Masuk
Suara langkah sepatu heels Cantika menggema di koridor kaca lantai 17—lantai paling bergengsi di Gedung Centris Tower, tempat divisi proyek kolaborasi antara GZ Corp dan LZ Corp akan dibentuk.
Pagi ini Cleosana Cantika Maverick mengenakan setelan krem lembut, rambutnya disanggul rapi dan wajahnya seperti biasa selalu terlihat anggun dan cantik sesuai namanya. Cantik sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Bukan lagi anak kecil yang kesal karena diejek “sok cantik” oleh bocah tengil bernama Ezra di sekolah dasar. Dan tentu saja, bukan perempuan yang masih menanti siapa pun dari masa lalu. “Ada meeting pagi ini, Mbak Cantik. Tim joint project sudah sampai di ruang rapat,” lapor Trina-sang sekretaris sambil menyodorkan tablet agenda. Cantik mengangguk dan melangkah masuk ke ruang rapat besar yang memuat delapan kursi kulit dan dinding LCD lebar. Matanya langsung tertumbuk pada satu sosok pria yang berdiri sambil berbincang dengan manajer dari timnya. Tinggi, gagah, jas abu senada dengan dasi navy, dan … senyumnya itu. Senyum yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan Cantik. “Ezra,” gumam Cantik nyaris tanpa suara. Jantung Cantika berdetak sangat kencang, nafasnya mulai memburu. Ingatannya ditarik mundur kembali ke usia sembilan tahun di mana pertama kali bertemu Ezra lalu momen-momen kesengsaraan dirinya di masa sekolah sejak SD, SMP, SMA hingga kuliah yang memuat keisengan Ezra melintas dalam kaset rusak dalam benaknya. Sebelum sempat Cantika mencerna semua ini, pria itu pun menoleh, seperti telinga dan nalurinya masih peka akan suara Cantika meski hanya sebuah lirihan bahkan setelah bertahun-tahun. “Cleosana Cantika Maverick,” sahut Ezra sambil berjalan mendekat. Wajahnya lebih dewasa dari terakhir kali Cantik melihatnya—saat wisuda sarjana ketika untuk ke seribu kalinya dia menolak pria itu. “Aku enggak pernah menyangka kamu yang akan memimpin tim dari GZ Corp,” lanjut Ezra, masih dengan senyum tipis yang Cantik kenal baik—senyum yang dulu sering muncul sebelum Ezra membuatnya naik darah. Dan tentunya ucapan Ezra itu adalah sebuah dusta. Dia tahu kalau Cantika yang akan memimpin project dari GZ Corp karena sang papa langsung yang memberitahunya hanya agar dia kembali ke Indonesia atas keinginan sang mama yang sangat merindukannya. “Aku juga enggak nyangka kamu kembali,” jawab Cantik datar. Tangannya bersedekap, tubuhnya tegak. Tidak ada senyum, hanya profesionalisme. Dan Cantika memang jujur, dia tidak pernah tahu kalau LZ Corp akan mengutus Ezra. “Aku pikir kamu masih di Zurich, menyelesaikan S2 sambil … menyembuhkan hati yang tersakiti?” Cantika menaikkan satu alisnya, dia sedang bersarkasme. Ezra tersenyum miring. “Well, kalau kamu tahu hatiku tersakiti, berarti kamu tahu kamu penyebabnya?” Cantik mendesis pelan. “Don’t start.” Tatapannya tampak membunuh. Ezra mengangkat kedua jarinya. “Peace. Aku cuma mau bilang kalau … senang akhirnya kita bisa kerja bareng. Mungkin sekarang kamu bisa lihat aku lebih dari sekadar bocah yang dulu ngatain kamu ‘sok cantik’.” Cantika masih menatapnya tajam. “Aku akan menilai kamu dari hasil pekerjaan, bukan nostalgia yang basi.” Tiba-tiba, pintu terbuka. Direktur proyek masuk dan memulai sesi perkenalan formal. Namun atmosfer di dalam ruangan terasa lebih padat dari sebelumnya. Cantik duduk di ujung kiri, Ezra di kanan. Mereka seolah diberi jarak oleh waktu—tapi masih diikat oleh sejarah. Dan kini sejarah itu harus bekerja sama. Dalam satu proyek. Dalam satu ruangan. Setiap hari. Tapi satu hal yang Ezra tahu pasti, ia belum menyerah. Tidak setelah dua puluh satu tahun. Tidak setelah menyiapkan diri menjadi pria yang pantas. Sementara Cantik menegaskan pada dirinya sendiri kalau ini hanya kerja profesional. Jaga jarak. Dan jangan—sekali pun—jatuh cinta pada si pengganggu masa kecil itu. “Selamat pagi semuanya. Terima kasih sudah hadir. Hari ini kita akan membahas rencana tahap awal integrasi proyek HorizonOne dari sisi pengembangan dan eksekusi lapangan,” ujar bapak Hartanto, Project Director yang ditunjuk secara netral. “Sebelum masuk ke teknis, saya minta perwakilan dari GZ Corp dan LZ Corp menyampaikan overview singkat.” “Ladies first,” ujar pak Hartanto, mempersilakan. Cantik bangkit dengan elegan, mengangguk. “Terima kasih, Pak Hartanto.” Ia melangkah ke depan layar presentasi dan mulai memaparkan dengan suara tenang tapi tegas. Slide demi slide berjalan mulus. Semua mata tertuju padanya—termasuk satu pasang mata yang tidak pernah berhenti menatap sejak awal. “…dan dari sisi distribusi sumber daya, kami sudah mengatur alokasi divisi, termasuk legal dan compliance, untuk memastikan semua proses tetap sesuai regulasi dan tidak bentrok dengan kepentingan internal.” Begitu Cantik duduk kembali, giliran Ezra berdiri. Ia tidak membuka laptop, hanya satu map di tangannya. “Terima kasih, Pak Hartanto. Saya Ezra dari LZ Corp. Pendek saja, saya yakin kerja sama ini bisa berjalan lancar selama dua hal dijaga yaitu transparansi dan fleksibilitas. Dua hal yang, well … terkadang sulit ditemukan dalam sistem yang terlalu kaku.” Cantik menoleh cepat. Sorot matanya tajam. Ezra masih melanjutkan. “Kami ingin tim GZ Corp terbuka terhadap metode kerja hybrid dan tidak terjebak dalam kerangka birokrasi yang lambat.” “Metode kami jelas dan sudah terbukti efisien,” sela Cantik, suaranya tenang tapi terdengar menekan. “Kami tidak bermain-main dengan standar hanya demi terlihat fleksibel.” Ezra menoleh, masih tersenyum. “Tentu, tapi standar bukan berarti tak bisa disesuaikan. Proyek sebesar ini perlu kelincahan, bukan sekadar kekakuan yang dibungkus kata ‘sistematis’.” Cantik bersedekap. “Dan kelincahan tanpa dasar hanya membuat proyek ini seperti eksperimen dadakan,” balasnya dingin. Suasana dalam ruangan mulai berubah. Tim masing-masing menahan napas, menatap dua Vice Project Director yang sejak tadi tampaknya saling serang. Pak Hartanto mengangkat tangan, menengahi. “Tenang, tenang. Justru perbedaan perspektif inilah yang membuat kolaborasi ini menarik. Saya yakin dengan kedewasaan kalian berdua, kita bisa temukan titik tengah.” Cantik mengalihkan pandangan. Ezra kembali ke kursinya. Tapi saat semua kembali fokus ke slide presentasi berikutnya, Ezra melempar kertas yang dia bentuk seperti pesawat ke arah Cantik lalu berbisik pelan,“Dulu kamu juga suka debat kayak gini, tapi abis itu tetap makan es krim sama aku.” Cantik menatap dingin. “Dulu kamu masih lucu. Sekarang kamu cuma menyebalkan.” Ezra tertawa lirih. “Aku anggap itu kemajuan.” Setelah rapat selesai, Cantika melangkah keluar ruang rapat dengan wajah datarnya yang khas. Stilettonya beradu dengan lantai marmer, meninggalkan bunyi ritmis yang cepat, terdengar kesal. Ezra tentu saja menyusul di belakangnya. “Cantik,” panggil Ezra pelan. Cantik tidak berhenti. Ia hanya mempercepat langkah. “Cleosana Cantika Maverick,” ulang Ezra dengan nada lebih keras namun tetap tenang. Langkah Cantik terhenti. Ia berbalik cepat. “Don’t panggil aku pakai nama lengkap kayak orang baru kenal,” semburnya tajam. Ezra menaikkan alis. “Tapi kamu ‘kan memang memperlakukanku seperti orang baru kenal.” “Kamu juga ‘kan memperlakukanku seperti anak magang yang enggak ngerti sistem,” balas Cantik, suaranya ditahan agar tidak membentak di lorong terbuka. Ezra tertawa kecil, mengangkat tangan. “Touché. Tapi jujur, aku kagum tadi sama presentasi kamu—kalau enggak tahu kamu dulu tukang ngambek waktu sering aku godain, aku pasti udah ciut.” “Kamu masih suka ngomong asal ya?” Cantik mendesis. “Apa semua cewek kamu godain kayak gini setelah kamu balik dari Swiss?” Ezra menyipitkan mata, mendekat satu langkah. “Enggak semua cewek, Cantik. Hanya satu yang dari dulu enggak pernah bisa aku buat berhenti marah, tapi tetap aku kejar.” Cantik menatapnya tajam. Wajahnya tak berubah, tapi bibirnya sedikit menegang. “Aku bukan remaja lagi, Ezra. Dan kamu juga bukan anak kecil yang bisa menang karena berhasil membuat orang lain tertawa. Ini dunia profesional. Kita kerja, bukan bernostalgia.” Ezra mendekat lagi, cukup dekat hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar percakapan itu. “Kalau kamu pikir aku balik ke sini cuma buat nostalgia, kamu salah besar,” bisiknya. “Aku balik karena aku siap. Siap untuk proyek ini. Siap untuk semua hal yang dulu kamu bilang belum pantas.” Cantik menghela napas pelan, menguasai emosinya. “Lalu kita lihat aja seberapa siap kamu,” balasnya dingin. “Kita mulai audit mingguan Senin pagi pukul tujuh. Jangan telat.” Ia kembali berjalan, meninggalkan Ezra berdiri di tengah koridor dengan senyum miringnya yang mulai memudar. Karena kali ini, Ezra tahu, medan perang yang ia hadapi bukan sekadar ruang rapat. Tapi benteng hati seorang perempuan yang sulit sekali ditembus. Dan Ezra? Ia akan menghancurkan benteng itu. Bukan untuk menaklukkan Cantik, tapi untuk membuktikan bahwa ia adalah satu-satunya yang tulus.Keesokan paginya, di saat sinar matahari menyusup lembut dari sela tirai kamar rawat dan aroma antiseptik masih samar memenuhi ruangan—Selena masih terlelap dengan wajah tenang, pipinya sudah tidak sepucat kemarin. Cantika sudah bangun, duduk di kursi samping ranjang pasien. Selama menunggui Selena—dia nyaris tidak bisa tidur dengan lelap. Ketukan pintu terdengar. Seorang dokter masuk bersama dua perawat. Ezra dan Cantika segera berdiri, menyambut dengan tatapan penuh cemas. “Pagi, Pak … Bu,” sapa dokter sambil tersenyum tipis. “Saya sudah lihat hasil pemeriksaan terakhir Selena. Semua tanda vitalnya stabil, hasil tes darah juga normal. Jadi … Selena boleh pulang hari ini. Tinggal dipantau pemulihannya di rumah.” Seakan beban besar runtuh dari bahu, Ezra langsung menunduk, mengembuskan napas lega begitu juga dengan Cantika yang meski tersenyum namun matanya berkaca-kaca. “Jadi … Selena benar-benar sudah boleh pulang, Dok?” suaranya bergetar. Dokter
Selena akhirnya terlelap dengan tenang setelah minum obat, napas kecilnya teratur, sesekali jemarinya bergerak seolah meraih mimpi yang indah. Seketika ruang rawat VVIP itu mendadak hening, hanya terdengar suara mesin pendingin ruangan dan detak jam dinding. Ezra yang duduk di kursi samping ranjang Selena, memandang putri kecilnya lama lalu bangkit. “Aku ke kamar mandi sebentar, mau mandi sama ganti baju,” ujarnya singkat. Cantika mengangguk lantas bangkit dari sofa, tanpa menatap Ezra—dia duduk menggantikan suaminya di kursi samping ranjang. Tak lama kemudian terdengar suara air mengalir dari balik pintu kamar mandi. Sunyi menyelimuti kembali ruangan itu. Cantika menoleh sekilas ke arah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, ponsel Ezra tergeletak begitu saja—layarnya masih menyala samar. Refleks Cantika bangkit dan berjalan ke sana, dia melihat notifikasi yang baru masuk di ponsel Ezra. Seketika dada Cantika mengeras. Nama itu. Elara Yunita. Bibirnya mene
Gedung LZ Corp berdiri megah di bawah langit pagi yang mendung. Ezra melangkah masuk dengan langkah tergesa, dasi miring sedikit karena tadi pagi ia lebih sibuk memastikan Cantika mau makan ketimbang merapikan dirinya sendiri. Beberapa staf menyapanya dengan senyum sopan, tapi Ezra hanya mengangguk cepat. “Pagi Pak,” sapa Andi sang sekretaris yang beberapa hari terakhir sibuk mengerjakan sebagian tugas Ezra. “Pagi.” Ezra menyahut sambil melangkah cepat ke ruangannya. Di sana, tumpukan dokumen dan MacBook sudah menunggu. Andi yang mengikuti di belakang membuka iPadnya. “Pak, hari ini ada dua meeting besar yang harus Bapak hadiri … satu dengan investor asing via Zoom, satu lagi dengan tim proyek pembangunan resort di Lombok.” “Oke ….” Ezra duduk di kursi kebesarannya sambil membaca data di layar MacBook. “Pak Ezra, ini proposal revisi dari tim marketing. Harus dicek hari ini,” ujar Andi, dia meletakkan map biru di atas meja. “Aku cek setelah meeting,” jawab Ezra
Langkah Ezra terasa berat ketika ia meninggalkan ruang rawat VVIP. Sepanjang koridor, kepalanya penuh gema suara Cantika tadi. “Wajahmu kusut, matamu merah. Kalau kamu sakit, siapa yang mau bantuin aku jagain Selena?” Nada Cantika memang datar, dingin, bahkan ketus. Tapi Ezra tahu di balik kalimat itu terselip perhatian yang tulus. Setelah menyalakan mobil, ia duduk lama di parkiran, menatap setir tanpa menyalakan mesin. “Aku beneran pulang? Apa ini langkahnya Cantika buat menjauhkan aku?” gumamnya lirih. Namun akhirnya ia menekan tombol engine, meninggalkan rumah sakit menuju rumah yang seharusnya terasa hangat tapi kini dingin menusuk. Sesampainya di rumah, Ezra langsung menuju kamar mandi. Air hangat mengalir deras, tapi bukannya menyegarkan, justru terasa seperti menelanjangi hatinya yang penuh luka. Di cermin berembun, ia melihat bayangan dirinya sendiri—mata cekung, rahang mengeras. “Cantika masih peduli … tapi aku? Aku malah—” Suara notifika
Ruangan rawat VVIP itu kembali hening setelah dokter meninggalkan mereka dengan kabar kecil yang melegakan. Selena sudah mulai merespons lebih baik, meski tetap harus diawasi ketat. Pandangan Cantika masih terpusat pada wajah mungil sang putri. Matanya masih sembab, tetapi setiap gerakan tangannya penuh kelembutan—membetulkan selimut, mengusap kening, lalu mengecup jemari kecil Selena. Ezra memperhatikannya dari sofa. Hatinya berdesir aneh. Semua yang ia saksikan terasa asing—Cantika yang selama ini keras kepala, tiba-tiba jadi begitu teduh. Tetapi keteduhan itu seperti lapisan tipis di atas samudra yang bergejolak. Ia tahu, di balik sikap tenang itu, ada luka dalam yang masih berdarah. “Ezra.” Suara itu membuat Ezra menoleh cepat. Cantika tidak sedang menatapnya, ia tetap menunduk pada Selena, tapi nada bicaranya jelas ditujukan padanya. “Kamu pulang aja sebentar. Mandi, ganti baju, istirahat. Aku di sini jagain Selena.” Ucapannya tegas, singkat, dan tanpa nada mani
“Nan, saya titip Nayaka … mungkin malam ini saya akan menginap di rumah sakit gantian sama papinya.” Cantika berpesan ketika masuk ke dalam kamar si kembar. “Baik Bu … yang sabar dan kuat ya Bu, Selena sudah tertangani dengan baik … sebentar lagi juga pulih,” kata nannynya Selena menguatkan. Cantika tersenyum lembut tapi matanya sembab. Dia menggendong Nayaka yang masih terlelap dan belum mandi, mengecupnya dalam lalu menyimpannya kembali ke box bayi. Setelah itu Cantika keluar dan turun ke lantai satu. “Pagi Bu … sarapan sudah siap,” kata bu Ratri dari bawah tangga. “Makasih Bu ….” Cantik duduk di kursi meja makan, dia harus sarapan sebelum berangkat ke rumah sakit. “Bu, ini saya buatkan teh herbal untuk Ibu.” Bu Ratri meletakan cangkir mug dekat Cantika. “Saya juga membuat untuk bapak, ada di tumbler sama sarapan pagi untuk bapak,” kata Bu Ratri sembari meletakan satu tas berisi kotak makanan. Cantika menatap tas itu sebentar kemudian menatap bu Ratr







