Home / Romansa / Antara Cinta dan Luka / Bab 2: Pertemuan di Bawah Lampu Studio

Share

Bab 2: Pertemuan di Bawah Lampu Studio

last update Last Updated: 2025-10-17 15:00:09

Rian Pratama membanting ponselnya ke meja mixer, suara benturan itu bergema di studio musik Kemang yang sepi, memicu ingatan skandal plagiarisme dua tahun lalu yang nyaris menghancurkan kariernya.

Pesan dari Vita, mantan pacarnya yang manipulatif, masih berkedip di layar: Lo pikir lo bisa lupain aku begitu saja? Aku tahu rahasiamu, Rian.

Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang hilang ritme, dan ia mengepal tangan, mencoba mengusir bayangan wajah Vita yang tersenyum licik di depan wartawan saat itu. Studio ini, dengan dinding kedap suara dan lampu neon biru yang berkedip pelan, seharusnya jadi tempat aman, tapi hari ini terasa seperti penjara rahasia masa lalu. Vita bukan cuma mantan—ia adalah badai yang tak pernah reda, dan pesan itu seperti peringatan bahwa badai baru akan datang.

"Dita, lo yakin penulis lagu baru ini oke?" tanya Rian, suaranya kasar sambil menyeduh kopi hitam di mesin vending kecil di sudut ruangan.

Aroma kopi tubruk yang pahit menguar, mengingatkannya pada warung pinggir jalan di Jakarta yang sering ia kunjungi saat stres.

Dita, asistennya, mengangguk sambil menyusun kabel di sudut studio. "Iya, Bos. Naya Putri, lagu-lagunya di SoundCloud bagus banget. Emosional, cocok buat konser amal."

Rian mendengus, menyeruput kopi yang membakar lidahnya. "Pendiam atau nggak, lagunya harus selesai sebulan. Konser Senayan nggak nunggu orang santai." Ia berjalan ke jendela studio, menatap Kemang yang sibuk—motor melaju di tengah kemacetan, pedagang kaki lima berteriak menawarkan sate ayam, dan hujan gerimis mulai turun, membasahi trotoar.

Pikirannya melayang ke skandal itu: Vita yang mengklaim lagunya, headline kejam di media, dan kariernya yang runtuh seperti kartu domino. Sekarang, konser ini kesempatannya bangkit, tapi Vita kembali seperti hantu yang tak pernah pergi.

"Lo tahu Vita lagi apa sekarang?" tanya Rian pada Dita, suaranya rendah tapi penuh kewaspadaan.

Dita menggeleng, alisnya terangkat. "Nggak tahu, Bos. Tapi lo jangan mikirin dia. Fokus ke Naya aja. Dia datang sebentar lagi." Dita tersenyum, mencoba angkat mood, tapi Rian tahu itu sia-sia. Vita bukan masa lalu yang bisa dilupakan—ia adalah ancaman yang hidup.

Pintu studio berderit pelan, dan Naya masuk, rambutnya tergerai sederhana, jaket jeans usang menutupi tubuh rampingnya, tapi matanya—cokelat tua, penuh luka dan waspada—langsung menarik perhatian Rian. Ia seperti prajurit yang siap bertahan, tapi ada keanggunan di langkahnya, seperti nada yang menari di udara, lembut namun kuat. Jantung Rian tersentak, sensasi asing yang membuatnya kesal pada dirinya sendiri.

"Kamu Naya?" tanyanya, nadanya sengaja dingin untuk menutupi debar itu. Ia menunjuk kursi di depan piano elektrik. "Aku Rian, produser. Lagu kamu harus selesai sebulan. Sanggup?"

Naya menatapnya, matanya menyelami, seolah mencari retakan di topengnya. "Kalau kamu nggak ngotot, sanggup," jawabnya, suaranya tenang tapi ada nyali tersembunyi, seperti pisau yang disembunyikan di balik kain sutra. Ia duduk, membuka buku catatan yang penuh coretan, dan mulai cerita ide: "Aku mau lagu tentang harapan di tengah kegelapan, kayak orang yang nyaris menyerah tapi masih nyanyi."

Rian mengangguk, terkesan dengan kedalamannya. Ia menyalakan piano, memainkan akor sederhana. "Kaya gini?" tanyanya, jarinya lincah di tuts, mencoba mencocokkan nada dengan visi Naya.

Naya memejamkan mata, mendengar sejenak. "Lebih pelan di awal, kayak… hujan di Monas malam hari," katanya, suaranya pelan tapi penuh makna.

Rian terkekeh, tapi menurut, menyesuaikan tempo. Mereka tenggelam dalam musik, chemistry tak terucap mengalir—cara Naya tersenyum kecil saat akor pas, cara Rian tanpa sadar condong lebih dekat.

"Kamu punya bakat beneran," kata Rian, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Lirik lo kayak cerita hidup."

Naya membuka mata, tersenyum tipis. "Makasih. Aku tulis dari pengalaman sendiri. Luka keluarga, mimpi yang patah." Tapi senyumnya pudar, dan ia tanya: "Kenapa aku? Aku tahu soal skandalmu. Vita, kan?"

Rian menegang, kopi di tangannya tiba-tiba terasa dingin. Gambar-gambar lama muncul di kepalanya: headline kejam, tuduhan Vita, malam saat ia hampir menyerah.

"Media cuma cari sensasi," sambarnya, nada suaranya seperti besi. "Vita… dia masa lalu. Jangan percaya gosip, Naya. Fokus ke lagu aja."

Naya menatapnya, tak gentar, matanya seperti cermin yang memantulkan semua ketakutannya. "Aku percaya apa yang aku lihat," katanya pelan. "Dan aku lihat kamu sembunyi sesuatu."

Kata-kata itu seperti pukulan, tapi juga anehnya membuat Rian ingin tahu lebih banyak tentangnya. Siapa Naya, dan apa yang membuatnya begitu tajam, begitu… rapuh?

Sebelum ia bisa membalas, ponselnya bergetar di meja, layarnya menyala dengan nama Vita. Jantung Rian terasa terhenti. Vita—racun yang tak pernah pergi. Ia buru-buru menolak panggilan, tapi Naya melihat, matanya menyipit penuh curiga. .

"Siapa itu?" tanya Naya, nadanya dingin tapi ada luka di sana, seolah ia pernah dikhianati sebelumnya.

"Bukan siapa-siapa," jawab Rian cepat, terlalu cepat. "Cuma urusan lama." Ia mencoba mengalihkan, "Kita lanjut lagunya. Besok jam 10 lagi."

Naya mengangguk, tapi tatapannya berbicara banyak. Ia mengemasi buku catatannya, berdiri. "Oke," katanya, lalu berjalan keluar, langkahnya cepat menyusuri koridor studio, meninggalkan aroma samar parfum murah dan ketegangan yang menggantung.

Rian ambruk ke kursi, napasnya berat. Naya bukan cuma penulis lagu berbakat—ia seperti badai yang tak ia prediksi, seseorang yang bisa mengguncang dunianya yang sudah rapuh. Ia menyalakan piano lagi, mencoba fokus, tapi jari-jarinya hanya menghasilkan nada sumbang. Ponselnya bergetar lagi, dan kali ini ia membuka pesan dari Vita: Abaikan aku, dan semua orang akan tahu rahasiamu, Rian. Termasuk Naya.

Rian menatap pesan itu, jantungnya terasa terhenti. Rahasia apa yang Vita pegang, dan kenapa Naya disebut-sebut, seolah Vita sudah tahu segalanya tentang pertemuan mereka?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Gavin Gandatapa
"Rian muncul dengan senyum yang bikin hati Naya goyah. ... Tapi, apa dia bisa dipercaya? Vote bab ini kalau lo team Rian! #AntaraCintaDanLuka #RomansaJakarta"
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 14: Bayang di Balik Layar

    Rian Pratama berdiri di tengah studio Kemang, tangannya menyentuh meja mixer yang dingin, aroma plastik panas dari kabel yang kelebihan beban menyengat hidungnya. Lampu neon di plafon berkedip pelan, memantul di dinding kedap suara yang berlapis busa abu-abu, menciptakan bayang-bayang seperti rahasia yang merayap di sudut-sudut ruangan. Di luar, Jakarta malam berdenyut—suara klakson ojek daring dan aroma minyak goreng dari warung pecel lele di gang sempit menyusup lewat ventilasi. Udara masih lembap dari hujan sore, membawa bau tanah basah yang bercampur wangi asap knalpot dari trotoar. Jantung Rian berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan irama, saat ia menatap ponselnya. WA dari Naya tadi pagi (Rian, aku temuin kaset dari Mama. Kita bicara sekarang) terasa seperti nada yang tak selaras. Kaset itu—Lagu ini punya Mama, Nay. Budi ambil tanpa izin—dan pengakuan Budi di kafe (Dana gelap, Vita tahu terlalu banyak) membuat kepalanya pusing, seperti papan kunci piano yang retak. Ap

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 13: Piano yang Bisu

    Naya Putri duduk di depan piano tua di apartemen Tebet, jari-jarinya menyentuh tuts usang yang dingin seperti batu. Cahaya senja menyelinap lewat jendela berdebu, memantul di permukaan kayu piano yang penuh goresan, menciptakan bayang-bayang seperti luka lama di hatinya. Di luar, Jakarta mulai meredup—suara adzan Magrib bergema dari masjid ujung gang, bercampur deru motor dan aroma asap bakpao dari pedagang keliling yang lewat di trotoar. Hujan pagi tadi meninggalkan udara lembap, membuat bau kayu tua di apartemen bercampur wangi tanah basah yang menyusup lewat ventilasi. Naya mencoba memainkan Nada di Tengah Hujan, lagu yang ia ciptakan bersama Rian di studio Kemang, tapi nadanya patah, seperti senar yang kehilangan jiwa. Setiap tuts terasa berat, mengingatkannya pada rekaman Vita tadi malam—suara Budi: Rian nggak boleh tahu soal Naya—dan pesan Budi: Aku tahu lo ketemu Rian. Jauhi dia, atau aku batalkan bantuan operasi. Jantungnya berdegup kencang, seperti metronom yang lari dari i

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 12: Cahaya di Ujung Lorong

    Rian Pratama duduk di sudut kafe kecil di Jakarta Selatan, meja kayu tua berderit saat ia menyandarkan lengan. Aroma asap arang dari warung sate kambing di seberang jalan menyusup lewat jendela terbuka, bercampur bau bensin dari motor yang menderu di gang sempit. Lampu neon kafe berkedip pelan, bayang-bayang menari di dinding bata yang retak, seperti rahasia yang menolak disembunyikan. Malam Jakarta terasa seperti lagu yang tak selesai—berisik, basah, penuh nada-nada sumbang. Ponsel Rian tergeletak di meja, layar menyala menampilkan pesan WA dari Naya: Rian, aku baca surat Mama. Apa yang lo tahu soal lagu aku? Ketemu di studio besok.. Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang kehilangan ritme. Surat ibu Naya (Budi, kenapa kau libatkan lagu Naya?, dan video editan Vita (Naya akui lagu bukan miliknya, mengguncangnya. Apa yang Budi sembunyikan? Dan kenapa Vita terus menekan Naya?Rian meneguk kopi hitam, pahitnya menyengat lidah seperti kebenaran yang ia hindari. Dua tahun lalu,

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 11: Bayang di Ujung Malam

    Naya Putri bersandar pada dinding lorong RS Cikini, ubin dingin menyerap panas tubuhnya yang sudah lama terasa kosong. Suara monitor jantung dari ruang ICU berdetak pelan, seperti metronom tua yang kehilangan irama, setiap bunyi seperti jarum menusuk dadanya. Cahaya neon di atas berkedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di lantai basah, bercampur aroma keringat pasien dan embun hujan yang menempel di jendela bocor. Di luar, Jakarta malam bergemuruh—siren ambulans memecah udara, klakson motor berderit di jalan raya, dan teriakan pedagang martabak manis di trotoar menggema samar, membawa Naya kembali ke Tebet yang selalu basah setelah hujan. Jaket jeansnya terasa berat, menyerap kelembapan udara, seperti beban hidupnya yang kian menumpuk. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Naya nggak boleh tahu soal proyek itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam retak, setiap kata seperti pisau yang mengiris hatinya. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti tali ya

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 10: Jejak di Tengah Badai

    Rian Pratama duduk di bangku logam di luar ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung berdetak pelan, seperti irama lagu yang tak selesai. Di luar, Jakarta pagi itu masih lembap, aroma tanah basah bercampur dengung AC tua dan keringat pasien di lorong. Klakson motor dan teriakan pedagang bakpao menggema, tapi di sini, waktu terasa beku. Naya mengiirim WA di grup tim konser kemarin: Mama pingsan, aku di RS dan Dita bilang Maya nemuin ibu Naya pingsan di apartemen. Rekaman Vita—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—mengguncangnya, dan pertemuan dengan Budi di Monas bikin curiga. Budi bilang, Vita tahu terlalu banyak, tapi apa? Bayang Naya di lorong RS—matanya penuh luka tapi kuat—membuat dadanya sesak.“Dita, apa kabar Naya?” tanya Rian ke ponsel, suaranya rendah. “Ada WA baru di grup?”“Bos, Naya WA lagi tadi pagi, bilang ibunya stabil tapi butuh operasi,” jawab Dita. “Dia nggak banyak ngomong, kayaknya stres soal tagihan.” Rian menutup telepon, tangannya mengepal di saku j

  • Antara Cinta dan Luka   Bab 9: Cahaya yang Redup

    Naya Putri duduk di kursi plastik di ruang ICU RS Cikini, suara monitor jantung dari balik pintu kaca berdetak pelan, seperti metronom yang menghitung sisa waktu hidup ibunya. Di luar, Jakarta terbangun—adzan subuh bergema dari masjid terdekat, klakson motor dan teriakan pedagang bubur ayam memecah fajar, tapi di sini, udara terasa beku, aroma desinfektan bercampur dengung pelan AC yang tua. Rekaman Vita dari tadi malam—suara Budi: Rian, kita harus kubur rahasia itu—berputar di kepalanya seperti piringan hitam rusak, setiap kata seperti jarum menusuk. Tawaran Budi untuk bayar operasi ibunya terasa seperti jerat, dan foto Naya-Rian di studio membuatnya gemetar. Apa rahasia yang hubungkan ayahnya, Vita, dan Rian? Ingatan ibunya pingsan di apartemen kemarin, saat Maya datang bawa obat rutin seperti biasa, menambah beban, seperti gunung yang tak bisa ia singkirkan.Naya memegang tangan Bu Ratna, dingin dan rapuh seperti kertas tua, jari-jarinya gemetar. “Ma, aku janji, aku bakal cari ca

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status