Share

Pertemuan Kedua

"Tapi ternyata, keputusan saya mendatangi kamu sore itu adalah kesalahan terbesar yang saya ambil.” Vina melanjutkan ucapannya, matanya menatap jauh ke depan.

***

"Aiman, bagaimana kabarnya?" Jaka, dosen manajemen pendidikan, menyapa Aiman yang tampak lebih banyak melamun sejak kabar ta'arufnya menyebar.

"Alhamdulillah baik, Pak. Cuma ya, memang lagi agak banyak pikiran." Aiman tersenyum. Jaka adalah kawan sejawatnya yang cukup banyak membantu sejak mereka masih menjadi asisten dosen di kampus itu.

"Saya dengar gosipnya, lho.” Jaka tertawa, "jadi bagaimana itu, ditolak sama keluarganya, begitu?"

Jaka melangkah menuju dispenser yang berada di ujung ruangan. Mengambil sebuah gelas, lalu menekan keran air.

"Mmm, bukan, Pak. Qadarullah ternyata ayahnya Airin juga ayah saya,” jawab Aiman pelan.

Jaka menyemburkan air yang sedang diminumnya. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Ia memandang Aiman tak percaya.

"Serius, Man?" tanyanya.

"Ya, saya juga syok, Pak. Sampai-sampai, saya jadi bingung bagaimana cara menghadapinya,” jawab Aiman. Wajah kuyunya menunjukkan betapa berat beban pikirannya saat ini.

"Coba ceritakan dari awal biar saya paham. Siapa tahu, saya bisa bantu,” tawar bapak satu anak itu.

Aiman menceritakan kisah hidupnya bersama sang ibu. Ibunya selalu bercerita kalau ayahnya sudah meninggal saat ia menanyakan di mana ayahnya. Ia tak pernah bertanya lagi sejak terakhir ia menangis karena diledek teman-temannya karena ia tak punya ayah.

Saat itu, Ibunya memeluknya sambil berkata, "Nak, maafkan ibu yang belum bisa melindungi kamu dari cercaan teman-temanmu. Yang kuat ya, Nak. Kamu tahu, kan, kalau Nabi Isa 'alaihis salam juga tidak punya ayah. Tapi Allah tidak menjadikannya hina karena itu,” tukas ibunya saat itu. Ibunya lalu menceritakan kisah Nabi Isa dan Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi w* Sallam.

Aiman merasa tertipu karena ternyata ia masih memiliki ayah. Ia sempat marah kepada ibunya karena menyembunyikan kenyataan. Namun, amarah hanya akan memperkeruh suasana dan tidak akan menyelesaikan masalah.

"Sekarang, saya lagi menata hati, Pak. Bagaimana saya harus bersikap kalau bertemu Airin. Sedangkan, skripsinya di bawah bimbingan saya. Itu artinya, saya akan lebih sering ketemu dia.” Aiman menghela nafas berat.

"Ya, usahakan sih, kalau di kampus tetap profesional saja. Toh, kalian bakal ketemu di kampus saja, kan?" tanya Jaka.

Aiman mengangguk mengiyakan. Ia juga berpikiran sama dengan apa yang diucapkan Jaka kepadanya. Biar bagaimanapun, ia harus mempertahankan profesionalitasnya sebagai dosen.

"Kemarin, Ayahnya Airin ketemu saya, Pak. Beliau minta saya buat terjun di perusahaannya,” jawab Aiman.

"Wah, bakal pensiun dini jadi dosen, nih,” seloroh Jaka.

Aiman tertawa singkat, “saya masih pikir-pikir, Pak. Banyak banget hal yang harus saya pertimbangkan. Ditambah, saya masih harus menata hati saya buat menghadapi kenyataan yang terjadi,” tukasnya.

"Apapun, Man. Selalu dekati Allah buat setiap permasalahan. Hadapi semua dengan meminta kekuatan sama Allah yang Maha Kuat. Biar kamu bisa menghadapi dengan kekuatan Allah. Tidak ada manusia yang diuji tanpa kekuatan yang mengiringi,” ujar Jaka sambil menepuk pundak Aiman pelan, “satu lagi. Saat ini, satu kenyataan sudah terungkap bahwa Airin adalah adikmu. Dekati dia sebagaimana seorang kakak kepada adiknya. Minta Allah buat terus menjaga perasaan kamu agar tidak menjadi sesuatu yang berlebih,” lanjutnya.

Aiman tersenyum, “terima kasih banyak, Pak. Mohon bantu doanya ya, Pak. Semoga Allah menguatkan saya,” ujarnya.

Perlahan, perasaan yang membebani mulai sedikit berkurang. Setelah bercerita dengan Jaka, ia merasa telah membagi beban di pundaknya kepada sahabatnya itu. Ia bersyukur dengan keberadaan Jaka di dekatnya.

“Tentu, Man. Kamu sahabat saya. Saya selalu inginkan yang terbaik buat kamu,” ujar Jaka tulus.

***

“Assalamualaikum,” ucap Aiman. Ia memasuki ruang kelas dengan perasaan yang begitu gugup. Ini jadi pertemuan pertamanya dengan Airin sejak ia datang ke rumahnya. Ia lalu mengabsen seluruh kelas.

Ketika disebutkan nama Airin, seluruh kelas terdengar kasak-kusuk. Telinganya bisa menangkap beberapa obrolan yang mencatut namanya dan Airin. Ia mendengkus, lalu berdehem keras. Kelas kembali hening.

Sepanjang mata kuliah, matanya beberapa kali menangkap wajah Airin begitu sendu menatapnya. Hatinya berdebar. Ia mengakui, keberaniannya mengambil keputusan untuk ta’aruf memang dikarenakan ia mendengar dari kawannya yang merupakan suami dari murobbiah Airin kalau Airin telah mengajukan ta’aruf.

Bak gayung bersambut. Airin ternyata juga memiliki perasaan yang sama kepadanya. Namun, ia harus berusaha sekuat tenaga menjaga nama baiknya sebagai seorang dosen karismatik di hadapan mahasiswanya. Ia tak ingin tampak patah hati, namun di sisi lain, ia juga tidak ingin menyakiti hati Airin.

“Baik, boleh saya minta tolong kumpulkan tugas kalian?” tanya Aiman, “ini ada contoh penyajian data statistik yang dibuat menjadi tabel dan grafik. Silakan kerjakan tugas yang saya berikan di halaman dua ratus lima puluh delapan. Tugas sebelumnya tolong kumpulkan kepada Jalu biar saya koreksi di sini,” pungkasnya.

Seorang mahasiswa mengangkat tangannya. Aiman mengangguk, “Pak, saya mau bertanya. Tapi masalah pribadi, boleh?” tanya sang mahasiswa lugas.

Aiman menghembuskan nafasnya berat. Matanya menangkap wajah Airin yang pias, “silakan. Sepertinya ada yang perlu saya klarifikasi, ya?” tanyanya.

“Iya, Pak. Beberapa hari ini, gosip beredar, Pak. Kami rasanya khawatir kalau apa yang kami bicarakan tentang Bapak adalah kabar burung. Tapi, kami juga penasaran, Pak. Makanya, daripada kami mengghibah di belakang Bapak. Kami mau tabayyun saja,” ujar Dina mengajukan pertanyaan.

“Baik. Ada lagi?” tanya Aiman.

Ia mengedarkan pandangannya ke seisi kelas. Wajah-wajah penuh tanya menatapnya. Beberapa juga ada yang kasak-kusuk berbicara sambil menunjuk Airin yang terus tertunduk.

“Kami hanya ingin penjelasan singkat kok, Pak. Kalau Bapak berkenan,” ujar mahasiswa yang tadi mengangkat tangannya.

“Baik. Saya minta izin dulu kepada Airin, ya?” Airin tercekat. Ia sangat terkejut.

Semua mata di kelasnya menatapnya. Beberapa menatap Airin dengan pandangan meremehkan. Seolah Airin melakukan suatu kesalahan besar karena telah menolak Aiman.

“Si-silakan, Kak. Eh, Pak,” jawab Airin sambil tertunduk.

“Baik. Kalau begitu,” Aiman menghela nafasnya berat, “saya klarifikasi saja, ya. Kalau ternyata, saya dengan Airin adalah saudara seayah. Jadi, tolong, cukupkan di kelas ini saja. Karena saya menganggap kalian sebagai teman seperjuangan Airin, maka saya berani mengatakan hal ini kepada kalian. Tolong dampingi Airin menghadapi ini. Sepertinya, berat bagi Airin menghadapi omongan sumbang di luar kelas ini. Saya titip adik saya kepada kalian, ya?” tanya Aiman sambil menatap seisi kelas dengan penuh harap.

Seisi kelas tertunduk. Kemudian Dina merangkul pundak Airin, disusul kawan di depan, belakang juga di samping Airin berdiri, lalu memeluk Airin. Airin menangis sesenggukan. Ia tidak menyangka, Aiman akan mengatakan hal yang ia pikir akan menyudutkannya.

“Terima kasih, Kak Aiman. Terima kasih, teman semuanya. Terima kasih,” ujarnya diiringi isak tangis.

Aiman mendekati Airin. Menatapnya dengan penuh perasaan, “Ai, mulai sekarang, permasalahan ini tidak akan kita hadapi berdua saja. Tapi, seisi kelas, teman seperjuangan kamu, akan mendampingi,” ujarnya.

Airin tersenyum menatap wajah Aiman. Sesaat keduanya saling bertatapan. Aiman lantas mengalihkan pandangannya ke sekeliling kelas. Berusaha menaklukkan debur di dadanya. Wajah Airin memanas. Ia tak pernah menatap Aiman sedekat ini sebelumnya. Namun, ia berusaha menetralkan gemuruh jantungnya.

“Dina, titip Airin, ya...”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status