Share

Pertemuan Pertama

"Iya, Pak. Aiman dosen statistik di kelas Airin,” jawab Aiman.

“Ternyata, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, ya. Dulu, Ibumu juga pengajar. Meski di kampung, tapi dia sangat cerdas. Karena itulah, selain wajahnya yang membuat bapak tidak bisa berpaling, kecerdasannya benar-benar membuat bapak kagum,” tukas Agus.

Agus menceritakan kisah awal pertemuannya dengan Hera sambil menikmati hidangan yang baru dibawakan oleh pramusaji. Keduanya hanyut dalam perbincangan yang hangat. Aiman mulai belajar mengenal lelaki di hadapannya.

***

Suara ketukan dan salam terdengar di pintu depan membuat Hera menghentikan aktivitasnya. Hera pun menuju ke depan rumahnya dan membuka pintu.

“Assalamu’alaikum, Hera,” salam Vina begitu Hera membuka pintunya.

“W*-w*’alaikumussalam.” Hera terkejut.

Setelah memastikan Vina datang bukan untuk melabraknya lagi, ia mengizinkan istri pertama dari suaminya itu masuk.

Vina memperhatikan sekeliling ruang tamu yang sederhana namun, tampak begitu asri dan apik. Ia menghela nafasnya berat. Beban di dadanya begitu besar. Keangkuhannya harus ia runtuhkan demi kebahagiaan suaminya.

"Saya mohon maaf, atas kedatangan saya. Saya ....” Vina menggantungkan kalimatnya. Ia kembali ragu, meski sejak keberangkatannya dari rumah, ia telah meyakinkan diri atas keputusannya.

Vina diantar oleh Arman, dan anaknya itu menunggu di teras rumah. Berjaga-jaga, khawatir sang ibu akan terjatuh pingsan, mengingat, sejak beberapa hari terakhir, hanya bubur ayam tadi pagi yang masuk ke dalam lambungnya dan itupun tidak banyak.

"Boleh saya menceritakan sesuatu, Hera?" tanya Vina tanpa menunggu persetujuan Hera dia melanjutkan ucapannya. "Setelah kepulangan saya dari rumahmu malam itu ...." Mata Vina lurus menerawang.

Penyesalan dan rasa sakit yang ia sembunyikan selama ini akhirnya bisa ia luapkan. Akan tetapi, ucapannya dia gantungkan.

Hera mengangguk ragu. Ia menunggu apa yang akan diucapkan oleh wanita yang menyebabkan dirinya berpisah dari suaminya.

***

"Airin. Jadi, proses ta’aruf kamu dengan pak Aiman, gagal?" Dina, sahabat Airin, bertanya ragu. Berita tentang ta'aruf sang dosen muda dengan mahasiswinya sudah barang tentu menjadi topik menarik di kalangan mahasiswa.

"Mmm, ya bisa dikatakan gagal, tapi ada fakta lain yang membuat kami enggak bisa melanjutkan proses ta'aruf kami,” jawab Airin sambil tersenyum tipis.

"Aku dengar, katanya, pak Aiman ternyata kakak kamu seayah. Betul?" tanya Dina. Ia menepuk pundak Airin lembut. Gadis berjilbab panjang itu, salah satu wasilah bagi keluarga Airin menjadi lebih baik lewat dakwahnya yang lemah lembut.

Airin mengenal Dina saat program pengenalan kampus. Mereka tergabung di kelompok yang sama. Hingga akhirnya, Dina bisa mengajak Airin mengikuti kajian, bahkan bisa mengajak Agus, Vina dan Arman. Saking seringnya Dina mengunjungi Airin di rumahnya, keluarga Vina sudah menganggap Dina seperti keluarganya sendiri.

"Seharusnya kamu datang malam itu, Di. Perasaanku benar-benar kacau malam itu. Aku pun lupa mengabarimu!" lirih Airin.

"Aku pun minta maaf. Harusnya aku datang menemani malam itu. Tapi, qadarullah, ibu dari kampung datang. Maaf ya, sahabat." Dina memeluk Airin sekilas. Matanya lembut menatap Airin. Di matanya, Airin adalah sosok adik manis yang dulu pernah dimilikinya. Namun, penyakit berat, merenggut hidup sang adik.

"Mau cerita?" Dina menatap wajah Airin. Airin menghela nafas lalu mengangguk.

***

"Penyesalan terbesar saya, saya secara tidak langsung, membunuh ibu mertua yang sangat menyayangi saya seperti putrinya sendiri," ujar Vina. Air mata telah memenuhi pelupuk matanya, “seharusnya, saya tidak menceritakan masuknya kamu di pernikahan saya dengan emosi. Mungkin, jika saya memperkenalkan kamu secara baik-baik kepada Mama, ia akan menerima kamu dan anakmu dengan tangan terbuka sebagai cucunya. Tapi saya mengacaukan segalanya,” lanjutnya.

Matanya terus menatap lurus ke depan. Bayang-bayang kasih sayang seorang ibu yang ia dapatkan dari ibu mertuanya, berkelebat di ingatannya. Perih menjalari seluruh hatinya.

"Saya datang ke rumah ibu mertua saya dengan sedu sedan. Meratapi sikap suami saya yang tidak pernah mencintai saya.” Air matanya mulai menetes. Lalu perlahan, menatap Hera. Hera tertunduk, “sepanjang pernikahan saya, saya tidak pernah melihat cela dalam diri mas Agus. Meski ia tidak mencintai saya. Ia bersikap layaknya seorang suami yang mencintai istrinya. Meski sebelum bertemu denganmu, ia tak pernah menyentuh saya." Hera tersentak.

Ia mengira Arman adalah anak kandung Agus yang hadir sebelum pernikahannya secara sah dengan Vina.

Selama tinggal bersamanya, Agus tidak pernah menceritakan tentang Vina secara detail. Ia hanya diberitahu bahwa ibunya dan ayah Vina menjodohkan mereka sejak mereka kecil.

"Kalau kamu pikir Arman, putra saya, adalah putra mas Agus, kamu salah. Ia adalah anak yang hadir karena kesalahan saya,” ujar Vina pelan. Tak ingin Arman di luar tersakiti karena mendengarnya lagi, "saya dipertemukan dengan mas Agus dalam keadaan hamil. Mama, ibu mertua saya, memaksa mas Agus menikahi saya yang saat itu sudah berbadan dua. Saya... Saya..." Vina terisak.

Hera mendekat, mengelus pundak Vina pelan. Perasaannya bahagia, mendengar kesetiaan Agus kepadanya. Namun, di sisi lain, ia ikut merasakan kepedihan Vina akibat perlakuan kekasihnya.

"Saya hampir bunuh diri saat saya tahu, pacar yang saya banggakan di hadapan papa, memilih kabur saat tahu saya hamil. Ia bahkan menuduh saya telah berhubungan dengan lelaki lain dan tidak mengakui anak itu sebagai anaknya.” Tangis Vina semakin terdengar, “saya tidak pernah tahu, mas Agus memiliki gadis impian di kampung. Yang saya tahu, mas Agus begitu patuh pada mama, saat mama mengancam akan mogok makan saat meminta mas Agus menikahi saya,” lanjutnya.

Hera masih terdiam mendengarkan dengan saksama. Tangannya masih lembut mengelus punggung Vina. Perasaan tenang menjalari tubuh Vina. Ia merasa menemukan sosok sahabat dalam diri Hera.

"Ah, iya. Mungkin kamu bingung, kenapa mamanya mas Agus dan papa saya begitu ingin menjodohkan kami. Mereka berdua, dulu adalah sepasang kekasih yang tidak bisa menyatukan cinta mereka karena terhalang status papa yang miskin. Namun, mereka berjanji akan menjodohkan anak-anak mereka saat dewasa." Vina tersenyum kecut, “sungguh kolot, pikir saya. Saya menolak, hingga akhirnya, saya frustrasi karena kepergian pacar saya. Dan mas Agus, memperlakukan saya tidak seperti lelaki yang terpaksa. Ia sangat manis. Hal itu yang membuat saya jatuh cinta,” lanjut Vina.

Vina menatap wajah Hera lekat. Kesahajaan di wajah Hera benar-benar menenangkan. Mungkin, itulah alasan mengapa Agus begitu mencintai Hera.

"Sesaat setelah kelahiran Arman, papa segera menikahkan kami. Dan saya semakin dibuat jatuh hati dengan sikapnya terhadap Arman. Ia benar-benar menjadi seorang ayah yang baik. Mas Agus tidak pernah menganggap Arman sebagai orang lain. Ia mengasuh Arman seperti darah dagingnya sendiri,” isak Vina.

Hera tersenyum tipis. Ia mengingat bagaimana sikap Agus pada Aiman kecil. Agus yang begitu penyayang, hal itu juga yang membuat hati Hera luluh kepada Agus.

"Bahkan, hingga berita pernikahan kalian sampai di telinga saya, saya tidak sedikit pun melihat perubahan sikap mas Agus terhadap saya dan Arman. Hanya, ia jadi lebih sering keluar dari biasanya.” Vina menatap Hera, “bukankah itu alasan yang cukup untuk saya mempertahankan pernikahan saya?" tanya Vina.

Matanya yang sembab, menohok ke dalam batin Hera. Ia dijalari rasa bersalah karena telah merebut kebahagiaan seorang wanita.

"Tapi ternyata...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status