Share

Antara Cinta dan Dendam
Antara Cinta dan Dendam
Penulis: Yulita Lestari

Harta dan Tahta

    Dia Rafaela Amanda Defila, matanya sembab, rambutnya acak-acakan serta kancing blousenya sudah tidak lagi sesuai kegunaannya karena sudah berjatuhan ke lantai akibat tarikan paksa di tubuh bagian depan. Sementara di sampingnya berdiri seorang pria merapihkan bajunya kemudian kembali memakai celananya agar rapih seperti sebelum masuk lift. Parasnya yang tampan tidak sebagus hatinya yang ternyata tidak berperasaan. Bisa-bisanya dia mengambil kesucian seorang gadis yang bahkan baru saja diterima sebagai asisten pribadinya.

“Terimakasih, Sayang. Aku puas sekali! Tapi ... ini baru permulaan.” Mengusap pipinya dengan lembut, namun gadis itu berpaling dengan kasar.

“Saya akan melaporkan Tuan karena sudah melecehkan!” ancam gadis itu memeluk lututnya dengan tubuh gemetaran.

Bukannya takut, pria itu malah menyeringai. “Silahkan saja, Nona. Tapi ingat ... uang berada di atas segalanya. Aku bisa balik melaporkanmu, bahkan membuat keluargamu hancur!” Wilson langsung keluar dari lift tanpa memperdulikan gadis yang telah menjadi korban kebejatannya.

Gadis itu tertegun, percuma saja dia melapor jika yang dilaporkan memiliki harta dan tahta.

Keluar dengan langkah tertatih, ketika digerakan bagian sensitifnya perih sekali. “Aku tidak mungkin pulang dengan keadaan seperti ini.” Mencari kamar mandi terdekat untuk merapikan diri. Lalu tangannya memeluk diri agar bajunya yang robek tidak terekspos.

Ia berjalan menyusuri lorong dengan cahaya yang untungnya terang. Tidak disangka ia pulang larut, di gedung ini  sudah tidak ada orang. Saat sampai di luar gedung, ia menatap nanar ke sekeliling. Keterpurukannya tidak hanya sampai di sini, dia harus bisa pulang meski jarak pandangnya berkurang ketika malam tiba. Cahaya remang baginya justru menjadi sebuah kegelapan. Ia berpegangan pada tembok dengan pandangan yang benar-benar kabur.

Kesulitannya melihat di waktu malam kini menjadi bumerang buatnya, jangankan untuk sampai rumah, berjalan sampai ke jalan raya saja ia tidak sanggup.

Sebagai perempuan, siapa yang tidak sedih, mahkota berharga yang ia jaga selama ini justru diambil oleh bosnya sendiri. Sedih, marah, bercampur menjadi satu. Masa depannya telah hancur oleh orang tidak bertanggung jawab. Seolah dunia ini begitu lucu. Seseorang yang kaya justru bahagia dengan harta, bahkan bisa membeli sebuah hukum. Bukankah ini lucu?

Orang kalangan bawah sepertinya harus mati-matian untuk bisa mengangkat drajatnya, mati-matian belajar sehingga menjadi mahasiswa dengan lulusan terbaik. Jalan penuh duri telah ia lalui agar bisa mendapat kerjaan yang baik juga. Lalu pada akhirnya bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan harus menapaki bara api. Sesal memang selalu datang di akhir. Jika bukan karena diiming-imingi gaji dan jabatan yang tinggi Rafaela bisa masuk di tempat lain. mungkin firasat kakaknya benar. Sejak semalam Dorny perasaannya tidak enak dan sempat tidak mengijinkannya bekerja. Bukan Rafaela jika dia tidak bisa mendapatkan ijin dari Dorny.

Rasanya aneh jika tiba-tiba wawancara ditiadakan. Sementara Rafaela langsung diminta menemui CEO secara langsung.

Ia kembali mengingat kejadian tadi saat ia mulai bekerja.

***

“Beliau, Pak Aldrick. Ikutlah dengannya!” ucap seorang wanita yang mengurus berkas-berkasnya. Rafaela meneguk ludahnya melihat pria berpenampilan sangat rapi dan bertubuh tegap, dengan setelan jas berwarna gelap hingga menimbulkan kesan wibawa.

Semakin ke dalam, gedung itu terlihat sangat mewah terlebih saat melewati sebuah tempat yang luas dengan lampion besar di tengahnya. 

“Ini ruang Aula,” ucap Aldrick melihat Rafaela tidak berkedip kala matanya berlarian menatap ruangan itu.

Rafaela hanya mengangguk, “Benar yang dikatakan Graci, tempat ini sangat mewah. Beruntung sekali dia bisa mempunyai kekasih seperti Pak Wilson yang katanya tampan melebihi Taehyung artis K-Pop idolaku,” batin Rafaela kagum dengan tempat ini.

“Mari, Nona! Pak Wilson sudah menunggu anda.” Aldrick memergoki Rafaela melamun segera memanggilnya agar masuk lift. Ruangan demi ruangan yang ia lewati begitu memberi kesan yang indah, desain di perusahaan ini rupanya lebih tertuju pada nuansa alam. Bahkan banyak bunga hidup dan bonsai menjadi begitu asri.

Aldrick mengetuk pintu dulu, setelah mendapat ijin barulah masuk. Entah mengapa tiba-tiba jantung Rafaela berdetak kencang, mungkin karena dia mau menemui seorang pimpinan perusahaan. Ia menelan ludah dengan keras, hawa jadi serasa mencekam kala Wilson menatapnya tajam. Wajahnya memang tampan bagaikan patung malaikat, hanya saja oleh respon datarnya menjadikan kesan yang kejam.

“Pak Wilson sudah mengecek semua berkas dan beliau akan mengangkatmu menjadi sekretarisnya mulai hari ini juga?” Rafaela tidak percaya ini, dia langsung diterima tanpa melakukan tes terakhir.

“Pasti Graci yang membantuku. Aku harus berterima kasih padanya,” batin Rafaela bahagia sekali. Dia langsung duduk di ruangannya sembari mempelajari hal-hal yang harus dia persiapkan.

“Bagaimana jadwalku hari ini?” Pak Wilson seperti sibuk dengan sesuatu.

“Emm ... pukul 1 siang pertemuan dengan klien dari Armada Group, Pak!” Untungnya Rayani masih ingat dengan jadwal yang ia baca barusan.

“Kau ingatkan Aldrick menyiapkan semua berkasnya!” bicara dengan posisi tangan sedang mengetik di keyboard.

Saat makan siang tiba, Rafaela nampak sendirian dan bingung saat di kantin karena tidak kenal siapapun. Namun dia langsung punya kenalan. Saat makan ia sempatkan memberi pesan pada sahabatnya.

“Terima kasih sudah membantuku. Kekasihmu langsung menerimaku menjadi asisten pribadinya. Pokoknya terima kasih. Aku janji, gaji pertamaku aku traktir kamu makan-makan!”

Tidak lama kemudian Graci membalasnya, “Masa sih?”

“Iya. Terima kasih sekali.” 

“Iya sama-sama. Semoga lancar!” balas Graci dengan sebuah ikon.

Di tempat Graci, ia justru merasa aneh. “Kok aneh sekali. Perasaan aku tidak memberitahu nama sahabatku. Wilson udah nyela duluan kemarin,” gumamnya.

Dia ingat sudah minta tolong pada pacarnya agar menerima sahabatnya. Tapi spontan Wilson menolak bahkan Graci belum sempat mengatakan nama Rafaela padanya.

“Mungkin Wilson memang sudah tahu nama sahabatku. Pria itu kan sering mengorek-ngorek ponselku.” Graci tidak begitu memikirkannya.

Rafaela lega karena pertemuan berjalan dengan lancar. “Kamu pulang denganku malam ini!"

“Ta-tapi, Pak. Saya udah ada janji dengan-“

“Aku atasanmu. Jadi jangan membantah!” Mendengar suara Wilson yang berat, Rafaela akhirnya hanya pasrah.

Malam itu dia membantu Wilson memeriksa laporan dari para karyawan. Setelah itu langsung pulang. Selama di perjalanan, Wilson banyak bertanya mengenai Graci.

“Ibumu Amanda? Benarkan?” tanya Wilson memasuki lift.

“Bagaimana Bapak tahu?”

Wilson menyeringai memandangi mangsanya yang sejak tadi ia tandai. “Kamu mau tahu kenapa saya mengenalnya?” Tiba-tiba pria itu mendorong tubuh Rafaela hingga menabrak dinding lift. Pria itu mengunci tubuh Rafaela. 

“A-apa yang Bapak lakukan?” Rafaela panik. Mencoba mendorong tubuh Wilson sekuat tenaga, tapi sia-sia saja, tubuh Wilson lebih kuat.

“Amanda Sucita ...” Bahkan pria itu mengetahui nama panjang ibunya.

“Dimana dia sekarang?” suaranya terdengar sangat berat.

Rafaela ketakutan, “Aku tidak tahu!”

“Jangan bohong? Kamu menyembunyikannya?”

“Tidak! Dia sudah pergi! Aku mohon lepaskan aku!” Bukannya melepaskannya, Wilson malah melakukan hal yang sangat menyakiti seorang gadis. Yaitu merampas kesucian paling berharga.

***

Karena melamun, Rafaela tidak tahu kalau ada pot bunga di depannya, dia akhirnya terjatuh hingga membuat sikunya terkena aspal. Kini dia hanya bisa duduk meratapi nasibnya.

“Ibu? Kenapa dia mencari mu? Apa hubungannya dengan mereka? Jangankan mereka, selama ini aku juga mencarimu.” Rafaela menangis tergugu.

Ia ingat cerita Bu Yuni, pemimpin panti yang merawatnya dengan kasih sayang. Seorang bayi perempuan dengan kulit yang putih ditaruh di depan panti. Rupanya ibu yang membuangnya meninggalkan sebuah surat dan foto wanita itu. ia berpesan tentang nama bayi itu dan nama ibunya. Tapi dia tidak menyebutkan siapa ayahnya. Ia meninggalkan foto agar Rafaela bisa mengetahui wajah ibunya.

“Ibu .... hiks ... hiks ... hiks ...” Rafaela selalu membayangkan bagaimana rupa ibunya. Kata Dorny rupanya sangat mirip dengan Rafaela. Dengan melihat diri sendiri di depan cermin, ia bisa melihat wajah ibunya.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status