Home / Romansa / Antara Cinta dan Luka / Bab 1: Nada yang Patah

Share

Antara Cinta dan Luka
Antara Cinta dan Luka
Author: Gavin Gandatapa

Bab 1: Nada yang Patah

last update Last Updated: 2025-10-17 13:09:03

Naya Putri membanting tuts piano tua itu, suara nada patah bergema di apartemen kecil Tebet, memicu ingatan pahit ayahnya yang meninggalkannya sepuluh tahun lalu.

"Kenapa lagi-lagi gagal?" gumamnya, jari-jarinya gemetar di atas lembaran lirik yang penuh coretan.

Hujan di luar semakin deras, menyamarkan klakson Jakarta yang sibuk, tapi tak bisa menyembunyikan beban di dadanya—tagihan rumah sakit ibunya menumpuk, dan mimpi sebagai penulis lagu seolah semakin jauh. Piano ini, satu-satunya warisan dari Budi Santoso, ayahnya, sekarang terasa seperti kutukan, bukan berkah. Setiap nada yang ia mainkan seperti mengulang pengkhianatan itu: ayahnya tersenyum saat mengajarinya bermain, lalu pergi tanpa pamit, meninggalkan ibunya menangis di dapur.

"Naya, obatku!" jerit Bu Ratna dari kamar sebelah, suaranya lemah tapi mendesak, memecah keheningan ruangan yang lembab.

Naya menghela napas panjang, berdiri dengan cepat, dan berjalan ke kamar ibunya. Aroma desinfektan dan masakan tetangga yang menyusup lewat ventilasi mengisi udara, mengingatkannya pada kehidupan yang semakin tertekan.

Bu Ratna terbaring di ranjang sederhana, wajahnya pucat sejak serangan jantung tahun lalu, rambut dengan segelas air, tangannya gemetar melihat kondisi ibunya yang semakin rapuh. "Besok aku pasti beli lagi, Ma. Janji."

"Jangan kerja keras terus, Nay," kata Bu Ratna, matanya penuh kekhawatiran saat menelan pil. "Kamu cuma punya aku sekarang. Kalau kamu sakit karena kelelahan, siapa yang urus aku? Kamu nggak bisa kayak ayahmu, ninggalin orang yang dicinta."

Kata-kata itu seperti pisau, mengaduk luka lama yang Naya coba kubur. Ayahnya, Budi Santoso, pernah janji akan selalu ada, tapi sepuluh tahun lalu, ia pergi demi wanita lain, meninggalkan mereka berdua dalam kemiskinan dan kesedihan.

Naya tersenyum paksa, menyembunyikan air mata yang mengintip. "Aku kuat, Ma. Mama istirahat dulu, ya. Besok aku cari proyek baru, mungkin ada yang bayar lebih." Ia menyelimuti ibunya dengan selimut tipis, hati berat melihat tubuh Bu Ratna yang semakin kurus.

Kembali ke ruang tamu, Naya menyalakan lampu meja yang cahayanya redup, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding retak. Ia duduk di depan laptop tuanya, layarnya penuh goresan dari pemakaian bertahun-tahun, dan membuka SoundCloud. Portofolionya penuh lagu-lagu indie yang ia tulis sendiri, tapi like dan share tak cukup membayar sewa apartemen yang telat dua bulan.

"Sebagai penulis lagu lepas, aku harus lebih baik," gumam Naya pada diri sendiri, jari-jarinya menari di keyboard laptop, mencoba menulis lirik baru. Tapi kata-kata tak mengalir, seperti sungai yang tersumbat oleh kekhawatiran. Jakarta bukan kota yang ramah untuk mimpi seperti miliknya—iklan radio kecil, cover kafe, itu saja yang ia dapat.

Suara adzan magrib bergema dari masjid di ujung gang, samar bercampur gemuruh hujan, mengingatkannya bahwa waktu berlalu cepat, tapi hidup mereka seperti terjebak di tempat yang sama.

Ponsel berdering tiba-tiba, nomor tak dikenal yang memecah fokusnya. Naya ragu sejenak, jarinya melayang di atas layar. Telepon seperti ini biasanya penawaran kartu kredit atau penipuan, tapi sesuatu mendorongnya untuk mengangkat. "Halo?" jawab Naya, suaranya hati-hati.

"Naya Putri? Ini Dita dari Panitia Konser Amal Senayan," kata suara di ujung sana, profesional tapi hangat, dengan aksen Jakarta yang kental. "Kami ingin Anda tulis lagu tema untuk acara kami."

Naya membeku, jantungnya berdegup kencang hingga terasa di telinga. Konser Amal Senayan? Acara besar itu disiarkan di TV nasional, dihadiri artis papan atas dan elit kota. "Kenapa saya?" tanyanya, suaranya hampir bergetar, pikiran melayang ke tagihan rumah sakit yang menumpuk di meja. "Saya bukan siapa-siapa. Portofolio saya cuma di SoundCloud."

"Justru itu yang mengesankan," balas Dita, nadanya meyakinkan. "Lagu-lagu Anda punya jiwa, Naya. Kami butuh talenta muda seperti Anda untuk lagu tema yang bisa menyentuh hati. Ini kesempatan besar—eksposur nasional, bayaran layak, dan bisa jadi pintu masuk ke industri musik."

Bayaran layak. Kata-kata itu seperti cahaya di tengah kegelapan. Naya menatap pintu kamar ibunya, membayangkan bisa membayar tagihan tanpa khawatir sewa apartemen. Tapi keraguan menggerogoti, seperti ingatan ayahnya yang pernah janji manis tentang karier musik tapi akhirnya menghilang. Dunia itu penuh pengkhianatan, dan ia tak mau jadi korban lagi.

"Baik, saya pikirkan dulu," jawabnya pelan, mencoba menahan debar di dadanya. "Kasih tahu detailnya, ya?"

Dita tertawa kecil. "Tentu. Kami butuh lagu melankolis tapi penuh harapan. Besok jam 10 di studio Kemang, ketemu produser utama, Rian Pratama. Jangan lewatkan, Naya."

Panggilan berakhir, meninggalkan Naya dalam keheningan yang berat. Rian Pratama—nama itu terasa familiar, seperti dengungan lagu yang pernah ia dengar tapi tak bisa ingat.

Malam itu, setelah memastikan ibunya tertidur nyenyak, Naya duduk di depan laptop lagi, cahaya layar menerangi wajahnya yang lelah. Ia membuka browser, mengetik "Rian Pratama" dengan jari gemetar. Artikel pertama muncul: Rian Pratama, Produser Muda yang Tersandung Skandal Plagiarisme. Foto Rian di sana—pria dengan rahang tegas, rambut sedikit berantakan, sorot mata tajam seperti menyimpan rahasia—membuat Naya menahan napas. Ada senyum tipis di bibirnya, tapi Naya tak bisa membaca apakah itu tulus atau pura-pura.

"Orang seperti ini yang akan aku hadapi?" gumamnya, tapi ada sesuatu di mata Rian yang membuatnya tak bisa berpaling, seperti nada yang memanggil dari kegelapan.

Ia menutup laptop, berjalan ke jendela, menatap hujan yang mengguyur Tebet. Lampu warung kopi di gang berkedip, anak tetangga tertawa meski basah kuyup. Jakarta selalu penuh kejutan, tapi juga risiko. Apakah kesempatan ini jalan keluar, atau jebakan baru seperti ayahnya?

Tiba-tiba, ponsel berdering lagi—nomor tak dikenal. Naya mengangkat dengan ragu. "Halo?"

"Naya, ini ayahmu. Kita perlu bicara, sebelum semuanya terlambat," kata suara di ujung sana, suara Budi Santoso yang dulu familiar tapi kini seperti hantu.

Naya membeku, jantungnya berdegup kencang. Setelah sepuluh tahun tanpa kabar, kenapa ayahnya muncul sekarang, dan apa "terlambat" yang ia maksud?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Gavin Gandatapa
"Di tengah Jakarta yang berdenyut, Naya temukan nada cinta yang luka. ... Apa rahasia di balik lagu itu? Komen kalau lo penasaran! #AntaraCintaDanLuka #GoodNovelID"
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 14: Bayang di Balik Layar

    Rian Pratama berdiri di tengah studio Kemang, tangannya menyentuh meja mixer yang dingin, aroma plastik panas dari kabel yang kelebihan beban menyengat hidungnya. Lampu neon di plafon berkedip pelan, memantul di dinding kedap suara yang berlapis busa abu-abu, menciptakan bayang-bayang seperti rahasia yang merayap di sudut-sudut ruangan. Di luar, Jakarta malam berdenyut—suara klakson ojek daring dan aroma minyak goreng dari warung pecel lele di gang sempit menyusup lewat ventilasi. Udara masih lembap dari hujan sore, membawa bau tanah basah yang bercampur wangi asap knalpot dari trotoar. Jantung Rian berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan irama, saat ia menatap ponselnya. WA dari Naya tadi pagi (Rian, aku temuin kaset dari Mama. Kita bicara sekarang) terasa seperti nada yang tak selaras. Kaset itu—Lagu ini punya Mama, Nay. Budi ambil tanpa izin—dan pengakuan Budi di kafe (Dana gelap, Vita tahu terlalu banyak) membuat kepalanya pusing, seperti papan kunci piano yang retak. Ap

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 13: Piano yang Bisu

    Naya Putri duduk di depan piano tua di apartemen Tebet, jari-jarinya menyentuh tuts usang yang dingin seperti batu. Cahaya senja menyelinap lewat jendela berdebu, memantul di permukaan kayu piano yang penuh goresan, menciptakan bayang-bayang seperti luka lama di hatinya. Di luar, Jakarta mulai meredup—suara adzan Magrib bergema dari masjid ujung gang, bercampur deru motor dan aroma asap bakpao dari pedagang keliling yang lewat di trotoar. Hujan pagi tadi meninggalkan udara lembap, membuat bau kayu tua di apartemen bercampur wangi tanah basah yang menyusup lewat ventilasi. Naya mencoba memainkan Nada di Tengah Hujan, lagu yang ia ciptakan bersama Rian di studio Kemang, tapi nadanya patah, seperti senar yang kehilangan jiwa. Setiap tuts terasa berat, mengingatkannya pada rekaman Vita tadi malam—suara Budi: Rian nggak boleh tahu soal Naya—dan pesan Budi: Aku tahu lo ketemu Rian. Jauhi dia, atau aku batalkan bantuan operasi. Jantungnya berdegup kencang, seperti metronom yang lari dari i

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 12: Cahaya di Ujung Lorong

    Rian Pratama duduk di sudut kafe kecil di Jakarta Selatan, meja kayu tua berderit saat ia menyandarkan lengan. Aroma asap arang dari warung sate kambing di seberang jalan menyusup lewat jendela terbuka, bercampur bau bensin dari motor yang menderu di gang sempit. Lampu neon kafe berkedip pelan, bayang-bayang menari di dinding bata yang retak, seperti rahasia yang menolak disembunyikan. Malam Jakarta terasa seperti lagu yang tak selesai—berisik, basah, penuh nada-nada sumbang. Ponsel Rian tergeletak di meja, layar menyala menampilkan pesan WA dari Naya: Rian, aku baca surat Mama. Apa yang lo tahu soal lagu aku? Ketemu di studio besok.. Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan ritme. Surat ibu Naya (Budi, kenapa kau libatkan lagu Naya?, dan video editan Vita (Naya akui lagu bukan miliknya, mengguncangnya. Apa yang Budi sembunyikan? Dan kenapa Vita terus menekan Naya?Rian meneguk kopi hitam, pahitnya menyengat lidah seperti kebenaran yang ia hindari. Dua tahun lalu,

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 11: Bayang di Ujung Malam

    Naya Putri bersandar pada dinding lorong RS Cikini, ubin dingin menyerap panas tubuhnya yang sudah lama terasa kosong. Suara monitor jantung dari ruang ICU berdetak pelan, seperti metronom tua yang kehilangan irama, setiap bunyi seperti jarum menusuk dadanya. Cahaya neon di atas berkedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di lantai basah, bercampur aroma keringat pasien dan embun hujan yang menempel di jendela bocor. Di luar, Jakarta malam bergemuruh—siren ambulans memecah udara, klakson motor berderit di jalan raya, dan teriakan pedagang martabak manis di trotoar menggema samar, membawa Naya kembali ke Tebet yang selalu basah setelah hujan. Jaket jeansnya terasa berat, menyerap kelembapan udara, seperti beban hidupnya yang kian menumpuk. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Naya nggak boleh tahu soal proyek itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam retak, setiap kata seperti pisau yang mengiris hatinya. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti tali ya

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 10: Jejak di Tengah Badai

    Rian Pratama duduk di bangku logam di luar ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung berdetak pelan, seperti irama lagu yang tak selesai. Di luar, Jakarta pagi itu masih lembap, aroma tanah basah bercampur dengung AC tua dan keringat pasien di lorong. Klakson motor dan teriakan pedagang bakpao menggema, tapi di sini, waktu terasa beku. Naya mengiirim WA di grup tim konser kemarin: Mama pingsan, aku di RS dan Dita bilang Maya nemuin ibu Naya pingsan di apartemen. Rekaman Vita—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—mengguncangnya, dan pertemuan dengan Budi di Monas bikin curiga. Budi bilang, Vita tahu terlalu banyak, tapi apa? Bayang Naya di lorong RS—matanya penuh luka tapi kuat—membuat dadanya sesak.“Dita, apa kabar Naya?” tanya Rian ke ponsel, suaranya rendah. “Ada WA baru di grup?”“Bos, Naya WA lagi tadi pagi, bilang ibunya stabil tapi butuh operasi,” jawab Dita. “Dia nggak banyak ngomong, kayaknya stres soal tagihan.” Rian menutup telepon, tangannya mengepal di saku j

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 9: Cahaya yang Redup

    Naya Putri duduk di kursi plastik di ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung dari balik pintu kaca berdetak pelan, seperti metronom yang menghitung sisa waktu hidup ibunya. Di luar, Jakarta terbangun—adzan subuh bergema dari masjid terdekat, klakson motor dan teriakan pedagang bubur ayam memecah fajar, tapi di sini, udara terasa beku, aroma desinfektan bercampur dengung pelan AC yang tua. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam rusak, setiap kata seperti jarum menusuk. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti jerat, dan foto Naya-Rian di studio membuatnya gemetar. Apa rahasia yang hubungkan ayahnya, Vita, dan Rian? Ingatan ibunya pingsan di apartemen kemarin, saat Maya datang bawa obat rutin seperti biasa, menambah beban, seperti gunung yang tak bisa ia singkirkan.Naya memegang tangan Bu Ratna, dingin dan rapuh seperti kertas tua, jari-jarinya gemetar. “Ma, aku janji, aku bakal cari ca

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status