LOGINRian Pratama membanting ponselnya ke meja mixer, suara benturan itu bergema di studio musik Kemang yang sepi, memicu ingatan skandal plagiarisme dua tahun lalu yang nyaris menghancurkan kariernya.
Pesan dari Vita, mantan pacarnya yang manipulatif, masih berkedip di layar: Lo pikir lo bisa lupain aku begitu saja? Aku tahu rahasiamu, Rian. Jantungnya berdegup kencang, seperti drum yang hilang ritme, dan ia mengepal tangan, mencoba mengusir bayangan wajah Vita yang tersenyum licik di depan wartawan saat itu. Studio ini, dengan dinding kedap suara dan lampu neon biru yang berkedip pelan, seharusnya jadi tempat aman, tapi hari ini terasa seperti penjara rahasia masa lalu. Vita bukan cuma mantan—ia adalah badai yang tak pernah reda, dan pesan itu seperti peringatan bahwa badai baru akan datang. "Dita, lo yakin penulis lagu baru ini oke?" tanya Rian, suaranya kasar sambil menyeduh kopi hitam di mesin vending kecil di sudut ruangan. Aroma kopi tubruk yang pahit menguar, mengingatkannya pada warung pinggir jalan di Jakarta yang sering ia kunjungi saat stres. Dita, asistennya, mengangguk sambil menyusun kabel di sudut studio. "Iya, Bos. Naya Putri, lagu-lagunya di SoundCloud bagus banget. Emosional, cocok buat konser amal." Rian mendengus, menyeruput kopi yang membakar lidahnya. "Pendiam atau nggak, lagunya harus selesai sebulan. Konser Senayan nggak nunggu orang santai." Ia berjalan ke jendela studio, menatap Kemang yang sibuk—motor melaju di tengah kemacetan, pedagang kaki lima berteriak menawarkan sate ayam, dan hujan gerimis mulai turun, membasahi trotoar. Pikirannya melayang ke skandal itu: Vita yang mengklaim lagunya, headline kejam di media, dan kariernya yang runtuh seperti kartu domino. Sekarang, konser ini kesempatannya bangkit, tapi Vita kembali seperti hantu yang tak pernah pergi. "Lo tahu Vita lagi apa sekarang?" tanya Rian pada Dita, suaranya rendah tapi penuh kewaspadaan. Dita menggeleng, alisnya terangkat. "Nggak tahu, Bos. Tapi lo jangan mikirin dia. Fokus ke Naya aja. Dia datang sebentar lagi." Dita tersenyum, mencoba angkat mood, tapi Rian tahu itu sia-sia. Vita bukan masa lalu yang bisa dilupakan—ia adalah ancaman yang hidup. Pintu studio berderit pelan, dan Naya masuk, rambutnya tergerai sederhana, jaket jeans usang menutupi tubuh rampingnya, tapi matanya—cokelat tua, penuh luka dan waspada—langsung menarik perhatian Rian. Ia seperti prajurit yang siap bertahan, tapi ada keanggunan di langkahnya, seperti nada yang menari di udara, lembut namun kuat. Jantung Rian tersentak, sensasi asing yang membuatnya kesal pada dirinya sendiri. "Kamu Naya?" tanyanya, nadanya sengaja dingin untuk menutupi debar itu. Ia menunjuk kursi di depan piano elektrik. "Aku Rian, produser. Lagu kamu harus selesai sebulan. Sanggup?" Naya menatapnya, matanya menyelami, seolah mencari retakan di topengnya. "Kalau kamu nggak ngotot, sanggup," jawabnya, suaranya tenang tapi ada nyali tersembunyi, seperti pisau yang disembunyikan di balik kain sutra. Ia duduk, membuka buku catatan yang penuh coretan, dan mulai cerita ide: "Aku mau lagu tentang harapan di tengah kegelapan, kayak orang yang nyaris menyerah tapi masih nyanyi." Rian mengangguk, terkesan dengan kedalamannya. Ia menyalakan piano, memainkan akor sederhana. "Kaya gini?" tanyanya, jarinya lincah di tuts, mencoba mencocokkan nada dengan visi Naya. Naya memejamkan mata, mendengar sejenak. "Lebih pelan di awal, kayak… hujan di Monas malam hari," katanya, suaranya pelan tapi penuh makna. Rian terkekeh, tapi menurut, menyesuaikan tempo. Mereka tenggelam dalam musik, chemistry tak terucap mengalir—cara Naya tersenyum kecil saat akor pas, cara Rian tanpa sadar condong lebih dekat. "Kamu punya bakat beneran," kata Rian, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Lirik lo kayak cerita hidup." Naya membuka mata, tersenyum tipis. "Makasih. Aku tulis dari pengalaman sendiri. Luka keluarga, mimpi yang patah." Tapi senyumnya pudar, dan ia tanya: "Kenapa aku? Aku tahu soal skandalmu. Vita, kan?" Rian menegang, kopi di tangannya tiba-tiba terasa dingin. Gambar-gambar lama muncul di kepalanya: headline kejam, tuduhan Vita, malam saat ia hampir menyerah. "Media cuma cari sensasi," sambarnya, nada suaranya seperti besi. "Vita… dia masa lalu. Jangan percaya gosip, Naya. Fokus ke lagu aja." Naya menatapnya, tak gentar, matanya seperti cermin yang memantulkan semua ketakutannya. "Aku percaya apa yang aku lihat," katanya pelan. "Dan aku lihat kamu sembunyi sesuatu." Kata-kata itu seperti pukulan, tapi juga anehnya membuat Rian ingin tahu lebih banyak tentangnya. Siapa Naya, dan apa yang membuatnya begitu tajam, begitu… rapuh? Sebelum ia bisa membalas, ponselnya bergetar di meja, layarnya menyala dengan nama Vita. Jantung Rian terasa terhenti. Vita—racun yang tak pernah pergi. Ia buru-buru menolak panggilan, tapi Naya melihat, matanya menyipit penuh curiga. . "Siapa itu?" tanya Naya, nadanya dingin tapi ada luka di sana, seolah ia pernah dikhianati sebelumnya. "Bukan siapa-siapa," jawab Rian cepat, terlalu cepat. "Cuma urusan lama." Ia mencoba mengalihkan, "Kita lanjut lagunya. Besok jam 10 lagi." Naya mengangguk, tapi tatapannya berbicara banyak. Ia mengemasi buku catatannya, berdiri. "Oke," katanya, lalu berjalan keluar, langkahnya cepat menyusuri koridor studio, meninggalkan aroma samar parfum murah dan ketegangan yang menggantung. Rian ambruk ke kursi, napasnya berat. Naya bukan cuma penulis lagu berbakat—ia seperti badai yang tak ia prediksi, seseorang yang bisa mengguncang dunianya yang sudah rapuh. Ia menyalakan piano lagi, mencoba fokus, tapi jari-jarinya hanya menghasilkan nada sumbang. Ponselnya bergetar lagi, dan kali ini ia membuka pesan dari Vita: Abaikan aku, dan semua orang akan tahu rahasiamu, Rian. Termasuk Naya. Rian menatap pesan itu, jantungnya terasa terhenti. Rahasia apa yang Vita pegang, dan kenapa Naya disebut-sebut, seolah Vita sudah tahu segalanya tentang pertemuan mereka?5 Oktober 2032 Monas, pukul 17:30Langit Jakarta sore itu biru lembut, awan tipis bergerak pelan seperti cat air yang baru disapu. Tidak ada panggung megah. Hanya rumput hijau luas yang sama, basah karena hujan kecil tadi siang, dan kini menguap menjadi uap hangat yang membawa bau tanah dan kenangan.Lima tahun sudah lewat sejak malam Baby Rain debut di tempat ini.Sekarang, di tengah lapangan yang sama, berdiri lingkaran kecil dari kayu jati tua, diameter sepuluh meter. Di atasnya hanya ada satu mikrofon berdiri, satu gitar akustik, dan satu stroller kosong yang sudah besar, warna putih pudar karena sering terkena matahari dan hujan.Di depan lingkaran itu, satu juta orang duduk di rumput. Tidak ada tiket. Tidak ada sponsor. Hanya undangan terbuka di Instagram Tiga Suara: “Kami pulang ke rumah. Kalau kalian mau ikut, datang aja.”Dan mereka datang. Dari Sabang sampai Merauke. Ada yang bawa anak kecil, ada yang bawa orang tua, ada yang bawa spanduk tulis tangan:
Angka di layar LED raksasa terus berlari liar: 500.000.000 → 503.217.890 → 507.892.111 Setiap detik lahir jutaan views baru, seperti detak jantung planet yang baru sadar ada bayi bernama Baby Rain.Pukul 00:17, 6 Oktober 2027. Udara malam Jakarta dingin menusuk tulang, tapi rumput masih hangat karena ratusan ribu kaki yang baru saja menginjaknya berjam-jam. Bau tanah basah, keringat, gorengan sisa, tumpahan kopi instan, dan susu bayi yang menetes ke selimut Baby Rain bercampur jadi satu aroma khas: aroma kemenangan.Rian menatap layar, napasnya membentuk kabut kecil di udara. Kaus hitamnya sudah menempel kulit seperti kulit kedua, rambut acak-acakan menempel dahi, jari kanannya berdarah sedikit karena senar E putus tadi, tapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya tersenyum lelet, seperti orang yang baru sadar dia menang lotre dunia.Naya mendorong stroller perlahan mendekat. Roda kecilnya berderit pelan di rumput becek, meninggalkan jejak ban tipis yang langsung tert
Langit Jakarta masih menetes-netes sisa gerimis ketika jam di drone TMZ berkedip tepat pukul 22:45, 5 Oktober 2027. Huruf-huruf merah darah menyala terang di layar LED raksasa pinggir Monas: DISNEY TAWAR 2 MILIAR UNTUK LARA KE BROADWAY. Angka 2.000.000.000 itu seperti palu godam yang menghantam dada 500 ribu orang sekaligus. Pantulannya merah membara di genangan air rumput, di bola mata yang membelalak, di layar ponsel yang terangkat serentak. Hujan baru saja reda, tapi udara malam masih berat—lembab, lengket, bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan yang sudah dingin, asap knalpot motor polisi yang baru saja meninggalkan barikade. Di tengah lapangan yang licin, Rian berdiri sendirian bagai tiang listrik yang kehabisan arus. Kaus hitam polosnya basah kuyup menempel di tubuh, gitar akustik Takamine tua terkulai di pangkuan, senar E rendah masih bergetar pelan seolah menolak diam. Di depannya, stroller Baby Rain berwarna abu-abu tua berlumur lumpur. Naya duduk bersil
Drone TMZ menukik tajam pukul 21:15, 5 Oktober 2027. Kamera HD 200 mm zoom ke layar LED raksasa di pinggir Monas, headline merah darah menyala di tengah hujan yang mulai reda, huruf kapital besar seperti teriakan di malam Jakarta yang basah. NETFLIX TAWAR 1 MILIAR KEMBALI KE VITA. Angka 1.000.000.000 itu berkedip seperti petir kecil, terpantul di genangan air rumput, di mata 500.000 orang yang mulai terdiam. Bau tanah basah bercampur keringat massa, gorengan dingin dari pedagang pinggir, asap knalpot motor polisi yang baru mundur, kopi instan Kapal Api dari termos Rian yang sudah dingin. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup menempel kulit, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi pelan seperti napas terakhir lagu. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong pasca-lahir, napas tersengal seperti nada minor yang menunggu resolusi. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah,
Bab 65: Budi Bicara – Netflix 1 Miliar(1.800 kata tepat – naratif penuh tanpa tanda ":" )Budi pegang mikrofon dadakan pukul 20:00, 5 Oktober 2027. Suara seraknya menggema di rumput Monas, lebih keras dari 500.000 orang yang mulai diam, lebih dalam dari hujan yang masih turun pelan. Rambut putih pendek basah, mata dalam seperti sumur tua, jaket kulit usang basah kuyup. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah, mata hitam pekat terbuka lebar menatap Budi. Lara 15 tahun di samping, kaus Tiga Suara basah, glitter jatuh ke rumput seperti hujan bintang tenggelam. Ratna tanpa walker, kaki kanan kuat, mata tajam. Maya rekam di ponsel, gitar kayu tua di pangkuan, jari gemetar di layar. Polisi mundur total, drone TMZ melayang di atas.Budi berdiri 5 meter
Vita jalan pelan di rumput Monas pukul 18:45, 5 Oktober 2027. Rambut panjang hitam basah hujan, mata tajam seperti pisau yang baru diasah, kaus putih polos basah kuyup menempel kulit. Bau tanah basah bercampur keringat 500.000 orang, gorengan dari pedagang pinggir, hujan deras yang baru turun. Rian berdiri di tengah lapangan, kaus hitam polos basah kuyup, gitar akustik di pangkuan, senar E basah tapi masih berbunyi. Naya di stroller Baby Rain, hoodie abu-abu Juilliard basah kuyup, tangan gemetar di perut kosong. Baby Rain 3 hari di stroller, selimut putih basah setengah, mata hitam pekat terbuka lebar menatap Vita. Lara 15 tahun di samping, kaus Tiga Suara basah, glitter jatuh ke rumput seperti hujan bintang tenggelam. Ratna tanpa walker, kaki kanan kuat, mata tajam. Maya rekam di ponsel, gitar kayu tua di pangkuan, jari gemetar di layar. Polisi mundur total, drone TMZ melayang di atas.Rian pikir dalam hati. 2015. Vita ambil lagu Budi. Aku blacklist. Sekarang Baby Rain lahir. Vita ke







