Share

-6

Anji dan Erik menatap bocah kecil yang ada di hadapan mereka dengan serius, menyimpulkan sendiri opini mereka sembari bersnostalgia tentang apa yang terjadi pada keluarga pelaku.

"Ngelihatnya jangan begitu." Gio sedari tadi benar-benar tidak nyaman saat kedua temannya itu terus menurus menatap Livla, anak lelaki berusia enam tahun yang ditemukan oleh Damian.

Livla saja, sedari tadi gemetar ketakutan. Jika keduanya terus menatap anak itu dengan intens, Livla mungkin tidak berani buka mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada keluarganya.

"Lo ngintrogasi bocah jangan gitu juga woi, dia ketakutan," tambah Gio lagi.

Erik menatap kesal pada Gio, lalu menyuruh pemuda itu yang  bicara Livla saja. "Lo aja deh yang nanya, ngeselin mulu dari tadi."

Gio memberikan tatapan tajamnya pada sahabatnya itu, lalu menatap pada Damian memohon pertolongan. "Lo aja, Dam. Kan, lo yang nemu."

Terpaksa, Damian lah yang akhirnya mengajukan pertanyaan kepada Livla. Ditatapnya bocah itu seperti dia menemukannya untuk pertama kali, lalu memberikan soal yang menggangu mereka. "Apa yang kamu lakukan di atas plafon tadi?"

Livla menjawab dengan cepat, "Aku bersembunyi."

"Apa yang membuat kamu bersembunyi?"

"Ketakutan." Saat menjawab, pertanyaan Damian yang kedua, mata Livla sudah berkaca-kaca, dia seolah teringat kejadian kemarin malam yang membuat Ibu dan Kakaknya menghilang.

Damian kembali melanjutkan, "Lalu dimana anggota keluarga lainnya?"

"Dibawa oleh seorang kelompok penjahat, Ibu menyuruhku naik ke sana menggunakan tangga dan saat itu aku hanya mendengar kakak perempuanku dan ibu menjerit, mereka tidak menemukan aku hanya saja ... kedua orang yang paling kusayang menghilang."

"Ayah? Dia bahkan semalam tidak pulang sama sekali," tambah Livla.

"Kakak dan ibunya telah  diculik," ucap Erik.

"Apa ayahmu selalu jarang di rumah saat malam?" tanya Erik.

Livla menggeleng dan menjawab, "Dia selalu di rumah dan patuh dengan ucapan Ibu, hanya saja ... keduanya bertengkar sebelum Ayah pergi. Lalu aku tidak melihat Ayah lagi hingga kini."

"Ibunya tahu tentang mereka," ucap Damian.

"Tentang orang yang makai baju jas itu?" tanya Livla.

"Kamu lihat?" tanya Anji.

"Aku lihat, hanya sekilas. Mereka bawa senjata juga, pisau."

"Sepertinya bukti tentang mereka telah dimusnahkan, pasalnya tidak ada apa pun di sana yang mencurigakan," ujar Damian.

"Tetap lanjutkan penyelidikkan, gua nggak bakal berhenti cari tuh dalangnya," ucap Gio.

                                                                                 ****

Naya menyusun buah-buah dan sayuran di kulkas, dikagetkan karena datangnya Aslan yang tiba-tiba memeluknya dengan sedih. "Ma ... Papa dari tadi cuekkin Aslan terus, diajak main sama Aslan malah nggak mau. Mama bujuk, Papa dong."

Naya mensejajarkan tingginya dengan Aslan,  berjongkok di depan anak itu sembari  mengelus rambut putranya. "Sayang ... Papa kamu lagi sibuk kerja. Aslan nggak seharusnya gangguin Papa yah, emang Aslan nggak sayang Papa? Kalau diganggu terus, Papa nggak bisa beliin mama tas."

Aslan cemberut, bukannya membujuk papanya. Mamanya malah menasaehatinya, kini dia tidak tahu harus mengatakan apalagi selain bertanya dengan sedih. "Mama lebih sayang Papa yah dibanding, Aslan sendiri?"

Kini, Naya kikuk untuk menjawab. Dia diberatkan dengan dua pertanyaan ini tetapi, dia punya cara untuk menangani setiap pertanyaan Aslan. "Siapa bilang, mama hanya sayang Papa. Aslan kan, anak Mama. Aslan udah buat hidup mama lebih berwarna, mama bangga punya anak seperti Aslan."

Senang hati, Naya dihadiahi pelukan oleh Aslan. Gemas dengan tingkah bocah itu, Naya pun balas memeluknya dengan erat. "Mama sayang banget sama, Aslan. Sekarang, ayok rebahan di kamar. Nanti Mama bawain susu nemenin, kamu tidur."

"Benaran, Ma?" tanya Aslan senang.

"Benar, dong. Mama janji nggak bakal balik tidur sama papa lagi kan?" tanya Aslan ragu.

"Iya, untuk malam ini kamu bebas peluk mama."

Aslan yang semulanya sedih, kini kembali ceria lagi. Hal itu, cukup membuat Naya tenang. Anak itu memang sedari pagi mencari Damian. Namun, sayang papanya baru pulang setelah selesai membeli sayur dan buah. Kulkas telah penuh, sekarang dia hanya memberikan Aslan dan Damian susu putih.

"Sudah lelah bekerja untuk Axel, dia malah sibuk dengan urusan kantor. Bukannya, ada sekertarisnya," gerutu Naya.

Selesai membuatkan susu, Naya lebih dulu mengantarkannya pada Damian. Saat sampai di ruangan kerja suaminya, Naya melihat pria itu memakai kaos hitam polos hingga menampilkan otot lengannya. Kemeja pria itu disampirkan di kursi yang dia duduki, terlihat serius menatap layar komputernya.

"Susu kamu," ucap Naya dan, meletakkanya pada meja.

"Mana, Aslan?" tanya Damian.

"Udah mau bobo," balas Naya jutek.

Damian mengerutkan keningnya lalu berdiri mengikuti Naya keluar setelah menghabiskan susunya dan mematikan komputer. Dia malah memilih mengekori wanita itu, saat menaruh gelas yang tadinya dia minum dan kembali membawa satu gelas lagi untuk Aslan.

"Kenapa ngikut terus?" tanya Naya kesal.

"Kamu marah sama saya?" tanya Damian.

"Nggak," balas Naya dan langsung masuk ke kamar Aslan.

Damian pun ikut masuk ke sana dan membuat Aslan sedikit kesal melihat papanya itu. "Papa ngapain di sini?"

"Ngikut, mama," balas Damian.

"Minum dulu susu kamu!" perintah Naya yang langsung diangguki cepat oleh Aslan.

Selesai menghabiskan susunya, Aslan menatap Damian lagi. "Malam ini, mama tidurnya sama Aslan, papa pergi ajar di kamar lain."

"Kenapa begitu? Papa, kan tidur biasanya sama mama kamu," balas Damian.

Naya tidak ambil pusing dengan perbincangan dua orang ini, dia malah keluar menaruh gelas susu tadi.

"Papa tiap hari tidurnya sama mama terus, Aslan juga pengen."

"Wajar, Aslan."

"Yaudah, papa nggak boleh permasalahin Aslan dong. Anak mama kan, Aslan."

"Papa ini pasangan mama kamu, nggak ngebolehin Aslan tidur sama pasangan papa."

"Percuma, mama udah janji tidur sama Aslan." Aslan memeletkan lidahnya mengejek Damian.

"Papa ngelarang!"

"Nggak perduli, mama tidurnya sama Aslan malam ini."

"Mama kamu selalu ngikut apa kata papa."

"Aslan juga tuh, selalu diturutin."

"DIAM! INI MALAM TIDUR DI SINI SEMUANYA!"

Teriakan Naya mengaggetkan Aslan dan Damian, anak dan ayah itu seperti terhipnotis melihat Naya yang kesal dengan tingkah mereka. Lantas, keduanya diam tidak berani berbicara terlebih dahulu.

Akhirnya mereka bertiga tidur bersama dalam kamar Aslan, anak itu masih memeluk Naya bahkan ketika sudah terlelap. Sedangkan Naya dan Damian, masih terjaga di antara keheningan malam.

"Besok, kita bisa jengukin Axel. Papa juga lagi mau ngomong penting sama saya," ucap Damian.

Naya mengangguk, lalu bertanya, "Gimana penyelidikkan tadi?"

"Belum ada kemajuan," ucap Damian.

"Tetap jaga diri kamu baik-baik, nanti," nasihat Naya.

"Kamu khawatir sama saya?" tanya Damian.

Naya menghela napas dan menghembuskanya dengan kasar lalu menjawab, "Kamu emang suka buat aku khawatir."

Damian terdiam sesaat mendengar jawaban jujur dari Naya yang sedikit menggangunya, dia pikir dengan kejadian pertengkaran mereka, wanita itu lebih banyak menunjukkan ekspresinya sekarang. Berbeda dengan dahulu, tunduk dan takut atas aturan dan perintahnya.

"Nayaka, kenapa kamu masih bertahan menjadi pasangan saya?" tanya Damian.

"Aslan, dia anak kamu ...gimana aku bisa misahin kalian hanya karena keegoisan aku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status