangunan, beberapa perabotan dan pecahan kaca berserakan di lantai. Tak jauh berjalan beberapa langkah, tampak sebuah mesin waktu masih bertengger gagah dengan sambungan terputus, dan kabel terurai berantakan.
Mata Lenna tampak berbinar-binar. Dia sangat terpukau, sampai tiada henti mengamati sambil meraba mesin waktu tersebut, “Sangat lavender!”
Lima belas menit sebelumnya.
Lenna tampak sinis, dia seakan ragu dengan ucapan Ernest. “Berhentilah omong kosong mumi WG! Aku bukan seperti kalian para serangga tanpa otak!”
Dengan sekejap, Trixie tiba-tiba menyambar Ernest dengan stun-gun tisu tepat di depan matanya, “Jika kau berani berbohong di hadapan Tuan Putri, akan kuhancurkan kedua mata birumu ini!”
Ernest terdiam sejenak. Dia berpikir mencari jawaban yang tepat untuk meyakinkan mereka berdua. “Hanya itu satu-satunya petunjuk yang bisa kuberikan. Jika Sachi dan Robert Hans berhasil melakukan perjalanan waktu, kita tak akan pernah tahu ke mana dan di mana mereka pergi, kita hanya perlu menunggu sampai mereka kembali.”
“Jadi, mengapa mereka pergi ke empat puluh ribu tahun lalu? Ada apa di masa itu?” sahut Trixie penasaran.
“Tak ada alasan pasti, hanya itu petunjuk dariku. Jika kalian meragukannya, sayangnya aku tak memiliki petunjuk lain walaupun kalian memaksaku!” sanggah Ernest.
Raut wajah Lenna tampak tak puas, dia terus melirik ke arah Ernest dengan tatapan tajam.
“Baiklah, antarkan kami menuju ruangan mesin waktu!” pinta Trixie menuruti keinginan Lenna.
“Oke, akan kuantar kalian!”
Setelah puas mengamati mesin waktu, Lenna berjalan-jalan santai mengamati sekitarnya. Mood Lenna perlahan membaik, dia tampak lebih ceria dari sebelumnya.
“Trixie!” Lenna memanggil.
Sebagai tangan kanan, dengan sekejap Trixie langsung memenuhi panggilan dan berlutut di hadapan Lenna.
“Perintahkan beberapa orang yang tak ikut menyantap hidangan agar membantuku merapikan tempat ini!”
“Baik Tuan Putri! Saya akan ….”
“Panggil juga Yuriko dan juga Jessie!” imbuh Lenna, “Setelah itu kau juga bantu aku membenahi mesin waktu ini!”
“Maafkan saya, Tuan Putri!” sanggah Trixie, “Tapi, apakah Anda sendiri yang akan turun tangan membenahi mesin waktu ini?”
“Tidak!”
“Jangan lupa bahwa kau dan aku juga seorang ilmuan, kita akan membenahi mesin ini bersama-sama!”
Trixie, si gadis dengan wajah tidur spontan membuka matanya. Dia tampak sangat riang bersemangat. Matanya yang bulat, berbinar merah merona karena terpesona dengan ucapan Lenna Lavender.
“Matamu sangat lavender!” puji Lenna tiba-tiba. Dia lalu melepas topi dan mengusap lembut kepala Trixie, “Anggap saja ini hadiah untukmu.”
Trixie meleleh. Dia tampak lebih segar dan langsung berangkat menjalankan perintah.
Beberapa menit berlalu.
Jessie, Yuriko, para pelayan dan segelintir rombongan Im-Tech telah berada di tempat.
“Selain Jessie dan Yuriko, enam orang pelayan, empat orang pasukan dan dua orang ilmuan siap melayani Anda, Tuan Putri!” ucap Trixie sambil berlutut.
“Setelah ini, perkenalkan diri kalian masing-masing!” ucap Lenna, “Sekarang tak ada waktu lagi! Sementara kalian telanlah pil makanan ini dan bantu bereskan tempat ini! Untuk para ilmuan bantu aku membenahi mesin waktu!”
Setelah Trixie membagikan pil makanan, mereka tampak lebih bersemangat, bekerja saling bahu-membahu membereskan ruangan. Sementara Jessie dengan sukarela membantu sang adik, Lenna. Berbeda dengan Yuriko, dia tampak terpaksa membantu membereskan ruangan.
Di tengah kesibukan Lenna membenahi mesin waktu, Jessie tiba-tiba mengawali obrolan.
“Lenna, tak biasanya kau bersemangat seperti ini.” ucap Jessie sembari merakit komputer, “Apa yang membuatmu tertarik dengan mesin waktu ini?”
Lenna yang kala itu tengah memperbaiki komponen saluran portal, dia berhenti sejenak. Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan, “Robert Hans.”
Trixie terkejut. Dia spontan melirik ke arah Lenna.
“Aku ingin bertemu dengan pembuat mesin waktu menakjubkan ini, bukan untuk membawanya ke WG. Aku ingin mengajaknya bergabung dengan Im-Tech … walau sepertinya tidak mungkin.” imbuh Lenna berterus terang.
Jessie tersenyum sembari menggoda Lenna. “Jadi, kau ingin bertemu Robert Hans? Hanya itu?”
“Apa maksudmu?” sanggah Lenna sinis.
“Mengapa kau antusias sekali?”
Lenna terdiam kehabisan kata-kata, wajahnya sedikit memerah tersipu malu. Di sisi lain, Trixie tampak sangat kesal, perasaannya panas berapi-api.
“Akan kubunuh kau, Robert Hans!” batinnya.
**
Di tengah kesibukan membersihkan puing-puing ruangan, seorang pelayan tak sengaja menemukan sebuah bola kristal tertimbun reruntuhan.
“Bola apa ini?” gumamnya penasaran.
Tanpa berpikir panjang, bola itu langsung diambilnya begitu saja tanpa ada seorang pun yang tahu. Dia lalu diam-diam menyimpannya ke dalam tas ransel dan melanjutkan bersih-bersih seolah tidak terjadi apa-apa.
***
Di bawah pepohonan rindang. Dengan membawa dua botol mineral, pria berambut biru dengan santainya duduk di sebelah Ernest yang tengah asyik menonton video dari tablet hologramnya. Sambil meneguk botol minuman, pria itu penasaran mengamati raut wajah Ernest yang tak biasanya tampak serius. “Kau serius sekali,” ucap pria itu mengawali obrolan. Sementara Ernest tetap diam tak menggubris. “Minumlah!” ucap pria itu sembari menyodorkan sebotol minuman ke arahnya. “Bisakah kau tidak menggangguku?” sahut Ernest ketus. “Membosankan.” jawab pria itu asal. Situasi menjadi sangat canggung. Ernest masih tetap sibuk dengan tablet hologramnya. “Tak kusangka kau mengizinkan mereka memasuki ruang mesin waktu. Aku penasaran, sebenarnya apa tujuanmu?” tanya pria itu memancing, sementara Ernest dengan sinis menatap pria tersebut. “Tak ada yang perlu kujelaskan. Bisakah kau tak terus-menerus mencampuri urusan WG?” Pria itu menyerin
Sebuah bayangan semu perlahan mendekat. Bayangan putih bersinar itu perlahan memperjelas wujudnya. Sebuah bayangan dengan wajah samar yang tak pernah dikenali Robert Hans sebelumnya. Terdengar suara lirih seorang wanita memanggil namanya. “Robert Hans ….” Suara itu terus memanggilnya berulang-ulang hingga terdengar semakin jelas. Wanita misterius itu tiba-tiba merintih, memohon di hadapan Hans dengan suara mendayu-dayu, “Robert Hans, tolonglah! Biarkan aku membunuhmu!” ** Tiga hari berlalu, Hans akhirnya terbangun dari pingsan dan perlahan membuka matanya. “Mimpi yang sangat aneh.” gumam Hans lirih, matanya masih tampak sayu. Hembusan angin segar, ditambah hangatnya sinar mentari, menambah nikmatnya suasana tenang, membuat Hans lebih memilih rebahan, malas beranjak dari tempatnya. Hans kala itu masih setengah sadar, dia merasa ada yang janggal. Dia mencium semerbak aroma sangat wangi yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
Hans bergeming. Tatapan matanya yang kosong seolah tak ingin ada orang lain yang mengganggunya. Neirda memahami apa yang sedang dipikirkan Hans, dia mencoba berusaha menghiburnya. “Kau masih tak percaya dengan apa yang kau alami saat ini, tapi inilah kenyataannya. Neirda akan membantu menjawab apa yang paling kau cemaskan dalam pikiranmu.” Hans terkejut. Dia spontan melirik ke arah Neirda, “Kau bisa membaca pikiranku?” Neirda mengangguk dan mulai menjelaskan. “Sebuah mesin waktu yang kau ciptakan ternyata mengalami gangguan, itu karena kau lupa belum men-setting waktu dan tempat sebelum mengaktifkannya. Itulah mengapa, antara mesin waktu dan perputaran waktu alam ini mengalami disinkronisasi. Kau bisa menyamakannya dengan korsleting pada listrik. Kau juga mendengar dari dalam portal terdengar bunyi ledakan, ‘kan? Ledakan itu berasal dari alarm waktu Neirda.” “Alarm waktu? Aku sama sekali tidak paham maksudmu! Bisa kau jelaskan padaku?” sahut
Gadis kecil si penjebak spontan melarikan diri, sementara Hans panik di tengah kerumunan para bandit yang tiba-tiba mengepungnya. Salah seorang bandit berjalan mendekat menghampiri Hans, “Serahkan seluruh harta kalian! Atau kubunuh kalian di sini!” “Harta? Aku bahkan tak membawa uang se persen pun!” bantah Hans. “Jangan bercanda! Lihat wanita di belakangmu itu!” Hans melirik ke arah Neirda. “Lihat perhiasan mahal di sekujur tubuhnya! Kau masih mengelak tidak membawa harta?” Bandit itu lalu berjalan menghampiri Neirda. Dia seketika mengacungkan sebuah tombak ke arah mukanya, “Serahkan seluruh perhiasanmu atau ….” Bruk! Tanpa sebab jelas, bandit tersebut tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri. Xena terkejut. Dia lalu memutuskan membuka topeng dan memperlihatkan wajah aslinya. Hans terpana. Matanya menatap kaku ke arah perempuan Yudolt berambut silver pendek , dan bermata hitam lebar tersebut. X
Hans terbangun dari pingsan, dia perlahan membuka matanya. Tampak beberapa helai rambut silver menutupi wajah putih Xena yang bersandar di pipi Hans. “Xe-Xena?” Hans terkejut. Dia juga tak sadar berbaring di pangkuan Xena. “Pangeranku, kau sudah siuman.” ucap suara lembut Xena sambil mengusap kepala Hans. “A-apa yang kau lakukan? Di mana kita?” “Kita berada di dalam istana Raja Zourga.” jawab Xena. “Hahh?” Hans menyadari seluruh tubuh Xena lebam, penuh luka sayatan dan bercucuran darah hitam pekat. “Tunggu, mengapa kau bisa terluka seperti itu?” tanya Hans keheranan. Xena hanya tersenyum tak menjawab. Hans bertambah panik. Dia mengamati sekitar, tampak beberapa pasukan dan pengawal kerajaan berkumpul mengerumuninya. Hans spontan berdiri, dia tampak malu menjadi pusat perhatian. Prak, prak prak! Di tengah suasana keheningan terdengar beberapa suara langkah kaki menuju ke arahnya. Seorang Y
Seluruh Halona gempar. Mereka dibuat takjub dengan Neirda yang dikawal puluhan ribu roh legendaris melayang-melayang di atas langit. “S-Sang Dewi? Para roh leluhur?” ucap salah seorang penduduk, “Tidak mungkin! Mustahil!” “Bangsa Yudolt tak bisa melayang ’kan? Dia Sang legenda, Dewi Mil’eria! Pelindung Hallovach!” sahut salah seorang penduduk Yudolt meyakinkan. Mereka dengan segera langsung tunduk bersujud di tempat masing-masing. “Sembah kami, Yang Mulia Mil’eria! Sembah kami, Yang Mulia Mil’eria!” Nina menatap lurus mata cemas Noel, “Hm! Tak biasanya kau menunjukkan ekspresi seperti itu! Julukan Penyihir Tujuh tak ada artinya lagi!” Noel tetap diam tak membalas. Pandangan matanya hanya terfokus ke arah Neirda, “Dewi Mil’eria? Tidak mungkin! Dewi kehancuran yang muncul dua ratus ribu tahun lalu!” Aura Neirda semakin terasa kuat mengikat, Noel spontan tunduk bertekuk lutut, lalu bersujud. Keringat Noel bercucuran deras, sekujur tubuhny
Dalam keadaan terdesak, di tengah pilihan sulit Xena menghela napas panjang. Dia menenangkan diri mencoba berpikir. Jika dirinya tak segera menyelamatkan Robert Hans, balon tersebut akan meledak membunuh sang pujaan hati. Namun, jika dia nekat menyelamatkan Hans, Nimbus Eater akan hilang dan tak lagi dapat melindunginya. “Apa yang harus kulakukan?” batin Xena cemas. Nina tampak puas menyeringai, “Bika-bika-bika-xi-xi-xi … hanya itu kemampuanmu? Sudah mau menyerah rupanya … mau pipis di celana?” ucap Nina membalikkan ucapan Xena. “Sial! Akan kubunuh dua kali gadis itu!” geram Xena kesal. Dia lalu mencoba menganalisis sembari mengamati situasi, “Nimbus Eater hanya aktif saat aku diam dan berkonsentrasi penuh, tapi sangat menguras mana … biqur milikku juga tak berguna, jika aku langsung menyerap balon itu tentunya akan langsung meledak. Jadi, memang tak ada pilihan lain! Aku harus menyadarkan Robert Hans!” “
Di suatu tempat, di sebuah kota tak berpenghuni. “A-ampuni kami, Tuan!” sekelompok pria Yudolt memohon belas kasih dengan duduk bersimpuh di bawah kaki seorang pria misterius berjubah ungu dengan jenggot merah bercabang tiga panjang menyentuh tanah. “Zam! Kau berani berbohong padaku! Tak ada pilihan lain selain membunuhmu! Akan kubantai juga seluruh keluargamu!” bentak pria jubah ungu tersebut mengancam. “A-ampuni kami, Tuan! Perempuan misterius itu benar-benar berada di kota ini! Kami Melihat dengan mata kepalaku sendiri!” sanggah pria Yudolt dengan memelas, sangat ketakutan, mencoba meyakinkan. “Kami juga memiliki bukti yang ditinggalkan perempuan itu!” “Bukti?” “Tunjukkan padaku!” pinta si pria jubah ungu tersebut. Pria Yudolt itu menunjukkan sebuah batang pohon yang telah berlubang bekas serangan. Pria jubah ungu itu tampak serius mengamati sambil meraba lubang bekas serangan tersebut, “Lubang ini tampak baru, tapi sangat a