Seorang pria berambut biru acak-acakan tiba-tiba mengayun-ayunkan sebuah cangkul garpu dengan ujung yang terbakar api tepat ke arah Trixie. Dia tampak begitu kesal dan menyerang asal-asalan.
Tanpa perintah dari Lenna, Trixie hanya menghindar. Dia tak dapat menghubungi Lenna setelah alat pemancar tablet hologram miliknya mendadak dihancurkan pria tersebut. Begitu pula dengan para rombongan, mereka terpaksa diam tak mengambil tindakan.
Pria tersebut mengenakan jas lab lusuh berlogo WG-Tech. Dia bersama dengan dua unit robot tiba-tiba muncul menyerang Trixie. Pria itu terkejut dan berhenti setelah menyadari logo Im-Tech terpampang jelas di topi Trixie, “Im-Tech?”
Pria itu lalu menurunkan senjata, diikuti dua unit robot di belakangnya.
“Akhirnya kalian datang,”
“Terima kasih telah ….” ucap pria itu terpotong.
“Tak perlu basa-basi!” sahut Lenna dari jauh. Seluruh mata tertuju pada Lenna. Dia lalu berjalan mendekat menghampiri pria tersebut, “Trixie!!”
Dengan sekejap Trixie datang memenuhi panggilan. Tak ada petir, tak ada angin, Trixie justru tiba-tiba berbalik mengarahkan pedang tisunya tepat ke leher Lenna.
Spontan Lenna terkejut dan sangat kebingungan, “Apa maksudnya ini? Trixie!!”
“Siapa kau?”
“Beraninya kau berlagak seperti Tuan Putri!” ucap Trixie serius.
Lenna semakin geram, namun dia mencoba berpikir mencari penyebabnya.
Spontan Lenna teringat. Dia lupa mengubah penampilannya kembali seperti semula, “Trixie Chica Durmiente! Jika kau berani menentangku ….”
Trixie terkejut. Begitu juga dengan beberapa orang Im-Tech di dekatnya.
Saking ketakutannya, spontan Trixie bertekuk lutut di hadapan Lenna, diikuti beberapa orang Im-Tech di dekatnya.
Dengan keringat mengucur deras, Trixie sangat tak berani mengangkat wajahnya menghadap Lenna.
“Ehm!”
“Lupakan saja.” ucap Lenna sembari menghela napas panjang.
“Maafkan saya, Tuan Putri! Saya tidak mengerti jika Anda dapat mengubah penampilan.”
Lenna tak menjawab, pandangannya hanya terfokus kepada pria tersebut.
“Jika Anda berkenan, saya akan menghabisi nyawa saya sendiri di sini!” imbuh Trixie merasa bersalah.
“Pergilah!! Kau merusak pemandangan di sini!” ketus Lenna arogan.
Bagi Trixie perkataan pedas Lenna merupakan bentuk nyata dari kasih sayangnya, “Terima kasih Tuan Putri, saya akan melayani Anda seumur hidup!”
**
Dengan pandangan jijik, Lenna langsung membuang muka setelah menatap wajah pria tersebut, “Trixie!”
Dengan sekejap Trixie memenuhi panggilan Lenna. Seperti biasa, Lenna hanya melirik namun Trixie sangat mengerti apa yang dimaksud Lenna.
“Apa yang terjadi di sini? Di mana Robert Hans?” tanya Trixie spontan pada intinya.
Pria itu tak langsung menjawab. Sorot matanya lalu bergerak tajam mengamati Trixie, Lenna dan segelintir rombongan Im-Tech di hadapannya.
“Mesin waktu itu …” ucap pria tersebut lirih dengan gugup, sementara Lenna tampak serius mengamati gerak bibirnya.
“Me-me-me-menghan-cur-kan … bo-bo-la, menghilang!” imbuhnya dengan terbata-bata dan tidak jelas.
Trixie sangat kesal. Spontan pria itu didorongnya hingga terjatuh, lalu diarahkannya sebilah pedang tisu ke arah lehernya, “Bicara yang jelas atau kubunuh kau!!”
Pria itu ketakutan. Dia menelan ludah sembari mencoba mengulangi perkataannya, “Me-me-mesin waktu ….”
“Jadi begitu!” sahut Lenna tiba-tiba mencoba menyimpulkan, “Robert Hans masuk ke dalam mesin waktu, lalu dia sengaja menghilangkan jejak dengan menghancurkan seisi ruangan ini menggunakan sebuah peledak berbentuk bola.”
Trixie tampak kagum dengan kesimpulan Lenna, “Tuan Putri Lenna memang luar biasa!” begitu pula dengan rombongan Im-Tech di dekatnya juga turut menggelengkan kepala terkagum.
“Sebelum itu dia membunuh si Robot Karat WG, dan ….”
“Itu tidak benar!” sahut seorang perempuan tiba-tiba dari kejauhan.
Seluruh sorot mata tertuju pada perempuan berambut pirang acak-acakan dengan jas lab lusuh berlogo WG-Tech, Ernest Voynest.
**
Dengan bantuan alat penyangga, Ernest berjalan tertatih-tatih. Salah satu lengannya putus dan beberapa bagian tubuhnya tampak terbungkus kain perban.
“Sachi masih hidup!” ucap Ernest membuat Lenna terkejut.
“Apa maksudmu?” sahut Trixie, menggantikan Lenna berbicara.
Ernest menundukkan pandangannya ke bawah, “Lebih baik kalian pergi dari tempat ini, karena ….”
Hembusan angin laut mendadak terasa kencang bertiup menggerisik dedaunan, menambah sensasi segar merasuk melalui sela-sela baju. Di pinggiran pantai, tampak seekor bangau melahap beberapa ikan kecil yang berenang-renang di tepian.
“Apa yang kalian cari sudah tidak ada di sini.” ucap Ernest berterus terang.
Lenna yang diliputi penasaran berjalan menghampiri Ernest, “Maksudmu … mereka berhasil menjelajah waktu?”
Ernest tak langsung menjawab. Dia menatap lurus ke dalam mata Lenna selama beberapa detik, “Kau cukup genius Lenna Lavender! Aku yakin kau tak akan percaya … Sachi telah menculik Robert Hans dan mereka telah menuju ke masa empat puluh ribu tahun yang lalu!”
***
Yuriko terbangun dari tidurnya. Dia melihat di sekelilingnya para rombongan Im-Tech tertidur pulas di samping hidangan yang tersisa sebagian. “Orang Im-Tech sangat pemalas.” gumam Yuriko sembari menguap lega, “Lebih baik aku cari angin segar dulu.” ** Jessie berjalan di tengah hutan dengan menenteng shotgun kesayangannya. Dia mendapati sebuah borgol leher bekas dengan beberapa lembar potongan perban berserakan di atas rerumputan. “Ternyata benar dugaanku, dasar adik bodoh!” batin Jessie. Dia lalu menoleh ke setiap arah seolah mencari tahu jejak Dhea, “Jika perempuan itu berhasil kabur, seharusnya dia meninggalkan jejaknya di sini.” gumam Jessie curiga. “Sebaiknya aku mengabari orang itu.” imbuh Jessie sembari membuka tablet hologramnya. Selang beberapa menit, Yuriko berpapasan dengan Jessie yang tengah menghalangi jalannya. Di tengah situasi yang sangat canggung, mereka hanya saling bertatapan sinis. “Minggir kau panda
Di bawah pepohonan rindang. Dengan membawa dua botol mineral, pria berambut biru dengan santainya duduk di sebelah Ernest yang tengah asyik menonton video dari tablet hologramnya. Sambil meneguk botol minuman, pria itu penasaran mengamati raut wajah Ernest yang tak biasanya tampak serius. “Kau serius sekali,” ucap pria itu mengawali obrolan. Sementara Ernest tetap diam tak menggubris. “Minumlah!” ucap pria itu sembari menyodorkan sebotol minuman ke arahnya. “Bisakah kau tidak menggangguku?” sahut Ernest ketus. “Membosankan.” jawab pria itu asal. Situasi menjadi sangat canggung. Ernest masih tetap sibuk dengan tablet hologramnya. “Tak kusangka kau mengizinkan mereka memasuki ruang mesin waktu. Aku penasaran, sebenarnya apa tujuanmu?” tanya pria itu memancing, sementara Ernest dengan sinis menatap pria tersebut. “Tak ada yang perlu kujelaskan. Bisakah kau tak terus-menerus mencampuri urusan WG?” Pria itu menyerin
Sebuah bayangan semu perlahan mendekat. Bayangan putih bersinar itu perlahan memperjelas wujudnya. Sebuah bayangan dengan wajah samar yang tak pernah dikenali Robert Hans sebelumnya. Terdengar suara lirih seorang wanita memanggil namanya. “Robert Hans ….” Suara itu terus memanggilnya berulang-ulang hingga terdengar semakin jelas. Wanita misterius itu tiba-tiba merintih, memohon di hadapan Hans dengan suara mendayu-dayu, “Robert Hans, tolonglah! Biarkan aku membunuhmu!” ** Tiga hari berlalu, Hans akhirnya terbangun dari pingsan dan perlahan membuka matanya. “Mimpi yang sangat aneh.” gumam Hans lirih, matanya masih tampak sayu. Hembusan angin segar, ditambah hangatnya sinar mentari, menambah nikmatnya suasana tenang, membuat Hans lebih memilih rebahan, malas beranjak dari tempatnya. Hans kala itu masih setengah sadar, dia merasa ada yang janggal. Dia mencium semerbak aroma sangat wangi yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.
Hans bergeming. Tatapan matanya yang kosong seolah tak ingin ada orang lain yang mengganggunya. Neirda memahami apa yang sedang dipikirkan Hans, dia mencoba berusaha menghiburnya. “Kau masih tak percaya dengan apa yang kau alami saat ini, tapi inilah kenyataannya. Neirda akan membantu menjawab apa yang paling kau cemaskan dalam pikiranmu.” Hans terkejut. Dia spontan melirik ke arah Neirda, “Kau bisa membaca pikiranku?” Neirda mengangguk dan mulai menjelaskan. “Sebuah mesin waktu yang kau ciptakan ternyata mengalami gangguan, itu karena kau lupa belum men-setting waktu dan tempat sebelum mengaktifkannya. Itulah mengapa, antara mesin waktu dan perputaran waktu alam ini mengalami disinkronisasi. Kau bisa menyamakannya dengan korsleting pada listrik. Kau juga mendengar dari dalam portal terdengar bunyi ledakan, ‘kan? Ledakan itu berasal dari alarm waktu Neirda.” “Alarm waktu? Aku sama sekali tidak paham maksudmu! Bisa kau jelaskan padaku?” sahut
Gadis kecil si penjebak spontan melarikan diri, sementara Hans panik di tengah kerumunan para bandit yang tiba-tiba mengepungnya. Salah seorang bandit berjalan mendekat menghampiri Hans, “Serahkan seluruh harta kalian! Atau kubunuh kalian di sini!” “Harta? Aku bahkan tak membawa uang se persen pun!” bantah Hans. “Jangan bercanda! Lihat wanita di belakangmu itu!” Hans melirik ke arah Neirda. “Lihat perhiasan mahal di sekujur tubuhnya! Kau masih mengelak tidak membawa harta?” Bandit itu lalu berjalan menghampiri Neirda. Dia seketika mengacungkan sebuah tombak ke arah mukanya, “Serahkan seluruh perhiasanmu atau ….” Bruk! Tanpa sebab jelas, bandit tersebut tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri. Xena terkejut. Dia lalu memutuskan membuka topeng dan memperlihatkan wajah aslinya. Hans terpana. Matanya menatap kaku ke arah perempuan Yudolt berambut silver pendek , dan bermata hitam lebar tersebut. X
Hans terbangun dari pingsan, dia perlahan membuka matanya. Tampak beberapa helai rambut silver menutupi wajah putih Xena yang bersandar di pipi Hans. “Xe-Xena?” Hans terkejut. Dia juga tak sadar berbaring di pangkuan Xena. “Pangeranku, kau sudah siuman.” ucap suara lembut Xena sambil mengusap kepala Hans. “A-apa yang kau lakukan? Di mana kita?” “Kita berada di dalam istana Raja Zourga.” jawab Xena. “Hahh?” Hans menyadari seluruh tubuh Xena lebam, penuh luka sayatan dan bercucuran darah hitam pekat. “Tunggu, mengapa kau bisa terluka seperti itu?” tanya Hans keheranan. Xena hanya tersenyum tak menjawab. Hans bertambah panik. Dia mengamati sekitar, tampak beberapa pasukan dan pengawal kerajaan berkumpul mengerumuninya. Hans spontan berdiri, dia tampak malu menjadi pusat perhatian. Prak, prak prak! Di tengah suasana keheningan terdengar beberapa suara langkah kaki menuju ke arahnya. Seorang Y
Seluruh Halona gempar. Mereka dibuat takjub dengan Neirda yang dikawal puluhan ribu roh legendaris melayang-melayang di atas langit. “S-Sang Dewi? Para roh leluhur?” ucap salah seorang penduduk, “Tidak mungkin! Mustahil!” “Bangsa Yudolt tak bisa melayang ’kan? Dia Sang legenda, Dewi Mil’eria! Pelindung Hallovach!” sahut salah seorang penduduk Yudolt meyakinkan. Mereka dengan segera langsung tunduk bersujud di tempat masing-masing. “Sembah kami, Yang Mulia Mil’eria! Sembah kami, Yang Mulia Mil’eria!” Nina menatap lurus mata cemas Noel, “Hm! Tak biasanya kau menunjukkan ekspresi seperti itu! Julukan Penyihir Tujuh tak ada artinya lagi!” Noel tetap diam tak membalas. Pandangan matanya hanya terfokus ke arah Neirda, “Dewi Mil’eria? Tidak mungkin! Dewi kehancuran yang muncul dua ratus ribu tahun lalu!” Aura Neirda semakin terasa kuat mengikat, Noel spontan tunduk bertekuk lutut, lalu bersujud. Keringat Noel bercucuran deras, sekujur tubuhny
Dalam keadaan terdesak, di tengah pilihan sulit Xena menghela napas panjang. Dia menenangkan diri mencoba berpikir. Jika dirinya tak segera menyelamatkan Robert Hans, balon tersebut akan meledak membunuh sang pujaan hati. Namun, jika dia nekat menyelamatkan Hans, Nimbus Eater akan hilang dan tak lagi dapat melindunginya. “Apa yang harus kulakukan?” batin Xena cemas. Nina tampak puas menyeringai, “Bika-bika-bika-xi-xi-xi … hanya itu kemampuanmu? Sudah mau menyerah rupanya … mau pipis di celana?” ucap Nina membalikkan ucapan Xena. “Sial! Akan kubunuh dua kali gadis itu!” geram Xena kesal. Dia lalu mencoba menganalisis sembari mengamati situasi, “Nimbus Eater hanya aktif saat aku diam dan berkonsentrasi penuh, tapi sangat menguras mana … biqur milikku juga tak berguna, jika aku langsung menyerap balon itu tentunya akan langsung meledak. Jadi, memang tak ada pilihan lain! Aku harus menyadarkan Robert Hans!” “